Alifuru Supamaraina: 2016

Saturday, November 12, 2016

POLITIK TRANSAKSIONAL

Oleh ; M. Thaha Pattiiha

              Demokrasi Indonesia seharusnya makin baik dipraktekkan setelah era Reformasi tahun 1998, yang mengakhiri masa pemerintahan Orde Baru. Orde Baru dianggap menerapkan demokrasi otoriter, karena membatasi ruang kebebasan berpendapat dan berpolitik warga negara.

Tujuan reformasi, adalah memposisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Prinsip dasar Demokrasi, demos(rakyat) dan kratos(kekuasaan), rakyatlah yang memiliki kekuasaan, penyelenggara negara dikuasakan untuk memenuhi hak-hak rakyat  secara bertanggung jawab.

Masa reformasi memunculkan berbagai kesempatan dan bahkan kebebasan yang oleh sebagian orang berpendapat sudah kebablasan. Kebebasan berpendapat dan berpolitik malah memunculkan permasalahan lain, setelah sistem pemerintahan yang sebelumnya semua tersentralisasi pada pemerintah pusat, dialihkan sebagian urusan menjadi hak pengurusan pemerintahan di bawahnya di tingkat daerah, provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintahan Provinsi, Kabupaten dan kota, mendapatkan hak otonom, diberi kesempatan dan diserahkan sebagian urusan menjadi wewenang kekuasaan di daerah. Desentralisasi wewenang dan dekonsentrasi urusan. Tujuannya untuk secara mandiri mengatur urusan pemerintahan dan politik di daerah masing-masing, termasuk menentukan kepemimpinan daerah secara demokratis dengan cara dipilih secara langsung melalui pemilihan umum kepala daerah (Pilkada).

Orde atau era telah berubah, tetapi kesan praktek cara sebelumnya masih tetap terbaca, bahwa pemerintahan yang dibangun melalui demokrasi, seperti tidak berubah cara prakteknya saat kekuasaan telah ada dalam genggaman. Kebebasan memilih pemimpin daerah, masih tersandra oleh aturan umum yang membebaskan ruang bagi sebagian elit politik berkuasa dengan leluasa menguasai pemerintahan. Sebaliknya menyempitkan kebebasan bagi yang lain di masyarakat untuk sama peluang berpartisipasi dalam demokrasi politik, karena butuh tidak sekadar intelejensi dan kapasitas. Kapabelitas dan akuntabilitas pun belum berarti, karena untuk memenuhi taraf elektabilitas, harus didukung kemampuan lobi politik dengan dukungan anggaran pembiayaan maksimal.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 konstruksinya menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Wali Kota harus “dipilih secara demokratis”. Proses awal atau prasyarat yang harus dilewati agar bisa menjadi bakal calon pemimpin daerah, sebelum ditetapkan sebagai calon oleh lembaga pemilihan umum untuk dipilih langsung,  harus lebih dahulu mendapatkan dukungan rekomendasi dari Partai Politik(Parpol), atau dengan melalui dukungan langsung masyarakat untuk bakal calon perseorangan.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati Dan Walikota dan Wakil Walikota Menjadi Undang-Undang, tidak ada pembatasan syarat dukungan maksimal Parpol untuk seseorang atau pasangan calon kepala daerah, kecuali hanya dukungan minimal. Didalam undang-undang tersebut, juga telah dihilangkannya peluang suara partai yang tidak memenuhi quota perhitungan mendapatkan kursi keanggotaan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan angka persentasi dukungan minimal baik Parpol maupun dukungan langsung masyarakat untuk calon perseorangan yang telah diperbesar.

Niatnya mungkin untuk memperbaiki kualitas demokrasi sekaligus kuantitas guna efektifitas peran jumlah Parpol karena dianggap terlalu “ramai” dan “sulit”, dalam membentuk kesepakatan atau kesatuan pandang politik bagi kelancaran penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan Demokrasi yang harusnya murni pendelegasian wewenang kekuasaan rakyat untuk mengakomodir kepentingan hak-haknya,  menjadi  rusak oleh praktek politik transaksional, sehingga kekuasaan secara paksa diperoleh pihak-pihak yang bukan utuh mewakili kepentingan rakyat.

Menjadi tidak berbeda perubahan yang dimaksudkan, sebab masih terbuka peluang untuk membentuk Parpol baru di pemilihan umum(Pemilu) berikutnya. Penyederhanaan jumlah Parpol bertujuan untuk adanya peningkatan kualitas peran politik di parlemen dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, maka menjadi tidak berguna adanya pembatasan dimaksud.

Sebaliknya malah melahirkan kelompok elit politik yang mengerucut dalam jumlah yang memudahkan terkontrolnya haluan politik, sehingga menguntungkan kepentingan politik kelompok tertentu  sesuai yang diinginkan.

Pada hajatan demokrasi Pilkada Provinsi dan Kabupaten/Kota serentak tahap ke dua tahun 2017, personal elit kekuasaan dan Parpol, menguasai benar peta politik dalam persaingan merebut dukungan rakyat. Rakyat diposisikan sekadar sebagai alat formalitas mengukuhkan peta demokrasi, yang telah dikondisikan secara sistemik. Bakal calon pesaing, begitu sempit peluang mereka karena dilemahkan melalui kuat-kuatan praktek  kapitalisasi politik dan kemampuan tawar dalam praktek politik transaksional. Parpol pun panen “rejeki politik” sebanyak ketersediaan besaran nilai prosentase dukungan rekomendasi partainya.

Suara konstituen partai maupun suara rakyat umumnya, bukan pertimbangan utama, terabaikan oleh pesona kultur politik pragmatis personal atau kelompok  yang mampu secara kapital dan atau karena kuat dalam penguasaan kekuasaan.

Desain politik pengkultusan dibangun secara paternalistik, dengan pesona pragmatis dalam kekuasaan yang digenggam, dan rakyat dimarginalkan dan tersudut. Rakyat terbelunggu dalam ketergantungan jangka panjang, sehingga mudah dibentuk, gampang dimanfaatkan sesuka keinginan kepentingan sang penguasa. Praktek manipulasi politik “noken” pun secara terselubung disemai melalui program pemberdayaan, yang sesungguhnya memperdaya hak-hak konstitusionalnya.

Praktek politik yang tidak lagi menuntun moralitas sesungguhnya dalam pemenuhan syarat berdemokrasi yang baik dan benar, tetapi telah dikemas dalam model politik transaksional. Politik transaksional dalam Pilkada saat ini malah makin massif dilakukan oleh para pemimpi kekuasaan. Transaksi dukungan politik bernilai angka-angka penawaran, dilakukan secara dibalik tangan, dipatok besaran nilai harganya untuk bisa mendapatkan sebuah rekomendasi bakal calon dari Parpol. Disinilah praktek kapitalisasi politik dalam demokrasi, membuat mahal dan mempersulit bagi yang tidak “bermodal”.

Jangan berharap banyak kualitas demokrasi makin membaik, menyaksikan diskursus praktek demokrasi dalam Pilkada seperti ini, kenyataannya hanya sebatas melibatkan elit yang sedang berkuasa dan Parpol. Posisi rakyat pemilih dalam proses memenuhi hak-hak demokrasinya hanya boleh menunggu saat dipersilahkan di kotak suara, untuk memilih calon “apa adanya” yang belum tentu sesuai figure calon yang diharapakan dan diinginkan oleh pemilih.

Depok, 13 Nopember 2016

Thursday, November 10, 2016

KOTAK KOSONG PILKADA

KOTAK KOSONG PILKADA

          Fenomena Kotak Kosong baru muncul di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahap ke-2 bulan Pebruari 2017, menjadi tidak terbantahkan. Sebaliknya mencengangkan karena menimbulkan tanda tanya. Apa benar hanya pada daerah yang bersangkutan hanya ada satu pasangan calon, sehingga harus melawan kotak kosong. Banyak pertanyaan yang lain menyikapi kenyataan sedemikian.

Desentralisasi kekuasaan dimaksudkan memberikan hak otonomi oleh pusat kepada daerah dengan amanat untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah satu faktor pendorong adalah berkembangnya pendidikan politik yang dapat membentuk budaya politik partisipan masyarakat sipil (civil society). Peran masyarakat sipil yang baik, dapat meminimalisir pemaknaan tunggal sudut pandang kepentingan sepihak pemegang kekuasaan di daerah, sebaliknya membuka luas ruang demokrasi yang lebih bermartabat bagi partisipasi politik semua warga negara.

Bahwa fungsi seorang kepala daerah yang bijak dan baik, adalah menciptakan peluang lebar dan membuka kesempatan luas berdemokrasi untuk rakyat, agar  leluasa secara aktif dan maksimal menggunakan hak politiknya.

Kepala daerah sebagai pimpinan pemerintahan di daerah (Pemda), dan institusi Partai Politik(Parpol) sebagai kelompok organisasi politik masyarakat sipil (Civil society Politic Organization) di tingkat daerah, mestinya yang berinisiatif. Aktif melaksanakan fungsi melahirkan kader unggul pemimpin untuk memenuhi jabatan pemerintahan dan politik, sehingga terjaga kesinambungan kepemimpinan untuk pembangunan daerah dapat terkondisikan secara stabil. Tidak akan sampai menimbulkan gejolak politik “kasar” dan “kotor” aksi rebut-rebutan, dengan saling menjegal, “melambung di tikungan”. Kuat-kuatan dengan berbagai cara dan strategi, antara yang mempertahankan dan yang hendak merebut, sebagaimana yang nampak disetiap masa pergantian kepemimpinan politik pemerintahan saat ini.

Kehadiran “Tokoh” lain sebagai pesaing dalam Pilkada tidak dianggap musuh berbahaya, bilamana langkah kebijakan pemerintahan telah memenuhi  kriteria berhasil dalam masa kekuasaannya. Modal keberhasilan yang telah diakui rakyat, merupakan peluang untuk berlanjut ke periode masa pemerintahan berikutnya, selain itu tidak sampai penuh nafsu berebutan dukungan rakyat atau Parpol dengan pesaing lain yang hendak tampil.

Parpol malah masih tetap saja bersifat sentralistik kebijakan politiknya di era yang sudah direformasi. Mereka masih menganut sistem kebijakan dan keputusan tersentral kepada lagalitas Pimpinan Pusat Partai dalam menentukan arah haluan politik khususnya untuk kepemimpinan di daerah. 


Baca juga ; 

Regulasi sistem perpolitikan tidak dibuat sendiri oleh pemerintah tetapi bersama Parpol, melalui keanggotaan legislatifnya di parlemen, alih-alih demokratis dan reformis, malah terjebak dalam praktek sentralistik atau memang juga disengajakan demikian.

Dukungan pemberian rekomendasi partainya kepada seseorang bakal calon, tetap saja memiliki borok kejahatan yang melukai nilai demokrasi. Parpol di tingkat daerah hanya berwenang menerima, menampung, menyeleksi bakal calon, selanjutnya elit Pimpinan Pusat Partai yang memutuskan. Proses tahapan yang malah “birokratis”, karena masih mempraktekkanny padahal itu salah satu musuh reformasi. Parpol harusnya  menjadi lembaga yang menjalankan nilai-nilai bijak demokrasi berupa kebebasan yang tidak bertele-tele dan tidak sentralistik, maupun tidak kapitalistik dalam politik. Moral Parpol diuji untuk ikut menyebarkan pendidikan politik yang bebas dari politik pragmatisme.

Dibalik keputusan dengan segala alasan rasional dan moral yang nampak dipermukaan, tersirat transaksi hitung-hitungan kapitalisasi nilai tawar. Ukurannya total jumlah kursi dirinci satuannya dengan besaran angka yang sangat elastis, berdasarkan kemampuan jaringan lobby dan kekuatan kantong para bakal calon. Hal ini tidak akan mungkin ada “berita”nya, tertutup dan sama-sama maklum.

Kesempatan bagi bakal calon perseorangan atau independen, dikesankan tidak berbeda kerepotannya dengan bakal calon melalui rekomendasi Parpol. Serba-serbi prasyarat yang harus dilewati dan hambatan tak terkira dan tidak mampu dilawan, menjadi alasan gagalkan peluang bakal calon perseorangan. 

Adanya kotak kosong merupakan fakta, telah terjadi praktek demokrasi transaksional dan oligarki. Silahkan saja dimaknai dengan bantahan dalam kepentingan menurut sudut pandang masing-masing, baik Personal calon maupun Parpol, sudah tentu akan menjadi bias dan silang pandang karena relatif pasti akan dirasionalkan dengan berbagai alasan pembenaran.

Pasangan calon tunggal yang akan melawan kotak kosong, rata-rata oleh orang atau pasangan yang sementara memegang tampuh jabatan pemerintahan daerah tersebut (incumbent atau disebut petahana)

Terdapat ada 11(sebelas) pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dalam Pilkada serentak 15 Januari 2017, yang merupakan calon tunggal, sehingga akan berhadapan dengan "Kotak Kosong". Salam satu pasangan calon tunggalnya antara lain di Kabupaten Maluku Tengan, Provinsi Maluku.




Peluang orang yang untuk berpartisipasi sebagai bakal calon kepala daerah, dihentikan hanya karena tidak memperoleh rekomendasi Parpol sebagai akibat aksi borong yang adalah oleh petahana hanya agar bisa menjadi pasangan calon tunggal. Disini, terjadi aksi  kuat-kuatan yang selalu memposisikan petahana sebagai unggulan dan hingga berhasil sebagai pemenangan perebutan hampir semua rekomendasi Parpol. Bila pun ada Parpol yang disisakan, dipastikan tidak akan mencukupi jumlah syarat minimal dukungan bagi bakal pasangan calon yang lain.

Aturan Undang-undang tidak membatasi prosentasi maksimal dukungan rekomendasi Parpol, kecuali syarat minimal. Peluang ini dimanfaatkan secara sengaja oleh penguasa tirani politik, dengan cara penguasaan Parpol. Demokrasi secara monopoli dimaknai dan dipraktekan dalam bahasa sistem yang diformalkan dengan aturan yang dikemas, seakan telah mewakili semua kepentingan bersama. Rambu-rambu dan perangkap yang membatasi pihak lain dan menyelamatkan kepentingannya dibuat samar dan malah multi-tafsir, sehingga ada ruang untuk menyekat dan membungkam suara berbeda secara sepihak, dengan pembenaran formal karena termaktub dalam aturan perundang-undangan.

Fenomena menarik terlihat dari “aksi borong” rekomendasi Parpol di pilkada  2017 - tentunya dengan modal besar,  ternyata dilakukan rata-rata oleh bakal calon incumbent. Adapun Parpol yang disisakan, tidak bakal cukup memenuhi prasyarat bagi bakal calon yang lain.

Kotak Kosong tidak “haram” bila simpulnya dimaknai sebagai bentuk kegagalan kepemimpinan pimpinan daerah, bersama dengan “mati rasa” moralitas politik elit Parpol oleh kegagalan fungsi dan peran kaderisasi, regenerasi dan pendidikan politiknya, sehingga tidak mampu menampilkan calon-calon  pemimpin baru sebagai representasi utuh hak politik masyarakat sipil yang makin berkualitas dari pilkada sebelumnya ke pilkada berikutnya.

Rakyat yang memiliki hak untuk dipilih tetapi kehilangan peluang, dan rakyat yang memiliki hak untuk pilih (rights to vote) tetapi tidak berkenaan memilih, sebab hanya 1(satu) pasangan calon, kini tersedia “permen” ruang demokrasi yang silahkan disuarakan aspirasinya melalui “aksi” memilih Kotak Kosong.

Perolehan suara Kotak Kosong 50% +(plus)1, maka pemilihan akan diulang, dengan pengajuan calon-calon lain yang baru. 
Selamat ber - DEMOKRASI !
Depok, 11 Nopember 2016

Thursday, July 28, 2016

POLITIK DINASTI DI MALUKU TENGAH DAN JEMBATAN KAWA-NUA

POLITIK DINASTI DI MALUKU TENGAH DAN JEMBATAN KAWA-NUA
Sungai Kawa-Nua dan jembatan yg tidak juga terselesaikan(Foto; Omar Silawane Juli 2016)

          Maluku Tengah merupakan wilayah pemerintahan tingkat kabupaten dan yang tertua di Provinsi Maluku. Kabupaten Maluku Tengah dalam perjalanan sejarah pemerintahan sebelumnya melingkupi mulai dari kepulauan Seram Laut, pulau Seram, hingga pulau Manipa, Kelang Buano, pulau Buru dan Ambalau, kepulauan Lease dan pulau Ambon, serta kepulauan Banda. Maha luas wilayah dengan segala kekayaan sumber daya alamnya, tetapi telat bangun dari tidur panjang akibat terbuai mimpi di tepi divan – tempat tidur, lalu ketika bangun malah terjatuh. Minim kreatifitas dan kepedulian, atau juga karena terbuai sifat “masa bodoh” oleh pemimpin daerahnya dari waktu ke waktu, hingga saat ini.

Masyarakat begitu dibutuhkan sangat saat adanya hajatan untuk memilih pemimpin kabupaten, yaitu Bupati serta Wakil Bupati, dan memilih para Wakil Rakyat Yang Terhormat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah - Kabupaten. Di setiap 5(lima) tahun secara rutin berlangsung “pesta” demokrasi sebagai proses menuju  perubahan tatanan kehidupan masyarakat melalui perwakilan yang terpilih. Cara baik penuh harapan dari rakyat dan impian yang dijanjikan para pemimpin diawal ketika menjelang saat menentukan pilihan kepada siapa hak berdemokrasi untuk perubahan nasib diserahkan, dan seterusnya menjadi kewajiban yang terpilih untuk diwujudkan.

Maluku Tengah adalah wilayah subur di daratan dan sebaran beragam isi aquarium pada laut-nya yang bening. Hanya boleh si buta dan yang karena keterbatasan salah satu panca-indera dan si bodoh dengan daya kerja otaknya yang lemah boleh bercerita salah bahwa daerah Maluku Tengah tidak mampu menghidupi masyarakatnya akibat gersang daratan dan kering lautnya.

Membandingkan hasil berdasarkan potensi kekayaan sumber daya dalam pengelolaannya secara periodik direntang waktu setelah orde reformasi 1998, saatnya melakukan hitung-hitungan rasional,  ketika sedang bersiap menuju pergantian kepemimpinan daerah untuk yang ke-4(empat) pada Pilkada tahun 2017.

Seperti apa hubungan antara dominasi kepemimpinan kabupaten Maluku Tengah dalam periodesasi panggung hajatan pesta politik dengan keberadaan jembatan sungai Kawa–Nua, yang terletak di kecamatan Tehoru dengan panjang hampir seribu meter dan merupakan jembatan terpanjang di Provinsi Maluku. Keberadaan jembatan terletak pada status jalan nasional jalur Trans Seram yang menghubungkan Kabupaten Maluku Tengah dengan Kabupaten Seram Bagian Timur di pulau Seram.

                                                            Jembatan Kawa-Nua 3(tiga) tahun lalu(Foto; Yan Sahetapi-Matakupang)

Jembatan Kawa-Nua adalah jembatan yang merentang di atas sungai Kawa dan sungai Nua, 2(dua) badan sungai berdampingan dan menyatu di bagian hilir tempat jembatan tersebut berada.  Kontur tanah tepian sungai datar dan luas. Kondisi demikian dibentuk oleh adanya sapuan air banjir saat musim hujan yang telah berlangsung ribuan tahun sebelumnya. Kedua sungai ini mengalirkan air dari hulu, menerima dan menampung arus deras aliran air dari gunung Binaiya dan sekitarnya. Kondisi di muara memang terbuka lebar, berbeda dengan  di bagian hulu yang cenderung menyempit. Bila letak jembatan agak ke hulu, mungkin tidak akan sepanjang seperti saat ini, akan tetapi makin menjauhkan jarak tempuh sebab kalau  ke hulu dulu berarti harus kearah barat lagi baru kembali ke arah timur. Terkecuali akses jalan dari arah barat dibuka mulai dari bagian utara kota Amahai dimana jalur tersebut harus memotong jalan lingkar melalui pesisir pantai selatan, sehingga sekaligus dapat memperpendek jarak tempuh dari Amahai menuju wilayah Telutih tidak lagi melalui Tehoru - kota kecamatan, dan jembatan pun tidak sepanjang seperti sekarang ini. Rentang kendali jarak dan waktu tempuh dipersingkat dari dan menuju kota Masohi, ibukota kabupaten dan kota Ambon, ibukota Provinsi Maluku. 

Tentu ide ini mungkin saja dianggap agak menyimpang, karena membutuhkan perencanaan tata ruang baru yang berdampak pada kebutuhan pembebasan lahan serta diikuti penyediaan anggaran pembangunannya, tetapi  bermanfaat untuk kemudahan akses dan menguntungkan untuk jangka panjang. Sebaliknya ketika mengamati  pola laku pembangunan pada pulau-pulau di Maluku, lebih khusus di pulau Seram, membayangkan ide dimaksud pun terasa berat, mengingat selama  ini ada kesan yang gampang saja sulit dilaksanakan, atau malah makin dipersulit yang gampang agar ada rutinitas yang menghasilkan. Sehingga ketika diperhadapkan untuk  melakukan program khususnya pembangunan infrastruktur yang sulit dan membutuhkan waktu penyelesaian yang lama selalu dihindari oleh para pejabat pemerintahannya.

Program pembangunan berorientasi hasil (Outcomes oriented programs), sebagaimana Road Map Reformasi Birokrasi secara Nasional, tidak dibaca lurus dan jujur untuk terwujudnya peningkatan sistem pemerintahan yang kuat dalam kualitas pelayanan dan kepercayaan publik, tetapi dipahami hanya demi kenyamanan intern birokrasi. Terciptalah pembenaran situasional atas kelemahan birokrasi dengan kalimat-kalimat manis bahwa pembangunan itu tidak segampang membalikkan telapak tangan. Apaan tuh….! 


Bahwa vitalnya fungsi jembatan Kawa-Nua, sepertinya bukan merupakan pertimbangan kontekstual program prioritas pembangunan bagi masyarakat di wilayah Teluk Telutih dan Seram Selatan umumnya. Tidak ada alasan rasional yang menunjukan adanya perhatian yang serius dan maksimal oleh pemerintah daerah khususnya kabupaten Maluku Tengah dan juga pemerintah Provinsi Maluku. Lamanya waktu penyelesaian jembatan Kawa-Nua yang telah lebih dari 10(sepuluh)tahun belum juga rampung hingga sekarang, mengindikasikan analisa demikian memang benar. Bukankah kepemimpinan yang di-estafet-kan dalam kedekatan keluarga, baik pada kepemimpinan di daerah Maluku Tengah, dan dengan disempurnakan anggota keluarga lain menjadi anggota perwakilan rakyat di badan legislatif tingkat pusat, menjadi mudah untuk merealisasi usulan anggaran pembangunan jembatan dimaksud. Tentu membutuhkan penjelasan rasional dan cerdas untuk menjawab tanda tanya masyarakat, yang telah mempercayakan amanat kepentingannya menjadi tanggung jawab yang mewakili untuk diperjuangkan dan dibuktikan sebagaimana mestinya.

Kepemimpinan lima tahunan Kabupaten Maluku Tengah di tiga periode terakhir, terekam dengan baik dalam pikiran dan benak masyarakat, bahwa masih setia didominasi secara masif oleh sebuah “dinasti” keluarga, baik untuk jabatan Bupati maupun perwakilan aspirasi masyarakat Maluku Tengah di lembaga politik tingkat pusat. Seharusnya tidak  menjadi sesuatu yang diperdebatkan, apabila terbaca ada kesungguhan berbuat atas penerimaan kepercayaan benar-benar dapat dijawab, melalui bukti perubahan yang dirasakan dan disaksikan lebih  maju  dan lebih baik. Terutama kebutuhan akan kemudahan akses dan kemurahan menjangkau keinginan menuju perbaikan kehidupan, melalui penyediaan pelayanan apapun yang menjadi urusan pemerintahan. Bukannya selembar rupiah dan segepok janji manis seakan itu kebaikan yang sering terjadi disaat membutuhkan dukungan masyarakat, setelah itu kembali ke masing-masing urusan tanpa saling perduli, bak dunia auto pilot.

“Dinasti” pemerintahan pada eksekutif dan legislatif di Maluku Tengah, seharusnya menjadi cara mudah menindak-lanjuti dan menyelesaikan perihal “pekerjaan rumah” pemerintahan sebelumnya. Dengan adanya kedekatan dalam keluarga mudah memuluskan hambatan politik dan komunikasi terhadap kepentingan perjuangan mendapatkan besaran porsi anggaran  pembangunan dari pemerintah pusat kepada kabupaten Maluku Tengah secara maksimal sesuai kebutuhan dari tahun ke tahun. Selain bersama saling bantu dalam kesatuan pikiran memperbesar peluang daerah meningkatkan kemampuan menghidupi diri sendiri, dengan sumber penerimaan asli daerah.  

Kemampuan memajukan ekonomi melalui pengembangan pengelolaan sumber daya alam tidak semata menguras dari dan mengandalkan hasil penerimaan dari kekayaan secara mentah, menunjukan kecerdasan yang kreatif pemerintah daerah dalam memperlakukan ketersediaan kekayaan yang dimiliki.

Maluku Tengah terlalu kaya untuk jatuh miskin, sengsara dan bodoh, bila saat ini terjadi demikian, maka itu bencana yang disengaja akibat salah urus dan minim kepedulian pemerintahannya.

Kabupaten Maluku Tengah dari waktu ke waktu, makin tertinggal dalam laju pembangunan dibandingkan dengan daerah kabupaten baru yang sebelumnya menjadi bagian integral dalam satu daerah bersama. Setelah pemekaran Kabupaten Maluku, wilayah yang berpisah untuk mengurus daerah sendiri, makin menunjukan kemajuan dan perubahan berarti. Bukti alasan pemekaran menunjukan ada yang salah atau terabaikan saat masih bergabung. Rentang kendali wilayah sebagai isu dominan dalam alasan pemekaran.Setidaknya infrastruktur sebagai sarana mempermudah lalulintas masyarakat dari dan menuju Telutih serta kabupaten Seram Bagian Timur - sebagai contoh sederhana tapi penting, terhambat oleh pembangunan jembatan Kawa-Nua yang telah lebih dari sepuluh tahun, masih belum dapat dipergunakan akibat belum selesai dikerjakan. Masyarakat pun kehilangan cara untuk meneriakkan sakit dan kekecewaannya, cenderung diam dalam kesengsaraannya.

Alasan pembiayaan melalui sistem bertahap penganggaran pembangunan - multi years, harusnya bukan berarti dengan mencicil anggaran sesuka hati dan seadanya tanpa target dan batas waktu maksimal, yang demikian itu namanya “hanya terima nasib”. Selain itu ada kesan ketidak-perdulian pemerintah daerah terhadap kebutuhan dan kepentingan rakyat khususnya masyarakat di wilayah teluk Telutih, pulau Seram bagian selatan. Wilayah Telutih adalah daerah yang pernah berjaya diakhir tahun 60-an hingga akhir tahun 80-an oleh hasil bumi komoditi cengkeh dengan kualitas terbaik di dunia.  

Kebaikan masyarakat melalui aspirasi dalam demokrasi yang dijunjung, adalah kesetiaan dari penerima dan pembawanya untuk tidak bersikap hianat dengan sengaja mengabaikan kewajibannya terhadap pemilik dan pemberi hak suara. Kepercayaan masyarakat berubah hanya ketika kesetiaan pada janji diingkari, teriakan atas kebutuhannya diabaikan. Jangan juga pernah menjadikan suara rakyat sedapat hanya bisa menjanjikan diawal saat perlu didukung dan dipilih pada musim kampanye hajatan politik, setelah itu berbalik badan melangkah dan berbuat semau pikiran demi kepentingan sendiri. Itu menyakiti nurani masyarakat dan menciderai demokrasi yang diagungkan sebagai cara cerdas mekanisme politik guna pengelolaan sistem pemerintahan yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.

Bilakah ada kandidat yang mau bertaruh janji menyelesaikan jembatan Kawa-Nua dalam hajatan Pilkada Kabupaten Maluku Tengah di tahun 2017, untuk terselesaikan sebelum pergantian tahun menjadi tahun 2018, atau incumbent “dinasti” akan segera menyelesaikannya segera sebelum berlaga kembali untuk melanjutkan kekuasaannya ke periode kedua. Masyarakat menunggu kenyataan, bukan menanti keajaiban. Yang merasa, selesaikanlah segera jembatan sungai kembar Kawa - Nua, suara mayoritas masyarakat Teluk Telutih untuk sang kandidat menunggunya.

Depok, 24 Juli 2016

M. Thaha Pattiiha

Tuesday, June 7, 2016

MALUKU, PETA DUNIA DAN NEGARA INDONESIA

MALUKU, PETA DUNIA DAN NEGARA INDONESIA, ”The Islands of Spices” (Kepulauan Rempah-rempah) MALUKU



















          Sejarah dunia tidak dapat dilepas-pisahkan dari perjalanan bangsa-bangsa penguasa dunia dengan berbagai kisah kehidupan dan kebudayaan masyarakatnya, bermula dengan imperium kerajaan-kerajaan besar di benua Asia, Afrika dan Eropa sejak masa sebelum masehi, hingga abad pertengahan dan hingga mencapai awal abad ke-20 yang ditandai sebagai abad dunia modern.

Kisah kejayaan dan kehancuran kerajaan bangsa-bangsa di dunia, tidak terlepas dari perseteruan saling menundukkan, menguasai, memperebutkan, dan memperluas kekuasaan atas wilayah-wilayah yang memiliki sumber daya, baik kekayaan alam maupun sumber daya lainnya, guna memperkuat kepentingan dan kelangsungan hidup kerajaan serta  rakyatnya, atau selain semata hanya memenuhi keinginan dan nafsu sang raja atau penguasa kerajaan. Hal penting yang menjadi alasan, kenapa kemudian bangsa-bangsa di benua biru Eropa yang geografinya sangat terbatas persediaan sumber daya alamnya, begitu bernafsu mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah lain di muka bumi melalui ekspansi secara besar-besaran untuk kemudian menguasai dengan berbagai cara termasuk cara kekerasan.

Cengkeh dan pala adalah komoditi pangan jenis rempah-rempah, boleh jadi telah dikenal dan dikonsumsi sejak lama oleh bangsa-bangsa Eropa, tetapi mereka harus membayar mahal untuk mendapatkannya. Sehingga usaha luar biasa dilakukan untuk mengarung samudera, bertaruh nyawa dan kemampuan navigasi demi mencari sampai dapat menemukan di mana adanya wilayah yang menghasilkan komoditas dimaksud.


ØPeta Dunia dikenal karena Maluku

          The Islands of Spices’ (Pulau Rempah-rempah), negeri rempah-rempah cengkeh dan pala, di dunia hanya ada di Maluku. Karena Maluku, bangsa Eropa berlomba ilmu pengetahuan tentang geografi untuk membaca posisi bumi, dan keahlian memodernkan armada kapal layarnya untuk bisa mengarungi laut dan mentaklukan samudera. Hingga bertemulah mereka dengan benua milik bangsa Indian – Amerika sekarang, yang seharusnya bukan itu tujuan awal yang direncanakan armada pimpinan Christoper Colombus dari Spanyol. Armada Portogis pimpinan Vasco Da Gama yang kemudian paling awal berhasil menemukan anak benua Asia - India, yang merupakan tujuan awal Chritoper Columbus seharusnya. 

Jauh waktu sebelumnya pada awal abad ke-13 Marco Polo, pelaut avounturir asal Italia Marco Polo telah sampai di Nusantara tetapi hanya berakhir di daratan Tiongkok. Bahkan hingga akhirnya bangsa-bangsa Eropa menemui benua Aborigin - Australia untuk kemudian dicopy paste dari benua biru Eropa di barat menjadi benua biru Eropa di timur, juga tidak dalam keinginan apalagi rencana.

Sebabnya adalah ribuan tahun bangsa Eropa “tertipu” bangsa lain – China dan lalu Arab, atas mahalnya harga komoditas rempah-rempah cengkeh dan pala (selain rempah-rempah seperti lada hitam, kayu manis, dan lain-lain). Nyatanya dua jenis rempah-rempah ini, terutama cengkeh, ukuran sekantong atau segenggam cengkeh sama nilainya dengan emas ukuran yang sama pada saat itu di daratan benua bangsa Eropa.

Peta dunia kemudian harus berubah “gara-gara” cengkeh dan pala. Maluku menjadi incaran bangsa-bangsa Eropa, tetapi dengan begitu bumi dipastikan ternyata bentuknya bulat – sempurna, itu mungkin saja karena Maluku. Inilah Maluku di pentas dunia, secara global lautan dan samudera serta daratan bumi di menjadi saling tersambung, oleh sebab usaha menemukan keberadaan rempah-rempah cengkeh dan pala yang di dunia hanya ada di kepulauan Maluku.

Mendahului bangsa-bangsa Eropa, China adalah yang pertama dan terlama mengeksploitasi rempah-rempah di Maluku, kemudian diikuti bangsa Gujarat – India, lalu  bangsa Arab yang memperkenalkan dengan harga selangit kepada bangsa-bangsa di benua Eropa.

Terdapat beberapa catatan sejarah yang menginformasikan dan menerangkan, akan adanya penggunaan rempah-rempah jauh sebelum era peradaban modern, baik di zaman kekaisaran, maupun kerajaan-kerajaan besar dunia di masa-masa sebelum masehi. Apakah rempah-rempah tersebut, dimaksudkan adalah cengkeh dan pala, masih harus dibuktikan kebenarannya.

Setidaknya, cengkeh dan pala telah lama dimanfaatkan oleh bangsa lain adalah bangsa China, sebagai yang paling awal di Maluku dan membarter komoditas tersebut dengan barang-barang keramik berupa alat makan dan minum. Praktek transaksi model kuno untuk keinginan saling memiliki sesuatu antara satu atau lebih dengan orang yang lain, sudah terjadi pada Suku-bangsa Alifuru – penduduk asli wilayah kepulauan yang sekarang bernama Maluku (dan Maluku Utara).

Bangsa Arab – selain India, mengenal cengkeh dan pala berawal dari bangsa China dalam mata rantai perdagangan benua Asia Raya melalui apa yang disebut Jalur Sutra. Jalur yang membentang dari China di Asia timur,  melewati anak benua – India, dan Asia Tengah hingga Persia dan Arab di bagian Asia Barat atau Timur Tengah.  

Kebutuhan bangsa-bangsa Eropa terhadap rempah-rempah, mengakibatkan permintaan terus meningkat, akan tetapi karena pasokan yang terbatas membuat harga menjadi sangat mahal. Hal ini menjadi pemicu bangsa–bangsa Eropa mencari jalan sendiri menuju wilayah dimana rempah-rempah tersebut berada, hingga bertemulah mereka dengan The Island of Spices’ (Pulau Rempah-rempah) Maluku. Wilayah pertemuan yang menyatukan samudera Hindia dan samudera, serta kepulauan tempat bertemunya belahan bumi utara dan selatan, yang dilalui oleh garis khayal “Wallace’s line”, dibuat oleh seorang Peneliti Inggris bernama Alfred R. Wallace pada abad ke-19( Malay Archipelago 1869), untuk memisahkan jenis flora dan fauna Asia dari flora dan fauna Australia yang unik juga eksotis dan tidak ditemukan di belahan lain bumi.

Kepulauan Maluku dengan kekayaan alamnya, yang menjadikan sejarah perjalanan ummat manusia di muka bumi terhubung antar benua dan merubah peta perpolitikkan shahwat kekuasaan meluas hingga ke ujung bumi, selain kemudian menyimpulkan bahwa bumi ternyata bentuknya bulat. Keinginan menguasai bangsa lain dan merampok sumber daya kekayaan alamnya, merebak dimana-nama oleh bangsa kulit putih Eropa.

Catatan sejarah peradaban ummat manusia berubah disebabkan oleh kekayaan alam kepulauan Maluku yaitu rempah-rempah bunga cengkeh dan buah pala, dua dari banyaknya ragam komoditi sumber daya alam yang tersedia di bumi Maluku.

Negara Portogis yang paling awal membuat jejar pelayaran dan menginspirasi bangsa Eropa untuk menantang gelobang, menembus samudera, agar bisa menemukan wilayah entah di mana yang di sebut “kepulauan rempah-rempah”, selain anak benua India unuk jenis rempah-rempah yang lain.

Bangsa Portogis yang sudah sejak awal abad XV melalui Henry sang Navigator telah menjelajahi bagian utara benua Afrika. Bermodalkan pengalaman itu pada tahun 1488, armada ekspedisi pimpinan Bartolomeu Dias mencoba berlayar mengelilingi benua Afrika dan berhasil melintasi untuk pertama kalinya Tanjung Harapan. Kemudian pada tahun 1497, atas perintah Raja  Portogis Manuel I, Vaco da Gama sebagai navigator memimpin armada empat buah kapal berlayar melewati Tanjung Harapan – Benua Afrika, untuk menuju pantai timur benua Afrika dan selanjutnya melalui Samudera Hindia menuju Kalkuta, wilayah selatan Hindustan, anak benua – India, dan tiba tahun 1498. Selanjutnya pada tahun 1511, ekspedisi Portugis pimpinan Alfonso d’Albuquerque berhasil mencapai sekaligus menaklukkan Malaka.

Dari sana, mereka menuju Maluku dan diterima oleh raja Ternate saat itu dan diperkenankan berdagang dan bahkan diijinkan membangun benteng pertamanya di Ternate.

Sedangkan Chritoper Columbus  berlayar ke arah barat dan hanya menemukan San Salvador, dia gagal menemukan anak benua India yang menjadi tujuannya semula. Baru kemudian armada Spanyol pimpinan Ferdinand Magelhaens pada tahun 1519, sampai di Tidore Maluku, tetapi melalui jalur Samudera Atlantik dan melewati ujung Amerika Selatan dan samudera Pasifik hingga tahun 1521 mereka tiba di Philipina tetapi Magelhaens terbunuh saat bertemu dengan perang antar suku di Cebu. Lalu posisinya diganti oleh Del Cano.  Dalam perjalanan kembali ke Spanyol, mereka singgah di Tidore lalu menjalin kerja sama dengan Tidore. Kerja sama itu tidak hanya dalam hal perdagangan, tetapi juga dengan mendirikan benteng Spanyol. Sementara itu, Portugis yang membuka kantor dagangnya di Ternate merasa terancam dengan hadirnya Spanyol di Tidore, hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Tidore dan Ternate telah lama bermusuhan. Atas alasan ini, Portugis kemudian merebut Benteng Spanyol di Tidore. Portugis dan Spanyol akhirnya mengadakan perjanjian yang disebut Perjanjian Saragosa dengan perantara oleh Paus di Roma. Dengan isi perjanjian yaitu ;  Daerah kekuasaan dan pelayaran Portugis adalah dari Brazilia ke Timur sampai Halmahera (Maluku), dan Spanyol berkuasa atas Mexico ke Barat terus sampai Phillpin. Sehingga akhirnya Maluku dikuasai Portugis sedangkan Philipin dikuasai Sepanyol.

Portogis menjadi bangsa Eropa pertama yang berhasil tiba di Maluku, baru kemudian berturut-turut Spanyol, Inggris, lalu Belanda, yang kemudian hari merubah wajah perjalanan sejarah kepulauan Maluku dan kepulauan di Nusantara  berbentuk sebuah negara bernama Indonesia.

Catatan sejarah panjang perjalanan para penakluk laut dan samudera yang semula demi kepentingan ekonomi, yaitu mencari untuk menemukan kepulauan rempah-rempah. Pada akhirnya berhasil menemukan, membuka dan membentangkan jalur perhubungan antar satu benua dengan benua lain sekaligus memperoleh ilmu dan pengetahuan tentang muka bumi.

Kepulauan itu bernama Maluku, telah dikenal dunia sejak ribuan tahun yang lalu. Ini menjadi modal sejarah masa lalu, untuk dibangkitkan kembali, sebagai jembatan masa depan yang dapat diandalkan untuk menjalin hubungan persahabatan guna kepentingan ekonomi daerah dan kesejahteraan sosial Maluku. Kenapa diabaikan dan tidak dimanfaatkan ?


ØMaluku dan Negara Indonesia

          Maluku lahir dalam satu kesatuan kepulauan yang terbentang dari pulau Morotai di utara hingga pulau Wetar di selatan, dengan penduduk pemukim awal adalah suku-bangsa Alifuru. Tidak ada catatan sejarah awal berarti dari keberadaan hubungannya dengan adanya kerajaan-kerajaan besar yang terbentuk di wilayah barat Nusantara, seperti Singosari, Majapahit, Pasundan atau Sriwijaya pada masa sebelum kehadiran bangsa-bangsa Eropa.

Maluku dengan suku-bangsa Alifuru-nya, seperti wilayah bebas nilai dan tidak terjangkau atau terkuasai oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Hingga kehadiran bangsa Eropa pada awal abad ke-16 Masehi, baru kemudian ramai terjadi penghubungan wilayah dalam kaitan dengan lalulintas invasi penguasaan wilayah jajahan selain Maluku dan pengangkutan rempah dari Maluku menuju Eropa. Bahkan hingga keberadaan kerajaan-kerajaan yang terbangun di Maluku, seperti kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Moro dan Lolodan di bagian utara dan kerajaan kecil lain di bagian tengah dan selatan, sangat sedikit adanya informasi tentang sejarah Maluku awal. Hingga adanya bangsa Eropa, sejarah tentang Maluku barulah ditulis, sekalipun itu hanya sepihak dalam kepentingan sejarah politik penjajah atas tanah jajahannya.

Orang Maluku baru mengetahui ada Sumpah Palapa oleh Gajah Mada - Pati kerajaan Majapahit,  yang sumpahnya bermaksud menyatukan seluruh kepulauan di Nusantara, setelah Indonesia terbentuk sebagai sebuah negara dan merdeka dari bangsa-bangsa kolonial Eropa dan Jepang. Namun demikian, kehadiran dan keberadaan bangsa Eropa di Maluku yang kemudian bersikap menguasai dan semena-mena terhadap suku-bangsa Alifuru atau penduduk Maluku, telah menimbulkan perlawanan berarti dan patut ditulis menjadi catatan sejarah heroisme mempertahankan dan mengusir pergi bangsa pendatang.

Secara sporadis dan lokal Orang Maluku berperang dengan penjajah sejak awal mula kehadiran bangsa Portogis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Peperangan  pernah terjadi antara Kerajaan Ternate dan Portogis oleh Sultan Hairun, lalu dilanjutkan putranya Sultan Babullah antara tahun 1563 – 1575.  Juga oleh kerajaan Tidore dan Jailolo, di utara dan Kerajaan Iha – Saparua, sebagai salahsatu perwakilan kerajaan Ternate di Maluku bagian Selatan juga tidak luput dari peperangan yang juga dengan Portogis. Kerajaan Hitu juga berperang dengan Portogis, bahkan juga perang  dengan Belanda yang dikomandoi Kapitan Ulupaha, dimana hampir bersamaan waktunya dengan pecahnya perang penyerangan benteng Durstede di pulau Saparua pimpinan Kapitan Pattimura. Perang di ujung barat pulau Seram – Huamual, dengan Belanda, adalah peperangan beruntun yang terjadi hingga penghujung tahun 1817, juga menjadi bagian dari perang Hongi di bagian tengah-selatan kepulauan Maluku.  

Peperangan-peperangan tersebut, dan tentu masih banyak lagi, adalah bukti yang menunjukan perlawanan orang Maluku mempertahankan atau merebut kembali kekuasaan atas tanah airnya. Kemenangan dan kekalahan silih berganti, menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah heroik masa lalu Orang Maluku.

Wilayah kepulauan Maluku berada pada gugus kepulauan Nusantara bagian paling timur bersama pulau dan kepulauan Papua, sedangkan kearah barat hingga pulau Sumatera. Gugus kepulauan inilah pada akhirnya jatuh dalam cengkeraman kekuasaan dan eksploitasi luar biasa bangsa-bangsa Eropa umumnya, dan khususnya bangsa Belanda yang terlama menguasai kepulauan Nusantara selama 350 tahun hingga tahun 1942 dengan masuknya penjajah bangsa Jepang yang berakhir di tahun 1945, dengan diproklamirkan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka berbentuk Negara Republik berbasis kesatuan gugus kepulauan Nusantara pada tanggal 17 Agustus 1945.

Maluku telah berperan penting menjadikan wilayah kepulauan Nusantara saling terhubung  dalam satu kesatuan yang kemudian membentuk sebuah negara yang hari ini bernama Indonesia. Sejarah terbentuknya negara Republik Indonesia, Maluku adalah bagian penting dari salah satu pondasi sekaligus menjadi pilar utama terbentuknya negara merdeka bernama Republik Indonesia,  dan Maluku dikukuhkan sebagai salah satu provinsi bagian dari negara ini, hanya dua hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan atas nama bangsa Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Menteng Jakarta.


ØIndonesia adalah Maluku

          Kita telah sepakat menjadikan Indonesia sebagai negara yang juga milik Orang Maluku. Tetapi amat sangat rugi bila kenyataannya negara Indonesia seperti menafikan dan mengabaikan keberadaan Maluku, provinsi tua seumur negara Indonesia.

70 Tahun sudah Indonesia sebagai negara merdeka dan telah berkembang maju dengan pencapaian-pencapaian berbagai prestasi pembangunan, setidaknya sudah ada perubahan yang terlihat. Hanya saja porsi keadilan dalam pemerataan terkesan, Maluku diabaikan. Bukti perbandingannya secara kasat mata dan pikiran, begitu pesat perkembangan pembangunan dan kemajuan terlihat terbentang lebih terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia. Kesan pengabaian menjadi terbetik oleh pertanyaan atas kenyataan bahwa Maluku bukan wilayah tandus sumber daya alam. Eksploitasi berpayung otoritas pemerintah pusat atas sumber daya alam Maluku, telah lama berlangsung dan tentu tidak terkira nilainya bagi kas negara Indonesia. Itu satu hal, yang lain adalah kontribusi Maluku sebelumnya sebagaimana yang disampaikan di atas. 

Bahwa Indonesia hari ini, sebelumnya hanya adalah kepulauan di antara dua benua dengan penguasa oleh kerajaan-kerajaan kecil dan sifatnya lokal masing-masing pulau, kemudian menjadi terbuka kepulauannya dan dikenal dunia secara luas oleh adanya eksploitasi bangsa lain dari Eropa karena mencari wilayah kepulauan Maluku. Baru selanjutnya sejarah berubah oleh penderitaan oleh ketertindasan bersama menjadi semangat pengukuhan jati diri atas kepemilikan,  lalu terbangun melalui perlawanan lokal di wilayah pulau dan kepulauan, terhubung menjadi satu kesatuan pendapat dan bersepakat menjadikannya sebuah negara bersama.

Strip early spice trade
   Strip early spice trade

Mau apalagi harus yang mesti dilakukan, untuk mendapatkan perhatian lebih pihak berwenang negara, agar secara sungguh-sungguh dan benar-benar memperhatikan Maluku, melalui porsi pembangunan dan kebijakan politik yang lebih proporsional dan rasional menurut pandangan Orang Maluku, bukan se-pihak atau sedapat apa adanya oleh pemerintah pusat sebagai penanggung jawab dan penentu pelaksanaan pembangunan negara.

Ketika mengetahui Maluku adalah  provinsi paling miskin di Indonesia pada urutan ke-4 dalam data statistik tahun 2014, beta tidak marah karena kecewa, malah tertawa terbahak-bahak karena mendapatkan kenyataan bahwa laut, daratan dan alam Maluku masih segar-bugar dengan ketersediaan sumber dayanya, walau itupun sudah lama dikuras. Suatu lelucon oleh angka dari data statistik yang sangat melawan akal sehat dan menimbulkan pertanyaan besar, mengapa demikian.  

Kemiskinan di Maluku adalah kemiskinan struktural, oleh adanya unsur pembiaran dengan sengaja. Masyarakat memiliki barang tetapi tidak bisa menjadikannya bernilai uang. Setidaknya komoditi yang dulu lebih mahal dari emas ; cengkeh dan pala, hampir menjadi barang “sampah” saat ini, oleh ketiadaan proteksi dan inovasi kebijakan secara kreatif pihak berwenang, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Belum lagi komoditi hasil usaha lain dari pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan maupun usaha kelautan, hasil panen atau tangkapan yang sudah tidak seberapa disebabkan masih bersifat tradisional baik cara maupun sarana, kemudian hanya bisa dijual murah dengan harga ditentukan tengkulak, selebihnya dibagikan gratis. Akses pasar sangat terbatas oleh kendala sarana, prasarana transportasi, biaya ongkos yang mahal oleh jauhnya jarak tempuh, serta kendala alam.

Kemiskinan adalah bencana sosial dan politik bagi daerah Maluku dan negara Indonesia, karena bukanlah suatu musibah kemanusiaan, tetapi akibat ketidakseimbangan dan keadilan dalam pemerataan membagi kebutuhan kue pembangunan. Butuh perhatian yang lebih dan sangat serius menyikapi kondisi predikat miskin. Sudah seharusnya tidak dibiarkan kondisi sedemikian terus seperti itu berlama-lama, sebab akan memunculkan peluang tumbuhnya benih kecemburuan sosial secara local, antara wilayah, dan mungkin saja berkembang hingga menghadirkan isu dan pertanyaan yang lebih meluas terhadap perlu atau tidak perlukah kehadiran negara – Indonesia, di Maluku.

Route of Cavendish's circumnavigation of the globe
Route of Cavendish's circumnavigation of the globe
http://www.transpacificproject.com/index.php/european-exploration-and-colonization/

Maluku belum lepas tuntas dari impian sebagian orang akan kemandirian terpisah dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Jargon “mena muria” dengan lambang kebanggaan berwarna “benang raja-pelangi”, masih mengakar di sebagian jiwa dan pikiran orang Maluku. Dianggap Separatis dalam jastifikasi negara, sebaliknya pejuang dalam impian sang pemimpi, yang tidak bakal lenyap bahkan lebih tersulut bilamana kehadiran negara dirasa sepi dan percuma.

Peristiwa tarian cakalele berbendera pelangi di lapangan Merdeka kota Ambon pada peringatan Hari Keluarga Nasional bulan Juni 2002, terjadi dihadapan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan pejabat negara lainnya. Bukti impian itu masih ada, tetapi bukan berarti tidak bisa dihapus. Bisa, menghapusnya dengan kesejahteraan. Orang sejahtera pasti kenyang, orang susah selalu lapar, akhirnya kalap.

Negara dalam memandang dan memperlakukan Maluku harus lebih “khusus”, sekalipun tidak harus sama sebagaimana Papua, Aceh atau Yokjakarta, tetapi memiliki nilai lebih – plus, dari daerah lain. Berupa ruang akses yang lebih leluasa untuk politik anggaran dan regulasi kebijakan pembangunan sebagai wilayah provinsi berbasis kepulauan yang memiliki spesifikasi rentang kendali wilayah laut terluas di Indonesia. Sedemikian juga Pemerintahan di Maluku pun jangan seperti perahu yang kehilangan layar, bahkan kehilangan kemudi di tengah laut Banda. Menyerahkan nasib hanya kepada arus kemana terbawa, harus bersikap tanggap dan kreatif membangun sinergi kekuatan dengan seluruh komponen Orang Maluku di daerah maupun di luar daerah Maluku untuk lebih berdaya dalam posisi tawar dengan pemerintah pusat. Bukan lagi asyik dengan diri sendiri seakan paling bisa dan merasa sudah maksimal berbuat, pada kenyataannya data statistik tingkat kehidupan masyarakat masih terseok-seok dan begitu berat menapak menuju puncak kesejahteraan.

Porsi pemerataan pembangunan mesti dibuat seadil-adilnya oleh Pemerintah Pusat, dan pemerintah daerah Maluku harus mereformasi mental aparatnya dan tata kelola pemerintahan daerah, guna mempercepat kepastian kesejahteraan masyarakatnya, dan jangan malu melibatkan segenap potensi Sumber Daya Manusia (SDM) Orang Maluku, sebagai kekuatan agar lebih berdaya, guna menjadikan masyarakat Maluku di hari esok lebih baik dari hari ini.

Depok, 08 Juni 2016
M. Thaha Pattiiha )*
-----------------------------------
               )* ‘Orang Maluku’,  berdomisili di Kota Depok
                Catatan ;
-   Referensi sejarah dan informasi dari berbagai sumber.
-   Tulisan ini diperuntukan sebagai masukan dalam Mubes Mama (Musyawarah Besar Masyarakat Maluku) yang berlangsung 27 Oktober 2015 lalu.
                 tetapi karena setelah diamati Mubes tersebut(Penulis hadir di kota Ambon), sepertinya hanya “basa-basi politik”, sehingga urung dipublikasikan saat itu