Alifuru Supamaraina: November 2018

Friday, November 30, 2018

Kehendak Anak Maluku, Catatan Terlupakan Dari Mubes Mama 2015

Oleh ;   M. Thaha Pattiiha
Musyawarah Besar Masyarakat Maluku (Mubes MAMA)

Maluku, "Mutiara" Indonesia (Foto Ilustrasi ; Dokumentasi Pribadi)

          Disengaja atau tidak, tetapi mungkin hanya sedikit orang Maluku yang sempat masih ingat, bahwa di kota Ambon pernah ada hajatan besar yang dikatakan menjadi momen luarbiasa segenap anak Maluku. Mereka berkumpul dan bersepakat untuk menuangkan isi hati dan pikirannya tentang apa dan bagaimana Maluku ke depan. Tiga tahun berlalu, Musyawarah Besar Masyarakat Maluku (Mubes MAMA) dengan tema yang “heboh”, yakni "Masa Depan Maluku Yang Bermartabat Dan Berkeadilan", yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Maluku tanggal 25 - 26 November 2015 di Kota Ambon. Perlakuan yang tidak adil dan proporsional dalam banyak hal yang menyebabkan keresahan dan ketidakpuasan terhadap kondisi Maluku. Hal tersebut dapat dibaca dari agenda diselenggarakannya musyawarah dimaksud, serta sebagai alasan – menurut Pemda, sehingga perlu menghimpun segenap masyarakat Maluku dalam suatu forum bersama. Tujuannya untuk bersepakat menakar dan memohon kepada Pemerintah Pusat(Pempus), agar bisa berubah perlakuan Pempus kepada Provinsi Maluku. Apakah kemudian hasil Mubes Mama terbukti secara pantas telah dianggap atau sudah ditanggapi secara positif dan nyata oleh Pemerintah Pusat?


Ole-ole dari Mubes Mama 2015

          Sebagaimana penjelasan dari Sekretaris Panitia Mubes Mama, Cak Saimima (Tribune-Maluku.com), yang menyatakan penyelenggaraan Mubes Mama guna mengkonsolidasikan wawasan keMalukuan dalam realitas kebhinekaan negara kesatuan republik Indonesia dan memperjuangkan keadilan dalam pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial. Untuk itu perlu dilayangkan protes keras kepada pemerintah Pusat atas pengabaian terhadap pembangunan Maluku selama ini. Selain itu, Mubes Mama ditujukan untuk mengakomodasi desakan kepada Pempus untuk memberikan kewenangan Otonomi Kepulauan dan pengakuan pemerintah pusat terhadap Provinsi Kepulauan, realisasi Lumbung Ikan Nasional (LIN), serta hak PI 10 persen Blok Migas Marsela.

Pembukaan acara musyawarah sekaligus mendengarkan pidato motivasi dari Wakil Presiden Republik Indonesia M. Jusuf Kalla. Materi untuk sesi ceramah menampilkan nara sumber  Menteri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Panjaitan. Kutipan dari M. Jusuf Kalla ; "Mubes MAMA ini harus menjadi alat perjuangan sekaligus cita-cita bersama seluruh anak Maluku untuk mengembalikan lagi keharuman dan kejayaan masa lalu daerah ini, di masa akan datang” (www.antaranews.com). Mengingatkan tentang masa lalu, untuk dikembalikan di masa “akan datang”. Ya, akan datang, tentang ruang waktu untuk sesuatu yang tentu tidak segera besok atau lusa, setahun atau dua tahun. Pidato hebat yang tidak sekadar hitamputih memahaminnya, karena sebagai wakil pemegang kuasa pemerintahan pemerintah pusat, itu cukup politis.

Diberitakan, komponen masyarakat Maluku yang menjadi peserta musyawarah seakan-akan telah terwakili secara utuh dan paripurna. Perwakilan yang menjadi peserta berasal dari 11(sebelas) kabupaten/kota di Provinsi Maluku dan perwakilan masyarakat Maluku dari atau yang berdomisili di luar Provinsi Maluku, di 34 Provinsi dalam negeri negara Indonesia maupun yang di luar negeri. Tentu sangat tanggung untuk dikatakan tidak sempurna. Kriteria perwakilan pun sepertinya samar syarat-syaratnya, sehingga siapa mewakili siapa, apa, mengapa dan bagaimana bisa mewakili, menjadi rana buram yang kemudian hilang penjelasannya oleh pergantian waktu. Apalagi kegiatan dimaksud diinisiasi oleh Gubernur Maluku Said Assagaff - Pemda Provinsi Maluku, dan tentu telah menggunakan dan menghabiskan anggaran belanja yang tidak sedikit yang berasal dari dana kas daerah, jelas itu uang milik bersama seluruh rakyat Maluku yang harusnya terukur manfaat dan dipastikan mendapat hasil nyata.

Niat baik Mubes Mama “mungkin” simpulnya untuk membangun sinergitas antara segenap komponen masyarakat Maluku bersama Pemda Provinsi Maluku, dalam satu pandangan dan sikap bersama berupa visi dan misi serta penegaskan keinginan dan kepentingan Maluku. Setidaknya untuk hasil musyawarah, ada keinginan yang kuat dari peserta untuk mengakomodir suara-suara ketidakpuasan umumnya masyarakat Maluku terhadap perlakuan tidak adil oleh Pempus terhadap Maluku. “Ole-ole” – buah tangan, dari Mubes Mama adalah 7(Tujuh) Kehendak Anak Negeri Maluku (www.antaranews.com), yakni ;

1. Bertekad terus membangun, mempertahankan dan mengembangkan semangat soliditas    pro hidup antarsesama warga, terutama sesama anak negeri Maluku. 
2. Kami bertekad berjuang dengan serius dan terus mendesak pemerintah RI agar memberikan perlakuan yang adil kepada daerah dan anak Negeri Maluku melalui kebijakan pembangunan nasional yang sesuai dengan kondisi objektif provinsi Maluku yakni sebagai wilayah berakarkter kepulauan dan kelautan.
3.   Bertekad berjuang dan mendesak pemerintah RI untuk secara adil dan bijaksana mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterlibatan anak Negeri Maluku dalam penyelenggaraan kepemimpinan negara pada semua bidang di tingkat pusat. 
4.   Mendesak pemerintah RI, DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk sesegara mungkin membentuk undang-undang otonomi khusus provinsi kepulauan paling lambat 2017, agar rakyat di semua provinsi kepulauan mendapatkan keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan.
5.   Kami menghendaki pemerintah pusat agar pengelolaan semua blok migas di Maluku dapat menikmati secara langsung hasil pembangunannya.
6.   Bertekad menolak berbagai upaya provokatif yang dilakukan oleh siapa pun dan dalam bentuk apa pun demi memelihara keutuhan hidup bersama orang basudara (bersaudara) sebagai anak Negeri Maluku secara berkelanjutan dalam bingkai Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
7. Bersepakat untuk membentuk dan menjadikan Majelis Anak Negeri Maluku sebagai wadah perjuangan bersama mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua anak Negeri Maluku.

Dikatakan sekadar ole-ole, sebab tujuh poin hasil musyawarah yang menjadi tekad, desakan, dan kesepakatan merupakan kehendak Anak Negeri Maluku, ternyata tidak sesempurna yang diharapkan. Diinisiasi Gubernur dan dilaksanakan sendiri oleh Pemda Maluku, dan hanya menghasilkan sesuatu yang seperti membuang garam di Laut Maluku. Gubernur dan perangkat Pemda ternyata tidak lebih posisi dan perannya sebagaimana umumnya masyarakat Maluku yang tidak memiliki apa-apa, kecuali hanya bisa “membeo” kepada Pempus, tanpa pernah mau belajar memahami sejarah karakteristis Maluku untuk bisa dijadikan “alat tawar” dan “power” menentukan sikap sendiri – sesuai keinginan dan kepentingan rakyat Maluku, kepada Pempus.  Sayang sekali, karena Gubernur Maluku, begitupun DPRD Provinsi ternyata tidak berdaya atau malas berpikir, atau mungkin saja menganggap dirinya sama saja dengan LSM(Lembaga Sosial Masyarakat) yang serba terbatasi.  Padahal mereka (Gubernur dan DPRD) dipilih langsung oleh rakyat Maluku, memiliki legitimasi untuk bersuara atas nama rakyat, belum lagi memiliki dukungan perangkat pemerintahan daerah serta tentu saja anggaran.

Penyelenggaraan Mubes bukan tanpa mendapat kecaman sebelumnya. Kecaman datang dari beberapa pegiat masalah ke-Maluku-an. Kecaman datang dari Masyarakat Adat Bangsa Alifuru (www.tribun-maluku.com), yang meragukan kesungguhan, dan mencurigai sesuatu dibalik alasan diselenggarakannya musyawarah tersebut. Alasannya karena dianggap tidak merepresentasikan masyarakat Maluku, serta lebih cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan dan dijadikan instrumen politik kapitalis yang menguntungkan pribadi dan sekelompok orang. Setidaknya hal itu terbukti dengan tidak dimasukkan perihal upaya massif peminggiran masyarakat hukum adat dengan cara pengambilalihan tanah dan hutan adat – Hak Ulayat, Sukubangsa Alifuru di seluruh kepulauan Maluku. Tidak ada pembahasan dan rekomendasi terhadap persoalan faktor hambatan administrasi negara dengan berbagai regulasi yang mengkerdilkan dan cenderung menghilangkan hak-hak masyarakat adat. Tidak ada desakan tenggang waktu kapan realisasi Lumbung Ikan Nasional (LIN), yang sudah pernah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon pada 9 Juni 2012 dan dipidatokan ulang oleh Presiden Joko Widodo, begitupun tidak ada penguatan terhadap hak PIParticipating Interest, 10 persen Blok Migas Masela, yang ternyata juga diinginkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tidak ada keinginan untuk mempermasalahkan(misalnya Peninjauan Hukum ke Mahkamah Konstitusi) atas berbagai regulasi Pempus yang menjadi pembatas wewenang daerah Maluku, terutama di laut yang hanya 12ml(duabelas millaut), mestinya ada pengecualian khusus kepada daerah Maluku sebagai wilayah perairan terbesar di Indonesia.  Tetapi tidak lupa menyelipkan kepentingan politik sepihak – perorangan, dengan cara “mengemis – meminta belas kasihan” untuk jabatan Menteri di Kabinet Pemerintahan Negara. Selain dengan sengaja bermaksud mengabaikan dan memarjinalkan peran lembaga-lembaga ke-Maluku-an yang sudah ada dengan membentuk lembaga baru dengan “merek dagang” Majelis Anak Negeri Maluku.


Adakah ole-ole yang kadaluarsa?

          Demokrasi pascareformasi telah mengubah situasi politik yang dipuja-puji lebih demokratis, dengan Gubernur dan Bupati/Walikota – Pimpinan Pemerintahan Daerah, ditentukan dengan dipilih langsung oleh rakyat daerah bersangkutan. Otonomi Daerah “setengah hati” menjadi lips service Pempus memanjakan Gubernur dan Bupati/Walikota yang menjadi Kepala/Pimpinan Pemerintahan Daerah. Peran tersebut satu paket dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang dalam prakteknya lebih berperan mewakilkan diri sendiri dan mewadahi kepentingan oraganisasi partai politik naungannya. Peran Dewan Perwakilan Daerah(DPD) – Senator, pun yang seharusnya berperan maksimal bersuara penuh terhadap kepentingan daerah yang diwakilinya, posisinya hanya “mengekor” kepada DPR-RI. DPD sangat terbatas legislasi dan kewenangannya, apalagi sampai memiliki Hak Veto dalam posisi sebagai Senator. Posisi DPD dan DPR, harusnya dibuat bersifat Bikameral – dua kamar, walau tidak sampai menganut sistem negara Federasi seperti Amerika Serikat. Tetapi itu hal lain dan mungkin nanti, sebab harus lebih dulu kembali mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Sistem dan mekanisme yang serba terbatas serta seperti masih sentralistik seperti tersebut di atas, mungkin saja yang mengakibatkan “wakil” masyarakat Maluku (DPD dan DPR) di Parlemen dan wewenang pemerintah daerah(Gubernur dan Bupati/Walikota) dalam hal otonomi daerah menjadi seakan tidak mampu berbuat banyak untuk memperjuangkan kepentingan Maluku kepada Pempus. Sehingga untuk itu, mereka butuh penguatan sebagaimana melalui pelaksanaan Mubes Mama. Boleh saja, kecuali bukan bermaksud untuk menutupi kelemahan diri sendiri dalam mengatur dan ketidakmampuan memimpin pemerintahan daerah Maluku, apalagi hingga melemparkan tanggungjawab kurang dan salah seluruhnya kepada Pempus. Tentu itu bentuk kebohongan dan pembodohan dengan mekanisme intelektual yang sangat hina, dan menciderai kepercayaan rakyat.

Tiga tahun telah berlalu 7(Tujuh) Kehendak Anak Negeri Maluku disuarakan, saatnya diingatkan untuk dievaluasi guna mengukur tenggang waktu dan menilai hasilnya. Satu persatu dari tujuh kehendak dimaksud dipilah, masing-masing disayat, dibelah, lalu dianalisa. Sudah adakah perubahan signifikan sebagimana yang diharapkan, atau sama saja, “masih seperti yang dulu” atau makin parah? Pada kenyataannya, Maluku hari ini masih berkutat dengan ketidakmampuan pengurangan pengangguran, akibat minimnya peluang dan lambatnya penciptaan lapangan kerja, serta terus saja tertatih dipusaran provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia.

Pada poin salah satu kehendaknya yaitu ; mendesak pemerintah RI, DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk sesegara mungkin membentuk undang-undang otonomi khusus provinsi kepulauan paling lambat 2017(dibol oleh penulis), agar rakyat di semua provinsi kepulauan mendapatkan keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan. Apa kabar Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Kepulauan? Sudahkah ada perubahan kebijakan dalam pembangunan nasional yang sesuai dengan kondisi hidrologi dan karakter objektif provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan? Seperti misalnya dalam hal perubahan besaran anggaran pembangunan yang bersumber dari APBN untuk dana perimbangan daerah bagi Maluku oleh Pempus dan tidak hanya mengakomodir luas daratan. Bila ada kehendak yang sudah “jatuh tempo” tetapi masih diabaikan, sikap apa yang harus dilakukan oleh Maluku? Menyelenggarakan lagi Mubes Mama, babak ke-2?
                                                                                                                                                                                                    
Depok, 30 November 2018 

Friday, November 16, 2018

BETA RASA ALE PARLENTE (Puisi)


(I)
beta samudera ikan mutiara dan tahuri
alam lautan bumi maluku yang kaya berlimpah
arus aru dibendung dengan ribuan kapal nelayan dari barat
tuna dan cakalang cekungan seram seperti juga palung banda  
dilingkar umpan tonda armada asing berbendera republik
selat-selat indah rimba lautan kepulauan aru
dipagar larangan ribuan kilometer tali tambang
jadi benteng kebun mutiara tuan-tuan kapitalis
kita telah lalai menyuburkan hasrat menjaga negeri
tanah air yang ditinggalkan para datuk dengan berkah
tak pernah berhenti menuai kebaikan dengan limpahan harta
belum juga memberi kebaikan yang adil dan merata
kecuali jadi bantal empuk bermimpi oleh sekte oligark
hanya sedikit dari yang terbuang yang disisikan bila ingat
beta rasa ale rasa,
beta rasa ale parlente

(II)
beta hutan perawan cengkeh pala kelapa
meranti bintanggor kenari di tanah ulayat
terjaga ragam flora endemik khas oleh kearifan adat
betapa subur di punggung bukit alur bumi cincin api
setelah bertahan beribu tahun hutan-hutan perawan
yang mengalunkan suara merdu burung-burung surgawi
dipiara di pulau seram di buru di yamdena di aru
agar lestari sebagai warisan dari anak cucu ke depan
hanya sebentar waktu dengan sadar digunduli
dalam peta rencana yang sengaja dibutakan
dilenyapkan dari kasat mata dan pikir empunya
tebang satu pohon tumbang ratusan pohon
pohon-pohon cengkeh kering papah jadi kayu bakar
buah pala tidak lagi membelah diri menyosor fulinya
telah ditamatkan kisah the spices islands
siapa yang peduli dengan romantika masa lalu
kecuali empati yang lusuh berbasah iler di sudut bibir
birokrat korup dan politisi mafia tukang kewel
lahirlah kemiskinan milik di kehidupan bumi berpunya
potong di kuku rasa di daging,
beta rasa ale parlente

(III)
beta tanah emas tembaga nikel minyak
panas bumi gas air bening di area petuanan
dibikin jadi ilusi yang menggantung asa diruang hampa
romang yang terus ditepikan sendiri merana dalam derita
sementara ria berjamaah berebut gunung botak
dalam tontonan bisu alifuru buru
lempeng tembaga wetar diisolasi
seukuran memori kartu sim telepon seluler
lumpur emas hitam perut seram secara cerdas
dibendung cukupkan sembul satu titik api di ujung pulau
masih dua puluh lima titik api perut bumi dihayalkan
gas blok masela kata teman setara milik negara qatar
tetapi pemilik dibuat galau ke rana hampa bak tak bertuan
sungai dan mata air bakal kering
dari hutan gundul dan tanah tambang beracun
bumi dan air yang mengandung kekayaan hanya petaka
ikatan pela gandong harusnya satu tubuh kehidupan
maluku satu darah,
beta rasa ale parlente

(IV)
beta laut darat tanah pulau pantai angin dan udara
warisan nenek moyang yang telah dihilangan haknya
seirama masih terpelihara mental opas walanda
yang buntu dalam pikir hingga selalu kalah tampil kreatif
padahal waktu bisa merubah sadar pikir dan perilaku
mampu tembus gelombang bak arumbai sang tanase
tidak ambigu dihempas angin timur sebelum berlayar
pantang ditantang penantang tanpa dibanting
darah maluku adalah raga kapitang di ujung parang
lambungkan jiwa juang dan kibarkan kemerdekan hidup
lawan kemiskinan maluku yang masih setia dipelihara  
bongkar bungkus kemunafikan atas nama kebersamaan
yang selalu menelantarkan seruan suara menantang
dengan ragam cara manis yang memoles ambisi dan ego
setelah milik dirampas lalu dihempas ke pantai berkarang
beta maluku,
beta rasa ale parlente


(V)
beta ada dari masa lalu, untuk menapak masa depan
beta merenung hari ini untuk membaca hari esok
beta sedang bicara sendiri di ruang sunyi
beta bercerita di tempat sepi untuk diri sendiri
beta alifuru,
memang iya, beta sedang tabaos!


                                                                                                                                                                            Cilodong, Kota Depok, 15 November 2018
                                                                                                                 
                                                                                                               M. Thaha Pattiiha
--------------------------------------------
Keterangan ;                                                                                                      
Beta                     = aku, saya
Ale                       = kamu (orang kedua tunggal)
Parlente               = bohong, menipu
Tahuri(bia)           = lola
Umpan tonda       = cara penangkapan ikan dengan upan yang di seret
Kapitalis               = orang atau kelompok yang bermodal atau memiliki banyak uang
Oligark                      = seseorang atau sekelompok yang mempertahankan kekuasaannya dengan cara yang tidak demokratis, menggunakan
                               cara kekerasan atau sogokan.
Ulayat                  = Hak Adat atas suatu area tanah atau hutan secara turun temurun berdasarkan sejarah kepemilikan awal.
Fuli                       = kembang yang menempel pada biji pala
The Spices Islands   = Kepulauan Rempah-rempah, sebutan oleh bangsa Eropa di masa lalu untuk kepulauan Maluku yang menghasilkan
                                rempah-rempah cengkeh, pala dan kayu manis.
Kewel                    = omong kosong
Petuanan              = hak kuasa wilayah secara adat oleh suatu negeri adat di Maluku.
Tabaos                  = mengumumkan.

 Foto latar dokumentasi pribadi

Monday, November 12, 2018

SASI DAN MATAKAU

         Oleh ; M. Thaha Pattiiha

                Dalam Kebudayaan Maluku dikenal Hukum Adat Sasi dan Matakau. Kedua aturan hukum adat sudah sangat tua umurnya, karena aturan yang secara tradisionil berlaku di masyarakat adat Maluku ini, telah diberlakukan beratus tahun yang lalu. Hanya saja, sejak kapan pastinya butuh penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejarahnya. Akan tetapi, sudah pasti telah menjadi bagian dari budaya masyarakat negeri-negeri adat di Maluku yang masih dihormati dan diyakini kegunaannya, sehingga sampai sekarang masih dipertahankan.

Sasi dan matakau, saling berbeda kegunaan peruntukan dan perberlakuannya. Kesamaan ada dalam fungsi, yaitu khusus dalam mengatur dan memelihara Sumber Daya Alam(SDA) dan lingkungan hidup umumnya, selain pelajaran untuk membentuk moral dan perilaku masyarakat. Dimaksudkan agar terjadi keteraturan dalam mengelola hasil alam dan lingkungan hidup, sehingga tetap terjaga dan terlindungi dari kerusakan, bahkan moral atau adab masyarakatnya menjadi positif.

Di wilayah Maluku bagian tenggara, yaitu di kepulauan Kei disebut hawear, sama saja fungsinya dengan sasi. Sasi dan matakau, sama-sama diperuntukkan kepada masyarakat umumnya, tetapi alasan dan maksud, sanksi, dan kebutuhan asal penerapannya saling berbeda.


Ø Sasi

           Sasi, adalah hukum adat yang ditetapkan secara umum kepada masyarakat – warga suatu negeri(desa) untuk larangan mengambil atau memanen suatu objek sumber daya di alam dalam wilayah yang ditentukan. Untuk di daratan, berlaku untuk buah-buahan seperti pala, kelapa, durian, maupun buah-buahan lain atau jenis hasil hutan lain yang dianggap perlu untuk diberlakukan larangan sasi. Bila diberlakukan untuk laut dan pantai, adalah untuk jenis ikan tertentu. Di beberapa lokasi tertentu khususnya dia area pantai, diberlakukan untuk panen telur burung Maleo, telur penyu, dan cacing(belut) laor.

Bilamana di suatu negeri adat diberlakukan adat sasi, maka aturan larangan sasi hanya berlaku di lingkungan dan sesuatu objek larangan yang dimaksud pada negeri adat bersangkutan. Larangan tersebut tidak berlaku di negeri yang bertetangga atau negeri yang lain, tetapi objek yang dilarang berlaku bagi siapapun atau semua orang tanpa kecuali, baik warga di dalam negeri maupun bukan warga negeri yang menerapkan adat sasi. Setiap orang dilarang mengganggu, mengambil, atau memanen sesuatu objek yang dilarang atau dikenakan larangan adat sasi, hingga tiba pada waktunya berakhir masa berlakunya larangan sasi. Berlaku sanksi adat bagi siapapun yang melanggar larangan adat sasi, berupa pembayaran denda, hukuman badan yaitu dipukul dengan rotan sekian kali, juga bisa hingga diarak di tengah jalan keliling lingkungan negeri. Untuk sanksi yang terakhir ini, lebih kepada efek jerah paling maksimal, karena tujuannya buat pelanggar larangan untuk dipermalukan agar tidak lagi mengulang perbuatannya. Ada pula – di masa lalu, nama atau identitas pelanggar yang melalui Marinyo - juru bicara negeri, diumumkan keliling negeri. Hingga di jaman modern saat ini, kadang identitas pelanggar diumumkan melalui pengeras suara yang tersedia di rumah raja (setingkat Kepala Desa), kantor pemerintahan negeri, atau tempat ibadah – masjid  atau gereja, kepada seluruh lingkungan negeri.

Sasi merupakan larangan tidak tertulis, tetapi menjadi kesepakatan bersama yang dihasilkan melalui musyawarah warga negeri. Sebagai peringatan berlakunya larangan sasi, maka di sudut-sudut jalan keliling negeri akan dipasang tanda menggunakan janur kelapa. Janur kelapa dianyam dan dihias atau dibentuk dengan hiasan dari robekan kain berang – kain merah, atau kain putih yang diikat secara acak di sekitar batang janur. Sebelum dipasang, sasi yang telah dibuat atau dibentuk akan diarak terlebih dahulu keliling negeri dengan tata cara prosesi ritual yang sudah baku, dipimpin oleh Maweng atau Tokoh ritual adat negeri yang khusus memiliki fungsi sebagai “Tuan” sasi negeri adat. Demikian juga pada saatnya, ketika akan diakhiri masa berlaku larangan sasi, dilakukan pula oleh Maweng.

Masa berlaku sasi disesuaikan dengan kebutuhan dan tenggat waktu peruntukkannya, yaitu mulai dari masa awal hingga saat yang dianggap sudah waktunya larangan sasi dicabut. Sasi diberlakukan bersifat terbatas, baik terhadap objek SDA yang ditentukan, area atau wilayah yang ditentukan atau diperuntukkan, dan untuk jangka waktu tertentu sejak kapan dimulai dan hingga kapan berakhir waktunya. Untuk objek tertentu sasi dapat diberlakukan secara periodik setiap tahun, seperti sasi ikan lompa (Trisina baelama; sejenis ikan sardin kecil) di negeri Haruku, pulau Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Sama juga seperti sasi menangkap ikan secara umum di negeri Kawa, Kabupaten (Pulau)Seram Bagian Barat.

Selama masa berlakunya larangan sasi, apabila diperlukan karena terdapat kebutuhan mendesak, maka melalui permintaan ijin lebih dulu dan disertai syarat pembayaran denda tertentu, seseorang dapat diijinkan mengambil sesuatu yang menjadi objek sasi. Penguasaan dan penerapan pemberlakuan sasi, selain melalui pemerintahan negeri, dapat juga diserahkan penanganannya kepada kelembagaan lain di dalam lingkungan negeri setempat. Dikenal di negeri-negeri adat yang beragama Kristen, selain sasi adat juga terdapat sasi gereja.

Pembukaan Sasi Ikan Lompa, warga ramai-ramai panen ikan lompa(Trisina baelama) di sungai Learisa Kayeli,   Negeri Haruku – pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah
Pembukaan Sasi Ikan Lompa, warga ramai-ramai panen ikan lompa(Trisina baelama) di sungai Learisa Kayeli, 
Negeri Haruku – pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah(Sumber; antarafoto.com)

Ø  Matakau

          Matakau, adalah hukum adat yang bersifat terbatas kebutuhan dan peruntukkannya. Hanya dipergunakan oleh orang per orang atau suatu keluarga – matarumah atau keluarga se-marga, tertentu. Tujuan pemasangan matakau diberlakukan untuk objek tertentu yang merupakan hak milik orang atau keluarga yang bersangkutan. Misalnya untuk melindungi hasil kebun, pohon buah-buahan, atau pun objek tertentu yang adalah milik orang atau keluarga yang bersangkutan, sehingga tidak diambil atau dicuri oleh orang lain yang bukan dari keluarga pemilik matakau.

Antara sasi dan matakau dimaksudkan untuk tujuan yang sama, yaitu melarang orang lain untuk mengambil sesuatu yang ditandai diberlakukannya larangan adat sasi dan matakau. Persamaan lainnya, adalah dalam prosesi sebelum dipasang atau diletakkan di tempat atau lokasi yang dimaksud, sama-sama melalui prosesi adat tradisionil yang lebih bersifat mistis. Perbedaan ada pada kepemilikan, bila sasi secara umum dan dimiliki untuk digunakan bersama oleh suatu negeri adat, maka matakau lebih bersifat kepemilikan keluarga atau perseorangan. Matakau menurut bentuknya tidak hanya satu jenis, tetapi cukup beragam bentuknya dan dengan prosesi pembuatan dan efek yang ditimbulkan saling berbeda satu jenis dengan jenis matakau yang lain.

Dalam mitologi masyarakat adat Maluku, sasi dan matakau dipercaya keduanya sama-sama memiliki daya kandung supra natural karena bersendikan keyakinan secara kosmos menurut kepercayaan turun-temurun dari nenek moyang, yaitu memiliki kekuatan mistis dan magis. Memang tidak dipungkiri, sehingga ditakutkan dapat langsung berakibat buruk karena dapat membahayakan bagi pelanggarnya, selain sanksi nyata. Seperti sasi, selain dampak nyata dikenakan sanksi hukuman adat, akibat magisnya masih ada toleransi sebatas bahaya ringan, seperti sakit perut atau akibat ringan lainnya. Sedangkan pelanggar larangan matakau tidak dikenal atau mendapat sanksi adat, tetapi dampak magisnya dipercaya bisa lebih parah hingga membahayakan keselamatan jiwa seseorang atau pelaku pelanggarnya.

Sasi dan Matakau, merupakan bagian milik dari kekayaan budaya adat yang lahir dari kearifan lokal masyarakat adat Maluku, dan telah bertahan menembus dan melewati pergantian periode waktu dan jaman kehidupan manusia. Menjadikan sasi dan matakau sebagai bagian dari hukum adat yang masih dipertahankan dan dipergunakan hingga saat ini. Hal itu pula yang telah berkontribusi dalam membentuk karakter dan jiwa masyarakat adat di Maluku, tentang bagaimana SDA dipelihara, dirawat, dan dilestarikan, melalui cara-cara bijak melalui tatanan mental kejiwaan masyarakatnya yang ditata secara beradab.

Maluku adalah wilayah yang meliputi Pulau Seram, Buru, Tanimbar, Halmahera, kepulauan Kei, Banda, Aru, Gorom, MAKEBO(Manipa, Kelang, Buano), TNS(Teon, Nila Serua) Pulau-pulau Terselatan(Kisar, Babar, Selaru, Marsela, dll), Kepulauan Sula, Ternate, Tidore, Bacan, Obi, dll. Dari Morotai di utara hingga Selaru paling terselatan, Sasi dan Matakau adalah budaya yang masih digunakan untuk melindungi sumber daya alam dan lingkungan. Namanya pun berbeda sebutan di masing-masing wilayah, tetapi fungsinya tetap sama.


Suatu bukti, bahwa dengan penataan yang tertib secara tradisional melalui pranata hukum adat, hasilnya adalah SDA di Kepulauan Maluku di darat maupun di laut hingga saat ini secara umum sebagian besarnya masih terpelihara dan tetap lestari. Namun demikian, infiltrasi budaya yang terbentuk dari perubahan jaman dan ilmu pengetahuan modern yang memunculkan budaya baru, berbeda, dan tersendiri. Kadang terbesit pemikiran miring sebagian orang yang seperti dengan sengaja ingin menghalau perbendaharaan budaya dengan mengesankan seakan sudah kuno, tidak searah perkembangan jaman. Pola pikir demikian yang menjadi batu sandungan dan yang bisa menghancurkan suatu budaya tradisional masyarakat adat yang kadang lemah dan rentan pertahanannya terhadap suatu pengaruh pemikiran dan perilaku baru yang seakan lebih baik dan modern. Dampak sesat budaya modern yaitu cenderung instan, bersifat kepentingan sesaat, yang tentu menyesatkan kepedulian terhadap keberlanjutan kehidupan manusia dan lingkungan hidup. Setidaknya gaung konsep pembangunan berkelanjutan – Sustanible Development, bisa mengambil “nyawa” atau belajar dari (khususnya) hukum adat budaya sasi. Sebagai warisan, yang lahir dari kecerdasan hasil pemikir tradisional bangsa Alifuru yang sangat arif dan telah menjadi bagian dari kekayaan budaya lokal Maluku saat ini.
                                                            
                                                                                                                                                        Depok, 11 November 2018 
------------
Catatan ; Untuk beberapa tulisan tentang Sejarah dan Kebudayaan Maluku, seperti  Sasi dan Matakau ini, beta tidak harus melalui studi lapangan maupun pustaka. Sebab beta sebagai anak adat maka sekaligus juga sebagai pelaku atau pengguna pranata hukum adat yang berlaku di masyarakat atau negeri adat di Maluku, sehingga tidak menggunakan referensi bahan atau data dasar.Terkecuali gambar foto untuk melengkapi keterangan tulisan, ada yang menggunakan sumber atau referensi dari pihak lain.