Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Dalam suatu masyarakat modern, sumber
daya adalah modal utama memajukan kehidupan dan memastikan memperoleh
kesejahteraan hidupnya. Sumber daya manusia yang unggul dengan dilengkapi
ketersediaan sumber daya alam yang kekayaan dan beragam, mestinya tidak akan
terjadi kesulitan hidup masyarakatnya, bilamana dapat dimanfaatkan secara baik
dan benar.
Maluku memiliki “segalanya”. Ya, sumber daya alam (SDA)
dan sumber daya manusia (SDM), bahkan boleh dibilang melimpah. Akan tetapi apa
yang salah dari kekayaan ini sehingga kesejahteraan hidup masyarakat Maluku sebagian
masih tergolong miskin. Yang menarik, perbandingan antara ketersediaan SDA yang
melimpah melebihi populasi penduduk yang tidak seberapa jumlahnya. Sangat
berbeda jauh dari ukuran kesesuaian ketersediaan sumber daya untuk pemenuhan
kebutuhan hidup masyarakat penduduk Maluku dapat hidup sejahtera, hingga
mencapai tingkat hidup makmur.
Kekayaan Sumber Daya Alam
Maluku
Provinsi Maluku memiliki
luas wilayah 712.479,65 Km2, terdiri dari luas daratan 54.185 Km2
(7,6%) atau seluas 5.418.500 Ha,
diantaranya terdapat 4.663.346 Ha adalah luas hutan yang
berada pada 32 pulau besar dan kecil dengan panjang garis pantai 8.287 Km. Luas
lautan 658.294.69 Km2 (92, 4%) - Data ; Profil Investasi Provinsi Maluku, Desember 2005. Saat ini kawasan
hutan seluas 3.919.617 Ha. Dari 3,9 juta Ha
hutan yang ada, terdapat 1.056.794 Ha (26,97%) untuk hutan lindung dan hutan
konservasi, selebihnya untuk hutan produksi 16,42%, hutan produksi terbatas
22,81% dan 33.80 % untuk hutan yang dapat dikonversi, ( Keterangan ; Azam
Bandjar, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Maluku/Tribun-Maluku.com/30
April 2015). Terdapat perbedaan penurunan luas hutan
dari 2(dua)sumber data tersebut di atas. setidaknya terdapat 743,729 Ha hutan yang telah hilang selama 10 tahun belakangan ini,
sayangnya tidak ada penjelasan kenapa seperti itu. Setidaknya masih tersedia
luas hutan (produksi, produksi terbatas, dan yang dapat dikonversi) seluas
2.862.823 Ha atau 73,03 %, yang dapat dimanfaatkan secara baik dan maksimal
menurut peruntukan dengan sistem tata kelola sejak awal hingga akhir yang benar,
baik dan modern, serta ketersediaan akses modal yang murah dan mudah oleh
pemerintah daerah. Sehingga usaha berbasis lahan pertanian dan perkebunan atau
peternakan, akan menjadi satu bagian lain dari upaya dan cara mengatasi
permasalahan kemiskinan Maluku. Hanya saja, jangan lagi menerima kehadiran
transmigran dari luar daerah Maluku, sebab sama sekali tidak berdampak positif
bagi masyarakat asli, malah menimbulkan kecemburuan dan mengurangi peluang
bersifat kepentingan lokal kedaerahan. (lihat; transmigrasi-di-maluku).
Sumber daya alam (SDA)
Maluku, menunjukan potensi kekayaan luar biasa yang tentu mampu memberikan
penghidupan yang lebih layak, berupa kesejahteraan dan kemakmuran bagi
penduduknya. Pola hidup tradisonal bertani dan nelayan yang masih lekat dengan
budaya penduduk Maluku hingga kini, tersedia lahan dan lautan untuk berusaha
untuk memenuhi kebutuhan demi kesejahteraan hidup.
Potensi sumber daya
alam pertambangan emas, semen, batu bara, batu gamping, dan batuan mineral
lainnya, minyak dan dan yang paling luar biasa yaitu gas bumi, tersedia di
perut bumi kepulauan Maluku. Begitu kayanya bumi Maluku dan betapa semua itu
mampu berkontribusi kepada kualitas kehidupan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan. Minyak Bumi di Bula – Seram bagian timur, potensi raksasa gas
alam Masela – Maluku bagian tenggara barat daya, emas di Wetar, pulau Buru dan
Seram, Nikel di Seram bagian barat, Semen di Seram bagian selatan, dan lain
lagi masih banyak tempat potensi kekayaan pertambangan.
Hal yang sama juga
untuk usaha masyarakat berbasis laut dengan ketersediaan luas perairan laut 658.294.69
Km2 atau 92,4% dari luas daratan, potensinya
begitu menjanjikan bagi pemenuhan kesejahteraan masyarakat Maluku melalui
pengembangan usaha perikanan tangkap dan usaha budidaya laut. Sektor kelautan
mestinya menjadi andalan utama sebagai wilayah kepulauan. Perhatian dan
pandangan sudah harus diarahkan sungguh-sungguh ke laut mulai sekarang, karena
di darat telah memakan korban salah urus dan akibat perkembangan zaman, kepada
usaha komoditi perkebunan kebanggaan Orang Maluku yaitu cengkeh dan pala,
sehingga kebun-kebunnya kini terbengkalai dan merana ( lihat; komuditas-unggulan-maluku-yang-merana ). Hebatnya, bila TNI-Angkatan Laut memiliki semboyan; Jales veva jaya mahe – di laut kita jaya, harusnya bagi Orang
Maluku ; di laut katong makmur. Masa
depan yang lebih menjanjikan terbentang luas, ada pada laut ( lihat ; potensi-perikanan-maluku).
Kemiskinan Maluku
Tingkat kesejahteraan masyarakat
Maluku ternyata menurut data statistik tahun 2014, sebagian tergolong berada
pada level hidup miskin. Masih miskinnya sebagian orang di Maluku terbaca
seperti sesuatu yang aneh tapi nyata,
menyaksikan ketersediaan sumber daya alam yang kaya, maka sangat tidak dimungkinkan
masyarakatnya mengalami penghidupan dalam derita, apalagi sampai jatuh miskin.
Kemiskinan yang terjadi adalah akibat
kealpaan dan salah urus para pihak yang mungkin saja masih bermental asal jadi,
asal ada, selebihnya cari dan urus diri sendiri. Sepertinya pemerintah senang
menghibur diri dengan kecenderungan menggunakan indikator kemiskinan yang
bersifat absolut, asyik dengan angka prosentase yang katanya terus menurun. Seperti
itu, maka menurut Ivanovich Agusta,
Sosiolog Pedesaan dari IPB /Kompas, 30 Oktober 2012, kemiskinan yang terjadi
adalah kemiskinan struktural. Terjadi
sebagai impak dari keburukan tata cara bernegara. Bisa dipastikan tidak ada
Orang Maluku yang senang ketimpahan hidup miskin. Nah lho, bukan absolut khan
bro !
Memakanai pendapat Ivanovich Agusta, dengan menggunakan indeks gini dalam asumsi penyusunan
RAPBD di Maluku, baik Provinsi maupun Kota/Kabupaten, mungkin akan lebih parah karena
akan diketahui bahwa hanya sedikit orang Maluku yang menikmati porsi
pembangunan atau kekayaan dengan prosentas nilai lebih besar. Sesuatu yang akan
menampik kebaikan dan keuntungan hidup dalam satu wilayah – daerah, dengan
anugerah Tuhan atas kelimpahan sumber daya alamnya, tetapi tidak terdistribusi
secara adil dan merata.
Sepuluh tahun lalu, data
dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Maluku diketahui terdapat 280.824 keluarga
hidup di bawah garis kemiskinan, 48,12 % dari jumlah keluarga rumah tangga
Maluku. Angka ini berbeda dengan olahan Litbang Kompas dari data BPS tahun 2004
terhadap jumlah penduduk dengan pendapatan per kapita per bulan rata-rata
136.159,6 rupiah, maka jumlah penduduk miskin ada 397,6 orang atau 31,36%, (Kompas, 17 Maret 2005). Hal ini mungkin dianggap data lama, tetapi sengaja
diangkat yang sudah barang tentu bisa saja telah berubah situasi data-nya saat ini. Silahkan
diperdebatkan seperti apa perubahannya saat sekarang, apa sudah lebih baik atau
masih seperti yang dulu, artinya sama
saja.
Di banyak kesempatan
saya selalu memperkenalkan Maluku dengan segenap potensinya, sambil berseloroh
; “di Maluku tidak ada orang lapar”.
Sesuatu yang bukan tida ada kebenarannya,
sebab yang ada di masyarakat Maluku yaitu orang
tidak memiliki uang. Memiliki barang tetapi tidak terjual, seperti itu yang
masih terjadi di banyak wilayah dengan akses pasar(pembeli) tergolong minim.
Akibatnya daya beli masyarakat yang rendah atau ketidak mampuan bertransaksi
dengan uang, sebagai akibat kurangnya pendapatan oleh penjualan dari hasil
produksi dan hasil usaha, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan maupun lain
komuditas dan produk lain bernilai ekonomis ( baca ; komuditas-unggulan-maluku-yang-merana
).
Contoh
menarik yang
mengakibatkan penderitaan yang terjadi
di Maluku, kondisi ini dimaknai sebagai “kemiskinan”.
Berbeda mungkin dengan di daerah lain, orang Maluku miskin tapi masih bisa
makan. Memang itu yang terjadi karena sumber makanan masih mudah diperoleh, ke
darat atau ke laut potensi SDA tersedia dengan mudah diperoleh. Bila tak punya sesuatu
apa-apa bukan uang, anda masih bisa memintanya ke tetangga atau siapapun, orang
Maluku masih sangat berbaik hati untuk berbagi bila hanya sekadar untuk makan atau
minum, yang sulit adalah sumber makanan ada tetapi tidak berarti untuk membuat
menjadi uang.
Kemiskinan yang menimpah
masyarakat Maluku, adalah kemiskinan yang disebabkan unsur kesengajaan secara
sadar dan menunjukan ketidakpedulian pemerintah. Bukan sekadar tidak punya
uang, tetapi lebih diperparah oleh kesulitan memperoleh pelayanan kesehatan
yang mudah dan terjangkau, pendidikan
yang memungkinkan menjangkau jenjang lebih tinggi, ketersedian kemudahan akses
terhadap permodalan usaha dan sarana penunjang.
Belum mudah dan murah,
akses transportasi darat dan apalagi laut antar wilayah pulau, tarif angkutan
masih “liar” tanpa control berarti dari pihak pemerintah daerah untuk
memastikan tariff biaya angkutan dan jenis-jenis angkutan resmi. Kendaraan
angkutan darat, secara pribadi-pribadi mash terlihat bebas beroperasi dan bebas
menentukan biaya tarif, sementara angkutan darat umum masih berkonsentrasi di
perkotaan.
Seram sebagai pulau
terbesar di Maluku, jalan lingkar pulaunya pun masih seperti pengidap penyakit asma akut. Di wilayah selatan bagian tengah
pulau hingga ke ujung timur pulau Seram, harus banyak sabar menunggu oleh cara
pembangunan jalan dan jembatan yang bertahap, semau gue, beta pung suka-suka, atau mungkin karena tidakmampuan
kepemimpinan dalam memaksimalkan ketersediaan anggaran pembangunannya. Terdapat
jembatan terpanjang mungkin di Maluku yang terdapat di kali Kawa-Nua, hamper
sepuluh tahun dibangun hingga tahun 2016 ini, belum juga tersambung. Apalagi
alasannya, kecuali ketidak mampuan pemerintah (daerah) memenuhi anggarannya
secara pasti dalam jumlah yang dibutuhkan sehingga cepat terselesaikan. Itupun
bila merasa peduli dan mau ikhlas serta jujur meilaht kesulitan dan penderitaan
masyarakat oleh belum terselesaikannya jembatan tersebut.
Infrastruktur jalan,
jembatan, sarana kesehatan dan pendidikan, transportasi darat dan laut, ketersediaan
dan kemudahan akses permodalan usaha, terbina, terlatih, dan terbimbing oleh
para ahli dibidangnya, adalah modal proses mempercepat mobilitas masyarakat
yang sangat dibutuhkan untuk dengan mudah dan cepat meningkatkan kehidupannya
menjadi lebih baik.
Keadilan bagi-bagi Kue
Pembangunan
Maluku pada kenyataannya
hanya menerima pembagian anggaran dari APBN(Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara) hanya didasarkan pada luas wilayah daratan yang hanya 7,4% (lautan
92,6%) dan berdasarkan jumlah penduduk sejumlah 1,8 juta jiwa. Jelas aturan
dasar seperti ini merugikan bagi Maluku dalam kapasitas memiliki kekayaan
sumberdaya alam yang luar biasa, dan yang untuk wilayah Indonesia lain yang
padat penduduknya. Sudah barang tentu dengan minimnya anggaran tidak mampu
memenuhi kebutuhan maksimal rencana belanja pembangunan guna mempercepat laju mensejahterakan
masyarakat Maluku.
Masyarakat Maluku tidak
terbiasa “meminta-minta atau mengemis” haknya, tetapi itu menjadi kewajiban Pemerintah
Daerah (Pemda) Maluku, berkewajiban dan tugasnya untuk memperjuangkan secara
sungguh-sungguh, tulus dan ikhlas kepada pemerintah pusat yang telah selama ini
memindahkan hasil kekayaan alam bumi Maluku ke Pemerintah Pusat(Pempus), agar
dikembalikan secara proporsional dan adil antara hasil tergarap dan hak kepemilikan
kekayaan oleh masyarakat Maluku.
Kebijakan regulasi oleh
Pemerintah Pusat adalah hal lain yang juga ikut berkontribusi memiskinkan
masyarakat Maluku, betapa tidak pada kebijakan membagi hasil “pengerukan”
sumber daya alam laut Maluku, ternyata pengembaliannya jauh di bawah harapan.
Selain pendapatan yang harusnya langsung diperoleh oleh Provinsi Maluku dari
aktifitas pengerukan dimaksud, telah dipangkas melalui perubahan regulasi,
sementara Pemerintah Daerah Provinsi Maluku hanya berdiam diri tidak ada reaksi
cerdas menyikapinya.
Bila saja ketulusan dan
keikhlasan lebih ditonjolkan, bersamaan dengan kemampuan kepemimpinan
Pemerintah Daerah dalam upaya meningkatkan taraf hidup hingga pada level
sejahtera bagi masyarakat Maluku benar-benar dilakukan secara maksimal, tentu
akan termotivasi untuk giat meperjuangkan hak-hak terhadap “keadilan bagi-bagi” porsi pembangunan
yang rasional. Sekalian menuntut hak kekayaan yang dialihkan secara sengaja
atas nama negara dari bumi Maluku, bukannya hanya asal tadah tangan, menerima
saja apa adanya karena “rasa kasihan” dan “asal suap” dari Pemerintah Pusat.
Maluku sangat kaya
sumber daya alamnya, tetapi ternyata masih saja miskin kehidupan masyarakatnya.
Bersama bernegara dengan
maksud saling sama-sama membangun demi mensejahterakan masyarakatnya secara
adil dan merata, sehingga terasa ada manfaatnya. Sebaliknya bila yang menikmati
keuntungan bernegara hanya sepihak, maka pilihan-pilihan pemikiran yang lainpun tersedia dan dengan manis dan
indah bakal berkembang cepat kearah sebaliknya.
“Bersama
tetapi sebagian menderita, sama artinya dengan mengajak lebih baik berpisah
untuk tidak terus saling bertengkar dan itu demi kebaikan bersama agar tidak
ada yang terluka”.
Depok, 31 May 2016
dangke Bapak..katong samua manggurebe maju for maluku jadi lebe bae
ReplyDeleteHarus tetap optimis dan terus berusaha tuang e
ReplyDelete