Alifuru (Desain; M.Th.Pattiiha-foto latar; Istimewa)
Maluku, Indonesia, dan bangsa lain
di dunia Internasional, dalam beberapa waktu terakhir ini, dirisaukan dengan
pemberitaan tentang hasil penelitian terhadap bahasa-bahasa umat manusia
diseluruh dunia. Sebagian bahasa yang sebelumnya digunakan dalam komunitas
masyarakat lokal dipastikan telah punah, sebagian lagi dikawatirkan karena
sedang berada didalam situasi terancam dan bahkan menuju kepunahan.
Kepulauan Maluku, selain
memiliki kekayaan bahasa khusus yang disebut bahasa tana, juga terdapat ratusan bahasa lokal. Tetapi bahasa-bahasa
lokal yang sudah dimasukan di dalam dafatar bahasa-bahasa, sebagian bahasa
ternyata dinyatakan telah punah, dan sejumlah bahasa lagi masuk daftar tunggu katagori
sedang menuju kepunahan.
Bahasa Tanah (baca ; bahasa-tana), disebut dalam bahasa
Alifuru ; Souw Upuko-Lusikolu - bahasa
nenek-moyang Alifuru, kata rujukan yang pasti menunjuk kepada bahasa asli
bangsa Alifuru. Bahasa-tana adalah bahasa ibu - Mather Language, karena merupakan ibu dari berbagai bahasa lokal yang
tercipta kemudian hari dan digunakan oleh komunitas-komunitas masyarakat lokal yang
ada di seluruh kepulauan Maluku.
Istilah bahasa-tana adalah sebutan
untuk jenis bahasa yang dipergunakan saat masa awal proses pembentukan
kebudayaan nenek moyang bangsa Alifuru mendiami pulau Seram serta kemudian
bermigrasi ke pulau-pulau lain di kepulauan Maluku. Sebutan dimaksud merujuk
kepada sejarah asal-usul bahasa tersebut, yaitu bahasa awal yang tercipta dan dipergunakan
sebagai alat berkomunikasi oleh nenek-moyang
bangsa Alifuru di tanah(pulau) Seram dalam beradaptasi dan berinteraksi.
Secara turun-temurun bahasa-tana diwariskan
secara genetis di kalangan dalam masyarakat bangsa Alifuru. Dapat dikatakan
bahasa-tana menjadi bahasa induk atau bahasa-ibu
yang kemudian berkembang dan melahirkan bahasa-bahasa lokal yang tercipta sesudahnya
dan dipergunakan di masing-masing komunitas di seluruh kepulauan Maluku saat
ini.
Bahasa-tana telah mengalami dan
menjalani perjalanan waktu dan cara yang unik, tetapi khas kemampuan
intelegensi luar biasa suatu pencapaian pengetahuan bangsa Alifuru. Kemampuan
daya cipta yang berbeda dengan bangsa lain di belahan dunia yang lain. Alifuru
tidak menciptakan bahasa tulis, tetapi menjadikan bahasa lisan untuk menulis kapata.
Bahasa sebagai unsur Kebudayaan
Peradaban bangsa Alifuru, yang telah
berlangsung dan berproses selama beribu tahun, telah menciptakan warna
tersendiri yang menjadi kekayaan kebudayaan Maluku saat ini. Kebudayaan Maluku
kaya dengan salah satu unsur kebudayaannya yaitu bahasa, karena memiliki
beragam bahasa lokal, selain bahasa-tana. Peradaban bangsa Alifuru dari masa
lalu yang menjadi identitas kebudayaan Maluku saat ini, artinya tidak ada yang
namanya kebudayaan suku Ambon, sebagaimana yang salah dipahami dan ditulis
sebagian orang. Sama salahnya dengan kekeliruan sejarah pemakaian kata Maluku,
untuk nama kepulauan bangsa Alifuru.
Sebagai penghormatan dan penghargaan kepada bahasa-ibu,
UNESCO1) - Lembaga yang membantu Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan, pada tahun 2002 telah
menetapkan tanggal 21 Februari sebagai International
Mother Language Day - Hari Bahasa Ibu Internasional, untuk diperingati
secara internasional oleh semua negara di seluruh dunia. Bersamaan dengan
penetapan Hari Bahasa Ibu Internasional, diterbitkan Deklarasi Universal UNESCO tentang
Keanekaragaman Budaya - Universal
Declaration on Cultural Diversity, yang diimplementasikan melalui
pelaksanaan 20(dua puluh) rencana aksi. Poin ke-5 rencana
aksi, adalah tentang bahasa, disebutkan ; “Safeguarding
the linguistic heritage of humanity and giving support to expression, creation
and dissemination in the greatest possible number of languages”.
Negara-negara anggota UNESCO setuju untuk mengambil
langkah yang tepat untuk melakukan perlindungan kepada warisan bahasa umat
manusia dan memberikan dukungan untuk bahasa-bahasa dapat diekspresikan,
dikreasikan dan disebarluaskan seluas-luasnya. Poin ke-6, menyatakan mendorong keberagaman linguistik - sambil
menghormati bahasa ibu - di semua tingkat pendidikan, sedapat mungkin, dan
mendorong pembelajaran beberapa bahasa dari usia termuda.
Dunia internasional
telah ada kesadaran bersama dan sepakat melindungi serta menyelamatkan
bahasa-bahasa di seluruh dunia, terutama pada komunitas terbatas masyarakat
asli yang memiliki budaya tersendiri, dengan kepemilikan bahasa ibu. Alifuru
memiliki bahasa-tanah yang adalah bahasa ibu dan bahasa-bahasa lokal Maluku, harus
diperlakukan dan dibanggakan sebagai kekayaan budaya secara patut, dan tentu
wajib dilestarikan dengan tidaka sekadar di”hafalkan” tetapi mestinya
didokumentasikan.
Bahasa
sebagai bagian dari unsur kebudayaan, dinyatakan oleh Ilmuan perintis
berdirinya sebelas jurusan Antropologi di berbagai universitas di Indonesia
Prof. DR. Koentjoroningrat2),
menyatakan satu dari tujuh unsur kebudayaan secara universal adalah bahasa.
Menurut Koentjoroningrat, bahasa merupakan suatu bentuk pengucapan
yang indah dalam sebuah kebudayaan. Bahasa menjadi alat perantara utama manusia
dalam melanjutkan atau mengadaptasikan sebuah kebudayaan, yang terdiri dari
bahasa lisan dan tulisan.
Bahasa-tana memang tidak tertulis, hanya didokumentasikan secara lisan
melalui kapata, tetapi sebagai
produk budaya, bahasa-tana telah berkontribusi maksimal sebagai sumber yang melahirkan
bahasa-bahasa lokal Maluku. Bahasa-tana yang memperkaya dan sekaligus membentuk
batang-tubuh kebudayaan Maluku.
Seiring perjalanan waktu dan
sejarah, bahasa-tanah memang tidak terbebas dari akulturasi budaya bahasa khususnya
dari bahasa Melayu, karena sebagian perbendaharaan kosa kata dalam bahasa-tana
hampir mirip dengan bahasa Melayu.
Bahasa Melayu, bahasa Austronesia
dan bahasa-bahasa lain, termasuk bahasa Sansekerta sendiri, bersumber dari Paleo-Sansekerta2) sebagai nenek-moyang bahasa-bahasa dunia. Pertanyaannya, bila ditelusur dari jalur
selatan migrasi manusia awal dari benua Afrika hingga daratan Sunda (Paparan Sunda) - anak benua Asia, menuju
Melanesia(melalui kepulauan Maluku) dan menempati benua Australia – daratan
Sahul, 40.000 - 45.000 tahun lalu3), di masa permukaan laut turun selama zaman es Pleistocene, termasuk maksimum glasial terakhir sekitar 18.000 tahun
yang lalu4). Apakah saat itu bahasa
Melayu sudah menjadi salah satu bahasa komunikasi bagi komunitas daratan Sunda,
atau oleh pengaruh setelah kepulauan Maluku di”serbu” para pendatang di awal
masa (Sebelum Masehi/SM) dalam periode zaman perdagangan rempah, hingga
masa-masa penjajahan oleh bangsa Eropa. Sulit dipastikan, butuh penelitian
lebih lanjut oleh para ahli Etimologi dan Linguistik, tentang sejarah bahasa-tanah,
bahasa lokal, dan seperti apa serta
kapan pengaruh bahasa asing – khususnya bahasa Melayu, terhadap perkembangan bahasa-tana bangsa
Alifuru.
Sebagai produk budaya, bahasa-tana
telah mampu melewati masa kritis tekanan evolusi waktu dan lingkungan sosial di
masa lalu. Selamat dari tekanan infiltrasi dan tantangan akulturasi
multikulturalisme bahkan semasa kolonialis bangsa asing. Kesadaran yang luar
biasa dan bijak sehingga bahasa-tana masih dapat diselamatkan secara mandiri
orang per orang dari generasi ke generasi. Karena itu, walaupun bahasa-tana
sudah tidak digunakan lagi sebagai bahasa untuk percakapan sehari-hari, tetapi
telah menjadi pustaka yang mendokumentasikan tribalisme sejarah evolusi dan unsur lain sebagai satu kesatuan
menjadi kebudayaan bangsa Alifuru.
Kapata – Bangsa Alifuru(Disain ; M.Thaha Pattiiha)
“Sei hale hatu, hatu lepe’eiy”, contoh sebuah kalimat kapata dalam bahasa-tana, yang artinya ; siapa yang membalik batu, batu akan menindihnya. Pengucapan dalam bahasa Melayu-Ambon5), sapa bale batu, batu gepe dia. Hanya sebuah kalimat pendek, yang bila ditelusuri asal usulnya dan dimaknai yang sesungguhnya, tidak akan menyatakan sesuatu yang tidak sesingkat tulisannya. Kalimat-kalimat kapata, yang bila boleh diperumpamakan, sebagaimana sebuah ayat dalam firman Tuhan pada kitab suci agama-agama. Terkecuali dari siapa dan sejak kapan pastinya kalimat tersebut pertama kali diucapkan, itu yang berbeda. Tetapi kalimat kapata sedemikian, hanya diyakini bahwa sumbernya adalah kalimat lisan yang sudah sangat tua yang berasal dari para leluhur nenek-moyang orang Maluku yaitu bangsa Alifuru.
Kalimat lisan dalam tata-bahasa
bahasa-tanah, tidak semudah menterjemahkan hanya berdasarkan kosa katanya,
sebab arti dari satu saja kata dari sebagian kata baku bahasa-tana bisa saja mengandung
makna yang butuh lebih dari satu tafsir. Beta
sempat membaca dan mempelajari beberapa terjemahan kalimat kapata pada beberapa
sumber, terkesan rancu karena asal terjemahan dan tentu saja menjadi keliru
hasil tafsirnya.
Perbendaharaan kalimat Kapata, karena selain tidak tertulis juga tidak secara
berurutan dan tidak diketahui seberapa banyak adanya. Selama ini diketahui melalui
cara penyampaian secara lisan atau Oral
Story. Mengandalkan penutur orang atau berkisah secara lisan, dari para pengingat yang diperoleh secara
turun temurun dari dalam keluarga atau suatu komunitas masyarakat adat. Melalui
kemampuan daya ingat para penutur, barulah dapat ditemui perbendaharaan
kalimat-kalimat kapata. Sayangnya, hingga dengan tulisan ini, beta belum menemukan kalimat-kalimat
kapata yang masih hingga saat ini diingat dan diucapkan, telah dikumpulkan
dalam bentuk suatu catatan resmi berbentuk buku atau kamus kapata.
Bahasa-tana sebagai Pustaka
Bahasa merupakan identitas yang
mudah untuk membaca perbedaan dan mengenali kesamaan di antara komunitas dalam
pergaulan dan interaksi antara manusia. Bahasa menunjukan bangsa, dengan bahasa
komunikasi tersambang dan terbangun.
Tidak salah bila secara etnosentris
mengenalkan identitas diri melalui bahasa, karena bahasa menunjukan seperti apa
peradaban suatu suku-bangsa. Tingkat peradaban dapat diukur melalui kemampuan
memiliki bahasa sendiri dan ciri khas bahasa yang digunakan, karena merupakan
unsur dari identitas kebudayaan yang dicapai dan dimiliki. Secara etnosentris
patut dibanggakan untuk membedakan suku-bangsanya dengan suku-bangsa yang
lain.
Nenek-moyang orang Maluku adalah
Bangsa Alifuru, bangsa yang mendiami kepulauan Maluku. Sejarah asal muasal
bangsa Alifuru dan nama Alifuru – tidak dibahas pada tulisan ini, dapat
ditelusuri untuk diketahui secara lebih baik hanya bisa dengan melalui
kalimat-kalimat kapata yang aslinya menggunkan bahasa-tana. Sekalipun memang
kenyataannya sudah makin sedikit orang yang masih bisa mengingat
kalimat-kalimat kapata, maupun memahami secara benar perbedaan antara
bahasa-tana dengan bahasa lokalnya.
Sejarah Maluku yang utuh dan benar
adalah sejarah yang dapat dibaca melalui sumber bahasa lisan. Sumber sejarah
melalui penuturan atau bahasa lisan dalam kapata, dengan keterbatasannya,
paling tidak itu yang menjadi kepustakaan acuan mengetahuan sejarah masa lalu
orang Maluku. Inti sumbernya ada pada kepustakaan kapata berbahasa-tanah, yang
ber-referensi penterjemahan melalui
pemahaman bahasa-bahasa lokal Maluku. Akan sulit memahami dan menterjemahkan
bahasa-tana bila tidak cakap berbahasa salah satu bahasa lokal Maluku,
khususnya yang umum digunakan di kalangan masyarakat di pulau Seram. Terdapat
persamaan-persamaan, juga perbedaan ucapan antar komunitas atau wilayah, tetapi
sudah dapat mendekati dan bisa memahami
dan menterjemahkan kapata yang aslinya menggunakan bahasa-tana.
Umumnya bahasa-tana dianggap sama
dengan kapata, atau dalam istilah lain seperti kahua, talili, lan atau lani, bahkan boleh juga evav.
Terdapat semacam kekeliruan pemahaman antara yang dimaksud dengan bahasa-tana
dan kapata – atau istilah yang lainnya.
Kapata hanya sebagai media penyampai
pesan dalam bahasa-tanah. Kata dan kalimat yang diucap atau disampaikan saat ber-kapata
dalam bahasa-tana, mengandung maksud tertentu. Menyampaikan kisah atau
informasi tidak sebatas tentang sejarah atau suatu peristiwa di masa lalu. Kapata
berisikan pula pesan-pesan kebijakan dari para leluhur atau nenek-moyang,
berisikan aturan tentang hukum dan tatanan adat. Bercerita tentang asal-usul
suatu komunitas mata-ruma(marga-fam-nama keluarga), soa, uku(o), atau wilayah
adat(nama/naman/aman) atau negeri,
tentang hubungan genekologis atau yang bersifat sosiokultural. Karena itu, untuk
bisa mendengar seperti apa isi pesan yang di-kapata-kan, hanya melalui suatu
kesempatan baik itu acara, tempat, waktu, dan untuk kebutuhan sesuai keperluan penyelenggaraan
menurut adat-istiadat.
Dalam penyelenggaraan upacara-upacara
adat dalam kebudayaan Maluku, kapata baru bisa diperdengarkan atau sampaikan,
bisa dalam bentuk pidato, nyanyian, pantun, atau diucapkan berbentuk “do’a” seperti
dalam cara beribadah agama-agama samawi.
Acara atau upacara seperti saat pelantikan Adat Raja Negeri(pemimpin),
prosesi hendak membangun atau merenovasi rumah adat Baeleu, rumah Raja Adat,
rumah induk mata-rumah, panas pela dan gandong. Dalam prosesi pemasangan sasi adat, upacara persembahan di batu-pamali, dudu(sidang
atau rapat) adat, atau dinyanyikan dalam tari-tarian adat seperti maku-maku(nama lain ; kahua, toti) di pulau Seram, tari Ma’atenu
di pulau Haruku, atau berbentu do’a seperti pada tari bambu-gila, serta upacara ritual adat lainnya.
Alifuru; Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial
Baca juga ;
Alifuru; Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial
Mempelajari sejarah dan kebudayaan
bangsa Alifuru, hendaknya jadikan kalimat-kalimat Kapata sebagai referensi
paling mendekati kebenaran sejarah tutur atau sejarah lisan (oral history) yang umum dianut bangsa
Alifuru tetapi cenderung seperti mitos.
Pelajari Kapata, karena kapata
adalah “Literatur karya cipta kesusasteraan
lisan yang mencatat sejarah dan memperkenalkan kebudayaan bangsa Alifuru”. Kapata
sesungguhnya merupakan karya sastera tidak tertulis khas Alifuru, dan tidak banyak
ditemukan pada bangsa lain. Kalimat-kalimat kapata memang tidak tertulis,
kecuali menggunakan daya ingat yang dapat disampaikan dengan cara bertutur atau
bercerita. Alasannya, terbangun dari sifat – tabiat, kebiasaan bangsa Alifuru
yang memang sangat tertutup, jangankan dengan orang luar(asing) dengan
sesamanya saja bisa saling merahasiakan. Apalagi kalimat-kalimat kapata tidak
umum dapat diketahui dan boleh disampaikan secara bebas kepada siapa saja,
hanya dari dan kepada orang dalam lingkungan terbatas dan saat paling
dibutuhkan.
Adakah Aksara Bangsa Alifuru
Bangsa Alifuru tidak memiliki
pengetahuan tertulis, apalagi memiliki aksara tersendiri. Bila pun seperti yang
terpublikasi belakangan ini, bukanlah alfabet bangsa Alifuru, hanya “ciptaan”
imajiner yang tidak dapat dipertanggung jawabkan baik dari sisi sejarah,
apalagi secara ilmiah. Bentuk-bentuk gambar yang dikatakan adalah aksara
Alifuru yang dihebokan, hanya kreatifitas seni biasa bersifat umum, perlu diapresiasi, tetapi tidak bermanfaat untuk didiskusikan secara akademis, tetapi akan beta jelaskan
nanti secara singkat pada bagian berikutnya dari tulisan ini.
Bentuk-bentuk yang disebut aksara
Alifuru, adalah kreasi ornament-ornamen etnik yang memang secara tradisional
berasal dari tradisi bangsa Alifuru dalam membuat tanda sebagai alat penyampai
pesan. Setiap tanda berbentuk sesuatu, dan bermaksud atau berisi pesan yang
dapat diterjemahkan arti atau masud dan tujuannya. Tanda-tanda tersebut, dapat
dibuat dengan cara menggambarnya di permukaan tanah, pasir, atau di dinding
batu. Dapat juga menggunakan media batu, batangan kayu atau bilah bambu, daun-daunan,
digantung, ditempel atau disisip di pepohonan, diletakkan atau disusun merata
atau ditumpuk di tanah. Alat atau bahan-bahan dan dibentuk disusun menyerupai
sesuatu, hal itu dijadikan media penyampai pesan yang melambangkan maksud
tertentu atau sebagai petunjuk untu suatu tujuan.
Bangsa Alifuru tidak memiliki aksara
atau alphabet untuk menulis, mereka tidak memiliki pengetahuan tulisan, hanya
ada bahasa-tana sebagai pengetahuan lisan yang didokumentasikan dalam bentuk
kapata. Tidak ada petunjuk yang dapat dijadikan alat bukti dan kesaksian, yang
dapat diyakini serta secara ilmiah terbukti benar ada. Bila aksara dimaksud
memang benar ada, berarti pernah digunakan untuk menuliskan sesuatu. Penulisan melalui menggunakan media kertas,
kain, kulit, daun, bilah bambu, logam, dinding batu, atau terpahat pada situs
megalitik. Sebagaimana contoh aksara yang diciptakan dan digunakan bangsa lain,
buktinya memang ada dan dapat disaksikan saat sekarang. Sementara aksara
Alifuru tidak seperti demikian.
Baca juga ;
Saat ini terdapat “Aksara Alifuru” yang
marak dipublikasikan di media sosial sejak beberapa waktu lalu, sepertinya
sempat pula dicetak berbentuk buku. Sebagian orang terbius dan percaya, bahkan
di sebuah sekolah kejuruan menengah atas di kota Masohi – Kabupaten Maluku
Tengah, sudah diajarkan dan di praktekkan seperti yang kemudian dibuat dalam
bentuk kerajinan untuk hiasan dinding.
Contoh kerajinan “Aksara
Alifuru” yang di publikasikan( Copas. dari
Jimmy Nur Manuputty, Facebook)
Mengamati bentuknya, aksara Alifuru
– jadi-jadian, ini sangat tidak mudah
digunakan hanya untuk menulis tangan sebuah kata saja, apalagi untuk menulis
sebuah kalimat. Bandingkan dengan aksara Latin, Arab, China, Sansekerta, atau
aksara lokal Indonesia seperti aksara Palawa(Kawi), Hanacaraka, Rencong(Aceh),
Batak, Bali, Lampung, atau aksara Lontara - Sulawesi Selatan. Tulisan paku6) yang ditemukan bangsa Sumeria –
di Irak Selatan, yang kemudian setelah dipelajari bangsa Mesir kuno sekitar
tahun 3050 SM(Sebelum Masehi)
melahirkan sistem penulisan hieroglif,
masih dapat disaksikan hingga kini pada situs-situs kuno di negara Mesir. Hampir semua aksara bangsa-bangsa tersebut
meninggalkan bukti berupa tulisan dalam berbagai media yang digunakan.
Apakah aksara(alfabet) atau bukti tertulis –
tulisan, bangsa Alifuru, adakah seperti bangsa lain yang dimaksudkan di atas ?
Kecuali sebagai karya seni hasil
kerajinan patut diapresiasi, tetapi tidak sampai dijadikan pengetahuan yang
syaratnya mal-ilmu dan tentunya mengarah
kepada kebohongan terhadap sejarah kebudayaan bangsa Alifuru. Bentu-bentuk yang tergambar dan dikira adalah
aksara bangsa Alifuru, merupakan gambar ornamen seni hias tradisional Alifuru,
yang diilhami kekayaan sumber daya alam bumi bangsa Alifuru. Dikatakan sudah
lama ada, memang benar, karena penggunaannya juga sebagai lambang-lambang adat.
Pada negeri-negeri adat di Maluku, secara tradisional ada sebagian negeri yang
memiliki lambang adat, dengan motif lambang yang atas terjemahan adat
negerinya.
Ilmu pengetahuan dan sejarah tidak
ditulis dengan kebohongan dan kepalsuan, atas dorongan kehendak sepihak yang
direkayasa dan dipaksakan, sebab selalu dapat dibuktikan kebenaran
sesungguhnya.
Pesan peringatan kepada bangsa Alifuru, dari Amsterdam
– Belanda
Ancaman Kepunahan Bahasa
UNESCO sudah menetapkan rencana aksi
untuk penyelamatan bahasa-bahasa dunia, sementara di Indonesia bisanya mungkin
sebatas membuat daftar identifikasi dan hanya mencatat permasalahan nasib
bahasa-bahasa lokal, termasuk di kepulauan Maluku.
Saat ini sejumlah bahasa lokal Maluku yang dinyatakan
sudah punah7), seperti yang
diberitakan media online liputan6dotcom
dan yang diumumkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia8) yaitu ; bahasa Kayeli, Palumata, Moksela, dan Hukumina di pulau Buru, bahasa Piru(Eti
?) di Seram Bagian Barat, bahasa Loun
di pulau Seram bagian utara, serta bahasa Nila dan Serua (dari kepulauan TNS –
Teon, Nila, Serua) yang telah bermukim di dataran Waepia - pulau Seram bagian
selatan. Bahasa Suru9) di pulau Seram
bagian timur, pun sudah punah, tidak ada lagi. Bahasa Meher di Maluku Tenggara Barat, dinyatakan berstatus keritis atau
sangat terancam, dan yang terancam punah yaitu bahasa Hulung, Samasuru. Bahasa
(Lei)Hitu dinyatakan mengalami kemunduran. Sementara itu, bahasa (pulau)Buru,
Luhu, dan Lisabata, stabil tapi terancam
punah. Hanya 19(sembilan belas) bahasa daerah di Indonesia yang dinyatakan
aman, karena penuturnya berjumlah ribuan bahkan jutaan.
Daftar masalah dari penyelenggara
pemerintahan yang merisaukan, yang bisa saja tidak mudah menyembuhkan
penyebabnya, sudah berlangsung lama rasa sakit itu akibat virus kolonialisme
dan modernisme yang berinkubasi secara berkesinambungan. Menurut Kantor
Bahasa Provinsi Maluku10),
punahnya bahasa tersebut disebabkan beberapa faktor, seperti pada zaman Belanda
hingga masa kemerdekaan terjadi pelarangan penggunaan bahasa itu di lembaga
pendidikan, rumah ibadah bahkan kantor-kantor Belanda.
Telah cukup lama ancaman dan bahaya kepunahan
terhadap bahasa-bahasa lokal, tentu memiliki beragam alasan. Masyarakat
komunitas pemilik bahasa-bahasa yang mestinya sendiri menyadari dan disadarkan
untuk bangkit menyelamatkan kekayaan identitas budaya lokalnya. Langkah
penyelamatan tidak mudah dan cepat, harus menemukan cara efektif tidak sekadar
mengidentifikasi, mendokumentasikan, menerbitkan kamus bahasa, lalu membiarkan
komunitas pemilik bahasa yang bersangkutan belajar sendiri.
Banyak alasan dan cara yang patut
dilakukan, karena penyebabnya sangat komplek dan penuh tantangan seiring
perkembangan waktu dan perubahan budaya yang menyertai kemajuan teknologi saat
sekarang. Perubahan perilaku dan pola pikir yang lepas kendali oleh kekurang
pengetahuan atas keunggulan budaya sendiri, bisa membuat jarak hingga sampai
sengaja meninggalkan identitas budaya sendiri.
Akibat yang terjadi adalah kehilangan rasa percaya diri pada budaya
milik, sebaliknya merasa budaya lain – asing, lebih baik.
Bahasa-tana tidak terkecuali, dari
waktu ke waktu makin berkurang para penuturnya. Sementara bahasa-bahasa lokal,
penuturnya mengalami pengurangan pengguna karena cenderung ditinggalkan dan
diganti dengan bahasa-bahasa “gaul” – asing, akibat pengaruh lingkungan oleh
perubahan zaman yang memunculkan kemudahan komunikasi dan informasi.
Baca juga ; Negeri Adat Zaman Maharaja Daerah Otonom
Baca juga ; Negeri Adat Zaman Maharaja Daerah Otonom
Bahasa-bahasa
lokal saatnya wajib digunakan selalu dalam berkomunikasi dan berinteraksi di
lingkungan sesama komunitas berbahasa lokal bersangkutan, dan dimasukan sebagai
Mulok(muatan lokal) mata pelajaran di
sekolah-sekolah setempat. Dengan cara demikian bahasa-bahasa lokal khususnya,
bisa diselamatkan, tidak akan terancam punah digerus wabah erosi identitas,
akibat akulturasi budaya yang malah mengikis dan hingga menguburkan budaya
sendiri.
Infiltrasi budaya asing adalah
ancaman serius yang telah merambat dan merasuk ke relung-relung kehidupan
masyarakat seperti tidak lagi berbatas, tidak terkecuali akan turut menggerus
budaya-budaya lokal, antara lain unsur bahasa-bahasa lokal asli Maluku. Walau
sudah terlambat, waktunya memulai sekarang untuk kembali menyemai, memelihara,
melindungi, dan menggunakan bahasa sendiri dalam komunikasi disetiap kesempatan
di antara masing-masing sesama komunitas berbahasa lokal.
Kesadaran pada pemeliharaan budaya
sendiri, menjadi cara membangun pertahanan identitas local, dalam kenyataan kebudayaan
bangsa-bangsa di seluruh dunia yang sedang diperhadapkan dalam situasi pengaruh
luar biasa globalisasi budaya11),
fenomena yang dapat dirasakan saat ini yang dipengaruhi difusi komoditas dan
gagasan sebagai standarisasi ekspresi budaya dunia. Situasi demikian didorong
oleh efisiensi atau daya tarik komunikasi nirkabel, perdagangan elektronik,
budaya populer dan lalulintas perjalanan internasional. Beakibat yang mungkin
saja akan melahirkan pandangan yang bisa saja benar atau bisa saja tidak
terjadi. Bahwa globalisasi sementara ini dilihat sebagai kecenderungan ke arah
homogenitas yang bisa saja pada akhirnya membuat pengalaman manusia tidak lagi
saling berbeda secara budaya.
Kapata Alifuru ; “Sei lesi soue, soue male eiy” (Doc-design ; M.Th.Pattiiha)
Pesan Upuko Lusikolu - nenek moyang dan para datuk Bangsa Alifuru, terpahat sebagai prasasti dalam dokumentasi lisan melalui kalimat Kapata ;“Sei hale souw, souw male eiy”, maksudnya ; siapa yang memutarbalikkan bahasa(pesan, janji, sumpah), maka bahasa tersebut yang akan menyulitkan atau mencelakakan dirinya sendiri. Lebih jauh maknanya - karena adalah pesan estafet dari para datuk - nenek moyang, adalah agar selalu setia memelihara bahasa pesan sebagai sumber amanat yang mengatur tatanan adat istiadat dan sejarah, hak-hak kepemilikan sebagai Masyarakat (Hukum) Adat selaku Orang Maluku yang berbangsa Alifuru. Tidak akan pernah warisan adat dan apalagi sejarah dirubah hingga dihilangkan, diganti hanya demi kepentingan sempit dan sesaat, bila tidak ingin kehilangan identitas dan jati diri sebagai suatu bangsa. Singkatnya, patuhi amanat - petuah, jangan pernah ingkar janji, bila tidak ingin sengsara di kemudian hari.
Depok, 1 Juli 2018
-
Referensi
;
1)
UNESCO.
2002. Universal
Declaration on Cultural Diversity, issued on International
Mother Language Day, February 21, 2002.
Retrieved: 2006-06-23. http://www.unesco.org/education/imld_2002/unversal_decla.shtml Diundu 20 Juni 2010
2) Dhani Irwanto ; Asal-usul Peradaban Pasca Banjir http://atlantislautjawa.blogspot.com/p/asal-usul-peradaban-pasca-banjir.html
3) Hirst, K. Kris ; Sahul: Pleistocene Continent of Australia, Tasmania,
and New Guinea https://www.thoughtco.com/sahul-pleistocene-continent-172704
Diundu 20 Juni 2017
5)
Melayu Ambon ; adalah
bahasa komunikasi sehari-hari, dasarnya adalah bahasa Indonesia, tetapi dengan aksen dan pilihan kata yang umumnya
biasa digunakan di kalangan masyarakat Maluku.
7)
Status Bahasa-Bahasa Daerah Di Indonesia ; liputan6dotcom/ Liputan6online, diundu(screenshot dari
WA) 11 Nopember 2017
8) 11 Bahasa Daerah Maluku dan Papua sudah punah
; https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180221183001-282-277848/11-bahasa-daerah-maluku-dan-papua-sudah-punah 12 Maret 2018
9) Kantor Bahasa Provinsi Maluku ; https://ambon.antaranews.com/berita/43134/tujuh-bahasa-daerah-maluku-punah diundu 20 /6/ 2018
10) Kantor Bahasa Provinsi Maluku ; Op.Cit.
11) Watson,
James L ; Cultural Globalization ; https://www.britannica.com/science/cultural-globalization
---------------------------
Catatan ; Tulisan, foto, atau gambar ilustrasi pada blog ini, memiliki hak cipta yang dilindungsi Undang-Undang. Meminta ijin lebih dahulu atau cantumkan sumbernya, bila hendak di gunakan untuk keperluannya. Tinggalkan e-mail untuk balasan.
Tulisan yang sangat bagus om. Dengan begitu pesatnya perkembangan teknologi kita dibuat menyukai budaya lain tanpa kita sadari, dewasa ini banyak orang lebih meng-ekspresikan diri mereka dalam budaya bangsa lain. Beta Berharap tahun-tahun kedepan akan menjadi tahun dimana peng-ekspresian diri bangsa Alifuru dapat dipaparkan dalam buku.
ReplyDeleteSalam Dari Poka
Terima kasih atas apresiasi saudaraku. Beta ingin menggugah nurani - sebisa mungkin, tentang kekayaan budaya katong Orang Maluku. Orang Maluku sangat jelas memiliki identitas yang merupakan jatidirinya. Seiring waktu bersama perubahan perilaku dan pikir oleh infiltrasi budaya modern yg cenderung menghapus batas dan menghilangkan ciri khas kebudayaan lokal, tentu harus diantisipasi. Maluku terlalu "kaya" dalam banyak hal untuk diabaikan potensi. Banggalah sebagai Orang Maluku.
Deleteom tolong di ulas siapa orang pertama yg mendiamai pulau seram serta kisah perjalananya
ReplyDeletebeta sangat menyukai tulisan ini
salam dari
seram utara,pasahari
Bukti ilmiah mmg masih belum bisa memastikan siapa - secara tunggal, kecuali berdasarkan oral story - sejarah tutur. Tetapi bisa saja diketahui orang-orang pertama yg menempati pulau Seram, hanya sj penelitian antropologi selama ini - yg beta telusur(dan masih terus bt pelajari data2 penelitian para ahli antropologi yg bt dokumentasikan), masih samar2 memastikan hal itu. Setidaknya sarannya bt perhatikan, semoga bisa ditulis nanti, sekalipun berdasarkan sumber oral story yg cenderung dianggap hanya mitos. salam bt.
Delete