Parang Patalima dan Salawaku
Patasiwa(Desain;@embun01)
Parang atau golok, salah satu dari peralatan yang
merupakan perlengkapan manusia umumnya. Bukanlah alat yang baru dikenal
belakangan ini, tetapi sudah lebih dari tiga ribu dua ratus tahun sejak manusia
mengenal dan menggunakan alat – perkakas, berbahan logam. Selepas zaman batu –
manusia purba, berganti dengan manusia manusia modern, karena telah memiliki
pengetahuan untuk tidak lagi menggunakan batu, tetapi sudah mampu mengelola
peralatan berbahan logam. Tercipta parang maupun pedang dan alat tajam
lainnya untuk memotong sesuatu, baik
benda mati atau sesuatu yang hidup.
Dimulai dengan logam tembaga,
lalu perunggu, dan kemudian besi, selain timah sebagai bahan campuran logam
lain. Pada zaman besi, barulah peralatan
seperti pisau, mata tombak, hingga pedang dan parang – pedang dalam bentuk dan
pembuatan yang lebih sederhana dan mudah. Bukti pedang atau parang dari masa zaman
logam tidak dapat ditemukan di zaman sekarang, sebab berbahan logam besi yang mudah
berkarat(korosi) hingga rusak dan
melebur apabila tertimbun tanah dalam waktu lama. Logam besi berkembang menjadi
besi baja setelah ditemukan karbon sebagai bahan penguat logam besi, yang
menghasilkan peralatan seperti sekarang dengan kualitas kekerasan yang
dibutuhkan dan tahan korosi. Perkembangan
itu ditandai sebagai berakhirnya zaman besi, dengan mulai bangkitnya budaya Hellenisme atau kebudayaan Athena, di sekitar abad ke-6 dan ke-5 Sebelum Masehi, pada masa Pericles (pericles age), berpusat di kota Iskandariyah. Bersamaan terbentuknya
Kekaisaran Romawi, dan perubahan di Eropa bagian utara, yang ditandai sebagai
zaman pertengahan awal.
Sebagaimana senjata – senapan,
dan lainnya, bagi seorang prajurit di ketentaraan – senjata itu istri pertama seorang tentara, begitu pun dengan
parang. Sama halnya perumpamaan itu dengan parang bagi Orang Maluku. Tetapi
sejak kapan – sejarahnya, parang digunakan pertama kali oleh bangsa Alifuru –
pemukim kepulauan Maluku, belum ada catatan tertulis(ilmiah) yang menerangkan
hal tersebut. Karena itu, tulisan ini pun dibatasi pada kajian yang menjelaskan
setelah parang sudah dikenal dan tentang fungsi penggunaannya, dan kecuali itu,
disinggung juga tentang “pasangan” parang, yaitu salawaku. Keduanya dikaji, dari sudut pandang budaya Maluku sebagaimana
latar sejarah Bangsa Alifuru.
Parang Bagi Orang Maluku
Golok dalam sebutan bahasa
Indonesia, yang dalam bahasa melayu Maluku disebut parang, sangat dominan
penggunaannya karena bentuk, ukuran, dan fungsinya dapat menggantikan alat
potong lainnya. Menurut bahasa tana(h) – bahasa ibu bangsa Alifuru, disebut lopu, dan terdapat banyak istilah lain
dalam bahasa-bahasa komunitas lokal di Maluku.
Misalnya ; sabad(asbad) atau sad, dalam bahasa lokal kepulauan Kei.
Parang bagi Orang Maluku tidak
sekedar alat perlengkapan rumah tangga, tetapi sudah merupakan bagian dari
keutuhan kebutuhan yang tidak terpisahkan dalam kehidupan individual masyarakat
Maluku. Umumnya berfungsi sebagai alat yang hampir setiap waktu diperlukan
penggunaannya, sekaligus sebagai perlengkapan utama yang wajib disediakan dan
disiapkan berkenaan dengan kebutuhan akan rasa aman. Parang adalah alat perang
utama dalam tradisi sistem perlindungan dan keamanan bangsa Alifuru, juga
senjata tombak, panah, serta salawaku.
Alifuru; Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial
Baca juga ;
Alifuru; Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial
Telah menjadi tradisi yang
tidak boleh tidak ada, karena parang memiliki fungsi perlambang budaya
kemalukuan yang berkaitan erat dengan unsur “ke-beta-an“ atau keakuan sebagai bangsa Alifuru yang memaknai unsur kejantanan/kelaki-lakian,
yang secara turun temurun berdasarkan kesejarahan bangsa Alifuru. Secara
mitologis – dalam tradisi kepercayaan
bangsa Alifuru, diyakini memiliki aura kekuatan magis – secara naluri, yang
secara tidak langsung memberi perlindungan sehingga melahirkan rasa aman bagi
keselamatan diri pribadi, keluarga, dan masyarakat sekitar komunitas dan
lingkungan aktifitasnya.
Ketajaman sebuah parang pun sampai
pula dapat dinilai secara gender atau berjenis kelamin. Apabila ketajamannya relatif,
maka akan disebut “itu parang perempuan”. Sampai pun di zaman modern saat ini,
parang masih tetap dilestarikan adanya di setiap rumah orang Maluku. Sudah
menjadi salah satu “barang simpanan”, sekalipun kadang fungsi penggunaan tidak
setiap waktu atau rutin setiap hari. Berbeda dengan di masa lalu, parang selalu
menempel bersama pemiliknya kemana dan apapun aktifitasnya waktu siang maupun
malam, bahkan di kala tidur pun parang diletakkan di samping atau di posisi
yang mudah dijangkau atau raih ketika terbangun.
Di masa lalu, selain parang
ada juga pasangan intimnya, yaitu salawaku. Salawaku atau tameng, terbuat dari
bahan kayu berserat padat dan keras, yang tahan terhadap ketajaman senjata –
parang, lawan atau musuh. Banyak jenis pepohonan di Maluku dengan tingkat
kekerasan kayu sebagai bahan pembuatan salawaku. Saat ini, salawaku sudah tidak
lagi dibutuhkan, kecuali dibuat untuk digunakan pada tari-tarian perang ; cakalele, selebihnya hanya untuk hiasan
dinding.
Adapun terdapat pernik-pernik
ragam hias pada permukaan salawaku, tujuannya semata guna memperindah tidak
memiliki fungsi lain. Kalau pun untuk fungsi menghadang serangan senjata
musuh(lawan), kayu yang digunakan untuk salawaku sudah sebelumnya dipilih dari kayu
yang berserat keras dan kuat.
Ciri Khas Patasiwa dan
Patalima
Bangsa Alifuru di masa lalu
pernah terbagi dalam dua kelompok besar dengan ciri khas yang saling
membedakan, yang semula berawal dari pemisahan karena suatu perseturuan.
Ternyata pengelompokan itu terjadi tidak sebatas karena secara kejiwaan
terdapat perbedaan karakter diri antara keduanya, tetapi sifat dan sikap juga
tercermin dalam penampilan. Dikukuhkan melalui perbedaan penggunaan alat dan
cara melalui lambang-lambang budaya Alifuru oleh masing-masing kelompok.
Masing-masing
merupakan representasi ciri khas kelompoknya, bisa dikenali dan dibedakan melalui
parang dan salawaku yang digunakan. Sama-sama menggunakan parang panjang,
dengan sisi(mata) bilah parang hanya tajam di satu sisi dengan ujung parang sejajar
lurus ke depan dan lancip ke satu titik(ujung). Pada bagian belakang ujung
parang pada sisi yang tumpul – disebut “konde” parang. Sedangkan perbedaannya,
terdapat pada (h)ulu – pegangan, parang.
Ilustrasi Bentuk/model ulu parang dan salawaku Pata-Siwa dan Pata-Lima(Desain;@embun01/Sumber foto; Google)
Ulu parang kelompok Patasiwa
mengambil bentuk tapal kaki binatang babi
sebagai model ulu parang mereka, dan bentuk tapal kaki binatang rusa oleh kelompok Patalima. Dua jenis
binatang liar yang umum dan habitatnya ada hampir di seluruh pulau di kepulauan
Maluku. Hal tersebut juga melambangkan sifat – tabiat, positif dan sekaligus sifat negatif dari kedua jenis
binatang itu yang ikut tercermin pula pada sifat kedua kelompok. Pemahaman dimaksud
menurut kepercayaan - Agama, Nenek Moyang Bangsa Alifuru, jauh waktu sebelum
hadirnya Agama-agama Samawi di Maluku. Ulu parang dengan tapal rata dan bulat
seperti itu juga karena dapat difungsikan – bila diperlukan sewaktu-waktu,
untuk menumbuk sirih – pinang. Parang Maluku hanya tajam di satu sisi. Makna
filosofi ; “Orang Maluku – Patasiwa Patalima, tidak pernah dan jangan sampai
memiliki sifat khianat, bermuka dua, tajam muka-belakang seperti pedang.” Nilai
penting yang tidak diwakili model parang pada patung Pahlawan Pattimura yang
ada sekarang – segeralah diganti.
Parang Maluku pada patung dan
gambar Pahlawan Pattimura(Desain;@embun01/Sumber foto; Google, Pribadi)
Perbedaan juga pada salawaku. Ukuran
tinggi(panjang) salawaku Patasiwa, lebih panjang atau bila didirikan, tinggi hampir
sejajar dada orang dewasa, dengan kedua ujung agak lancip. Sebagai tameng,
salawaku model Patasiwa dapat ditancapkan ke tanah atau ditahan dengan
ditancapkan di sela jari jempol dan jari manis kaki. Cara berperang Patasiwa,
cenderung defensive – bertahan, dengn
berlindung dibalik salawaku. Sedangkan salawaku Patalima, agak lebih pendek.
Seukuran panjang satu lengan orang dewasa, dan dengan kedua ujung salawaku
tidak berbentuk, hanya rata. Sehingga mudah dan lincah digerakkan menghalau
serangan musuh. Cara perang Patalima bersifat offensive tetapi juga hit and
run.
Kebudayaan Maluku hari ini, yang
terlahir dari rahim kandung adat istiadat dari dalam sejarah di masa lalu. Terutama
budaya positif yang bijak sesuai kebutuhan zaman, sebagai warisan nilai-nilai kearifan
histori Bangsa Alifuru, agar tetap
terlindungi dari pengaruh akulturasi dari luar Maluku.
Kampung Bulak,
14 Oktober 2019
No comments:
Post a Comment