Ilustrasi ; Beta Alifuru (Yau Upao)
Orang(Manusia)
Alifuru atau Upao - bahasa
tanah, adalah identitas jati diri dan nama sukubangsa yang mendiami wilayah
kepulauan Maluku, termasuk juga yang mendiami deretan kepulauan di timur pulau
Papua, dan bagian timur kepulauan Nusa Tenggara. Berbatas di bagian barat dengan
pulau Sulawesi, di sebelah timur dengan pulau Papua, di selatan dengan negara
Timor Leste serta Australia, di utara dengan kepulauan negara Philipina.
Suku-bangsa Alifuru - secara garis besar agar tidak mengulang, merupakan Ras
Melanesia)1, yang bahkan bila diurut secara geografis ada keterkaitan ras
serumpun dengan suku-bangsa di kepulauan Palau, Samoa, Nauru dan lainnya yang
mendiami wilayah kepulauan di Samudera Pasifik. Menurut para ahli sejarah dan
antropologi mengatakan demikian setelah membandingkan dan mempertimbangkan
berbagai hal kesamaan dan perbedaan ras, bahasa, kehidupan sosial, dan budaya,
diantara suku-bangsa tersebut menurut hasil pengamatan atau penelitiannya.
Seperti itu masih diyakini hingga saat ini oleh orang Maluku keturunan suku-bangsa
Alifuru.
Antara Nunusaku dan Supamaraina
Bahasa Alifuru
Fenomena Kembalinya Jatidiri Alifuru
Kepustakaan
untuk sumber data yang akurat dan pasti tentang Alifuru tidak dapat ditemukan
secara lengkap, baik secara tertulis atau pun melalui hal-hal bukti kebendaan
yang menerangkan jejak-jejak awal sejarah keberadaan sukubangsa Alifuru yang
mendiami kepulauan Maluku saat ini. Sama sekali tidak dapat ditelusur secara
detail sejak awal mula keberadaannya sebagaimana bangsa-bangsa lain, kecuali
melalui informasi lisan orang per orang. Melalui informasi penuturan - Oral Story, kemudian melahirkan data tulisan sejak adanya kehadiran bangsa lain dari luar
kepulauan Maluku. Melalui literatur yang telah ada, keberadaan sukubangsa
Alifuru mula dibukukan kurang-lebih abad ke-16, yang ditulis oleh para penulis
bangsa Eropa.
Bangsa
China di daratan benua Asia yang bertetangga dengan kepulauan Maluku dan
dikenal sebagai bangsa penjelajah samudera sejak masa sebelum perhitungan tahun
Masehi. Dalam literatur hanya diketahui keterangan sebatas penggunaan
rempah-rempah, yang antara lain menerangkan tentang cengkeh, sekalipun tidak
secara spesifik menjelaskan secara detail lokasi serta kondisi masyarakat
dimana cengkeh itu berada. Setidaknya itu yang bisa saya dapatkan sedikit
pedoman setelah membaca tulisan dengan judul “Jejak China di Maluku”
yang ditulis oleh Elifas Tomix Maspaitella)2. Tulisan tersebut
cukup istimewa dan aktual, karena merujuk pada beberapa buku yang pernah
ditulis, walau tidak dalam konteks khusus mengulas tentang sejarah sukubangsa
Alifuru. Tetapi ada banyak hal yang termuat dan setidaknya mengindikasikan
petunjuk, tentang jejak lain sebagai informasi dan pedoman menelusur sejarah
sukubangsa Alifuru lebih jauh ke belakang. Tidak semata Nederlanscentris –
kata penulis di atas.
Kecuali
itu, terdapat “cahaya berbeda” sejarah sukubangsa Alifuru, juga
versi mithologis, lokus Supamaraina – Gunung Murukele)3, tetapi lebih merangkum
dan menjelaskan mulai dari tanjung Sial di barat hingga tanjung Siritoun di
timur pulau Seram. Pieter Jacob Pelupessy dalam Esurium
Orang Bati, Disertasi Doktor – telah dibukukan, adalah hasil dari 23 tahun
(1985-2008) pengabdian beliau meneliti keberadaan Orang Bati, sub-sukubangsa
Alifuru, patut diapresiasi maksimal segenap Orang Maluku. Bahwa ada pencerahan,
perspektif baru, yang memungkinkan ditemukan rangkaian yang hilang atau menjadi
jalur yang lebih melebar untuk menelusur lebih luas dan dalam pada yang mungkin
masih samar, begitupun peluang menuju kesesuaian untuk menemukan kebenaran
sesungguhnya dari “misteri” sejarah perjalanan sukubangsa Alifuru.
Antara Nunusaku dan Supamaraina
Sejarah masa lalu sukubangsa Alifuru secara
tertulis adanya setelah kehadiran pendatang bangsa asing dari luar kepulauan
Maluku, sayangnya lebih banyak mengungkap tentang sejarah bertendensi politis
demi kepentingan ekonomi dan penyebaran agama. Apakah itu dari wilayah barat
kepulauan Nusantara, dari Asia timur, Asia tengah, Jazirah Arab, hingga
bangsa-bangsa dari benua Eropa, sama dan sebangun. Rekam jejak sukubangsa
Alifuru tidak berbeda dalam cara pengungkapannya, semua bersumber dari penuturan
lisan sebagai data primer yang belum tentu mewakili secara lengkap gambaran
sesungguhnya. Harus dipahami bahwa persaingan diantara sesama sukubangsa
Alifuru untuk saling mendominasi dalam banyak hal dan khususnya kekuasaan,
adalah bagian dari sifat asli sukubangsa Alifuru, tidak hanya oleh sukubangsa
lain. Namun demikian ada kebaikannya yaitu pada ikatan persaudaraan dan
persahabatan yang tak mudah dianeksasi, sekali terkait untuk selamanya.
Sejauh
ini sejarah awal mula keberadaan sukubangsa Alifuru, versi terpublikasi selama
ini umumnya dipahami berasal dari suatu tempat di bagian paling barat pulau
Seram yang disebut Nunusaku, terletak di hulu sumber tiga sungai besar yaitu
Tala, Eti dan Sapalewa. Pemahaman merujuk kepada sumber-sumber penulisan sebelumnya
yang diketahui ditulis oleh para penulis bangsa asing bermula sejak adanya
kehadiran pendatang bangsa-bangsa asing dari luar kepulauan Maluku di abad
pertengahan Masehi, baru sekitar empat hingga lima abad yang lalu, itulah yang
dijadikan referensi pembenaran sejarah Alifuru.
Sejarah
Alifuru hanya berpatokan kepada satu bagian tempat tertentu dari luasnya
wilayah pulau Seram. Lalu bagaimana dengan wilayah lain di pulau Seram, Alifuru
pulau Buru dan juga pulau Halmahera, ketiganya merupakan pulau terbesar di
kepulauan Maluku. Dalam sejarah ratusan tahun penjajahan oleh bangsa-bangsa
Eropa, mereka berhasil menguasai paling banyak seperempat dari area pulau
Seram, hanya yang terdapat di bagian ujung barat dan sebagian pesisir selatan.
Begitu pun sama seperti oleh kerajaan-kerajaan dari utara kepulauan Maluku,
sebelum bangsa Eropa.
Sebaliknya,
keyakinan turun-temurun oleh sukubangsa Alifuru khususnya yang hingga saat ini
masih berdiam di pedalaman hutan dataran tinggi pegunungan Manusela, bagian
tengah pulau Seram, maupun sebagian yang telah bermukim di pesisir pantai
selatan dan bagian timur pulau Seram. Mereka percaya nenek-moyang Alifuru,
lahir dari gunung Murukele dan menjalani kehidupan awalnya di wilayah bernama
Supamaraina. Tempat ini berada di dataran tinggi pegunungan Manusela, bagian
timur laut gunung tertinggi di pulau Seram dan kepulauan Maluku yaitu gunung
Binaya (3027meter.dpl).
Masyarakat
yang ada di perbukitan dan kaki pegunungan Manusela bagian selatan, hingga
pesisir pantai selatan pulau Seram, khususnya di wilayah Teluk Telutih
(Tounlutih – ujung/tanjung putih - buih ombak) mulanya adalah penyebaran dari
Supamaraina, dan dari kelompok dengan komunitas terbesar.
Ketika
menyebar dari Supamaraina di dataran tinggi pegunungan Manusela, mereka lebih
memilih untuk menuju wilayah selatan, karena lebih bisa menghindari ancaman dan
serangan terus-menerus orang-orang asing dari arah utara, maupun dari barat
yang selalu melewati laut utara pulau Seram. Wilayah bagian utara topografinya
tidak strategis dari sisi keamanan untuk didiami, selain kesulitan untuk
memantau pendatang dari luar, wilayah utara cenderung datar hingga pesisir.
Sehingga ribuan tahun pesisir pantai utara tidak pernah ditempati, baru
beberapa ratus tahun belakangan ini setelah kehadiran orang-orang dari
kerajaan-kerajaan di utara kepulauan Maluku. Kondisi berbeda dengan pantai
selatan yang berbukit bergunung dan curam, sangat menguntungkan dari sisi
pemantauan dan pertahanan terhadap musuh dari luar pulau.
Alifuru
Selatan atau disebut juga Upao Maliamato adalah yang
menyebar di selatan dataran tinggi Manusela berpusat di lembah Maliamato, diperkirakan
pada abad ke-15, kehadiran penyiar agama Islam yang diantar atau datang bersama Alifuru
Nunu-Saku dari Huamual, yaitu dari mata-rumah Wala, Mahu,
Lesi, Tuni, Moni, Peisina, dan Iha-Tansailo)4. Sebagian Upao
Maliamato kemudian masuk menganut Agama Islam, tetapi tetap masih bermukim
menyebar di pedalaman. Hingga saat penjajah Belanda telah menguasai Maluku dan
dengan kepentingan politik Hongi Tochten-nya di abad ke-17, yang membutuhkan banyak
tenaga lokal untuk perang, tebang dan tanam – cengkeh dan pala, maka terjadi
semacam “pemaksaan” untuk dimukimkan di pesisir pantai, maka terbentuklah
pemukiman pertama di pesisir selatan teluk Telutih dengan nama Namasina.
Tentang “Sejarah Namasina” akan penulis jelaskan di lain tulisan.
Supamaraina
terletak di dataran tinggi pegunungan Manusela, menyatu dengan gunung Murukele
Besar dan Murukele Kecil sebagai area mitologi sukubangsa, adalah merupakan
situs atau tempat keramat yang paling dihormati dan dilindungi. Kedua gunung
tersebut masih tetap terjaga dan tidak tersentuh atau dimasuki oleh “orang
luar”. Tidak diijinkan untuk siapapun orang luar atau sembarang orang,
jangankan menginjakan kaki di tempat itu, mendekatinya pun tidak diperkenankan,
bila nekad nyawa taruhannya. Hanya bisa oleh mata-rumah tertentu, dan harus
terlebih dahulu melalui prosesi ritual adat sumpah sirih-pinang, untuk
memastikan benar-tidaknya yang bersangkutan memang berasal dari tempat
dimaksud, barulah dapat menjelajahi dan menjejakkan kaki di dua gunung
tersebut.
Sakralnya
gunung Murukele (besar dan kecil) bagi sukubangsa Alifuru khususnya di Seram
bagian tengah adalah keniscayaan yang tidak dapat dinafikan, walaupun telah
lama menganut agama-agama samawi, Islam atau Kristen. Gunung Murukele oleh yang
mengakar mitologi Alifuru, masih dipercaya sebagai tempat lahirnya “Manusia
Alifuru”, nenek-moyang suku bangsa Alifuru. Sampai pun Orang Bati atau “manusia
ilang-ilang” dan komunitas yang selama ini dianggap bisa pergi kemana saja
dengan cara terbang, sebagai salah satu sub-sukubangsa Alifuru yang mendiami
gunung Bati – pegunungan di bagian paling timur pulau Seram, gunung Murukele
merupakan tempat paling utama dikeramatkan selain gunung Bati, karena diyakini
adalah tempat asal usul Manusia Bati, nenek-moyang Orang Bati)6.
Di
dataran tinggi pegunungan Manusela yang sekarang telah menjadi bagian dari area
Taman Nasional Manusela, terdapat pemukiman yang sejak ribuan tahun lalu telah
ada, seperti kampung atau negeri Manusela, Maraina, Serumena – tiga kampung
besar tertua, dan banyak lagi perkampungan kecil. Masih sebagaimana jaman
dahulu, lingkungan dimana mereka berada tetap terjaga dan lestari hingga kini,
dan bukan hal yang perlu dipertanyakan. Tempat asal “Manusia Alifuru”,
nenek-moyang sukubangsa Alifuru menjadi alasan utama dalam ritme kehidupan
menempati wilayah ini, sehingga ragam keburukan dan ambisi keduniaan
diminimalisir melalui kearifan untuk selamanya menjaga, melindungi,
diselaraskan dengan kebaikan alam, karena dipercaya telah memelihara dan
mengantar kehidupannya hingga kini.
Beta tidak bermaksud
mengatakan hanya Supamaraina sebagai satu-satunya tempat asal-usul sukubangsa
Alifuru dan menyepelekan atau mengabaikan Nunu-Saku, tetapi dari rangkaian
pemahaman mempelajari penulisan sejarah sukubangsa Alifuru sejauh ini,
sepertinya ada satu dua mata rantai yang terlewatkan atau hilang, sehingga
sejarah sukubangsa Alifuru masih dibaca terputus-putus. Nunu-Saku di barat, dan
Supamaraina di tengah - timur pulau Seram, keduanya aikon awal sejarah
sukubangsa Alifuru secara mitologi, tapaknya – bakas tampa kaki, masih harus
terus ditelusur, apakah tapak langkah maju atau berjalan mundur, agar ditemui
pemiliknya, siapa dia dan dimana sesungguhnya berada.
Bahasa Alifuru
Sukubangsa Alifuru sangat kaya dengan
perbendaharaan bahasa komunikasi, saat ini setidaknya terdapat 117 bahasa lokal
yang masih digunakan dari yang pernah ada lebih 130-an bahasa lokal)7. Terdapat
masing-masing bahasa komunikasi di setiap area komunitas suatu wilayah
tertentu, sehingga sangat banyak bahasa setempat yang ditemui pada semua
pemukiman masyarakat atau orang-orang sukubangsa Alifuru diseluruh kepulauan
Maluku. Ada perbedaan dialek dalam irama masing-masing bahasa, tetapi sebagian
besar bahasa memiliki kesamaan pengertian. Dialek atau irama dan tekanan ucap
berbahasa dan pengaruh tambahan pada awalan, imbuhan maupun akhiran kata ketika
berbahasa, memunculkan anggapan ada perbedaan. Ternyata tidak, bila secara
saksama dan detail diteliti, apalagi pada bahasa tanah, kental dan padu
penggunaan bahasa yang hampir sama persis di semua tempat kediaman komunitas
sukubangsa Alifuru.
Dari
sekian banyak bahasa yang dipergunakan sebagai sarana atau alat komunikasi
bercakap dalam kehidupan sosial diantara mereka, terdapat hanya ada satu jenis
bahasa khusus yang tidak dapat dipercakapkan atau tidak untuk digunakan sebagai
bahasa komunikasi dua arah, yaitu Bahasa Tana(h) atau Kapata,
di wilayah pulau Seram bagian tengah-selatan disebut juga dengan Talili.
Tatanan
kehidupan sukubangsa Alifuru, sejarahnya dapat diketahui dan dipahami melalui
pemahaman tutur Bahasa Kapata sebagai Ibu dari bahasa-bahasa sukubangsa
Alifuru, karena “Bahasa Kapata” adalah bahasa pustaka sebagai cara Alifuru
merekam dan menuliskan sejarahnya dalam bentuk lisan)8. Khusus bahasa ini,
hanya pergunakan sebagai alat tutur menceriterakan suatu peristiwa, menerangkan
suatu kejadian, menunjuk dan menerangkan suatu tempat, dan paling utama adalah
untuk menyampaikan suatu pesan bijak. Sebab sukubangsa Alifuru pada masa lalu
tidak memiliki dan mengenal bahasa tulis, tetapi perbendaharaan kekayaan
intelektual berbahasa telah melahirkan ratusan bahasa pada masing-masing
wilayah kediaman komunitas sukubangsa Alifuru.
Akan
sangat mudah memahami bahasa-bahasa seluruh sukubangsa Alifuru, diyakini
demikian dengan terlebih dahulu memiliki pengetahuan berbahasa dari salah satu
jenis bahasa lokal yang digunakan masyarakat setempat. Belajar lebih dahulu
berbahasa lokal, barulah kemudian menelusur bahasa-bahasa lainnya, karena akan
diketahui bahwa ternyata ada kesamaan-kesamaan dan memungkinkan dapat menelusur
untuk mengerti bahasa pustaka Alifuru yaitu bahasa Kapata.
Menurut
dialektika Alifuru maka dapat dibedah untuk mendapatkan pemahaman kata atau
kalimat sebutan yang menunjuk keterangan terhadap suatu tempat, sehingga kata
sebutan tentang sesuatu dalam percakapan bisa saja diartikan memiliki keragaman
dan kedalaman maksud yang bisa saja berbeda makna. Bukan perbedaan, tetapi
pergeseran dalam ucapan akibat irama atau ritme berucap dan oleh penyebutan
berulang-ulang dari waktu ke waktu akan menghasilkan kata sebagaimana saat ini
dikenal atau didengar.
"Supa-Maraina" sebagai kata
contoh rujukan, berasal dari ucapan penyebutan terhadap penamaan tempat yang
dianggap sebagai tempat asal-usul Manusia Alifuru. Pengaruh oleh ucapan, dialek
atau irama bahasa, maka dapat memunculkan beberapa pengertian dan maksud dari
sukukata supa-maraina. Secara dialektika, Supa berarti beringin
– pohon, dan Maraina terdapat dua suku kata yaitu marai yang
artinya dialek, aksen, atau irama bahasa dan na adalah kata
sambung tanpa makna karena oleh pengaruh irama ucapan. Lebih jauh, Supa,
mungkin juga berasal dari kata sopa yang artinya sembah,
atau dari dua kata sou dan pa. Sou artinya bahasa,dan pa artinya seperti,
pa atau apakah. Maraina, pengertiannya seperti
pecahan dua kata di atas. Dalam praktek ucapan ; sou pa - (pamo
na), marai na, sehingga Supa-Maraina, berarti bahasa
apa dialek.
Dalam
pengertian lain - supa-maraina, bila supa yang
dimaksud sopa – somba, atau sembah dan marai adalah bahasa,ucapan,
atau suara berirama seperti nyanyian, maka bisa
diartikan nyanyian yang indah - untuk persembahan, kepada leluhur dan
pencipta alam semesta. Tempat dimana dilakukannya ritual persembahan kepada
nenek-moyang Alifuru dengan cara menyanyi dan menari, oleh karena diyakini
sebagai tempat asal-usul lahirnya nenek moyang suku-bangsa Alifuru. Yang
terakhir ini, tari-tarian sambil bernyanyi, mengarah kepada perbendaharaan adat
upacara ritual Alifuru, seperti tari Maku-maku, tari Pukare)9, tari
Toti)10, Kahua)11 dan beberapa tarian persembahan lainnya,
bukanlah tarian biasa sebagaimana dikenal tari cakalele sebagai tari perang
karena tidak menggunakan nyanyian hanya irama pukulan tifa. Tetapi tari
maku-maku, pukare, toti, ditarikan dengan diiringi nyanyian, diselenggarakan
dalam suatu upacara ritual adat karena kebutuhan. Isi nyanyian dalam bahasa
tanah (kapata) yang mengandung kisah dan pesan sejarah, nasehat bijak,
puji-pujian kepada nenek-moyang dan alam lingkungannya dan penghotmatan kepada
sang Penguasa manusia serta alam semesta.
Contoh
lain, Manusela atau Mansela. Terdiri dari dari dua
kosa kata, Manu - man dan sela. Manu atau man artinya burung dan sela artinya sisir
-menyisir, burung yang terbang menyisir rendah ke tanah atau
pepohonan. Manusela disematkan untuk menyebut wilayah dataran tinggi di
tengah-tengah pulau Seram, masih satu area dengan Supa-Maraina, yang sangat
kaya oleh melimpahnya keberadaan jenis burung-burung cantik dan indah khas Wallacea,
“birds of paradise”)12. Burung-burung ini memang liar, tetapi senang
hinggap di cabang dan ranting pepohonan yang dekat dari tanah, ketika
terbangpun secara rendah menyisir permukaan tanah, itulah Manusela.
Supamaraina,
apapun artinya – dalam terjemahan penulis di atas, tidak bermaksud dapat
mempengaruhi apalagi untuk merubah keyakinan terhadap posisi tempat dimaksud,
tetap saja tempat bersejarah, yang dipercaya sebagai lokasi awal
asa-usul Manusia Alifuru, nenek-moyang sukubangsa Alifuru.
Sejarah
masa lalu sukubangsa Alifuru hanya dapat ditelusur dan diketahui melalui sumber
lisan(oral story). Dalam penafsiran sejarah berdasarkan perekaman dari sumber
lisan atau penuturan, bisa saja bergeser bahkan berbeda makna dan berbeda dari
maksud, sehingga kehati-hatian dengan tela'ah lebih dalam, dapat meminimalisir
kekeliruan suatu informasi atas suatu rekaman lisan peristiwa sejarah.
Mengetahui latar belakang penutur, kemampuan daya ingat dan struktur bertutur,
merupakan cara cerdas mengukur kualitas informasi atau keterangan yang
disampaikan. Kelemahan oral story, selalu ada pada kurang dan lebih-nya, oleh
banyak sebab.
Sarana
utama sebagai pengantar mengetahui dan memahami lebih baik sejarah Alifuru,
adalah bisa berbahasa salah satu dari sekian banyak bahasa lokal sukubangsa
Alifuru, pelajari dan cakaplah berbahasa Alifuru, terutama oleh anak-cucu
masyarakat Alifuru di sebagian negeri-negeri yang saat ini telah lenyap bahasa
lokalnya.
Hanya ada Suku-Bangsa
Alifuru
Seringkali dalam pemahaman terucap maupun tulisan
yang dipublikasikan banyak orang, disebut terdapat begitu banyak suku-suku di
Maluku, lebih khusus komunitas-komunitas masyarakat di pulau Seram yang
sebelumnya atau masih berkediaman jauh dari pesisir pantai yaitu di pedalaman
hutan-hutan, dataran tinggi, maupun pegunungan. Dimaksudkan seperti masyarakat
Nuaulu, Fuauru, Huauru, saat ini dan bahkan seperti masyarakat Alune dan Wemale
di masa lalu.
Kerancuan
akibat ketidak pemahaman terhadap bahasa ucap dan komunikasi, juga dikeruhkan
dengan memformalkan suatu sebutan atas dasar kekurang-pengertian terhadap
keberadaan identitas asli penduduk sukubangsa Alifuru pada suatu tempat. Nama
komunitas sukubangsa Alifuru didasari letak keberadaan pemukimannya pada suatu
tempat atau wilayah, yang kemudian menjadi identitas keterangan tempat tinggal
atau asal-usul mereka. Harusnya seperti demikian, sebab penduduk asli pulau
Seram, pulau Buru dan seluruh pulau di kepulauan Maluku, hanya ada satu nama
suku atau bangsa, yaitu Alifuru. Tidak ada nama suku lain, yang benar hanya ada
nama tempat atau lokasi(area) di mana komunitas sub suku dari sukubangsa Alifuru
bermukim.
Nuaulu
atau Nuauru? Bukanlah nama suku ! Tetapi nama tempat(kampung) pemukiman orang
atau masyarakat Alifuru yang menempati atau tinggal dan berdiam di hulu sungai
Nua. Sungai(wae)Nua – wae Nua, berhulu di sebelah selatan – barat laut kaki
gunung Binaya dan mengalir ke arah timur, bermuara di teluk Telutih, selatan
negeri Sunolu Kecamatan Tehoru. Ulu atau uru artinya orang, Nuaul(r)u artinya
orang (dari) sungai Nua. Demikian dengan Fuaru atau ucapan aslinya Vouaru,
untuk pemukim di area hutan yang banyak terdapat tumbuhan paku-paku dan pakis
Seram – pakis binaya(cyathea binayana). Huaru, di wilayah sekitar gunung Huale
di sebelah timur Supa-Maraina, yang banyak terdapat tumbuhan pohon pinang,
khususnya pinang buah putih besar. Hua artinya buah(pohon) pinang.
Nuauru,
Fouauru atau Huauru, dan masih banyak lagi, sedemikian sama saja dengan Alune
maupun Wemale. Alune, adalah sebutan bahasa Alifuru yang artinya dari atas, di
atas, di atau dari gunung, Alifuru dari gunung. Alune padanan kata Alifuru-nya
laun atau a laun artinya di atau berarti juga daun, menunjuk pada sesuatu yang
adanya dari atau di atas. Wemale padanannya mahale, sama-sama artinya ke bawah,
kesana – di atau ke pantai, Alifuru yang tinggal atau turun ke bawah gunung
atau pantai. Kata lain male yang artinya pergi – jalan,
petualang(berkeliling). Alune untuk menyebut masyarakat Alifuru yang berada di
pegunungan dan Wemale sebutan bagi yang telah keluar, pergi dari gunung dan
berdomisili atau menempati wilayah di pesisir pantai.
Pemukim
di pegunungan atau di pesisir pantai adalah masyarakat sukubangsa Alifuru,
hanya berbeda lokasi, tidak ada nama suku lain. Menyebut “suku-bangsa”
mengartikan Alifuru bukan hanya sekadar identitas sebatas suku, tetapi
sekaligus suatu bangsa, tetapi sebutan demikian menjadi tidak lazim. Disadari
bahwa masyarakat Alifuru hari ini berada dalam satu kesatuan sistem
ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI), yang juga
dikonotasikan sebagai sebuah bangsa yaitu Bangsa Indonesia. Alifuru pun
menjadi sub dari bangsa Indonesia, atau diposisikan hanya sebagai suku dari
yang seharusnya sebuah bangsa. Maka ditulis menjadi sukubangsa(suku-bangsa),
walaupun dalam kenyataan identitas ras dan karakter Alifuru memang berbeda
dengan umumnya sukubangsa lain di Indonesia.
Sub-suku
atau Anak-suku Alifuru, lebih mungkin bisa digunakan dalam penyebutan maupun
penulisan, tidak menggunakan sebutan kata “suku” untuk suatu komunitas
masyarakat Alifuru di wilayah tertentu, selain hanya ada Suku-bangsa Alifuru.
Kepada Orang Maluku Alifuru khususnya, virus devide at empra, bila itu
niatnya, lenyapkanlah segera bila tidak ingin kehilangan identitas jati diri.
Bila pun tidak, apakah mungkin anda setuju bila setiap negeri, kampung, atau
pulau, berdasarkan nama domisilinya masing-masing saat ini disebut juga dengan
suku ? Misalnya suku Amahei, suku Kairatu, suku Tulehu, suku Eti, suku Sawai,
suku Tehoru, suku Pelaw, suku Geser, suku Taniwel, suku Namlea, suku Luhu, suku
Tual, suku Saparua, suku Ternate, suku Tidore, dan lain negeri, kota, pulau,
masing-masing di Maluku mulai sekarang dikelompokkan sebagai suku.
Apakah
ini semacam upaya mendegradasi, amputasi, atau mungkin mutilasi, yang bisa
dimaknai bermaksud mengingkari kesatuan identitas, dengan diretakkannya dalam
sub sistem atas dasar kesadaran yang bermaksud pemecah-belah atau memang karena
ketidak pemahaman sehingga melabelkannya demikian. Semacam kerancuan pola pikir
dan pemahaman yang terjadi secara tergeneralisasi, apakah dari orang luar atau
dari oleh anak-cucu keturunan sukubangsa Alifuru sendiri. Disadari atau tidak
sejarah keberadaan masyarakat asli kepulauan Maluku yang terjadi di masa lalu
dan hingga sekarang, tulis iko beta pung mau – sesuka
penulisnya, semoga saja tidak demikian.
Fenomena Kembalinya Jatidiri Alifuru
“Sampai saat ini sebutan Alifuru masih dianggap
negatif dikalangan orang Maluku sendiri karena menunjukan pada orang liar,
kotor, bodoh, menakutkan, menyeramkan, dan sebagainya. Sebutan ini sering
dihindari ketika berlangsungnya interaksi dikalangan masyarakat Maluku)13.
Beta
mengulang lagi sekadar mengingat, bahwa kerancuan dan kekeliruan pemahaman
mengenal identitas penduduk asli Maluku, setidaknya sejarahnya bermula dari dan
demi kepentingan kolonialisme bangsa Belanda di Maluku. Politik ekonomi Hongi Tochten)14,
untuk memonopoli perdagangan komoditas cengkeh di pertengahan abad ke-17,
disertai dengan menjalankan falsafah politik kotor dan tidak beradab ; devide
at empera, pecah belah dan kuasai. Bukan hanya menguasai wilayah, orang,
dan sumber hidup ekonomi penduduk, tetapi juga merubah perjalanan sejarah
tentang identitas dan jatidirinya, pranata adat, budaya dan sistem kepemimpinan
ribuan tahun, sengaja dan terencana diganti, dirubah, hingga dilenyapkan.
Pilihan
kepada orang Maluku (suku-bangsa Alifuru) saat itu, yang mau bergabung dengan
Belanda akan mendapat berbagai hak dan keistimewaan, serta yang paling
bergengsi adalah mendapat predikat dan stempel lebih beradab, pintar, bersih,
dan maju. Bagi yang tidak akan dipandang dan dijuluki sebagaimana kalimat di atas.
Masyarakat Alifuru terpecah-belah dalam pengaruh dan kungkungan Belanda, hingga
melahirkan anggapan salah, bahkan masih hingga kini, yang sebenarnya telah
menghina diri sendiri.
Virus
politik penganuliran dan pembodohan oleh bangsa imperialis Belanda disuntikkan
secara sengaja dan berkesinambungan ke segenap persendihan dan otak masyarakat
orang Maluku. Kemudian terpelihara lalu dijangkitkan secara sadar dan diluaskan
wabahnya, diendemikkan, diinformasikan dan bahkan dikukuhkan kepada para
cendekiawan peneliti pendatang dari luar Maluku yang datang untuk menulis
tentang sejarah Alifuru, baik di masa lalu, bahkan di kemudian hari hingga saat
ini.
Belakangan
ini terdapat beberapa fenomena menarik dikalangan masyarakat Maluku – Alifuru,
yang menganggap diri telah pintar, bersih dan lebih modern, kebalikan dari
gambaran di awal sub judul tulisan ini, ternyata ketika menyelenggarakan
upacara adat mereka, nyata dan tanpa malu-malu mempraktekkan tata cara upacara
adat sukubangsa Alifuru, identitas dan budaya yang sudah pernah dengan sadar
telah dihina dan disingkirkan. Mungkinkah ini pertanda telah kembalinya ingat
setelah sadar selama ini ternyata telah kehilangan identitas sehingga merasa
tidak mengenal lagi jati dirinya, semoga demikian, tetapi harus apa adanya alias
jujur.
Dalam
fenomena lain, sekarang masyarakat Maluku sedang dalam proses pengembalian
identitas jati diri sebagai sukubangsa Alifuru. Lembaran-lembaran baru sejarah
ditulis, dikarang, lalu dipublikasikan. Meluas hingga komunitas geneologis
pada masing-masing mata-rumah, bahkan ada dalam satu mata-rumah bisa lebih dari
satu versi sejarah. Cenderung mengagungkan dan melebih-lebihkan secara sepihak
matarumah, soa, negeri atau wilayah masing-masing, sementara versi akurat dan
lengkap mungkin saja masih retak dan sebagian serpihannya entah di mana.
Sayangnya, tidak membantu menjadikan sejarah Alifuru lebih baik, kian menjauh
dari kebenaran sesungguhnya, serta makin memperkeruh perseteruan melalui silang
pendapat atas keakuratan sumber dan relatifnya data sejarah Alifuru yang dapat
diterima semua pihak.
Untuk
itu, penulis cenderung pada penyampaian yang sifatnya menggugah semua pihak,
lepas dari keinginan dan egosentris sebagai anak-cucu keturunan Alifuru
Supa-Maraina. Jangan membacanya dari sisi pemikiran seakan sok tau dan dalam
keinginan terselubung untuk memperkeruh atau melebarkan silang pendapat.
Sebagai harapan agar kita lebih bijak bersikap dan kembali secara cerdas dan
seimbang, sama-sama melihat dan menelusur sejarah Alifuru. Menemukan pangkalnya
tanpa melebih-lebihkan yang kurang, menghindari ego yang dapat mengurangi
apalagi menghilangkan kebenaran sesungguhnya.
Kepustakaan
yang ditulis tentang jejak awal sukubangsa Alifuru sepertinya belum lengkap dan
selesai penelusuran dan pengungkapannya, beberapa hal kebendaan dan lingkungan
alam, sama dengan melalui penuturan orang per orang atau sumber lisan, juga
karena waktu yang kian menjauh menjadikannya makin bias tak beraturan.
Tulisan
ini sebagai penggugah dan ungkapan rasa, sekaligus pengetahuan sejarah yang
diketahui yang tentu mungkin belum sempurna, mungkin juga ada hal yang kemudian
dipertanyakan. Sejatinya, menjadi kewajiban dan pengenalan penulis sebagai
anak-cucu sukubangsa Alifuru dari garis-lurus keturunan Kapitane Lele'e Iha-Tehuayo. Satu dari tiga keluarga Kapitang – Tehuayo, Ilela dan Lilihata,
yang pernah memiliki kekuasaan dan komunitas besar pada jamannya di wilayah
Seram bagian tengah, khususnya dataran tinggi pegunungan Manusela hingga
pesisir dan laut selatan teluk Telutih.
Mungkin
belum banyak, tetapi dari sekian literatur yang pernah ditelusur, dihimpun,
dibaca dan dipelajari, beta berkesimpulan bahwa pengungkapan tentang sejarah
sukubangsa Alifuru belum final.
Misteri,
tetapi bukan mustahil, itulah sukubangsa Alifuru.
Alifuru
mesee !
Depok 20 Januari 2016
M.Thaha Pattiiha
----------------------------------------------------------
* Tulisan ini sementara dalam perbaikan(revisi). Edisi revisi akan berisi sub-judul tentang ; Alifuru Nunusaku, Penyebaran Alifuru, Falsafah Siwa-Lima, Bahasa-bahasa Lokal, Pengaruh dari Dunia Luar, dan Struktur Adat Alifuru, serta penajaman sub judul Antara Nunusaku dan Supamaraina, dalam rencana baru akan beta ditampilkan pada bulan Mei 2018.
Sumber ;
1) - Stephanie Lawson, ‘Melanesia’ (CS) -
The History and Politics of an Idea, The Journal of Pacific History Vol.48,
Issue 1, 2013.
- Foreign
bodies : Oceania and the science of race 1750-1940 /editors: Bronwen Douglas,
Chris Ballard. ANU(The Australian National University)
E Press, by E-mail.
2) Elifas Tomix Maspaitella; Jejak
China di Maluku,
http://kutikata.blogspot.co.id/2010/05/jejak-dina-di-maluku.html
3) Pieter Jacob Pelupessy ; Eseriun Orang Bati, hal. 96 dan 167, Universitas Kristen Satya Wacana, item:
3) Pieter Jacob Pelupessy ; Eseriun Orang Bati, hal. 96 dan 167, Universitas Kristen Satya Wacana, item:
http://repository.uksw.edu/handle/123456789/736
4) Arsyad Leuli(Wolu), Sejarah
Perjalanan Guru Leuli di Telutih, penuturan – Ambon 1995.
5) Abdullah ‘Rinjani’ Tehuayo,
Tutur Sejarah matarumah Kapitang Tehuayo, Telutih Baru 1990
6) Pieter Jacob Pelupessy ; hal. 96
dan 167, idem
7) Bahasa, Profil Investasi
Provinsi Maluku hal.9, BKMD Provinsi Maluku 2005
8) Bahasa Tana(h) - Kapata;
http://alifurusupamaraina.blogspot.co.id/2015/12/alifuru-hanya-bisa-diketahui-sejarahnya.html
9) Pukare, upacara ritual-“vulgar dan liar”, (tari & nyanyi)waktunya malam hari tanpa penerangan. Ket.peserta“SN”,1996.
9) Pukare, upacara ritual-“vulgar dan liar”, (tari & nyanyi)waktunya malam hari tanpa penerangan. Ket.peserta“SN”,1996.
10) Toti adalah tarian persembahan (
perang)–Kapata diringi tifa, penari laki-laki. A. Kumkelo(Laimu), Bekasi
2007.
11) Kahua, upacara ritual
persembahan(tarian & nyanyi) mengawali pembangunan rumah atau pemukiman.
Ket.“SN”,1996
12) Zonasi Taman Nasional Manusela,
Kab.Malteng.Prov.Maluku hal.1, Balai Taman Nasional Manusla, 2011.
13) Pieter Jacob Pelupessy ; hal. 96 dan 167,
idem.
14) Hany Tuarissa, AGAMA, BUDAYA DAN ADAT NEGERI TIHULALE
14) Hany Tuarissa, AGAMA, BUDAYA DAN ADAT NEGERI TIHULALE
http://kartope.blogspot.co.id/2014/03/agama-budaya-dan-adat-negeri-tihulale.html
Bung, beta pemahaman masih sadiki ttg maluku. Banyak browsing banyak baca rata-rata blog ttg maluku (suku/bangsa alifuru) sepihak dan mendiskriminasikan berbagai lokasi. Tapi ketika baca ini beta rasa hati tasonto. Salam 👏🏻👍
ReplyDeleteSaya fam. TUNYLUHULIMA. Leluhur papa dari Ihamahu fam. Luhulima, pindah ke Seram, nikah dengan putri raja Alifuru "Pattikupa", dan nama fam. menjadi Tuniluhulima. Ibunya papa orang Belanda (oma Johanna Valentijn), kakek di KNIL (dibunuh Jepang), nama fam. TUNYLUHULIMA.
ReplyDeleteKetika saya berumur kira-kira 3 tahun, tahun 1950, papa ke Seram, di Liang. Mama hrs. ikut upacara leluhur (7 hari-7 malam, pakai kain warna hitam, 7 lapis, krn. mama dari Oma, pulau Haruku, fam. KAYHATU). Mama tidak mau ikut aturan, papa harus ke gunung, menghadap leluhur (dalam gua- arwah-2), minta dibebaskan dari aturan. Mama pernah dikunjungi orang Alifuru (hanya kelihatan, kalau mereka mau memperlihatkan diri) mungkin krn. mereka mau lihat mama, lalu minta bahan seperti garam, dan lain. JADI SAYA JUGA ORANG ALIFURU. Nama lengkap saya Johanna Seeba Christina Tunyluhulima).
Tante Johanna, saya Rogér Leuwol (dari Belanda), ibunja saya Tunyluhulima. Jng bulan oktober saya di ibunja saya punja saudara2 Tunyluhulima di Liang (Ceram). Ini saya punja alamat email rogerleuwol@gmail.com Tante Johanna bisak kontakt saya?
DeleteRoger, Tante sudah kirim email ke alamat yang kamu berikan. Terima kasih sekali untuk perhatianmu. Salam.
DeletePermisi minta gabung, beta Roberth Risamena,mau korek hati Usi sadikit saja,kalau yabg sebenarnya Tuny itu dari liang Ambon,Usi punya tiang2 rumah masih berdiri di Liang Ambon sebelah matahari masuk dikintal Risamena. Keluar dari liang ambon memakai perahu yanglayarnya dari jaga2 pohon menuju Teluk Elpaputi dan membangun Negeri baru bernama Liang juga, setelah diliang seram barulah marga Tuny ditambah Luhulima menjadi Tunyluhulima. Jangan marah e tapi beta harus bilang kar Risamena punya anak buat Tuny dan Lesy, jadi kotong satu dara adik kakak.
DeleteTerima kasih Roberth Risamena untuk masukkannya. Saya tidak bisa bebahasa Maluku dengan baik, terima kasih saudaraku. Salam manis,
DeleteTante johanna salam kenal beta juga asal dari negeri Oma pulau Haruku beta fam Pattikawa
DeleteBangga dong....!
ReplyDeleteBangga dong....!
ReplyDeleteBapak M. Thaha Pattiiha tingal di Depok, boleh saya dapat alamat lengkap Bapak? saya tinggal di Komplek Kranggan Permai, Jatisampurna (area jln alternatif Cibubur - Jln. Transyogi, dekat Plaza Cibubur) Terima kasih, untuk informasi yang obyektif dan baik ini.
ReplyDeleteBt di kampung Bendungan Cilodong
DeleteSesungguhnya,mari berbangga dgn identitas diri sbg keturunan sukubangsa Alifuru. Ttg sejarahnya, bijaklah berpikir dan bersikap tanpa tendensia salīng melebihi atau mengurangi, apapun itu alasanya:
ReplyDeleteMohon ijin Pak..., tulisannya boleh diunduh ya Pak...,
DeleteHormat Pak M.Thaha Pattiiha....., semoga ini bisa bermanfat tuk generasi skarang...., dangke banya Pak
ReplyDeleteDipersilahkan
DeleteBapa Pattiha ..beta ada pertanyaan satu untuk bapa ...apakah marga Pattiha turunan dari Latu Sopacua latu (raja Iha) turun dari iha bangun negeri baru Ihamahu disitu Pattiha jadi raja/Upu latu ..Pati =raja/upu latu dari Iha...apa ini benar atau tidak
ReplyDeleteIya benar sudara, Sopacua itu Upu Latu yang awalnya berdiam di puncak Ama Iha, yang "mengalirkan" sekian matarumah yg ada sekarang di Saparua dan lain tempat. Turunannya yg sudah keluar salah satunya yaitu Latukaisupi di Iha-Luhu(Seram) peralihan("ganti kulit") dari Pattiiha demi keselamatan, setelah terusir di jaman perang dgn Portogis. Di Iha Salam harusnya jg
DeletePattiiha juga, sebagaimana Iha Sarani(Ihamahu)setelah kalah perang dgn Belanda. Kalau beta, keturunan dari moyang yang menyelamatkan diri ke Telutih, Selatan pulau Seram. Di Telutih matarumah beta juga disebut "Iha Tehuayo".
Terima kasih jelasin saudara..ada satu lagi ...sopacua amahai dan tamaela soahuku satu matarumah ...berarti saudara khan..darimana datang berdua ini ..? ..datang dari Iha ?..atau beberapa saudara ini ( katanya menurut satu cerita 7 sdr) turun dari Hukuanakota 2 sdr ke amahai dan beberapa turun ke Iha saparua dan pulau lain2
ReplyDeleteSebelum di Saparua mereka memang dari daratan pulau Seram. Ok sudara, tetapi beta harap identitasnya dulu bukan "Anonim", bila email saja ke ; komunitasembun90green@gmail.com
DeleteSopakua Rumpun Lounusa, Tamaela Rumpun Siliae, bagaimana satu.
DeleteBapa bta tanya sadiki jua , yang 5 sodara lain dari Tamaela dn Sopacua di Souhuku tuh apa2 saja ?
ReplyDeleteSudara tuang, sebelum bt jawab, boleh bt dikasi identitasnya, bt dengan siapa ? Blh Inbox via FB bt boleh sj.
DeleteBete Robert Risamena: hanya jelas sedikit tentang Silsila Bung,dari rumpun Sialana terdiri dari: Tehuwayo Putio Papihin,Meteo,Ulupalu,Leparisa,Matita dll,Bung dari Rumah Kecil yaitu Ulupalu,Nilai ter Ikat yang dikatakan itu sala, tentang UPA'O,itu BANGSA2 dan yang ada di Bumi ini UPA'O, dengan SOU MUTUANY/ SOU UPA, Bukan di Supa Maraina, Manusela juga Nunu Saku,jangan labor Arang di Muka sandiri Bung. Dangke
ReplyDeleteDangke tuang, su sempat waktu sampe di bt pung blog. Bt Tehuayo - Puti'o/Mete'o (Insakuan) dua2nya ada di beta. Tehuayo, Ilela, dan Lilihata itu tiga Kapitang yang bersaudara dan menempati wilayah Telutih - Selatan Tengah.Ttg pengertian Upa'o yg dimaksud itu bangsa2, itu kalo pengertian umumnya, krn Upa'o itu ditujukan untuk orang - sukubangsa, yang bukan saja tinggal di tempat atau selalu melakukan perjalanan(kasarnya; berkeliaran), di hutan, gunung, laut.Kapata (Kahua/Nahu/Lan) di komunitas Alifuru Supamaraina menyatakan demikian tuang, dari Supamaraina baru pasawelaesi ke tempat lain.
ReplyDeleteKalau berbicara Upa'0, itu Bangsa/Bangsa2 tempatnya tidak di Supa tetapi harus di PamLoki, untuk jati diri Bung, Tehuayo Putio Papihin tifak punya keturunan,kslau Bung Kena debgan Silawane dan lebih tepat lagi Poliyai, jadi tolong di Gali lagi Bung
ReplyDeleteSeperti nama Ina Tuni yang di gunakan di Baleu Mara Ina, itu hanya pinjaman saja, itu punya Keluarga lain yang tidak ada di Mara Ina, contoh juga Bung, Gunung Murukele Basar dan Kacil bukan punya petuanan Maraina/ Manusels. Begitu juga di Selatan Teluti, Tehuayo Putio Papihin mendapat pembagian di sebelah timur, itu atas kesepakatan dari Marga Apa, jadi jangan Ego dengan 3 Kapitang yang Bung sebut itu, tetapi jujur seperti yang Bung harapkan. Dangke Bung.3
Danke tuang sebelumnya, karena sudah berkunjung ke blog beta. Beta sesungguhnya "malas" membalas komentar dari "anonim", tetapi bt hormati karena sudah berkunjung ke blog beta. Lebih indah bila bisa sebut nama aslinya, agar katong bisa lebih kenal dekat. Kalau bisa diperjelas PamLoki letaknya di mana? Tentang Tehuayo - ada nama asli moyang pertamanya(tidak beta bisa sebut di sini), silahkan ditelusur di Telutih dan Dataran Tinggi Pegunungan Manusela - Supamaraina, akan ditemui kebenaran jawabannya. Tehuayo Puti'o atau Tehuayo Mete'o, sama saja. Silawane, beta sangat kenal dan tau seperti apa, karena Silawane hanya ada di Telutih, dan Silawane memiliki versi sejarah tersendiri khususnya di Telutih - Selatan pulau Seram.
DeleteAdapun "Ina Tuni" kalau pun digunakan untuk nama Baileu Maraina, bukan sesuatu yang salah dan tanpa alasan. Hal itu berdasarkan sejarah silsila keturunan bangsa Alifuru pertama memang adanya dari dataran tinggi Supamaraina, di mana gunung Murkele adalah persemayaman Ina Tuni - induk asli keturunan Alifuru.
Apa yang beta tulis atau beta ungkap, dapat di telusur ke sumber-sumbernya dan tempat atau bukti alam masih ada untuk disaksikan dan di datangi langsung. Di Mana letak Supamaraina, dimana letak Gunung Murkele, keterangan pelengkap berupa Kapata(Kahua/Lan/Lani/Talili) masih teringatkan dan terpelihara hingga saat ini.
mt mlm bung bta mau tanya sadiki jua mengenai nama inatuni yg bung bilang itu hanya pinjaman sja apa btul yg bung bicara itu,coba pikir2 dolo bung dan mengenai gunung murkele kecil dan besar bukan punya petuanan maraina manusela lalu itu punya siapa tolong bung jelaskan secara detail dan lebih mendalam tentang supa maraina,manusela,murkele besar dan kecil.
ReplyDeleteSilahkan saja bila bung punya alasan dan data sejarah yg menguatkan pendapat bahwa Murkele bukan "punya petuanan Maraina - Manusela". Harusnya tidak dikatakan seperti itu, karena beta tidak pernah bilang itu "punya", tetapi letaknya adanya di dataran tinggi Supamaraina. Terdapat di sekitar gunung Murkele ada kampung2 tua seperti Manusela, Maraina, Serumena. Beta tidak bermaksud "menggurui" siapapun, tetapi juga tidak berkehendak mendapat pertanyaan seperti sedang di"test" oleh penanya yang "tanpa nama", itu menunjukan sesuatu yang mengurangi rasa hormat beta.
DeleteCatatan ; tulisan beta di blog beta ini pada dasarnya sebagai ungkapan dan sekaligus sumbangan pemikiran yang belum tentu salah dan belum tentu juga benar, seluruhnya. Bila ada yang keliru, silahkan dikoreksi dengan cara dilengkapi atau dibenarkan dengan alasan2 yang berkenanaan dengan tulisan atau bagian yg dikomentari. Tetapi tidak menghadapkan pertanyaan2 yang terkesan agak tidak "cerdas". Lebih baik kita sama2 memperbaiki sejarah yang menjadi identitas dan jatidiri kita bersama sebagai orang Maluku(Alifuru), yang minim informasi dan data tertulis maupun bukti secara kebendaan dari masa lalu. Adanya yang bisa hanya melalui :Oral Story via Kapata, yang kadang ada kurang lebihnya.
ReplyDeleteMalam Bung,sebelumnya beta minta maaf, dengan menampilkan nama Roberth Risamena beta pikir sudah jelas ternyata belum,sekali lagi beta mohon maaf atas semua yang beta tampilkan.
ReplyDeleteSekarang telah terbuka Nilai sejarah dari Ibu untuk semua Anak Cucu,jadi tidak ada lagi yang tertutup.maka untuk menuturkan nilai sejarah jangan lagi menuturkan yang salah2 untuk membodohi Generasi, sehingga beta harus mengatakan semua itu buat Bung.
Beta dari Negeri Serumena,Rumpun Siliyae Selumena Potoa/Ewa Vitu/7 Kori'a. Dirumpun Siliyae ada Kori'a Selumena, Selumena Mutu, Selumena Wasahua, Selumena Matita, Selumena Kecil dll, Sialana ada didalam Selumena Kecil, yang dipimpin Putio Papihin moyang
TUMULISA, Bung juga bagian dari Rumpun Sialana, yang dikatakan Ulupalu moyang Poliyai yang adalah Raja Namasina,setelah runtuh Namasina barulah menjadi silawane dan terpencar sampai keSaparua membangun Kerajaan Iha.
Tentang Pamaloky:artinya Tempat Tersembunyi/ Tempat Rahasia yang adalah Pusad Peredaban Kultur Kehidupan Bangsa Upa'o/ Bangsa2 yang menggunakan Sou Mutuania/ Sou Upa (Bahasa Tua2
Bahasa Alifuru) nama Nusa Ina Pamaloky dipakai di Baleu Negeri Serumena/ Selumena.
ReplyDeleteTentang Ina Tuni: ini jatidiri Ewa Vitu/ 7 Kori'a/ Kori'a Selumena. Kori'a adalah sapahan hormat yang dipakai untuk menyapa 7 orang Pemimpin yang membawahi 24 Sultan dan 24 Latu ( Lessy) yaitu, Tuan, Upu, Kapitang yang memimpin di PAMALOKY sampai terjadi perpecahan maka Kelompok Bangsa2 keluar meninggalkan Nusa Mutuani.yang tinggal hanya Ina Tuni untuk menjaga Nusa Mituany, sampai mereka kembali membentuk pemerintahan mereka diSupa Maraina yang dipimpin oleh 7 Kori'a juga. Tentang nama Ina Tuny yang dipakai di baleu Mara Ina itu atas Izin Selumena/ Serumena.
Tentang Manusela:ditahun 700 Pemerintah Kerajaan Belanda membawa pulang Mahkota Kerajaan usa Ina Pamaloky dengan Tongkat Parentahnya ke Nusa Ina dan menyerahkannya bagi yang punya yaitu 7 Kori'a Selumena, dan u tuk menghidubkan Nilai Parentahnya mereka membangun kerajaan baru diManusela ditempat yang bernama Amalia dan Tongkat Parentahnya 7 Koria berikan kepada anak mantu mereka yang bernama La Ode Muna yang berasal dari Muna/ Bau2 keturunannya adalah, Lilihata, Latu Mutuany, Latu Konsina, Latu Hari2, Latu Nahina, Tomio, Masauna dll.
Jadi yangu bung katakan bahwa 3 Kapitang Tehuwayo,Lilihat, dan Ilela itu bersaudara salah karena moyang Tumulisa, Luimisa dan La Ode Muna tidak ada bubungan bungan.
ReplyDeleteDi selatan Teluti, beta Never I di Mahu, ke II di Rumah 3 dan ke III di Yamahena Wolu, mengenai Hak2 Makan Marga Telah di atur oleh 7 Kori'a di Batu Nisan Sapali dan Talapi yang ada di Wolu dan Tehuwa.
Tentang Bgunung MURUKELE Basar dan Kacil seluruhnya adalah hak wilayat Negeri Serumena/ Selumena, hak wilayat Negeri Mara Ina dan Manusela tidak sampai di Murukele kacil begitu juga Kanike hanya di Binaya tidak sampai Murukele Basar.
Auwpue na' a sosopao na' a kokuo, iko seseuweko waliwa'o, yauo uma Tehuayo(Lele'e uma Iha), yau yamano Wolu - Sapoelalin.
ReplyDeleteBeta taru hormat vor bung Robert, dan ini yg beta perlu. ternyat bung bukan "orang lain", makanya bt agak berhati-hati membalas komentarnya, dibaca dari isi komennya. Bt pd prinsipnya tdk berbeda pandang dengan bung Robert, karena katong masih sangat dekat. Kecuali ada bebarapa hal yg beta anggap agak tidak pantas diperdebatkan di ruang publik seperti ini, tetapi beta sngat perlu untuk bisa berdiskusi lebih jauh dan dalam. Bt memang ada rencana - moga Tuhan sayang, beta hendak menjejakkan kaki di Serumena, Maraina dan Manusela. Ingin bertemu dengan basudara di dataran tinggi Supamaraina yg memiliki pengetahuan agak luas ttg katong pung sejarah "Supamaraina"(salah satunya seperti bung Robert), untuk beta bisa lengkapi rencana beta bikin buku tentang Alifuru Supamaraina. Beta masih yakin bhw Alifuru Supamaraina adalah "liontin" bukan "mata rantai", yg selama ini disembunyikan atau mmg tidak dipahami atau tidak diketahui oleh sebagaian besar penulis dan orang Maluku ttg titik awal sejarah Alifuru.
ReplyDeleteTtg hal lain, seperti disinggung ttg Ode Muna, beta belum tertarik membahasnya. Kecuali ttg Namasina, beta butuh keterangan lain yg lebih detail khususnya dari matarumah Serumena berkenaan dengan "Raja" pertama untuk pimpin Namasina yg diminta Tehuyo, dan ketika itu ditunjuk Hanlau yang lalu turun dari Supamaraina di antar(dikawal) oleh Kapitang Serumena. Hal yg tentu kemudian berhubungan dgn adanya Silawane dan hingga terjadinya peristiwa "Putu Namasina". Mungkin bung Robert bisa bantu beta ttg hal ini, karena ada bagian yg hilang dari keterangan(yg beta perlu) orang Serumena yg ada di telutih seperti khususnya di Wolu dan di Yamahena/Rumahtiga(beta pung momo Manu Serumena sdh meninggal), juga di Moso( beta pung ipar Anas Serumena sdh meninggal lama). Bt batasi ada beberapa hal yg sebenarnya tdk harus diungkap di sini, kecuali bila sempat katong dua bisa bakudapa sendiri, baru katong "bacarita" lbh jauh. Bagitu sudara tuang. Terimakasih tak terhingga, sdh sempat waktu untuk singgah di beta pung "walang" nie.
Oke Dangke banya- banya lai Bung, kiranya kotong dapat bertemu.0
ReplyDeleteIzin Copas bung.. Dangke
ReplyDeleteDipersilahkan
DeleteMaaf momo.. apakah ilelapotoa Lilihata da hubungan kekerabatan dgn Wailissa??
ReplyDeleteIlela Potoa ( Moleyani Potoa ) Wailisa, Mailisa ( Meneu ) kel sedangkan Lilihata ( Ode Muna ) ini Ipar karna kawin dengan moyang perempuan dari Selumena
DeleteBt bisa dapat identitas asli dgn siapa beta bicara ? (Maksud beta biar lebih saling mengenal)
ReplyDeleteYau Wailissa heilia manawa helie Yamalatu musitoa kota salaoli..
DeleteSepengetahuan beta dan masih dalam penelusuran lebih lanjut, Wailisa di di wilayah Telutih adalah satu di antara para Aupulu Guru Penyiar Islam. Tentang hubungan kekerabatan dari perkawinan pada awal kehadiran mereka, yg beta ketahui "Guru" Hayoto dengan Walalayo, Leuli dengan Tehuayo dan Selumena, dan Silawane dengan Tehuayo. Ilela dan Lilihata tidak memiliki hubungan langsung dengan Wailisa(kecuali dengan Tehuayo), tetapi memiliki jasa dalam mengawal Guru Leuli. Lebih jelas lagi tentang pengetahuan beta ini, beta masih dalam usaha pendalaman(penelitian) yg lebih komprehensip.Beta persilahkan untuk didiskusikan atau disampaikan apabila ada pengetahuan ttg informasi lain atau yg berbeda.
ReplyDeleteMungkin momo lebih tau.. ktong lai mau urut silsila k atas gunung... yg bta maksud Wailissa SAFOKE/FOFOKE yg ktong tau kwn dg sodara perempuan Raja Manusela.. maaf momo ktong cm mau tau turunan sj..tabea..
ReplyDeleteSelumena, Tehuayo, Mailisa ini Kel dalam rumpun Siliyae, sedangkan Leuli dan Lilihata adalah Anak Mantu, sedangkan Leuli awalnya Silawane setelah Namasina menjadi Angos barulah Leuli
Deletemaaf yg bilang leuli awalnya silawane, apakah ada hubungan darah ataukah garis keturunan langsung dengan kedua marga tersebut?
DeleteOm Thaha Pattiiha prkenalkan b nama maradona pattikawa,,b masih dlam proses mncari jati diri..b bisa tnya om sadiki jua soal b pung fam niih krna smpe skrang b blom tau b pung fam niih akg sbnarnya asal dri mna yg btul..di ktong pung kmpong zj dong bilang klo pattikawa niih dari seram negeri kawa,ada yg bilang dri jawa truss ad yg bilang dri kailolo..klo om ad pung refernsi atau dta mngenai fam pattikawa mngkin om bisa brbagi dg b sdiki jua..b masi anana merah" jdi b mnta dri om dong yg jdi org tatua kio,,danke bnyak sbelumnya om klo ad info ini b pung no Wa 081344590267 Horomate
ReplyDeleteAna'u Dona, beta suka kalo setiap orang (Anak Bangsa Alifuru) mau mengenl jatidiri lbh dalam melalui fam(marga) yg di pikol(pakai). Ananda pung pertanyaan cukup barat, hehee..krn beta seng talalu barane vor carita panjanglebar untuk sesuatu yg belum beta tau persis, sbb nanti akang tasalah bisa dapa walat(dar nene-moyang). Untuk fam Pattikawa, bt belum dapa referensi yang baku untuk disampaikan secara jelas - yang sebenarnya. Hanya sebagai pedoman memahami setiap marga yg katong pikol adalah berdasarkan terjemahan menurut bahasa asli yang dipakai yaitu bahasa tanah - bahasa ibu Alifuru. Pattikawa, ya asli Alifuru, masa dar jawa. Dar Seram mmg iya itu batul sm dengn basudara yg laeng di seluruh Maluku, hanya sj smp di sini tuk diurut sejarahnya ke belakang(masa lalu) cukup panjang caritanya. Sedikit patokan, nama fam/marga biasanya disesuaikan dengan sebutan tempat asal-usul(sekalian menunjuk posisi fam sebagai apa saat di masa lalu). Di Seram ada dua tempat yang memakai nama "Kawa", si Wae/nagri Kawa di Seram bagian barat, dan dataran rendah wae kawa - nua, di selatan kaki gunung Binaiya yg bermuara ke timur di Teluk Telutih - Seram Selatan. Masih menetap di situ smp skrang adalah anaksuku Alifuru - Nuau(l)ru. Itu gambaran singkat yg bisa lbh didalami lbh lanjut.
DeleteLebih lanjut sedikit gambaran pemahaman tentang istilah atau sebutan Latu dan Pati, beta ada ulas ditulisan pada blog ini,
Deletehttps://alifurusupamaraina.blogspot.com/2018/12/latu-pati.html
Assalamualaikum momo...apakah siwa puti yg turun dri maraina dg manusela tu msh ada d selatan???
ReplyDeleteAlifuru Pantai Selatan, khususnya di Teluk Telutih( Tehoru, Saunolu, Yaputi, Peliana, Hatu, Hatumete, Moso, Telutih Baru(Angos), Wolu, Lafa, Tehua, serta kampung-kampung petuanannya - minus "yama lakan"), itu "Siwa-tauwn"
DeleteSiwa puti , Siwa Mete samua ada di Selatan
ReplyDeleteYaps, benar
DeleteMau cerita Pata Siwa Pata Lima harus tutur dengan Sou Nama, ini Pohon Pata Siwa Pata Lima
DeleteSilahkan bung ceritakan bila memang tau
DeleteSelamat sore Bang M. Thaha Pattiiha, saya Naufal Fadhlurrohman dari Fakultas Ilmu Budaya UGM. Bang saya ingin bertanya-tanya lebih lanjut mengenai kebudayaan suku bangsa alifuru ini. Apakah mungkin ada alamat email yang bisa digunakan untuk komunikasi lebih lanjut? Terimakasih
ReplyDeleteSilahkan, via email ; Komunitasembun90green@gmail.com
DeleteAssalamualaikum...momo...
ReplyDeleteBta pauwae dri Tamilouw.. maaf klo brbicara ttng SiwaTaun brarti brbicara ttng Hatumari waeputi krna marga" manusela Maraina(lilihata.. ilela dll) yg notabe siwa prnah tinggl d Hatumari.gabungan dri marga ni bru bs membentuk siwa taun (siwa huri.. siwa papa..siwa mete..dll)jd siwa puti msh d pegang Pauwae(ilela potoa)dan Nusalelu sebagai penguasa Yohun Hahan...
om barang wemale tu dong di pante k? lh alune dong di gunung?
ReplyDeleteApa ada disebut seperti itu?
Deletemaaaf sudara marga serumena/selumena tidak pernah ditugaskan mengawal hallauw.hati hati kalau bicara pemerintahan Namasina tidak ada kaitan dengan Pemerintahan dari Hatuhahan yang sekarang di Wolu.
ReplyDelete