Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Baileu Tradisional Alifuru /foto ; Istimewa
ABSTRAK
The development of the modern world sometimes intentionally or unintentionally influences the culture of the past. The concept of the modern world may combine or use patterns in cultural settings that were still preserved, as is the use of traditional architectural concepts. However, over time, the development is more on artistic and historical value, rather than the functions of cultural wisdom that accompany it. Human civilization continues to develop and change, influence each other, as the ability to discover and create new things. But the modern world is very vulnerable to cultural simplifications that are considered to be not multi-functional and impractical. The face of modern architecture, despite taking the traditional concept as "style" but has lost a lot of the sacred value carried and maintained along with traditional customs and culture. Like the Alifuru traditional architecture in Maluku, it is only symbols that tend to lose their meaning and may also be forgotten.
Perkembangan
dunia modern kadang secara sengaja atau pun tidak, ikut mempengaruhi kebudayaan
dari masa lalu. Konsep dunia modern boleh jadi memadukan atau memakai pola pada
tatanan budaya yang sempat masih dilestarikan, sebagaimana penggunaan konsep
arsitektur bangunan tradisional. Akan tetapi seiring waktu, pengembangannya
lebih kepada nilai artistik dan historis, daripada fungsi-fungsi kearifan
budaya yang menyertainya. Peradaban manusia terus berkembang dan berubah, saling
mempengaruhi, seiring kemampuan penemuan dan dan penciptaan hal-hal baru. Tetapi dunia modern sangat rentan terhadap penyederhanaan budaya yang dianggap
tidak multi fungsi dan tidak praktis. Wajah arsitektur
modern, sekalipun mengambil konsep tradisional sebagai “gaya” tetapi telah
banyak kehilangan nilai sakral yang terbawa dan terpelihara bersama adat dan
budaya tradisionalnya. Sebagaimana arsitektur tradisonil Alifuru di Maluku,
hanya sekadar lambang-lambang yang cenderung kehilangan makna dan mungkin juga
akan terlupakan.
Kata kunci: arsitektur vernakuler, sejarah, kebudayaan, adat, tradisionil, modern, alifuru, seram,
maluku.
1. Pendahuluan
Maluku merupakan satu dari 8(delapan)
provinsi pertama yang terbentuk setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
tanggal 17 Agustus 1945. Tepatnya tanggal 19 Agustus 1945 Provinsi maluku dibentuk
dan Mr. J. Latuharhary sebagai Gubernur Maluku Pertama. Namun secara resmi Maluku sebagai propinsi
baru terjadi 12 tahun kemudian, berdasarkan Undang Undang Darurat Nomor 22
tahun 1957 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1958.
Maluku adalah sejarah dunia modern, sekaligus
dalam sejarah penyatuan kepulauan Nusantara menjadi negara Indonesia saat ini. Icon “The
Spice Islands’1), kepulauan
rempah-rempah. tercatat dalam sejarah
dunia, dimaksudkan untuk menyebut Kepulauan Maluku karena kekayaan sumber daya
alamnya. Maluku yang menyebabkan perubahan pengetahuan manusia, bahwa bumi ini
bulat, bukan datar. Hal itu terjadi sejak booming
harumnya rempah-rempah cengkeh dan pala mampu “meracuni” dan bahkan membuat bangsa-bangsa Eropa menjadi “gila”. Betapa tidak, dalam hitungan
abad, segenggam bunga cengkeh setara harga barternya dengan segenggam emas,
saat itu.
Maluku pun di cari. Eksplorasi dilakukan,
dimulai dengan Penjelajah Portugis Ferdinand Magellan melalui perjalanan
bersejarah di dunia ekspedisi (tahun 1519-1522). Melintasi samudra Atlantik, menyeberangi
samudra Pasifik melalui selat yang sekarang menggunakan namanya, hingga
menemukan kepulauan Philipina, dan menemui ajalnya di sana, terkena panah
beracun suku lokal saat terjadi konflik. Bangsa Eropa saat itu seperti “Menemukan Dunia Baru".
Selanjutnya dilakukan oleh Penjelajah dan
Navigator Christopher Columbus, kelahiran Genoa – Italia 1451. Pada Agustus
1492 Columbus melintasi Atlantik, menyeberangi selat Magellan menuju Pasifik
hingga ke China, terus ke India, dan kembali lagi ke Spanyol, Colombus yang
pertama mengitari dunia.
Ilmuwan dan filsuf Yunani kuno, Aristotles,
menyatakan bahwa Bumi bulat pada 350 SM, tetapi selama berabad-abad banyak
orang tidak percaya padanya. Gagasan bahwa bumi itu datar terus selama ratusan
tahun. Ferdinand Magellan adalah orang pertama yang membuktikan bahwa Bumi itu
bulat, tidak datar 2).
Para penjelajah dimaksud memiliki tujuan
utama dan pertama adalah untuk menemukan Maluku. Saat Maluku dicari, saat
itulah peta bumi digambar dan diperjualbelikan. Arsitektur perkapalan dan
tekhnologi pelayaran diperbaharui, disesuaikan dengan waktu dan medan alur
pelayaran. Dunia menyadari bumi ini dapat dijelajahi – dilayari, dari barat ke
timur, utara ke selatan, dan sebaliknya, bumi ternyata bulat.
Kepulauan Maluku menjadi ramai dengan
kehadiran berbagai bangsa di dunia dan juga dari pulau-pulau terdekat di
Nusantara. Wilayah yang ribuan tahun terisolasi dan terjaga kebudayaan
leluhurnya untuk selalu merahasiakan kehidupan mereka, menjadi terhubung,
terbuka, dan ikut berubah oleh pengaruh dunia luar.
Masa yang sangat lama, Maluku berada dalam
kontrol ketat bangsa asing penjajah. Dari era Portogis, Spanyol, Inggris, hingga
Belanda, kepulauan Maluku adalah wilayah impian untuk masa depan negaranya.
Sementara Maluku, porak-poranda akibat peperangan yang berlangsung ratusan
tahun, dimulai sejak hadirnya bangsa Eropa awal abad ke 15 hingga abad ke 19. Saat
bangsa-bangsa penjajah hadir di Maluku, pemukiman-pemukiman yang sebelumnya
terbangun di pegunungan dan perbukitan yang jauh dari pesisir pantai, dalam
pola kebudayaan Alifuru, berganti tempat dengan pemukiman baru di pesisir
pulau-pulau. Ikut pula merubah gaya arsitektur dan fungsi-fungsi bangunan di
pemukiman yang baru. Kecuali yang “nekad” mengisolasikan diri ke pedalaman
khususnya di pulau Seram, setidaknya masih mampu memelihara kekayaan budaya
leluhur. Dari komunitas tersisa ini, kita masih dapat menyaksikan dan
mempelajari seperti apa bentuk-bentuk dan konsep arsitektur tradisional dan
filosofisnya menurut kebudayaan Alifuru.
Arsitektur Alifuru telah berubah banyak,
terkooptasi dengan pengaruh budaya bangsa asing Eropa. Bila pun masih ada saat
ini, hanya sebagai simbol budaya yang tidak lagi secara utuh menggambarkan keutuhan
arsitektur menurut kebudayaan asli Alifuru sesungguhnya, terutama dalam fungsi
dan nilai kesakralannya.
Melalui tulisan ini, dikemukakan hal-hal yang
berkenaan dengan keberadaan Provinsi Maluku sebagai bagian dari Negara Republik
Indonesia, komunitas suku-bangsa Alifuru pemukim asli kepulauan Maluku dan
sejarahnya, diterangkan tentang arsitektur menurut kebudayaan Alifuru berserta
fungsi, simbol, makna, dan nilai-nilai filosofinya. Dengan penekanan pada konteks
wilayah yang menjadi tujuan Mahasiswa Departemen Arsitektur Fakultas Teknik
Univerditas Indonesia, yaitu, komunitas sukubangsa Alifuru yang masih sangat
tradisional di pulau Seram bagian selatan, Kabupaten Maluku Tengah. Tujuannya
sebagai masukan dan gambaran awal untuk mengambil langka selanjutnya dalam
memperdalam pengetahuan tentang Arsitektur Alifuru, dan menjadi bahan
pembanding untuk hal yang sama di tempat lain, khususnya yang berkaitan dengan
adat dan budaya.
2. Kondisi
Geografis
Provinsi
Maluku dengan ibukota Ambon, terdiri dari 1340 pulau besar dan kecil, memiliki
luas wilayah 706.645 Km2, terdiri dari luas daratan 47.350,42 Km2(7%)
dan luas lautan(perairan) 658.294,69 Km2(93%) dengan panjang pantai 10.662 km. Wilayah Provinsi Maluku, memiliki 4 pulau besar Pulau Seram (18.625 Km²), Pulau
Buru (9.000 Km²), Pulau Yamdena (5.085 Km²) dan Pulau Wetar (3.624 Km²), dan
selebihnya pulau-pulau kecil.
Sejak
ditetapkannya Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2008, Provinsi Maluku
secara administratif memiliki 9 Kabupaten (Maluku Tengah, Maluku Tenggara,
Maluku Tenggara Barat, Buru, Seram Bagian Timur, Seram Bagian Barat, Kepulauan
Aru, Maluku Barat Daya, serta Buru Selatan, dan 2 Kota (Ambon dan Tual). 118 Kecamatan, dengan 1.135 Negeri(Desa) dan 34 Kelurahan. Khusus Kabupaten Maluku
Tengah, terdiri dari 17 kecamatan dan 186 Negeri(Desa) dan 5 Kelurahan.
Provinsi Maluku terletak di antara 2o30’-9o Lintang
Selatan dan 124o-136o Bujur
Timur, dengan batas-batas administrasi bagian
utara dengan
: Laut Seram, selatan dengan
negara Australia, timur
dengan Provinsi Papua Barat dan Papua, dan di bagian barat berbatasan dengan laut Sulawesi.
Kondisi Topografi Kepulauan Maluku meliputi dataran rendah, umumnya berbukit dan gunung. Di Pulau Seram dimana terdapat tiga Kabupaten, yaitu kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku Tengah, dan Kabupaten Seram
Bagian Timur, kondisi topografinya mayoritas berada pada kemiringan 8-15%, 15-30% dan 30-45%. Daerah dengan kemiringan 3-8% banyak tersebar di wilayah Seram Bagian Barat dan Maluku Tengah.
Ketinggian di Pulau Seram terdiri dari tiga klasifikasi yaitu 0-100 meter, 100-500 meter pada kawasan agak ke tengah Pulau
Seram, ketinggian 0-100 meter tersebar di pesisir sekeliling
Pulau Seram, dan >500 meter terletak di bagian tengah Pulau Seram. Satu dari 7 puncak tertinggi di Indonesia atau The Seven Summits of Indonesia berada di pulau Seram, yaitu Gunung
Binaiya (3.055 m.dpl)3).
Kabupaten
Maluku Tengah dengan luas wilayah 11 595,57 km2 beribukota Masohi, terletak di pulau
Seram bagian tengah-selatan, dengan jumlah penduduk 418.5104) dari
1.857.337 jumlah penduduk Provinsi Maluku per 31
Desember 2017, atau rata-rata 32 orang/km2 5)
Gunung Binaiya di pulau Seram, masuk dalam wilayah kabupaten
Maluku Tengah, dimana terdapat Taman Nasional Manusela, sebagai kawasan
konservasi guna menjaga kelestarian biodiversitas dan ekosistem flora dan fauna.
Taman Nasional7) memiliki luas
189.000 Ha (19% dari luas pulau Seram), menghimpun dan melindungi spesies fauna
endemik maupun flora endemik pulau Seram, kawasan ekosistem hutan tropis, hutan
mangrove, tumbuh-tumbuhan langka seperti anggrek loreng (Grammatophillum Scriptum), anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis)- puspa
pesona Indonesia, pakis
binaiya(Cyathea binayana) , dan
berbagai jenis satwa. Ada sekitar 117 jenis burung, di
mana 14 jenis di antaranya endemik Seram, seperti kesturi ternate (Lorius
garrulus), nuri tengkuk ungu/nuri kepala hitam (L. domicella),
kakatua Seram (Cacatua moluccensis), raja udang (Halcyon lazuli dan H.
sancta), burung madu Seram besar (Philemon subcorniculatus), dan
nuri raja/nuri ambon (Alisterus amboinensis). Satwa lainnya adalah rusa
(Cervus timorensis moluccensis), kuskus (Phalanger orientalis
orientalis), soa-soa (Hydrosaurus amboinensis), babi hutan (Sus
celebensis), luwak (Pardofelis marmorata), kadal panama (Tiliqua
gigas gigas), duyung (Dugong dugon), penyu hijau (Chelonia mydas),
berbagai jenis kupu-kupu dan ular.
Terdapat pula burung kakatua seram dan kalong
seram (Pteropus ocularis) yang merupakan salah
satu satwa endemik Maluku, yang keberadaannya terancam punah di alam akibat
perburuan liar, perusakan dan penyusutan habitatnya. Satwa marsupial yang
terancam atau sudah punah antara lain bandikot seram (Rhynchomeles
prattorum).
Masyarakat Negeri(Desa) Manusela, Maraina, Selumena, dan
Kanike, merupakan enclave di dalam kawasan Taman Nasional
Manusela.
Kawasan
Taman Nasional Manusela merupakan kawasan eksotis yang kaya dengan flora
dan fauna yang khas serta endemik pulau Seram, serta bagian dari biogeografis
Wallacea8). Suatu
kawasan yang mencakup sekelompok pulau dan terpisah dari paparan
benua Asia dan Australia oleh selat-selat yang dalam, dan saling berbatasan secara maya oleh adanya sebuah garis tidak kasat mata yang membujur antara pulau
Kalimantan, Sulawesi, Bali, dan Lombok, seluas 347,000 km².
Garis
pemisah yang membedakan karakteristik fauna atau hewan-hewan dari pulau-pulau
tersebut. Disebut juga garis Wallacea sesuai nama seorang naturalis
berkebangsaan Inggris Alfred Russel Wallacea, yang mendiskripsikan batas-batas
biologis kawasan zoogeografis dimaksud. Kawasan Wallacea adalah zona transisi
dari kawasan utara dan selatan dan selama jutaan tahun relatif terisolasi,
sehingga fauna endemik berhasil berkembang biak dengan baik di kawasan ini.
Pulau Seram
memiliki beberapa sungai besar yang berair sepanjang tahun, antara lain wae
Bobot, Wae Samal, Wae Kawanua, wae Sapalewa, tetapi secara hidrologis pada
umumnya merupakan sungai hujan, sehingga debit airnya akan menurun drastis pada
musim kemarau.
Iklim di Wilayah Kepulauan Maluku dipengaruhi
oleh iklim tropis dan iklim musim yang disebabkan oleh kondisi Kepulauan Maluku
yang terdiri dari pulau-pulau dan dikelilingi oleh lautan yang luas. Secara
klimatologi wilayah Provinsi Maluku memiliki pola musim yang berbeda di setiap daerah. Pulau Ambon, Kepulauan
Lease, Banda dan Pulau Seram hampir memiliki
pola musim yang sama, dimana musim hujan terjadi pada bulan April sampai dengan
September dengan puncak curah hujan terjadi pada bulan Juni sampai dengan bulan
Agustus. Sedangkan musim kemarau terjadi pada bulan Oktober sampai
dengan bulan Maret. Suhu udara rata-rata antara
23 – 320C9).
3. Sejarah Maluku
Dari seluruh pulau di kepulauan Maluku – termasuk Provinsi Maluku Utara sekarang, pulau Seram adalah pulau terbesar. Sejak jaman kolonial (penjajahan) menguasai Maluku hingga sekarang, belum pernah dilakukan penelitian arkeologis secara sistematis dan menyeluruh di Kepulauan Maluku dan khususnya di pulau Seram dengan struktur geologisnya yang sangat tua. Ada pun terdapat beberapa hasil penelitian oleh Ahli Antropologi, yang khusus meneliti tentang kebudayaan dan adat-istiadat suku(bangsa) Alifuru, itupun tidak secara menyeluruh melibatkan semua komunitas Alifuru yang bermukim secara terpisah-pisah, sehingga sejauh ini masih belum menerangkan secara baik dan lengkap asal-usul manusia Alifuru. Seperti apa awalnya berasal dari mana, dan di bagian mana pertama kali manusia Alifuru mula-mula bermukim, khususnya di pulau Seram.
Bagi orang Maluku, khususnya suku Alifuru,
diyakini sebagai sumber asal-usul penduduk Maluku saat ini. Belum ada
keterangan secara pasti yang dapat dijadikan rujukan membenarkan keyakinan
dimaksud, kecuali dari penuturan-penuturan lisan yang berlangsung secara turun temurun
di kalangan komunitas-komunitas masyarakat Alifuru.
Merujuk
kepada waktu, masa bumi, dan sejarah manusia bumi, sebagaimana ditulis oleh
para ahli geologi, antropologi, maupun ahli sejarah. Berpijak kepada
keterangan-keterangan para ahli, setidaknya
kita diajak untuk bersama mencari untuk menemukan ada tidaknya “benang merah”
sejarah lalulintas manusia sejak dari awal, dan dalam hubungannya dengan
keberadaan serta perkembangan kebudayaan manusia Alifuru di kepulauan Maluku
hingga saat ini.
Saya
mencoba berpijak pada periodesasi
masa bumi yang diterangkan para Ahli, dengan Zaman Pleisticeen atau Pleistosen yang adalah suatu masa dalam skala waktu geologi yang berlangsung
antara kurang lebih 1.808.000 hingga 11.500 tahun yang
lalu, merupakan zaman terakhir periode geologis, pegunungan dan daerah sekitar
kutub masih ditutupi es sehingga zaman ini juga sering disebut zaman es.
Zaman dimana masih terdapat hubungan
antara Asia tenggara dengan pulau-pulau di Nusantara atau Indonesia bagian
barat. Saat itu permukaan lautan beberapa kali menurun, terjadilah daratan
Sundan dan kepulauan Indonesia dengan daratan Asia Tenggara, dihubungkan dengan
tanah-tanah genting. Hal ini dapat diketahui dari dunia fauna daratan Asia
Tenggara dan beberapa pulau besar di kepulauan Indonesia bagian barat. Kebudayaan
Palaeolitik yang merupakan masa
pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan tertua di Indonesia, ditemukan pada zaman
Pleistoceen10)
Jenis manusia pada zaman ini sudah sudah berada pada permulaan kehidupan
bermasyarakat, tetapi masih mengembara dan belum menjadikan gua sebagai tempat
tinggal.
Zaman Mesolithikum, istilah ini
diperkenalkan oleh John Labbock melalui makalahnya Pre-historic Times
atau "Zaman Prasejarah", terbitkan pada tahun 1865. adalah zaman batu madya atau zaman batu
pertengahan kala Holosen, kala dalam skala waktu geologi. Periode dalam
perkembangan teknologi manusia antara Paleolitik(Zaman batu tua) dan
Neolitik(Zaman batu muda). Mesolithikum berasal dari bahasa Yunani ; Mesos “tengah”,
dan lithos “batu”11). Zaman ini
berlangsung mulai sekitar 10.000 tahun radiocarbon(karbon-14,
isotop radioaktif unsur karbon)12).
Zaman
Pleistosen merupakan
periode Neogen (periode proses pembentukan batuan yang berlangsung selama 23
juta tahun), merupakan bagian dari era Kenozokum pada skala waktu geologi dan
kelanjutan dari periode Paleogen. Periode Neogen terdiri dari kala Miosen,
Pliosen, Pleistosen, dan terakhir Holosen yang berlangsung hingga saat
ini. Selama periode Neogen, mamalia dan
burung berevolusi dengan pesat, genus Homo juga mulai muncul. Selain itu,
terjadi beberapa gerakan benua, iklim mendingin hingga puncaknya pada glasiasi
continental pada sub era Kuarters13).
Pada zaman mesolitikum di Indonesia, manusia hidup tidak jauh
berbeda dengan zaman paleolitikum, yaitu dengan berburu dan menangkap ikan, namun manusia pada masa itu juga
mulai mempunyai tempat tinggal agak tetap dan bercocok tanam secara
sederhana. Tempat tinggal yang mereka pilih umumnya berlokasi di tepi pantai (kjokkenmoddinger atau
midden, yaitu tumpukan karang sampah dapur) dan goa-goa (abris sous roche –
ceruk dalam gua batu karang) sehingga di lokasi-lokasi tersebut banyak
ditemukan berkas-berkas kebudayaan manusia pada zaman itu. Ditemukan pula
benda-benda kebudayaan seperti batu penggilingan, kapak genggam, yang terbuat
dari batu kali. Benda-benda yang sama, juga ditemukan di pulau Seram. Maka berdasaran
pecahan tengkorak dan gigi yang ditemukan pada Kjokkenmoddinger,
diperkirakan bahwa manusia yang hidup pada zaman mesolitikum adalah bangsa
Papua Melanesoide.(nenek moyang suku Irian dan Melanesoid)14).
Memperlihatkan
selanjutnya evolusi manusia meninggalkan bukti-bukti khususnya kepulauan di
Nusantara, dimulai kira-kira 600.000 tahun yang lalu, yang menerangkan perkembangan
jenis-jenis manusia pertama di masa Pleistoceen. Khusus di pulau Jawa ditemukan
sisa-sisa manusia pertama dalam urutan perkembangan yang relatif, yaitu dimulai
dari jenis yang paling sederhana hingga ke jenis yang palig dekat dengan
manusia yang hidup saat ini. Jenis yang paling sederhana itu adalah Megantropus
Palaeojavanicus dan Pithecantropus Erectus, sedangkan yang paling dekat dengan
manusia dewasa ini adalah Homo
Wajakensis.
Jenis
manusia Wajak diperkirakan sejak permulaan jaman Holoceen dengan kebudayaan
Mesolitik kira-kira 10.000 sampai 4.000 tahun yang lalu, dengan jenis manusia
Australoida, Palaeo-Melannesoida, Weddoida, dan Negrida. Sudah ada gerakan
penyebaran yang dominan dan luas dari ras Austro-Melanesia di Asia Tenggara
termasuk pulau-pulau di Nusantara atau Indonesia sekarang, dan
dalam perkembangannya mencapai pula benua Australia. Bukti-bukti antropoligi menunjukan bahwa manusia tertua di Australia kira-kira setingkat dan sejenis
dengan Homo Wajakensis. Ada dugaan dari para ahli menyatakan bahwa manusia
Wajak menurunkan ras-ras Austro-Melanesia, dan Proto-Melayu, yang kemudian ras
Mongoloid mulai menyebar kearah selatan dan mencampurkan diri dengan ras-ras
tersebut.
Hingga
zaman Neolitik15)
kurang lebih 3000 sampai 15.000 tahun yang lalu, manusia sudah bertempat
tinggal tetap. Kehidupan mengembara dan berburu, berubah menjadi kehidupan
bercocok tanam, dan zaman ini merupakan dasar perkembangan kebudayaan yang
merata, begitu pun di kepulauan Maluku. Selanjutnya kebudayaan mengenal logam
atau perunggu-besi di Asia Tenggara, sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi,
ditandai dengan penemuan alat berbahan logam di Vetnam16).
Kepulauan
Maluku sendiri pada masa Pleistoceen berada di
luar penyatuan dengan daratan Asia Tenggara dan pulau-pulau di bagian barat,
jaraknya lebih dekat dengan suatu kesatuan Pleistoceen, yaitu daratan Sahul
yang berhubungan dengan kontinen Australia. Kepulauan Maluku diperkirakan
hingga zaman es terakhir, tidak pernah menyatu dengan daratan Sundan dan
kepulauan Indonesia lainnya di bagian barat, maupun benua Australia si selatan
serta papua di timur 17).
Namun
demikian ada kemungkinan bahwa, asal-usul penduduk asli Maluku yaitu suku
bangsa Alifuru yang pertama adalah merupakan keturunan dari ras Austro-Melanesia dan Proto Melayu, satu keturunan dengan
rumpun ras Melanesia. Sebagaimana diketahui, Melanesia adalah penduduk dominan
Melanesia yang mendiami pulau-pulau dari mulai Indonesia Timur hingga ke timur
sejauh kepulauan Vanuatu dan Fiji, sebagian besar berbicara salah satu dari
banyak bahasa Papua, meskipun beberapa kelompok seperti orang Maluku, Motu dan
Fiji berbicara dalam bahasa Austronesia.
Sejarah Maluku adalah peristiwa kehidupan masa lalu suku
Alifuru dan tanah air kepulauan Maluku. Berpedoman pada ciri-ciri bentuk fisik
dan adat kebiasaan kehidupan sosial orang Maluku-Alifuru, yang terlihat secara
kasat mata, antara lain memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat serta profil tubuh yang
lebih atletis.
Maka suku-bangsa Alifuru terlihat sangat berbeda dengan suku-bangsa
lain di Indonesia, kecuali seperti suku Timor di kepulauan Nusa Tenggara bagian
Timur. Adapun terlihat kesamaan lebih
kepada suku-bangsa di kepulauan Samudera Pasifik seperti orang Vanuatu, Fiji, Nauru, Motu, Tonga,
Tahiti, dan kepulauan rumpun Melanesia lainnya di selatan samudra Pasifik bagian
barat.
Jejak
sejarah Maluku dan suku Alifuru secara tertulis, awalnya ditulis setelah
kehadiran bangsa-bangsa Eropa, yang datang dengan kepentingannya untuk
menguasai perdagangan komoditi “rempah-rempah” cengkeh dan pala, hasil bumi
Maluku, dan sekaligus menyebarkan agama di kepulauan Maluku.
Menurut para ahli sejarah dan antropologi mengatakan demikian setelah
membandingkan dan mempertimbangkan berbagai hal kesamaan dan perbedaan ras,
bahasa, kehidupan sosial, dan budaya, diantara suku-bangsa tersebut
menurut hasil pengamatan atau
penelitiannya. Seperti itu masih diyakini hingga saat ini oleh orang Maluku
keturunan suku-bangsa Alifuru.
Pusat
Penelitian Sejarah Dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan
Daerah18)
ketika dalam proyek penelitian tahun 1976/1977, guna melakukan identifikasi
data dasar. Berhasil mencatat banyak
data dan fakta sejarah Maluku yang meliputi berbagai aspek kehidupan Maluku di
masa lampau. Salah satunya adalah menemukan bahwa sesudah abad pertama Masehi,
arus migrasi ke kepulauan Maluku terjadi peningkatan. Hal ini berhubungan
dengan bertambah ramainya jalan niaga purba yang melewati Asia Tenggara dan
kepulauan Indonesia. Maluku dituju oleh pedagang dan perantau karena daya tarik
hasil bumi cengkeh, pala dan mutiara.
Menurut
Des Alwi19),
hasil penelitian Universitas Brown, Amerika Serikat dengan Yayasan Warisan dan
Budaya Banda Neira dan Universitas Pattimura pada 1996-1998, bahwa: “kira -
kira 900 sampai 1.000 tahun yang lalu kapal-kapal China sudah berdagang di
Banda karena ditemukan pecahan piring-piring zaman Dinasti Ming dan juga
pecahan kendi-kendi, tempayan dari tanah liat yang dibuat oleh orang Banda pada
zaman Pra Islam abad ke-9. Bendera yang dipakai
Kampung Adat Namaswar adalah Naga China, katanya dirampas dari perang di laut
dengan bajak laut China. Tetapi sebenarnya bendera naga itu diserahkan oleh
pedagang China kepada rakyat Banda. Begitu pun kora-kora Ratu dan Namaswar
memakai ukiran-ukiran naga”.
Kemungkinan-kemungkinan
keterkaitan suku Alifuru dengan wilayah atau bangsa-bangsa lain, dari
perjalanan awal penyebaran manusia, perlu ditelusur lebih lanjut, khususnya bagaimana
posisi Maluku saat masa kerajaan-kerajaan besar di Nusantara berkuasa, selain
sejarah penjajahan oleh bangsa Eropa. Karena periode itu tidak banyak
keterangan tentang Maluku, selain menelusur ulang penulisan sejarah Maluku oleh
bangsa Eropa, sehingga dapat mengungkap kepastian tentang sejarah Alifuru dan
kepulauan Maluku yang sesungguhnya, secara terstruktur dan berurut secara
lengkap di semua zaman menurut perjalanan
waktu secara lebih lengkap.
a.
Sukubangsa Alifuru
Sejarah secara umum dapat diartikan adalah kejadian atau
peristiwa yang terjadi di masa lampau. Maka itu, sejarah adalah ilmu
pengetahuan, dan juga cerita. Sebagaimana sejarah Alifuru, ada di antara
peristiwa dan cerita.
Dalam sejarah perjalanan
waktu masa bumi khususnya di kepulauan rumpun ras Melanesia di timur Indonesia
berkenaan dengan komunitas masyarakat Maluku “suku-bangsa”20)
Alifuru,
menarik untuk ditelusur lebih lanjut. Pertanyaannya ; adakah manusia Maluku
asli yang muncul di muka bumi kepulauan Maluku dalam hal ini di pulau Seram
dengan struktur geologis - nya yang tertua, hal mana berarti bahwa di pulau Seram
terdapat unsur-unsur hidup biologis, hingga saat ini belum dapat dipastikan,
mungkin juga karena belum ditemukan.
Pulau Seram
menjadi simbol sekaligus sumber awal cerita kehidupan masa lalu suku Alifuru. Nusa Ina atau Pulau Ibu, adalah sebutan
yang membudaya di masyarakat Maluku – Alifuru, untuk menyebut pulau Seram
dengan “rasa dan cinta”. Pulau Seram
diyakini merupakan sumber kehadiran manusia awal Alifuru, dan yang menebarkan
keturunannya untuk seluruh komunitas masyarakat Maluku yang kemudian menyebar
ke seluruh pulau di kepulauan Maluku, hingga kepulauan Nusa Tenggara. Tetapi sejarah
Alifuru memang masih sulit dibuktikan keberadaannya secara benar.
Apalagi
sumber data seperti situs, prasasti, alat atau perabotan, apalagi dokumen
tertulis tidak ditemui atau tidak diungkap samasekali dalam mengungkap jejak
keberadaan awal suku Alifuru. Masyarakat Alifuru, terpisah secara berkelompok
dalam puluhan komunitas kecil suku-suku atau kelompok-kelompok kecil, sesuai
wilayah tempat tinggalnya di pulau yang sama atau terpisah secara kepulauan.
Misalnya Alifuru Nuauru yang bermukim di hulu sungai Nua, Fouauru di dataran tinggi
pegunungan tengah Seram, yang banyak ditumbuhi pakis seram – fou.
Meskipun
belum ada bukti arkeologis yang menunjuk ke arah penemuan bentuk-bentuk manusia
purba di Maluku, tetapi terdapat cerita-cerita rakyat yang berkembang
dikalangan masyarakat yang mengisahkan tentang nenek-moyang atau manusia
pertama yang menurunkan penduduk asli di Maluku. Cerita-cerita yang cenderung
hanya mitos, terdapat hampir seluruh kepulauan Maluku (termasuk Maluku
Utara).
Suku Alifuru
yang berdiam di dataran-tinggi Supamaraina, pegunungan Manusela, maupun yang
telah bermukim di pesisir selatan maupun utara pulau Seram, meyakini bahwa
nenek-moyang suku Alifuru berasal dari dataran-tinggi Supamaraina. Di wilayah
ini pula Manusia Alifuru pertama atau awal
dimakamkan di 2(dua) gunung kembar, yaitu gunung Murkele besar dan
Murkele kecil. Dari tempat ini, bermula penyebaran suku Alifuru, menuju bagian
barat pulau Seram yang disebut puncak Nunusaku, dan ke timur pulau Seram dan
berdiam di puncak gunung Bati21). Selanjutnya
seiring perjalanan waktu dan perkembangan masyarakat Alifuru, mereka menuju
pesisir pantai seluruh wilayah pulau Seram, kecuali pesisir utara. Dari
pemukiman di pesisir, barulah kemudian menyeberang menuju seluruh pulau di
bagian tengah, hingga ke tenggara dan selatan kepulauan Maluku.
b. Asal
Mula Nama Alifuru
Manusia awal Manusia Alifuru, menurut cerita
- mitos, di komunitas Alifuru Supamaraina yang diturunkan secara lisan dari
generasi ke generasi. Bermula ketika bumi setelah mengalami air bah karena
naiknya permukaan laut. Dalam sejarah bumi yang juga masih diperdebatkan apakah
benar terjadi atau juga mitos, terdapat pula cerita tentang Air Bah dan
diperkirakan berlangsung bersamaan dengan berakhirnya Zaman Es terakhir sekitar
10.000 tahun yang lalu. Ketika air bah atau air laut surut, yang muncul ke
permukaan adalah puncak gunung Binaiya dan dataran tinggi Supamaraina sebagai
tanah kering pertama, diikuti bagian lain pulau Seram dan pulau-pulau lain
di sekitarnya. Di tanah kering pertama ini, nenek moyang leluhur pertama suku
Alifuru atau disebut juga Manusia Alifuru Awal yang disebut Aufuru,
menetap. Sebagian cerita menyatakan 1(satu) orang, sebagian menyatakan lebih
dari itu, sekelompok orang. Berkembang kemudian manusia Alifuru beranakpinak
menjadi banyak, dan menyebar ke seanteru pulau Seram, kemudian menyeberang ke
pulau-pulau di seluruh kepulauan Maluku dan sekitarnya.
Dalam Bahasa asli Alifuru, pengertian Aufuru
; Au
= saya(aku,beta), furu = orang,manusia, Aufuru ; saya orang atau saya manusia.
Kata jawab yang menerangkan peng-aku-an diri seseorang bahwa dia – juga,
manusia. Pertanyaan yang mungkin hanya berlaku dan ditujukan kepada seseorang
dari suku Alifuru dan dijawab demikian. Pola hidup menutup diri dari orang luar,
membuat suku Alifuru saat sedang berburu atau jauh dari pemukimannya, merubah
penampilannya dengan melabur atau mengecat seluruh tubuh, kecuali mata, dengan tanah hitam
atau arang, atau menutupi diri dengan dedaunan, agar mudah bersembunyi dan
tidak dikenali. Bagi orang luar, ketika pertama kali berjumpa,
bisa jadi berprasangka macam-macam, dikira hantu, setan, dan sejenisnya, atau
dikira sebangsa binatang.
Peristiwa seperti dikisahkan di atas, yang
lebih mendekati kemungkinan melahirkan istilah Alifuru, yang berasal dari
ucapan kata Alfuru atau Aufuru. Padu-padan ini lebih dapat diterima, dari
pada pengertian kata Alifuru yang seperti dipaksakan maknanya menurut tata
bahasa asing yang diketahui selama ini. Seperti suku kata Alif dan kata Alifuru
yang berasal dari abjad Arab, diartikan yang pertama, harusnya penggalan “uru”,
juga mengikuti satu rangkaian arti tata bahasa Arab. Uru tidak dapat diartikan
menurut Bahasa Arab, sebab suku kata ini asli dari bahasa Alifuru.
Antropolog Belanda F.J.P. Sachse22), dan juga Ad.E. Jensen23) , berpendapat bahwa suku Alifuros Alune yang mendiami bagian barat pulau Seram, berasal dari
bagian utara yaitu kemungkinan berasal dari Sulawesi bagian utara atau
Halmahera, sebab di pulau Halmahera juga terdapat suku Alifuros. Alifuru Alune
– termasuk Wemale), berada di dataran tinggi Nunusaku. Di wilayah ini, lebih terbuka
dalam menerima kehadiran pendatang, sehingga mereka lebih cepat berkembang
dalam pengetahuan dan peradabannya. Demikian juga dengan catatan sejarah disaat masa penjajahan bangsa
Eropa, hal yang berbeda dengan Alifuru di bagian tengah dan timur pulau Seram
yang sangat minim catatan sejarahnya. Sebagian besar sejarah suku Alifuru yang diceritakan dan ditulis, data mentahnya hanya
bersumber dari Alifuru Alune(dan Wemale) di wilayah Nunusaku.
Penyebutan suku asli Maluku oleh para
Antropolog, maupun dalam catatan bangsa-bangsa penjajah, terkesan asal dan
mengikuti dialek dan ucapan menurut bahasa asal negaranya. Contohnya nama pulau
Seram, dalam peta penjelajahan yang digambar, ditulis “Ceram”. Nama Maluku,
ditulis “ Moluques, Moluccae, Molvccas, Molukkische, sama dalam hal menyebut
nama yang hingga kini jadi Alifuru. Seharusnya Alfuru – tanpa hufuf “i”, atau Arfuru(lihat; nama laut Arfuru
atau Arafuru). Dalam bahasa ucapan bahasa Alifuru, huruf “R” bisa berganti ucap
dengan huruf “L”, tetapi tidak merubah
arti. Nama Maluku, yang berasal dari Bahasa Alifuru Maluku Utara yaitu Maloko ( Ma = penunjang,
loko/luku=tempat, kie=gunung, raha=empat. artian etimologis maloko kie raha ; tempat
berdirinya empat gunung yg merupakan kawasan kesultanan Ternate,Tidore, Jailolo,
dan Bacan, sbg kawasan kesatuan kultural24), masih seperti aslinya dalam penulisan atau pengucapan
hingga saat ini.
Kadang kekeliruan dalam perbahasaan,
berbeda antara pengucapan dan penulisan. Fatal bagi sebutan nama Alifuru,
Seram, dan Maluku. Muncullah upaya memadu-padankan.
C. Hubungan Suku Alifuru Dengan Pendatang
Pemukim kepulauan Maluku yaitu suku Alifuru sebelum dan
sesudah kehadiran bangsa Eropa, sebenarnya sudah lebih dulu berinteraksi dengan
para pendatang dari pulau Sulawesi, Jawa, Sumatera, juga bangsa India dan Arab,
akan tetapi sebatas hubungan dagang. Kecuali bangsa Arab, yang sambil
berdagang, juga menyebarkan ajaran Islam di kalangan suku Alifuru. Di tandai
dengan terbentuknya kerajaan Huamual di ujung barat pulau Seram atas prakarsa
dari kerajaan Ternate di utara Maluku. Kerajaan Huamual, menjadi gerbang masuk
pendatang ke pulau Seram, walaupun itu hanya di ujung barat, karena tidak
seluruh pulau Seram, apalagi wilayah pedalaman bisa dimasuki pendatang secara
leluasa. Kemudian penjajah Belanda selain dapat menduduki kerajaan Huamual,
kemudian menjadikan area sekitar tanjung Kuako di selatan Seram sebagai bagian
dari administrator pemerintahan Belanda di Ambon.
Suku Alifuru di masa lalu hingga masa penjajahan, cenderung
tertutup terhadap kerahasiaan keberadaan mereka, sebagai akibat sering
mengalami penyerangan dari kerajaan-kerajaan, baik di utara maupun dari bagian
barat Nusantara. Ditandai dengan pemukiman yang menjauh dari pesisir dan
lebih suka bila harus menuju pesisir, maka pesisir bagian selatan yang di tuju.
Di bagian utara sangat sering mendapat penyerangan dari luar, dan karena
topografi wilayah pantai utara tidak menguntungkan untuk pertahanan mereka. Di
Maluku, kecuali pulau Seram yang tidak secara keseluruhan pulau dapat dikuasai
oleh penjajah khususnya Belanda. Belanda hanya mampu menguasai wilayah Huamual
dan Tanjung Kuako, serta beberapa kampung di pesisir selatan, itupun setelah
melalui misi penyiaran agama Kristen.
Komunitas suku Alifuru – Orang Maluku umumnya, maupun
yang tinggal di pedalaman seperti Alifuru Huauru, Nuauru, Fuauru, Bati, Alifuru
Supamaraina, tidak jauh perbedaan dalam hal setelah masa kemerdekaan Indonesia
hingga sekarang, sudah banyak terjadi perubahan sifat dan perilaku, lebih
terbuka terhadap kehadiran pendatang dari luar, dari mana pun. Di pulau Seram
terdapat 2(dua) wilayah pemukiman transmigran nasional dari Jawa, Sunda, dan
Bali, di bagian pantai utara–timur, dan di selatan-barat. Kehadiran transmigran,
sejauh ini belum menunjukan efek pengaruh yang berarti bagi masyarakat asli
lingkungan sekitarnya. Seperti misalnya dalam hal cara dan mental bertani,
kecuali perubahan hidup yang lebih pada transmigran itu sendiri.
4. Arsitektur
Alifuru
Arsitektur merupakan hasil seni rancang bangun oleh individu
ataupun kelompok orang yang memiliki kemampuan ide, imajinasi, dan penciptaan.
Berbagai pendapat para Ahli mendefinisikan Arsitektur, lebih dari sekadar ilmu
membangun sebuah bangunan yang lebih bersifat kebendaan, lebih memiliki
keluasan makna yang cenderung universal. Arsitektur sebagai karya cipta yang
indah, yang diterjemahkan dari ide dan imajinasi25).
Sukubangsa Alifuru, yang sebelumnya menjalani kehidupan
secara “liar”, di hutan-hutan dan
menggunakan tempat berteduh pada pepohonan dan gua-gua, kemudian mulai
membangun pemukiman dengan mendirikan bangunan rumah tempat tinggal tetap. Pada
awalnya mereka membutuhkan bangunan rumah karena pertimbangan kegunaan atau
fungsinya, sebagai tempat berteduh, tempat tinggal dan tempat kumpul yang dari
waktu ke waktu bertambah jumlah anggota komunitasnya. Di awal-awal waktu ini,
baru hanya faktor fungsi, belum sampai
terpikirkan tentang keindahan, sebagaimana di katakana oleh “De Architecture” -
Marcus Pollio Vetrovius, bahwa Arsitektur adalah sebuah kekuatan/kekokohan
(virmitas), keindahan/estetika (venustas), dan kegunaan/fungsi (utilitas).
Arsitektur sebagai ilmu, timbul dari ilmu-ilmu lainnya.
Sejauh
perjalanan waktu dan terjadinya perkembangan dan perubahan pola pikir dan pola
laku pada kebutuhan, barulah tercipta keinginan dari sekadar membangun dan
memiliki fisik bangunan, berkembang kemudian searah tatanan budaya, sehingga
fungsi bangunan disesuaikan dengan kemajuan yang tercipta di lingkungan
komunitas masyarakat Alifuru. Dari sebelumnya hanya bangunan tempat tinggal
bersama saja, berkembang menjadi tempat berkumpul untuk mengatur tata kehidupan
sosial, hingga memunculkan ide dan gagasan baru untuk memisahkan antara
bangunan tempat tinggal keluarga dan menyediakan lagi secara terpisah bangunan
tersendiri yang berfungsi sebagai balai tempat pertemuan dan untuk menyelenggarakan
aktifitas tatanan budaya dan adat komunitas masyarakat di lingkungan tersebut.
Arsitektur
adalah ruang tempat hidup manusia, yang lebih dari sekedar fisik, tapi juga
menyangkut pranata-pranata budaya dasar. Pranata ini meliputi: tata atur
kehidupan sosial dan budaya masyarakat, yang diwadahi dan sekaligus mempengaruhi
arsitektur26)
Kebutuhan
terhadap sarana dan fasilitas tempat tinggal, ketika lingkungan masyarakat
Alifuru telah makin sering berinteraksi dengan para pendatang dari luar Maluku.
Kehadiran orang dari luar Maluku menoreh sentuhan budaya yang berakibat kepada
proses akulturasi menghasilkan perubahan pola hidup dan budaya, menjadi suatu
kebutuhan untuk melakukan penyesuaian dengan hal-hal baru yang diperkenalkan
para pendatang, dan hal itu ternyata karena disukai dan diterima.
Komunitas
atau kelompok-kelompok masyarakat suku Alifuru, di saat-saat awal ketika hendak
menempati suatu wilayah untuk membangun pemukiman, selalu memilih menempati
wilayah pegunungan atau perbukitan. Sudah menjadi kebiasaan yang diyakini
kebaikannya, dan berlaku di semua tempat di seluruh pula-pulau di Maluku. Nanti kemudian,
saat sudah interaksi langsung dengan
“dunia” luar, melalui kehadiran pendatang dari luar Maluku, yang datang dengan
maksud untuk berdagang, menyiarkan agama, atau ingin menguasai sebagaimana
jaman kolonialisme oleh kerajaan di Nusantara atau Eropa. Bahkan ada pula
orang-orang “terbuang, serta para “pelarian” dari dari wilayah lain yang sedang
menyelamatkan diri karena suatu alasan tertentu. Akses para pendatang melalui
pesisir pantai, sehingga masyarakat Alifuru yang terbiasa berada di pedalaman
pulau, kemudian tertarik untuk dan membiasakan diri mendekati pantai, lalu mulai
berpindah lokasi tinggal dengan membangun pemukiman di wilayah pesisir pantai.
Perubahan
lokasi tinggal di pesisir pantai, ikut pula berpengaruh terhadap proses
perubahan kebutuhan memilih tipe dan model bangunan tempat tinggal, selain hal
lain yang berkenaan dengan upaya mempertahankan budaya miliknya. Pengaruh
budaya dari luar, lebih kuat memarjinalkan budaya asli Alifuru, yang telah
bertahan ratusan atau bahkan ribuan tahun sebelumnya.
Tipe dan
model bangunan ternyata berubah gaya tampilan maupun fungsi budaya, sosial dan
estetikanya. Masif, terjadi pengabaian secara sengaja terhadap warisan seni
tradisi arsitektur bangunan rumah tinggal tradisional Alifuru. Kecuali
arsitektur bangunan rumah Baileu, rumah adat yang merupakan bangunan milik dan
untuk kebutuhan bersama, itu yang masih mampu menjadi penyelamat karya cipta
dan gaya tradisional arsitektur sukubangsa Alifuru.
a.
Kampung Tradisional Alifuru
Saat ini sudah jarang menemukan pemukiman
yang masih memiliki tatanan kehidupan asli sukubangsa Alifuru, bila pun ada,
tidak khusus secara keseluruhan bangunan dalam perkampungan itu memiliki
bangunan asli tradisional. Sebagian bangunan sudah mengikuti gaya bangunan
modern, walaupun gaya hidup masih tradisional. Kecuali bangunan adat Baileu,
yang paling tidak masih utuh bergaya tradisional dan dilengkapi dengan berbagai
asesoris yang menunjukan kekhasan dan fungsi, maupun makna adat istiadat suku
Alifuru.
Negeri atau perkampungan tradisional
komunitas Alifuru yang masih dapat ditemui, khususnya wilayah awal asal-usul
Alifuru, terdapat di dataran tinggi pegunungan Supamaraina, yaitu kampung
Manusela, Maraina, Selumena, Kanikeh, Roho, Meneu, dan beberapa kampung kecil
lainnya di pegunungan bagian tengah pulau Seram. Kampung Kanikeh merupakan
kampung terakhir jalur utara pendakian bila hendak menuju gunung
Binaiya(3.027 mdpl). Komunitas tradisional lainnya yaitu Alifuru Huauru di
kampung Sekenima di wilayah Nunusaku, Seram bagian barat, yang sebagian sudah
dimukimkan awal tahun 90-an di kampung Alakamat, pesisir pantai utara27).
Di bagian pesisir selatan pulau Seram ada
juga komunitas Alifuru Nuauru, yaitu di Kampung Simalou, Ahisuru, Bunara,
Kampung Lama, Hahualan, Rouhua dan Rouhua Baru28). masuk
dalam wilayah administratif(petuanan)
Negeri(Desa) Sepa. Selain itu ada Kampung Yalahatan petuanan Negeri Tamilaow.
Ke arah timur pantai selatan di Teluk Telutih, terdapat pula kampong-kampung
Komunitas Alifuru Telutih, yaitu Ekano di Negeri Tehoru, Negeri Peliana, dan
kampong Waelomatan di Negeri Telutih Baru.
Perkampungan komunitas Alifuru yang masih
tradisional, saat ini sudah lebih terbuka terhadap kehadiran pendatang dari
luar yang bukan orang Maluku. Program pemukiman kembali Kementerian Sosial RI,
telah merubah kehidupan tradisional awalnya, menjadi disesuaikan(secara
terpaksa) dengan lingkungan barunya dengan masyarakat Maluku lain yang lebih
dulu mengenali dunia modern. Apakah itu
ikut juga merubah adat dan kebiasaan hidup mereka? Nyata memang iya, dan
dikhawatirkan menjauh, bahkan melupakan jati diri dalam identitas sebagai suku
Alifuru.
Di perkampungan awal atau asli, dan di
pemukiman barunya, mereka sudah lebih komunikatif, responsif, dan bersahabat, serta
sudah baik menggunakan bahasa Indonesia – Melayu
Ambon.
Pilihan akses dari kota Ambon untuk menuju
perkampungan yang paling mudah adalah yang berada di wilayah mudah bila hendak
menuju ke komunitas tersebut, disarankan memilih wilayah petuanan negeri Sepa
dan Tamilaow, yang berada di posisi selatan Seram bagian tengah. Kampung-kampung
selebihnya, butuh waktu dan tenaga, karena harus melewati hutan rimba yang
masih perawan dan mendaki bukit dan pegunungan, kecuali sekaligus ingin
menikmati viuw suasana dan panorama alami dan keindahan kekayaan alam bumi
Seram.
b. Sejarah dan Fungsi Baileu Tradisional
Masyarakat Alifuru di
pulau Seram dimasa lalu adalah manusia dengan pola kehidupan “liar”, tidak suka menetap di suatu tempat
dalam waktu lama, karena tidak mau “ditemukan”. Mereka tidak tidak ingin
berhubungan dengan siapapun orang luar(pendatang dari luar pulau). Kehidupannya
di jalani di pedalaman hutan, lembah, bukit, dan pegunungan, berteduh dan
bermalam di pepohonan, tebing bebatuan, atau gua-gua. Sangat menghindari
pesisir pantai. Sumber makanan melimpah, buah, patih sagu, binatang, ikan,
udang, dedaunan, tersedia di seluruh hutan Seram. Kadang terjadi konflik karena
alasan kepentingan penguasaan wilayah tertentu, penyelesaian dengan cara
baku-potong (par hihita), adu tangkas dan kemampuan ilmu kekebalan. Berakhir
setelah satu di antaranya terpenggal dan mati. Kepala lawan yang kalah dilepas
untuk ditanam sebagai tanda di wilayah yang dimenangkan atau dikuasai, selain
itu darah dari lawan juga diminum sebagai tumbal (diyakini menurut kepercayaan
Alifuru) sehingga tidak akan dibayangi oleh arwah lawannya itu.
Dari waktu-ke waktu,
dengan pertambahan keluarga oleh perkawinan diantara mereka, sejak itu pula kehidupan
menetap dan membangun bangunan rumah untuk tempat tinggal bersama. Bangunan
Rumah adalah rumah panggung, dengan ketinggian dari lantai dari tanah bisa
lebih dari 2(dua) meter. Hal ini, untuk menghindari serangan lawan dari musuh
kelompok tersebut, selain menghindar dari binatang buas, khususnya babi hutan
dan ular.
Tiang-tiang
bangunan dari kayu keras dan tidak terhingga jumlahnya, guna menopang
bangunannya. Dinding rumah dibuat tidak penuh menutup seluruh bidang luar
bangunan. Di bagian atas dinding dikosongkan sebagian, gunanya untuk bisa
memantau ke luar, selain berkenaan dengan kepercayaan Alifuru, yaitu memberikan
keleluasaan bagi kehadiran(keluar/masuk) roh anggota keluarga yang sudah
meninggal, serta roh nenek-moyang atau leluhur. Dipergunakan dahan pelepah
pohon sagu(rumbia) yang disebut gaba-gaba,
sebagai dinding penutup bagian luar bangunan. Bagian atas dinding yang
dikosongkan, digunakan juga sebagai pajangan kepala manusia lawan yang
dibunuh(dikalahkan). Untuk lantai bangunan digunakan bambu yang dibelah dan dicaca halus, ada juga menggunakan gaba-gaba, atau kulit keras pohon sagu, disusun
menutupi lantai di atas bentangan kayu bulat. Penutup atas bangunan atau atap
dari daun sagu yang dianyam, dengan kuncup atap dibuat tinggi sehingga terdapat
rongga yang luas untuk meletakkan atau menyimpan barang-barang penghuni.
Besarnya bangun
dicukupkan ukuran luasnya, sesuai kebanyakan jumlah anggota keluarga dalam kelompok
di wilayahnya. Mereka hidup dalam satu bangunan yang sama, tidak ada dinding
pemisah untuk membagi ruang-ruang. Bentuk bangunan memanjang pada posisi
timur(matahari fajar) – barat(matahari senja), dengan pintu dan tangga berada
di 4(empat) sisi bangunan.
Prosesi adat
menurut kepercayaan Alifuru, serta penyediaan kebutuhan bahan bangunannya dimusyawarakan
bersama antara anggota kelompok, untuk menyediakan dan memenuhi semua “syarat” sebelum
dimulai pembangunan rumah. Syarat paling
utama adalah “korban” – kepala
manusia, untuk ditanam di bagian tengah badan rumah. Korban diperoleh dari
hasil perburuan yang dilakukan pimpinan kelompok suku tersebut, disebut kepala Kapitang
29). Kepada
setiap laki-laki dewasa atau yang sudah berkeluarga, wajib menyediakan 1(satu)
batang tiang bangunan, sementara untuk bahan penutup dinding dan atap,
dikerjakan dan disiapkan secara bersama. Setelah semua syarat disiapkan, maka
saat untuk mulai membangun, dilaksanakan pagi-pagi sekali dengan penggalian kolom
untuk menanam kepala korban dan menancapkan tiang utama di atasnya. Bagian ini
dilakukan oleh “dukun” adat - ahli
spiritual, yang disebut “Maweng”. Dilanjutkan
dengan masing-masing setiap laki-laki menancapkan tiangnya masing-masing sesuai
tempat yang sudah ditentukan oleh Maweng, dilanjutkan dengan membangun badan
rumah secara beramai-ramai hingga selesai. Pada bagian akhir, yaitu penutup
kuncup atap terakhir juga harus dilakukan oleh Maweng.
Setelah
bangunan selesai, dilakukan upacara adat di halaman bagian selatan bangunan,
disini disiapkan sebongkah batu pipih, di atasnya diletakkan sirih, pinang,
kapur, dan tembakau, beralaskan daun yang lebar. Batu tersebut dijadikan
sebagai “batu pamali”(Dolmen)
oleh Antropolog, tempat meletakkan sesaji untuk roh nenek moyang atau
leluhur. Upacara ritual adat
dilaksanakan tetap dipimpin oleh Maweng, diawali dengan ritual memanggil arwah
nenek-moyang, dilanjutkan dengan persembahan nyanyian sambil menari. Syair
nyanyian ritual dalam bahasa tanah(bahasa induk-ibu) disebut Kapata Alifuru, sedangkan tariannya di
sebut Maku-maku.
Rumah
Baileu, sebelumnya adalah sebuah bangunan yang multi fungsi, tetapi seiring
perkembangan zaman dan perubahan perilaku, kebutuhan untuk hidup secara
terpisah secara pribadi, telah menggeser dan memisahkan antara tempat kediaman
pribadi dan tempat tempat aktifitas bersama.
Boleh jadi,
Baileu diartikan sepadan sebagai balai
atau bale adaptasi dari bahasa Melayu, sebagaimana dikatakan oleh Colooy30), sebab
memang telah berubah fungsi dari sebelumnya, ketika kehidupan sosial masyarakat
suku berinteraksi dengan gaya kehidupan baru, tetapi menurut saya hal itu
seperti sedang merubah sejarah dan filosofi utuh dari makna Baileu yang
sesungguhnya.
Berdasarkan
sejarah dan fungsinya, Baileu adalah rumah besar yang diperuntukkan untuk semua
aktifitas, sebagai tempat hunian, berkumpul dan atau bermusyawarah,
menyelenggarakan upacara ritual adat, dan aktifitas adat dan kehidupan
keseharian masyarakat suku Alifuru.
Dengan
demikian, Rumah Baileu, bukanlah bangunan yang terpisah atau tersendiri
sebelumnya, di masa-masa awal kehidupan menetap dan hingga bermasyarakat oleh
suku Alifuru. Baileu sebelumnya adalah rumah besar, yang untuk menampung
seluruh anggota komunitas atau kelompok yang berada dalam suatu area yang sama.
Satu rumah(Baileu) untuk semua orang. Di dalam bangunan ini, sebagai tempat
tinggal, sekaligus tempat menyelenggarakan musyawarah maupun ritual adat.
Karena itu
disebut rumah Baileu, dikiaskan dari kata dasar dalam Bahasa Alifuru ; Apae dan Leu. Apae artinya panggil(game
; dalam bahasa Maluku pasar), Leu artinya pulang atau kembali. Maknanya,
sama sebagaimana umumnya fungsi rumah kita sebagai tempat tinggal. Ketika kita
jauh atau tidak sedang di rumah, selalu ada rasa (panggilan) ingin pulang atau
kembali ke rumah. Tujuan untuk kembali dari suatu kepergian. Tempat atau titik
berkumpul untuk menata adat dan keseharian kehidupan masyarakat anggota suku.
C.
Jenis Rumah
Adat Alifuru
Sebagai
peninggalan dari tradisi adat-istiadat yang terjaga sejak dari para leluhur
suku Alifuru, Baileu hingga saat ini tetap dipelihara dan dilestarikan
keberadaannya. Fungsinya pun berubah menjadi hanya sebagai bangunan adat untuk
menyelenggarakan upacara ritual adat. Selebihnya ditinggal sepi dan kosong.
Antara
Baileu dan Rumah Adat, sama-sama bangunan adat, tetapi masing berbeda fungsi
dalam kepemilikan dan penggunaan. Baileu merupakan bangunan sekarang yang tidak
diperuntukkan dihuni siapapun tetapi menjadi milik bersama masyarakat setempat untuk
dimanfaatkan secara bersama dalam keperluan aktifitas adat. Rumah Adat, terdiri
dari rumah adat Raja, sebagai tempat tinggal Raja Negeri yang sedang menjabat,
selain dapat dipergunakan dalam urusan tertentu pemerintahan, baik ada atau
tidak kantor pemerintahan, dan Rumah
Adat Marga(Rumah Tua) sebagai rumah
bersama keluarga besar keturunan suatu marga untuk tempat berkumpul dan untuk
menyelenggarakan kepentingan adat atau keluarga se-marga.
Saat ini
Baileu memang tidak lagi berfungsi sebagai tempat hunian, telah berubah menjadi
hanya sebagai gedung pamer lambang-lambang adat dan aktifitas insidentil
prosesi upacara adat. Kenyataan ini merupakan suatu tuntutan oleh kondisi
zaman, dimana fungsi itu kalah kuat untuk tetap bertahan sebagaimana fungsi
pada awalnya. tetapi tidak merubah makna dan fungsi tata guna Rumah Baileu itu
sendiri sebagai sebuah lambang Adat suku Alifuru.
Makna dari
filosofi lambang-lambang pada Rumah Baileu sekarang pun makin diperkaya dengan
menambahkan bentuk-bentuk lain, yang diserap dari perkembangan dan perubahan
tatanan hidup maupun peristiwa dalam rangkaian sejarah perjalanan kehidupan
suku Alifuru sejak awal hingga sekarang. Seperti falsafah Siwa-Lima dan
berbagai lambang etnis yang menggambarkan entitas kebudayaan dan adat suku
Alifuru.
Di hampir
semua kampung(dusun) dan Negeri(desa) tradisional Alifuru, maupun orang Maluku
umumnya yang sudah beradaptasi dengan kehidupan modern, Baileu telah
benar-benar sudah dipisahkan antara bangunan untuk tempat tinggal masyarakat dengan
bangunan Baileu. Bangunan Baileu berdiri sendiri dan diposisikan letaknya di tengah-tengah
diantara bangunan rumah pemukiman masyarakat suatu kampung atau negeri. Antara
Rumah Baileu di masyarakat Alifuru yang masih tradisional dan modern, tidak ada
perbedaan pada fungsi adat, tata letak dan bentuk bangunan, kecuali aksen
“pemanis” bangunan.
Maluku
memiliki selain rumah Baileu, terdapat pula rumah adat Raja Negeri dan rumah adat Mata-Rumah (satu marga). Rumah
Raja juga berfungsi sebagai rumah adat sebab selain menjabat sebagai kepala
pemerintahan negeri, juga sebagai kepala adat negeri.
Rumah adat
mata-rumah, disebut juga Rumah Tua Mata Rumah, yaitu rumah milik bersama
berdasarkan asal-usul dalam satu silsilah garis keturunan satu Marga(vam) - nama keluarga, yang sewaktu-waktu
dapat digunakan secara bersama untuk hajatan keluarga se-marga, adat, maupun
keagamaan. Di Negeri Hila, kurang lebih 30 km dari pusat kota Ambon ke arah
barat, masih dapat disaksikan bentuk asli Rumah Tua Mata Rumah Marga Lating,
disebut juga Rumah Raja Hatala. Rumah tersebut di akhir tahun 2017 dilakukan
prosesi adat dan proses pergantian atap rumah – berbahan daun sagu. Usia atap telah
lebih dari 300 tahun terhitung dari pergantian atau pemasangan atap
semula.
Diantara
ketiga jenis bangunan adat ini, yang membedakan adalah pada fungsi penggunaan,
dan tata ruangnya. Prosesi, struktur bangunan, dan bahan konstruksi bangunan
sama saja. Akan tetapi, khusus Rumah Tua Mata Rumah, sudah banyak yang lenyap
karena telah dirubah bentuknya disesuaikan dengan gaya bangunan modern. Tinggal
hanya Rumah Adat Raja, yang kesannya hidup segan mati tak mau. Ada juga
perubahan yang kesannya dipaksakan tetapi tidak merubah bentuk aslinya.
d. Rumah
Adat Baileu
-
Baileu di pentas zaman
Rumah
Adat Baileu, saat ini merupakan salah satu lambang identitas Provinsi Maluku,
dari berbagai kekayaan budaya adat istiadat dan sejarah yang dimiliki daerah
Maluku. Fungsinya selain sebagai sarana aktifitas penyelenggaraan ritual adat,
gedung untuk bermusyawarah, juga untuk kegiatan umum sosial kemasyarakatan
termasuk keagamaan. Tidak jauh berbeda dengan fungsi awalnya yang digunakan
juga sebagai sarana tempat tinggal. Baileu berdiri sendiri, terpisah
penggunaannya sebagai sarana hunian. Menjadikan Baileu sebagai bangunan
sentral, “titik 0” atau pusat suatu kampung atau Negeri Adat.
Bangunan
Rumah Adat Baileu, dapat disaksikan di hampir semua negeri di Maluku. Sebagian
bangunan yang telah uzur dimakan usia, diperbaiki atau dibangunkan yang baru,
tetap pada tempat yang sama dengan bentuk yang sama, prosesi ritual adat juga
tetap sama.
Prosesi
pembangunan Rumah Adat Baileu yang baru saat ini, sudah dijadikan sebagai even
pariwisata dan momentum untuk mengumpulkan sanak-famili yang telah
tercerai-berai untuk kembali pulau negeri asalnya. Disempatkan guna mengeratkan
kembali sistem kekerabatan adat Pela dan Gandong, diluar momen upacara tahunan
“Panas
Pela” dan Kumpul Sudara (Gandong).
Suasana
sakral dalam momen pembangunan Rumah Adat Baileu, selalu mengikuti jalannya
prosesi ritual adat yang wajib dilaksanakan disaat pelaksanaan pembangunannya.
Bagi
yang bukan orang Maluku Alifuru, boleh jadi menganggapnya sesuatu yang diluar
nalar, tetapi tidak bagi Orang Maluku. Menyaksikan orang sekeliling
berteriak-teriak lantang sambil menari tarian Cakalele, perempuan-perempuan melakukan gerakan Loi - menari tarian Alifuru, semua dilakukan
dalam keadaan tanpa sadar. Terjadi
ketika tifa ditabuh dan gong dibunyikan, ditambah suara bia(siput) Tahuri yang ditiup, menghadirkan
suasana sakral luar biasa yang biasa disaksikan, selalu demikian.
Rumah
Baileu masih tetap merupakan kebutuhan jati diri orang Maluku untuk ditampilkan
sebagai identitas kebudayaan daerah Maluku. Hanya saja masih belum
diimplementasikan dalam praktek terhadap kebutuhan individual pada rumah
tinggal pribadi. Aksen etnis ke-maluku-an yang artistik pada hiasan dinding,
tiang, dan plang ujung atap Rumah Adat Baileu sebagai pemanis bangunan
samasekali tidak pernah dipakai. Kecuali untuk sebagian kecil dari
gedung-gedung pemerintahan daerah di Maluku di tahun-tahun belakangan yang baru
dibangun, ada yang mengaplikasikan gaya bangunan dan hiasan seperti Rumah Adat
Baileu.
.
- Konsep
Siwa-Lima pada Baileu
Siwa-Lima merupakan konsep dasar
persekutuan adat dan politik pemersatu seluruh komunitas masyarakat Maluku-Alifuru.
Satu dalam pemikiran, sikap, dan perbuatan, untuk sama-sama membangun masa
depan kehidupan. Siwa-Lima adalah satu jiwa, satu rasa, dalam perbedaan sesama
orang Maluku. Disatukan karena telah berbeda domisili, berbeda agama, berbeda
oleh status sosial, politik, atau ekonomi, sebagai sesama orang Maluku
perbedaan dapat diintrodusir dan diminimalisir dalam falsafah Siwa-Lima.
Simbol konsep siwa-lima disarikan
dari peristiwa di masa lalu, dimana telah terjadi perseturuan pendapat terhadap
suatu kepentingan yang diselesaikan dengan saling berperang antara para
Kapitang di wilayah bagian barat pulau Seram. Masing-masing dalam
pengelompokan(pata) yaitu kelompok 9(sembilan-siwa)
kapitang (patasiwa), mana kelompok 5(lima) kapitang (patalima). Perbedaan
pendapat karena perbedaan sifat dan karakter individual para Kapitang, yang
juga berbeda kepentingan dan cara.
Perbedaan itu disepakati dengan
saling berpisah secara area pemukiman, kelompok patasiwa sendiri terpisah
dengan kelompok patalima, tetapi tetap satu jiwa oleh asal-usul darah/garis
silsilah keturunan yang masih berasal dari satu keluarga. Masih dapat disaksikan
saat ini, perbedaan itu, di mana negeri patasiwa(siwa taun) dan mana negeri patalima.
Hal ini tercermin dalam penataan
konstruksi bangunan Rumah Adat Baileu, yang menterjemahkan peristiwa sejarah
siwa-lima, melalui penataan jumlah tiang penyangga utama bangunan Baileu. Dalam
satu bangunan Baileu melambangkan penyatuan Negeri-negeri patasiwa dan
patalima, tetapi ada satu hal yang beda yaitu untuk Baileu patalima, yaitu tidak
berpanggung, lantai langsung menempel dengan tanah. Negeri-negeri patasiwa tetap
mempertahankan model tradisional Baileu dengan lantai berpanggung. Kecuali
lantai oleh patalima yang berbeda, lainnya utuh sama dengan Baileu patasiwa.
-
Material dan penataan Baileu
Konstruksi
Rumah Adat Baileu paling utama adalah tiang-tiang penyangga bangunan. Kebutuhan
tiang-tiang utama ditata dan disesuaikan dengan filosofi Baileu sebagai tempat
berhimpun dan bangunan lambang pemersatu masyarakat adat. Filosofi dalam struktur dan
komposisi masyarakat adat Maluku yang telah berkembang dan terjadi kesepakatan
bersama, yaitu konsep Siwa-Lima, dipadukan dalam satu kesatuan berbentuk satu bangunan
bersama yaitu Rumah Adat Baileu.
Material
terdiri dari ; Kayu balok dan papan, gaba-gaba(bilah pohon sagu/rumbia), atap
dari anyaman daun sagu, paku pen dari kayu, dan tali ijuk atau rotan, adalah material
utama bangunan Baileu.
Konsep
arsitektur Baileu mengambil tema filosofi Siwa-Lima, sebagai jalan tengah untuk
menata kembali nilai-nilai keakraban yang meletup di suatu periode dimasa lalu,
dengan filosofi dasar yang sudah sejak awal menyertai fungsi Baileu.
Filosofi
siwa-lima yang di lambangkan dengan jumlah tiang balok penyangga utama
sebanyak 24 batang, yang akan didirikan
di keempat sisi bangunan, 18 tiang di bagi sama jumlahnya untuk di bagian
selatan-utara, termasuk di empat sudut bangunan. 6(enam) tiang masing-masing
3(tiga) di timur dan sisanya di barat. Dengan berdirinya semua tiang akan dapat
dihitung dari sudut ke sudut setiap sisi mendapat angka 9(siwa) dan 5(lima).
-
Prosesi ritual dan pembangunan Baileu
Prosesi ritual dalam
tahapan-tahapannya tidak berbeda dari sebelumnya, sebagaimana dijelaskan di
atas pada pembangunan Baileu di masa lalu. Peran pimpinan adat sangat dominan
dalam mengatur urut-urutan prosesi ritual.
Tiang-tiang balok penyangga utama
yang berjumlah 24 batang, akan dihadirkan dari masing-masing Soa dan Mataruma.
Satu persatu secara bertahap sesuai urut-urutan perintah dari kepala adat yang
berdiri di bagian depan lokasi bangunan, balok-balok diangkat secara bersama
oleh anggota keluarga soa dan mataruma yang ditunjuk.
Hanya laki-laki dan perempuan –
tetapi tidak sedang datang bulan, yang sudah menikah yang diperbolehkan
memanggul balok, diantar masuk ke dalam lokasi pembangunan. Tiang balok
dimaksud nantinya kembali ditancapkan sendiri oleh soa dan marga, nantinya pada
tiang tersebut akan ditulis nama soa dan marga yang bersangkutan.
Selama proses mulai persiapan,
pendirian, hingga pemasangan atap pertama dan penutup, pimpinan adat yang
bertanggungjawab. Untuk penataan konstruksi bangunan dipercayakan kepada Tukang
Besar(Tukano Ela’o) – salah satu
jabatan dalam perangkat pemerintahan adat.
Semua bahan yang digunakan dalam
bangunan Baileu bersifat alami, paku besi atau kawat besi tidak boleh dipakai.
Atap bangunan seharusnya dipergunakan atap daun rumbia, diambil di hutan sagu
kemudian dijahit secara bersama-sama.
Unsur kebersamaan dalam suatu
pekerjaan adat, menjadi pembelajaran dalam keseharian hidup masyarakat
adat. Masohi, adalah istilah
untuk saling membantu, bekerjasama, tolong menolong, yang adalah nilai-nilai
bijak dalam kehidupan yang tertanam dan masih bertahan di masyarakat tradisional
suku Alifuru.
- Fungsi Baileu
Rumah Adat Baileu di peruntukan sebagai bangunan untuk
menyelenggarakan aktifitas hajatan adat dalam masyarakat adat Alifuru-Maluku.
Pemanfaatannya bisa secara rutin atau sewaktu-waktu, sesuai kebutuhan secara
bersama masyarakat adat dalam suatu negeri.
Berkenaan dengan pembahasan bersama kepentingan negeri, maka
Baileu dipergunakan sebagai tempat pertemuan umum dalam bermusyawarah, dan
apabila masyarakat ingin menyaksikan, dengan mudah mendapatkan akses untuk
hadir. Untuk itu, tata letak Baileu
berada di paling tengah negeri, dimana di sampingnya juga diletakkan batu
pamali(Dolmen).
Fungsi sosial sebagai tempat musyawarah dan titik kumpul
masyarakat untuk suatu pertemuan atau penyelenggaraan ritual adat negeri.
Sebagai bangunan adat, Baileu memiliki nilai sakral, dan itu diyakini oleh
masyarakat adat, sekalipun telah memiliki keyakinan dalam agama-agama samawi (Islam, Kristen Protestan, atau
Katolik).
Dalam pemahaman rasional Baileo terlihat hanya sebuah bangunan
yang bentuknya dibuat indah, dengan pernik-pernik hiasan pada dinding dan tiang
bernilai artistik. Tidak ada pembagian ruang atau sekat, sehingga sirkulasi
udara ruang berlangsung tanpa hambatan. Dinding luar bangunan yang rendah tidak
lebih dari 1(satu)meter cukup untuk menghalangi air hujan yang jatuh mengenai
ruangan. Lantai panggung yang tinggi terhindar dari hempasan debu tanah yang
bisa masuk mengotori lantai.
Tidak seperti itu yang dipahami dan diyakini oleh masyarakat adat,
sebab Baileu adalah bagian dari jiwa pribadi-pribadi orang-orang tercinta yang
telah mendahului menemui ajal atau kematian. Dalam mitologi Alifuru, jasad
boleh tidak lagi tampak, tetapi roh para leluhur dan nenek moyang, akan selalu
hadir disaat-saat dibutuhkan. Dipanggil atau tidak dipanggil.
Kehadiran roh para leluhur, harus pula dibuatkan tempat singgah
dan berteduh, tempat yang pantas dan terbaik, harus disiapkan, adalah bangunan
adat Baileu yang dilengkapi dengan batu pamali. Keduanya memiliki fungsi ritual
sebagai sarana komunikasi dan interaksi antara manusia dan dunia arwah. Baileu
sebagai tempat sekaligus sarana, dan batu pamali sebagai tatakan untuk
meletakkan persembahan. Di masa lalu untuk persembahan, selain sirih-pinang,
masih butuh korban kepala manusia untuk ditanam dibawah Baileu saat mau Baileu
hendak dibangun, korban selanjutnya selalu dihadirkan di Baileu sebagai persembahan
saat ritual adat. Itu dulu, bukan lagi sekarang. Sekarang untuk persembahan
dalam upacara ritual adat diganti dengan kepala binatang, dan buah
kelapa(sebagai perlambang).
Sebagai
sebuah simbol kebudayaan Maluku, arsitektur bangunan Baileu nampak tidak serumit
bentuk bangunan rumah adat daerah lain di Indonesia. Tetapi menjadi simbol yang
mengandung makna dan nilai filosofi tidak sesederhana bentuknya. Kesederhanaan
bukan berarti lepas dari fungsi lambang dan simbol-simbol yang memperkenalkan
tradisi sosial dan kualitas kebudayaan masyarakatnya. Setidaknya dengan
simbol-simbolnya memudahkan orang lain memahami kesederhanaan arsitektur Baileu,
bahwa keindahan itu bisa dibahasakan dari sesuatu yang sederhana.
5. Budaya
a.
Kepercayaan
dan Kehadiran Agama di Seram
Kehadiran Agama-agama samawi telah banyak mempengaruhi dan merubah
kebiasaan kehidupan masyarakat asli di pulau Seram. Agama Islam yang mula-mula
masuk ke pulau Seram, dimulai dari arah barat di Kerajaan Huamual. Para penyiar
Islam datang bersama armada pelayaran dari kerajaan-kerajaan di Maluku bagian
utara. Kerajaan Huamual merupakan bawahan dari Kerajaan Ternate, yang
mengendalikan perdagangan rempah-rempah pala dan fuli di kepulauan Banda dan
mutiara dari bagian tenggara Maluku. Kerajaan di utara hanya bisa menguasai
ujung barat oleh Kerajaan Ternate dan ujung timur oleh kerajaan Tobelo. Di
bagian tengah pulau Seram, mereka tidak pernah bisa menguasainya karena selalu
kalah perang karena kalah strategi terhadap posisi Alifuru Seram dengan kontur
wilayah perbukitan dan bergunung serta lembah-lembah yang sangat curam. Sama
dengan penjajah Belanda yang datang di abad ke-16 di Maluku, hanya menguasai
area bekas kerajaan Huamual.
Dari utara di abad ke-14, Islam masuk dan disyiarkan di pulau
Seram, mengislamkan sebagian kecil masyarakat Alifuru di bagian barat dan ujung
timur. Dibagian tengah selatan dan utara baru diperkirakan Islam masuk baru pada
akhir abad ke-16 atau 17 barulah Islam hadir. Di abad ke-16 setelah kehadiran
Belanda, masyarakat Seram dikristenkan, sebelumnya bangsa Portogis tidak
berhasil dengan misi Katoliknya di pulau Seram.
Pulau Seram tidak pernah mengenal atau menganut agama Hindu,
sebelum mengenal Islam dan Kristen. Sumpah Gajah Mada31) saat
diangkat sebagai Maha Patih Kerajaan Hindu Majapahit di tahun 1336, tersebut
Seram, salah satu pulau yang hendak ditaklukkan. Di Seram tidak ada riwayat
bahwa Gajah Mada atau Majapahit pernah menaklukkan pulau Seram.
Perubahan mendasar dari kehadiran agama-agama ini, telah memupus
“Agama Alifuru” atau Kakehan, kepercayaan yang berhubungan dengan penggunaan
kekuatan roh nenek moyang leluhur Alifuru. Untuk negeri yang menganut agama
Kristen Protestan yang disiarkan Penginjil Belanda, sebagian negeri Bahasa
lokalnya telah lenyap, kecuali bahasa tanah atau Kapata. Kapata (disebut juga Talili,
Lan, atau Lani), jenis bahasa tutur yang bukan
bahasa komunikasi, karena tidak dapat digunakan dalam percakapan, diucapkan
sepihak atau satu arah oleh satu orang atau lebih secara bersama-sama.
Kapata adalah kepustakaan lisan suku Alifuru, merupakan kehebatan kebudayaan
intelektual suku Alifuru. Suku Alifuru tidak mengenal atau memiliki pengetahuan
bahasa tulis, makanya tidak ditemukan sejenis alfabet Alifuru. Kapata adalah
pustaka yang mendokumentasikan sejarah dan kekayaan budaya suku Alifuru.
Suku
Alifuru sangat menghormati dan melindungi alam lingkungannya. Tidak
sembarangan menebang pohon dan membuka hutan. Tidak sembarang membuang sampah
dan kotoran. Melindungi sumber dan aliran kali dan sungai, atau mata air.
Mereka yakin bahwa semua tempat dan apapun di ala mini ada penguasanya, untuk
itu selalu dilakukan upacara ritual penghormatan sebelum menebang pohon,
membuka hutan, dan ketika memulai musim bercocok-tanam, saatnya di awal musim hujan.
Hukum
Adat Alifuru tentang perlindungan alam, dilakukan melalui tatacara pelarangan
memanen hasil bumi tertentu untuk jangka waktu tertentu dengan penetapan adat “Sasi”,
selama masa sasi bila itu untuk buah-buahan, maka masyarakat hanya boleh
mengambil buah yang jatuh, tetapi harus dilaporkan kepada Tua Adat
(Penanggung jawab Sasi) sebelum
dikonsumsi. Kehadiran Agama Kristen, melahirkan Sasi Gereja di negeri Kristen
Maluku, selain berlaku juga sasi adat. Di negeri Muslim Maluku hanya ada sasi
adat.
b. Tari, Upacara atau Kebiasaan
adat Maluku Tengah
Kebudayaan suku Alifuru berawal dari pulau Seram kemudian menyebar
ke seluruh Maluku. Tari-tarian dan nyanyian adalah budaya khas yang menyatu
dengan sistem kepercayaan dalam adat Alifuru.
Dalam setiap upacara adat Alifuru, dilakukan dengan cara menari
dan menyanyi. Terdapat beberapa jenis tarian dan upacara adat ;
- Tari Cakalele, adalah tari perang, sekarang di tarikan untuk penyambutan
tamu
- Tari Maku-maku, tari Toti, di tarikan sambil bernyanyi (ber-kapata). Kapata adalah jenis oral story (menutur)
tentang riwayat kehidupan Alifuru di masa lalu, berisi pula pesan-pesan moral.
- Ritual Tikusune, yaitu pengucilan gadis remaja
yang baru beranjak dewasa dengan tanda pertama kali datang bulan. Gadisnya akan
diasingkan di sebuah rumah bilik berukuran 2x2 meter, begitu pula perempuan yang hendak
melahirkan, Setelah berakhir, akan di upacarakan dengan mengelilingi kampung.
- Ritual Matahene, upacara anak remaja
laki-laki yang beranjak dewasa, sebelumnya diajak berburu binatang(dulu berburu kepala manusia),
setelah kembali diajak makan sirih-pinang bersama
pimpinan adat yang juga membawa pakaian kedewasaan mereka, kemudian berjalan
melingkari kampung dan akan mendapat hadiah dari masyarakat.
Sebagian
yang disebut, dari banyaknya ritual ada dan kekayaan budaya Alifuru, masih diselenggarakan
hingga kini.
c.
Asesoris
dan atribut Alifuru
Beberapa kampung seperti Alifuru Nuauru di petuanan Negeri Sepa,
asesoris ikat kepala kain merah(berang), dalam bahasa Alifuru disebut
Karinunu(Nuauru) atau Lakin(Telutih), masih selalu dipakai. Ikat kepala merah bagi laki-laki dewasa adalah
wajib sifatnya untuk selalu dipakai.
Untuk kepala adat yang juga seorang Kapitang Besar, ikat kepala
bukan sekadar asesoris pemanis penampilan dan kewajiban laki-laki dewasa,
tetapi lebih dari itu sebagai “mahkota”
yang melambangkan kebesaran dalam strata sosial suku. Mahkota seorang Kapitang
dalam sejarahnya, menggambarkan tingkat kemampuan dan kekuatan daya kekebalan
terhadap senjata tajam, serta ukuran seberapa banyak lawan(tanding) yang sudah
berhasil dihabisi(dibunuh). Ditunjukkan dengan jumlah bulu yang terpasang
di puncak mahkota. Para Kapitang pantang membunuh musuh yang tidak melawan,
mereka mengadu kemampuan dan kekuatan pada level lawan yang seimbang dengannya,
satu lawan satu.
Pilihan bulu untuk dipasang pada mahkota digunakan bulu ekor atau
sayap burung kakatua dan ekor ayam jantan, dipermanis dengan bulu badan burung
kakatua.
Pengenalan terhadap pakaian berbahan kain baru dikenakan
di abad-abad awal, tetapi cara berpakaian hanya menutup bagian alat vital.
Sebelum itu hingga di pertengahan abad ke-19, masih ada yang menggunakan serat
kulit kayu(cidaku) untuk menutup
bagian bawah pusar, laki-laki hanya bagian depan dan perempuan menutup semua
pinggulnya.
Asesoris dan atribut Alifuru, jarang digunakan dalam rutinitas
keseharian. Biasanya baru digunakan disaat ada penyelenggaraan acara penting
atau upacara ritual adat.
6.
Kehidupan Sosial
dan Adat
a.
Mata
pencaharian
Kondisi pulau Seram masih sangat cukup menyediakan lahan yang subur
untuk pertanian dan perkebunan. Umumnya mereka bercocok-tanam tanaman umur
panjang seperti cengkeh, pala, kelapa, dan coklat. Komoditi andalan untuk
pendapatan keluarga dari hasil tanaman umur panjang. Orientasi masyarakat masih
ke darat, lautan untuk perikanan masih belum terurus dan dikembangkan lebih
baik melalui kelengkapan sarana dan alat tangkap.
Hasil pertanian dan kehutanan merupakan andalan mata pencarian
masyarakat. Alam pulau Seram di darat dan di lautnya, kaya dengan berbagai
sumber daya alam, telah memanjakan penghuninya selama ribuan tahun. Karena itu,
sifat ketergantungan pada alam yang memudahkan kehidupannya, menyebabkan muncul
sikap apatisme terhadap serangan
kehadiran pendatang bukan orang Maluku. Pendatang lebih lebih dinamis dan kreatif
mengelola ketersediaan kekayaan sumber daya alam di sekitarnya.
Terlihat ada perbedaan tingkat kecukupan hidup secara ekonomi, antara
penduduk asli dan pendatang. Namun sejauh ini, perbedaan itu tidak menimbulkan
hal luar biasa, tidak terjadi permasalahan sebagai akibat perbedaan tersebut.
b.
Struktur
adat
Standar struktur adat masyarakat Alifuru, sebelum dan sesudah
proklamasi kemerdekaan RI dan hingga sebelum berlakunya UU Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, negeri-negeri
adat menjalankan sistem pemerintahan berdasarkan struktur baku dan tatanan adat
yang terpelihara sejak ratusan tahun sebelumnya. Perubahan yang menimbulkan
kerancuan dengan hadirnya dualisme dalam penyelenggaraan pemerintahan negeri
adat, tidak sebatas berakhirnya UU tersebut di atas. Sebab setelah muncul UU
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa, belum juga mengakhiri fakta
di negeri-negeri adat, karena tidak serta merta mengembalikan ke situasi baku sebelumnya.
Pranata-pranata adat yang bersumber dari sejarah
asli adat-istiadat Maluku, dilumpuhkan dan muncul tatanan baru diluar sejarah
asli dalam struktur negeri adat, saat berlakunya UU Nomor 5 tahun 1979, hingga
saat ini belum semua terselesaikan. Makin diperpara dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,
memposisikan Kepala Daerah secara tidak langsung malah sebagai Maha Raja di Maluku,
lebih khusus di Kabupaten Maluku Tengah. Pengesahan Raja oleh Kepala Daerah,
sehingga ikut tergandeng kepentingan politiknya, bagi calon Raja yang tidak
searah bagai pungguk merindukan bulan. Siapapun orang lain, yang penting
se”iman” dengan misi penguasa daerah, bisa didudukan sebagai pengganti atas
nama kekuasaan otonomi daerah.
Posisi Raja(setingkat kepala desa) sebuah negeri adat, Raja
menurut tatanan adat memiliki kekuasaan utuh, sebagai kepala adat, kepala
pemerintahan, pimpinan agama, bahkan pemilik hak ulayat atau hak petuanan atas
tanah di dalam dan juga di luar wilayah batas administratif negeri adat.
Struktur pemerintahan Negeri Adat berlaku permanen turun-temurun
menurut silsila asal-usul, secara berurutan dari atas terdiri dari ;
1. Raja ; Raja(Upu Latu/Aiya) memiliki wewenang
sebagaimana disebutkan di atas. Seorang Raja
ditunjuk atau dipilih dari dalam keluarga Mata-ruma(marga) Parenta(Uma Latu Tuni).
Posisi ini secara turun temurun tidak
tergantikan oleh orang di luar mataruma parenta, kecuali direkomendasikan oleh mataruma
parentah (situasional sifatnya).
2. Pembantu/Staf Raja ; terdiri
dari
- Kapitang; mengurus
perlindungan, pertahanan, keamanan, dan sebagai panglima perang.
- Maweng ; mengurus spiritual
adat, “dukun” adat.
- Kewang ; mengurus
perlindungan lingkungan, hutan dan laut.
- Marinyo ; mengurus
publisitas aktifitas negeri (Tabaos =
menyiarkan).
3. Kepala Soa ; memimpin
kelompok Soa dalam 1(satu) negeri adat. Soa adalah
pengelompokan
lebih dari 1(satu)marga dari satu asal-usul segaris keturunan awal yang kemudian menciptakan marga-marga sendiri.
4. Saneri Negeri ; Lembaga
Perwakilan Adat, sejenis Lembaga Perwakilan Desa/Kelurahan. Anggota
Saneri Negeri ditunjuk 1(satu) orang mewakili setiap mataruma, dengan jumlah berdasarkan mataruma-mataruma yang pertama ikut
serta membentuk negeri dimaksud.
c.
Pembagian wilayah adat
Wilayah adat merupakan wilayah dalam penguasaan adat suatu negeri
adat, didasarkan pada asal usul penguasaan wilayah sedari awal yang dibuktikan dengan
tutur sejarah masyarakat adat setempat dan yang berbatasan dengan wilayah hak
adat dimaksud. Hak penguasaan suatu wilayah secara adat disebut Hak Ulayat atau Hak Petuanan.
Suatu wilayah yang menjadi Hak Ulayat bisa tidak terbatas hanya
menurut batas-batas administratif pemerintahan yang ditetapkan Negara. Dapat
saja melewati batas negeri, atau jauh di luar batas negeri, lintas kecamatan, bahkan
lintas kabupaten.
Hak Adat terdiri dari hak adat mataruma(marga), hak adat Soa atau
kumpulan mataruma, dan hak adat negeri. Batas-batas secara alami masih sangat
diketahui dan dipahami oleh masing-masing pemilik hak adat, beserta riwayat
dan saksi-saksi berbatas. Bata-batas menggunakan batas alam, batu bongkahan
besar, kali, sungai, bukit, dan tebing. Kepemilikan secara tertulis hanya
bersifat perorangan pada tanah milik pribadi.
Batas-batas wilayah adat, sering menimbulkan konflik di antara
negeri-negeri adat di Maluku, korban jiwa sering tidak terelakan. Tetapi di
pulau Seram khususnya, jarang terjadi konflik batas adat, sebab kepemilikan
suatu wilayah tanah di pulau Seram berdasarkan hak kepemilikan oleh marga.
bukan negeri. Pemilik hak(marga bersangkutan) tidak bisa kehilangan hak
kepemilikannya sekalipun bermukim di negeri yang berbeda atau tempat lain.
Tatanan ini secara bijak dipraktekkan umum diseluruh wilayah pulau Seram,
berbeda dengan pulau-pulau lain, misalnya di kepulauan Lease.
Berbeda dengan di pulau Seram, karena di pulau-pulau lain
sebelumnya berada dalam sistem penguasaan penjajah Belanda. Belanda berhasil
menghapus hak-hak kepemilikan suatu marga atau negeri adat, dengan cara
mengganti langsung hak itu dengan marga atau negeri yang tunduk kepada
keinginan Belanda. Pemilik hak disingkirkan, bisa dengan diasingkan, atau
diterbitkan surat perintah paksa penguasaan. Seiring waktu, bisa dalam hitungan
ratusan tahun, masa dimana Belanda kokoh menjajah, hingga setelah kemerdekaan
barulah pemilik hak awal balik menuntut kembali haknya.
Terdapat ancaman baru terhadap batas-batas adat selepas Belanda,
muncul berbagai regulasi pemerintah pusat, yang perlahan memarjinalkan hak-hak
ulayat umumnya masyarakat adat pada hampir semua wilayah pemukiman di pulau
Seram.
Era
reformasi yang harusnya lebih mengedepankan penguatan hak-hak sipil, malah tergerus dalam proses otonomisasi daerah otonom baru. Batas-batas wilayah
menurut adat, ditabrak, diabaikan, sengaja dilenyapkan.
Bermula
dengan merubah dusun menjadi Negeri, Negeri dipecah membentuk negeri baru,
kecamatan dimekarkan, muncullah kabupaten baru yang dipaksakan. Melahirkan
penguasa-penguasa baru yang miskin empati dan pengetahuan terhadap kearifan lokal
tatanan adat, dengan segala ruang lingkup kebaikan dan kegunaannya.
Negara tidak
pula mau kalah bersaing, atas nama negara dan mimpi agung pembangunan masa
depan, berbagai regulasi disusun, aturan diterbitkan, masyarakat menjadi
kehilangan haknya. Miris jadinya, bila pun ada, bukan penggantian yang menguntungkan
tetapi buntut pun tidak dimiliki.
Masyarakat
adat pulau Seram memiliki pengetahuan baku batas-batas wilayah adat, tetapi sepertinya
kalah kuat dengan tekanan situasi zaman.
7. Keindahan Maluku Tengah
Kabupaten
Maluku Tengah beribu kota Masohi, merupakan kabupaten tertua di provinsi
Maluku. Sudah 4(dua) wilayah yang sebelumnya satu, sudah berpisah menjadi
kabupaten Seram Bagian Timur, Seram Bagian Barat, Buru, dan kabupaten Buru
Selatan. Masih terdapat beberapa lagi yang sedang antri di dalam daftar tunggu untuk
mekar. Kabupaten ini meliputi pulau Seram bagian tengah, wilayah ke kepulauan
Lease (Saparua, Haruku dan Nusalaut), kepulauan Banda, dan sebagian pulau
Ambon.
Keindahan
alami panorama pantai-pantai seperti pantai Ora, pantai Liang dan Natsepa, laut, pulau-pulau, sungai, hutan, gunung dan
lembah, gua, masyarakat adat tradisional dengan beragam upacara ritual adat,
taman nasional Manusela dengan kekayaan flora dan fauna, benteng-benteng
peninggalan penjajah. Momen-momen budaya, seperti Bakupukul Manyapu di negeri
Mamala setiap Lebaran Idulfitri hari ke-7, Tari Cakalele Ma’tenu di negeri
Pelau pulau Haruku, sekali dalam dua tahun, Upacara Lari Obor Pattimura di
pulau Saparua setiap tanggal 15 Mei. Prosesi Agama Abda’u di negeri Tulehu
setiap Lebaran Idul Adha.
Kuliner khas
Maluku dengan adat makan patitah sangat berkesan. Buah dan makanan segar tanpa
pupuk kimia seperti manggis, dukuh, langsa, durian, begitu pun ikan dan makanan
laut segar tanpa pengawet es. Atau alam kepulauan Banda dengan kekayaan objek
dan sejarah masa lalu. Menyaksikan morea – belut raksasa, di negeri Waai, goa
dengan stalagnit dan stalagtit nomor dua terbesar di dunia di negeri Tamilaou,
dan banyak lagi objek, keindahan dan keunikan wilayah Maluku Tengah untuk
disaksikan dan dinikmati.
Hamparan
kekayaan alam bumi kepulauan, indah dan menyenangkan untuk dinikmati, bersama
keakraban masyarakat Maluku yang sangat menghormati tamu siapa dan dari mana
saja yang berkunjung.
Dengan
keterbatasan yang menyertai upaya maksimal untuk menyusun makalah ini antara
lain waktu, kesempatan, pengetahuan dan data pendukung, yang saya miliki, saya
tidak berkesempatan menyimpulkan bahasan ini, untuk itu saya mohon maaf atas
kekurangan ini.
Untuk
kesempatan yang diberikan, makalah ini saya tutup dengan mengucapkan banyak
terima kasih kepada warga akademik(Civitas Academica) Departemen Arsitektur
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, yang telah memperkenankan saya menyampaikan sepenggal
kisah tentang Kebudayaan Maluku, khusus tentang Rumah Adat Baileu.
-------------------------------------------
Catatan ; Sistematika Makalah ini disesuaikan dengan TOR(Term Of Reference) yang diminta pihak Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
-------------------------------------------
Catatan ; Sistematika Makalah ini disesuaikan dengan TOR(Term Of Reference) yang diminta pihak Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia.
Dokumentasi foto ;
Penyampaian Materi pada Workshop Arsitektur Vernakuler - Maluku Alifuru - Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia,
Depok 21 April 2018, Foto Doc.Pribadi.
Workshop Arsitektur Vernakuler - Maluku Alifuru - Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Depok 21 April 2018 (Foto Doc.Pribadi.)
Depok,
21 April 2018
SUMBER DAN CATATAN KAKI
1). The Spice Islands ; https://libweb5.princeton.edu/visual_materials/maps/websites/pacific/spice-islands/spice-islands-
maps.html di undu 4 Januari 2016, 23.52.
2) . Mrs.
Williams--tricounty elementary history teacher,
http://tricountyhistorydetective.blogspot.co.id/2015/12/columbus-magellan-and-vespucci.html diundu 10 Mei 2018
3). Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Maluku Tahun 2005-2025, Pemerintah
Provinsi Maluku
Tahun 2014, Lampiran Perda No.
02
Thn 2009
, tanggal
14 September 2009.
4). Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
Kabupaten Maluku Tengah, Desember 2017
5). https://www.tribun-maluku.com/2018/03/jumlah-penduduk-maluku-per-31-desember.html Di undu 14 April 2018, 13:48
6). Image
courtesy of detik travel/Odang Udjur https://www.triptrus.com/destination/1769/gunung-binaiya di undu 10
April 2018
7). Zonasi Taman Nasional Manusela,
Balai Taman Nasional Manusela, Masohi ; Nopember 2011
8). Coates, B.J., & K.D.
Bishop. 1997.pdf,
https://id.scribd.com/document/366470186/Coates-B-J-K-D-Bishop-1997-pdf diundu 9 April 2018
9). Maluku
Tengah Dalam Angka 2017, BPS
10). https://brainly.co.id/tugas/3644988 diundu 10
April 2018
11). Listiyani, Dwi Ari. 2009. Sejarah 1:Untuk SMA/MA Kelas X.
Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional
Indonesia. http://download.bse.kemdikbud.go.id/fullbook/20090610144843.pdf
12). Pengertian Radiokarbon ; https://www.apaarti.com/radiokarbon.html Diundu 11 April 2018
13). Translit
dan edit dari; Proposal terakhir oleh International
Commission on Stratigraphy – ICS (Komisi Internasional tentang
Stratigrafi) subkomite utama dari
komunitas ilmiah yang berhubungan dengan masalah stratigrafi, geologi dan
geokronologis
dalam skala global. ICS merupakan badan
bawahan dari International Union of Geological Sciences (IUGS) atau semacam
subkomite kerja permanen yang memenuhi
kebutuhan IUGS. http://www.stratigraphy.org/index.php/ics-subcommissions
diundu 10 April 2019, 04:10.
14). Soekmono R.
(1973). Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta:
Kanisius.
https://id.wikipedia.org/wiki/Mesolitikum diundu 13 April 2018
15. John Pattikayhatu ; Sejarah Daerah Maluku, hal 6, Departemen Pendidikan
Dan Kebudayaan , Pusat Penelitian Sejarah Dan
Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan
Kebudayaan Daerah 1976/1977, dipublikasikan Direktorat Jend. Kebudayaan.
16). Timbul Haryono ; Dinamika-kebudayaan-logam-di-asia-tenggara-pada-masa-paleometalik-tinjauan-arkeo.pdf
https://media.neliti.com/media/publications/12001-ID-dinamika-kebudayaan-logam-di-asia-tenggara-pada-masa-paleometalik-
tinjauan-arkeo.pdf diundu 18 April 2018
17). John Pattikayhatu, Ibid.
18). John
Pattikayhatu, Ibid.
19). Alwi, Des, Sejarah Maluku: Banda Naira,
Ternate, Tidore dan Ambon, Jakarta: Dian Rakyat, 2005
20). Disebut suku-bangsa, karena sudah menjadi
bagian atau sub dalam lingkup kebangsaan dari negara Republik
Indonesia, yang
semestinya adalah suatu bangsa, bukan sebatas komunitas suku.
21). Pieter Jacob Pelupessy ; Eseriun Orang Bati, hal. 167,
Universitas Kristen Satya Wacana,
Item : http://repository.uksw.edu/handle/123456789/736
22). F.J.P. Sachse; "Het Eiland Seram on zijne Bewoners”, Leiden,
E.J. Brill, 1907 halaman 59 - 60.
23). Ad.E. Jensen.
”Die Drei Sröme - Ziige aus dem geistigen und religiosen Leben der Wemale einem
Primitive Volk in den
Molukken”, Otto
Harrassowitz, Leipzig, 1948.
24). Abdurrahman, Jusuf. 1999. Kesultanan Ternate,
Ternate: Lembaga Kebudayaan Daerah Moloku Kie Raha
25).Team Pelajaran.Co.Id http://www.pelajaran.co.id/2017/18/21-pengertian-arsitektur-menurut-para-ahli-terlengkap.html#marcus-pollio-vitrovius
26). Amos Rapoport, The Meaning of the Built Environment: A Nonverbal Communication
Approach, The University of
Arizona Press
@1982, 1990. www.uapress.arizona.edu di undu 14 April 2018,
14;15 WIB.
27). Orang-orang
Kalah ; Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku. Instagram;
@spiceisland.co.
28). Arlinus
Yesomkor ; IRAHU PAHA MSINAE, Program Kerja Sama: Badan Pembaerdayaan
Masyarakat Prop. Maluku dan SIL
International Cab.Maluku 2005,
29). Kapitang
; kedudukannya dalam sejarah Suku bangsa Alifuru adalah penguasa, gelar
Kapitang karena memiliki kekebalan terhadap
senjata tajam, sangat berani dan perkasa. Kesalamatan komunitas suku ada di
tangannya. Sebagai Penguasa, seorang kapitang memiliki wilayah kekuasaan sesuai
luas daerah yang ditaklukan. Di masa sekarang posisi penguasa di pegang oleh
Raja, padahal dulu raja atau kepala perkampungan ditunjuk oleh Kapitang.
30). Colooy, F. L. (1961). Altar
and Thone in Centeral Molucan So/ieties a dissertation, presented to
faculty of the Departemen of
Religion. Yale University.
31). Gajah
Mada ; RIEDEL, J. G. F. Letusan Awoeh-Taruna pada tahun 1856. (Penjelasan
tentang peristiwa ini dalam dialek
Sangi-Siawoehsch,
dengan terjemahan bahasa Belanda). 1866.