Oleh; M. Thaha Pattiiha
Melalui bahasa sebagai alat berkomunikasi, sejarah dan kebudayaan etnis
Alifuru disampaikan untuk diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya
dengan cara ditulis dalam catatan-catatan bahasa lisan kemudian
didokumentasikan melalui kemampuan daya ingat. Etnis Alifuru tidak menciptakan
aksara sendiri sebagai bahasa tulis, kecuali lambang-lambang sebagai penanda
sekaligus alat komunikasi visual melalui benda atau goresan pada obyek tertentu
sebagai pengingat atau alat penyampai pesan. Adapun model atau bentuk-bentuk
aksara yang belakangan ini ramai dipublikasikan, bukan sesungguhnya merupakan
“Aksara Alifuru”, tetapi dipastikan adalah kreasi - baru, imajinatif
berdasarkan lambang-lambang tradisional etnis Alifuru di masa lalu. Tidak
terdapat artefak - situs kuno - bukti kebendaan dari masa lalu, tidak ada sebentuk tulisan atau catatan kuno dengan aksara yang membuktikan pernah tercipta aksara etnis Alifuru, sebagaimana etnis lain. Etnis Alifuru hanya mengenal bahasa lisan - sebagaimana salahsatunya adalah sastra epos Kapata, yang mengandalkan kemampuan daya ingat sebagai cara mendokumentasi sejarah dan budaya Alifuru. Melalui bahasan lisan, para Datuk - Nenekmoyang etnis Alifuru menulis pesan kearifan dan membukukan berbagai kekayaan budaya sebagai pustaka yang menjadi warisan tak ternilai kepada generasi Alifuru hari ini.
Penulis menghadiri Pameran Arsitektur Vernakuler Alifuru
di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Kota Depok, Jawa Barat (21/11/2018)
Istilah Alifuru
Beragam istilah atau sebutan
selain kata “Alifuru” yang sekarang dipergunakan.
Beberapa sebutan di masa lalu sempat direkam dan dicatat oleh Ilmuan, Penjelajah
laut dan samudra, seperti; "Alfores",
"Harafora", "Haraforas", "Alfours", “Arafuru”, atau “Arafura” - lihat ; MALUKU
DAN ALIFURU DALAM DILEMA NAMA YANG TERTUKAR - tentang Etnis dan Nama Alifuru. Sebutan-sebutan tersebut berasal dari
orang-orang etnis Alifuru yang mereka temui, yang hingga saat ini sebutan
dimaksud mengerucut menjadi “Alifuru”. Demikian juga dengan Antropolog
AH. Keane, FJP. Sachese dan OD. Tauren, mereka menyebut suku bangsa “Alfuros”.
Makna Alifuru atau
beragam sebutan sebelumnya - oleh para Ilmuan dan Penjelajah, tidak lain selain
merujuk dan menunjuk kepada nama identitas pribumi pemukim wilayah kepulauan
yang disebut Maluku dan Maluku Utara, tanpa menyebut dan membedakan pulau
maupun gugusan pulau kecuali menunjuk arah posisi berada di barat New Guinea. Kecuali cara penulisan dari
ucapan yang didengar yang terkesan berbeda karena bunyi yang dieja, termasuk
pengaruh bahasa asal negara penulisnya.
Kata
sebutan “Alifuru” sendiri memang sudah bergeser ucapan dan serta penulisannya
dari keaslian sumber awal berucap, hanya saja bukan berarti berubah konteks
maksud dan pengertiannya. Karena untuk bisa mengartikannya, mesti memahami
latar belakang bahasa yang digunakan. Sama halnya ketika hendak mengartikan
berbagai epos dalam karya-karya monumental yang disebut Kapata. Kapata merupakan sastra lisan warisan para Datuk -Nenekmoyang etnis Alifuru yang dalam bahasa-bahasa lokal komunitas sub-Alifuru
disebut Nahu, Lan, Lani, Kahua, dan lain-lain. Epos dalam sebagian Kapata, sama halnya “Tom-Tad” pada komunitas masyarakat
Alifuru kepulauan Key, yakni hikayat lisan - oral story, yang ditutur berdasarkan atau menyertai warisan
benda-benda pusaka yang dimiliki.
Sebab itu, kata Alifuru tidak
samasekali berasal dari Bahasa Arab, yang dikatakan ; Alif - huruf pertama aksara
Arab - ditafsirkan yang pertama atau manusia awal - awal atau pertama di kepulauan ini bolehlah, dan uru
yang nyatanya bahasa tana - apa padanannya dalam bahasa Arab? Sesuatu yang
bukan sekadar keliru, tetapi sudah sesat pikir dan tafsir dalam kebiasaan sering “meng-agama-kan”
tatanan adat - seperti istilah Alifuru, yang tidak ditemukan simpulnya kecuali
makin terbelit lilitan.
Sebutan
Alifuru adalah nama yang bukan sama sekali berasal dari sebutan bangsa asing
dari Eropa atau dari manapun, tetapi merupakan sebutan dalam bahasa asli etnis
bangsa Alifuru sendiri. Alifuru merupakan nama induk etnis atau suku-bangsa
dari ratusan suku dan sub-suku yang tersebar di kepulauan yang disebut “Maluku”
– “adopsi nama”, dan Maluku “Asli” di bagian utara.
Mengherankan, ketika masih saja ada yang
tidak mengakui identitasnya merupakan bagian dari komuniti etnis Alifuru, hanya
karena beda pulau bermukim. Dianggapnya Alifuru hanya di pulau Seram - baca ; “SUKU
BANGSA ALIFURU BUKAN HANYA DI PULAU SERAM”, tanpa upaya lebih dalam atau lebih
jauh mempelajari asal-usulnya secara komprehensif, kecuali menyalin cerita
lisan dari sumber yang hanya berpijak pada “oral
story” dan cerita mithos yang
tidak ada ujung pangkalnya, malah menyesatkan dan mengaburkan kebenaran sesungguhnya.
Konotasi negatif terhadap etnis Alifuru
oleh orang-orang “beradab” selama ratusan tahun bersama dalam masa kerakusan kolonialisasi
bangsa asing Eropa dan kerajaan lokal, saat menundukkan pribumi guna merampok
kekayaan hasil bumi etnis Alifuru, ternyata masih terpelihara hingga zaman
modern saat ini. Etnis Alifuru diidentikkan dengan istilah primitif, bodoh, kotor, terkebelakang, serta istilah lain sejenis. Ketika itu disebut orang
dari luar kepulauan – bukan pribumi, itu peduli
setan. Menjadi hal aneh dan membodohi diri bila disematkan oleh pribumi,
bukankah sama saja menghina nenek-moyang diri sendiri. Kecuali siapapun itu -
pribumi, tidak terlahir dari garis keturunan nenekmoyang di masa lalu,
maksudnya tidak memiliki nenekmoyang.
Pengertian Alifuru
Istilah
“Alifuru” atau sebutan sejenis, berasal dari Bahasa Tana yang merupakan Bahasa Ibu - mather longgue, Alifuru. Terdapat sebagian kata-kata dalam bahasa
tana yang ketika diucapkan yang me makai huruf “r”, kadang berubah ucap jadi huruf “l”, tetapi tidak sebaliknya. Misal, “Risa”
- menerjang(sambil mengurung), jadi “Lisa”,
tetapi misal kata “Lawa” - lari,
tidak bisa dirubah jadi “Rawa”. Atau kata “Lata”
- menahan - tertahan, tidak bisa jadi “Rata”,
karena tidak miliki arti dalam bahasa tana kecuali menurut bahasa Indonesia.
Selain itu, antara fonem “r” dan “l”
dalam pengucapan terdengar seakan menyatu, diucap “arl”, lebih mengarah - ketebalan bunyi, ke fonem “r” dari “l”. Sebagaimana kata “Alifuru”,
bila diucap - dieja, sesuai kosa kata dan aksen asli bahasa tana adalah ; “(H)Aurl-v-uru”. Kadang di ujung ucapan disambung
dengan fonem “a” - walau tidak
selalu, sebagai penekanan kata - sebelumnya, menjadi “(H)Aurlvuru’a”. Fonem “H” dan “A” diucap bersama
dengan penekanan pada fonem “A”, sehingga fonem “H” hampir tidak jelas
terdengar.
Demikian juga dengan fonem
“F”, harusnya “V” - sama seperti bahasa lokal kepulauan Key yang juga dominan
dengan fonem F, dalam cara ucap bahasa
tana. Adanya huruf “i” - harusnya tidak
ada, pada tulisan Alifuru, karena pengaruh bunyi ucapan, sebagaimana fonem “a”
di akhir. Kosa kata dasar “Alifuru” atau seperti sebutan-sebutan di atas,
direkam dari gaya pengucapan asli hanya terdiri dari; “Au “ dan “uru”, “rf “ hanya pengaruh bunyi tengah ucapan
dan “a” pengaruh bunyi akhir - kadang
pun tidak digunakan. Diartikan, “au”
adalah aku - saya - beta, dan uru menunjuk kepada orang - manusia.
Sehingga, Kata asli Alifuru harusnya dibaca atau diucap (H)Au(rf)uru atau
Aurfuru, yang kemudian menjadi - selain yang sudah disebut sebelumnya, Arfur - Alfur - Alfuren - Arfuru - Arafuru atau Arafura, hingga menjadi Alifuru, yang artinya
saya orang atau saya manusia.
Pengertian, saya - adalah, orang atau saya manusia, ditafsir
balik kepada penyebutan yang direkam oleh “orang asing” tentang istilah nama Alifuru. Merupakan ucapan – balasan
dari Orang Alifuru, menjawab pertanyaan orang asing. Jawaban yang menerangkan
peng-aku-an diri seseorang - yang
ditanya, bahwa dia – juga, manusia. Nama yang diterangkan oleh pemberi
informasi – Ilmuan dan Penjelajah, adalah pengakuan dari pribumi kepulauan di
barat daya New Guinea, yang berarti sebutan tersebut bukan dinamai atau berasal
dari istilah yang diciptakan orang asing.
Pola
hidup orang Alifuru selalu menutup diri atau menghindar untuk menampakkan diri dari
orang luar. Dilakukan demi keamanan dan keselamatan mereka, sehingga ketika sedang
berburu atau jauh dari pemukimannya, mereka akan merubah penampilannya dengan
melaburi seluruh tubuh, kecuali mata, dengan tanah bercampur arang bekas
pembakaran. Cara lain berkamuflase, dengan menutupi tubuh menggunakan dedaunan
dan rerumputan. Maksudnya agar mudah bersembunyi, dan agar tidak mudah dikenali
atau terlihat - contoh seperti gambar di
bawah ini. Dengan tampilan demikian, bagi orang luar ketika pertama kali
berjumpa, bisa jadi berprasangka macam-macam, dikira hantu, setan, dan
sejenisnya, atau dikira sebangsa binatang.
Alifuru memiliki padanan kata lain yaitu Upao atau Ufao, atau sebutan lain dari istilah Alifuru. Secara etimologi kata “upao” berarti wajah manusia yang berkonotasi menunjuk kepada sosok Alifuru – saya orang – saya manusia.
Ilustrasi tampilan kamuflase Alifuru (Desain; mth_@embun1/01022020)
Hati-hati menafsir, atau
mengartikan Bahasa Tana, sebab memiliki kaidah pola tafsir yang bila keliru
ataupun sampai salah memahami makna dan maksudnya, maka tidak bakal menemu kandungan
pesan dari nilai filosofinya. Butuh pengetahuan bahasa tana – beta pun masih terus belajar, dengan pemahaman yang tidak “dangkal”. Sebab
bisa jadi malah menyesatkan orang lain, selain diri sendiri. Apalagi antara
bahasa tana dan bahasa lokal di banyak tempat sudah mengalami perbedaan oleh
perubahan aksentuasi, penambahan perbendaharaan kosakata, maupun karena
akulturasi bahasa dari wilayah di luar lingkungan komuniti Alifuru.
Filosofi Alifuru
Konsep
kebudayaan Alifuru tentang kesatuan dalam perbedaan - Indonesia mengenal Bhineka Tunggal Ika, yaitu falsafah Patasiwa-Patalima atau Siwalima. Konsepsi kemasyarakatan etnis
Alifuru paling demokratis dan bijak, karena efektif berfungsi menghimpun dan
menyatukan berbagai perbedaan dan serta perubahan kehidupan sosial dan perilaku
dengan munculnya kepentingan kelompok maupun perseorangan. Sebutan berdasarkan
bahasa lokal - terdapat 113 bahasa lokal - baca;
Bahasa
Tana Aksara Alifuru Dan Nasib Bahasa Lokal Di Maluku, Patasiwa-Patalima
selain dikenal di pulau Seram - Ceram, dan kepulauan Lease, dikenal secara
lokal berdasarkan bahasa setempat. Patasiwa-Patalima
di Maluku Utara, Ursiw-Urlima di
kepulauan Aru, Lorsiw-Lorlim di
Maluku Tenggara, Ulisiwa-Ulilima di
pulau Ambon.
Rumah
adat Baileu - baca; Baileu
Dalam Kebudayaan Maluku,
budaya Pela-Gandong -
Pela
Gandong Warisan Budaya Tak Benda, Sastra Epos Kapata - baca; Alifuru Hanya Bisa Diketahui Sejarahnya, budaya Sasi dan Matakau - baca; Sasi dan Matakau, dan
masih begitu banyak “warisan luar biasa” kebudayaan produk etnis Alifuru. Semua
mengandung pesan filosofi yang mengajarkan rasa cinta dan moral kebaikan,
kebijakan, dan kebajikan, jauh waktu sebelum masa-masa kelam setelah kehadiran
agama dan orang asing yang kemudian menenggelamkan keberadaan etnis Allifuru.
Kebudayaan
Alifuru ditandai dan direkam dalam bentuk lambang-lambang, dengan penekanan
pada rasa dan jiwa kemanusiaan dalam hubungannya dengan alam lingkungan
kehidupan. Manusia - orang, Alifuru dikultuskan - diposisikan, sebagai penguasa
utama di bawa kekuasaan langit - Tuhan, atas segenap isi alam dengan dibebani
tanggung jawab melaksanakan perlindungan dan pemeliharaan agar kehidupan tetap
terjaga, lestari, dan berkelanjutan demi generasi ke generasi. Persahabatan
dijalin tidak sebatas antar sesama manusia, tetapi manusia dengan pepohonan -
tumbuhtumbunan, dengan tanah, batu, air, angin, hujan, laut, hewan darat, hewan
air, hewan bersayap, ikan, bulan, dan matahari. Alam hutan, bukit, gunung,
tebing, dan sungai, adalah ruang berinteraksi yang sangat dihormati dan dilindung,
sebagai rumah kehidupan. Alifuru adalah hutan, dan hutan adalah Alifuru.
Seorang
tua Alifuru akan menanam suatu pohon tidak semata untuk dirinya, tetapi lebih
utama tujuan pikirannya pohon tersebut untuk anakcucunya, bahkan untuk siapapun
di kemudian hari. Alam bumi Alifuru terpelihara karena dijaga dengan rasa cinta
sepenuh jiwa dan raga, untuk – selalu diingatkan para orang tua Alifuru, bukan
sekadar demi kebutuhan saat ini tetapi untuk kehidupan anakcucu yang akan
datang - masa depan. Sehingga begitu sangat dilarang, alam dirusak dengan cara
eksploitasi yang berlebihan.
Petuah para Datuk - Nenekmoyang etnis Alifuru
yang ditulis secara lisan sejak ribuan tahun lalu dalam salah satu kalimat
Kapata, dikatakan; “Sei hali sou, sou
male’ei” artinya; Siapa balik bahasa,
bahasa putar dia”. Maknanya, tidak
sebatas hanya untuk pengartian dan penafsiran istilah “Alifuru”, tetapi nasehat
bijak kepada siapapun dalam hal apapun, inti makna pesan filosofinya adalah ke-jujur-an, jujur memenuhi amanah atau
janji. Etnis Alifuru telah ada sejak zaman batu awal - pada pulau-pulau yang bahkan sudah muncul di masa jurazik akhir. Karena itu, suatu pesan bijak mengingatkan, apabila “kata” tidak lagi bermakna, lebih
baik diam saja.”
Alifuru mese !
Kampung Bulak, 12/02/2020
No comments:
Post a Comment