Sejarah dunia tidak dapat dilepas-pisahkan dari perjalanan bangsa-bangsa
penguasa dunia dengan berbagai kisah kehidupan dan kebudayaan masyarakatnya, bermula
dengan imperium kerajaan-kerajaan besar di benua Asia, Afrika dan Eropa sejak
masa sebelum masehi, hingga abad
pertengahan dan hingga mencapai awal abad ke-20 yang ditandai sebagai abad dunia
modern.
Kisah kejayaan dan kehancuran kerajaan bangsa-bangsa di dunia, tidak
terlepas dari perseteruan saling menundukkan, menguasai, memperebutkan, dan
memperluas kekuasaan atas wilayah-wilayah yang memiliki sumber daya, baik
kekayaan alam maupun sumber daya lainnya, guna memperkuat kepentingan dan
kelangsungan hidup kerajaan serta
rakyatnya, atau selain semata hanya memenuhi keinginan dan nafsu sang
raja atau penguasa kerajaan. Hal penting yang menjadi alasan, kenapa kemudian
bangsa-bangsa di benua biru Eropa
yang geografinya sangat terbatas persediaan sumber daya alamnya, begitu
bernafsu mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah lain di muka bumi melalui ekspansi
secara besar-besaran untuk kemudian menguasai dengan berbagai cara termasuk
cara kekerasan.
Cengkeh dan pala adalah komoditi pangan jenis rempah-rempah, boleh jadi
telah dikenal dan dikonsumsi sejak lama oleh bangsa-bangsa Eropa, tetapi mereka
harus membayar mahal untuk mendapatkannya. Sehingga usaha luar biasa dilakukan
untuk mengarung samudera, bertaruh nyawa dan kemampuan navigasi demi mencari sampai
dapat menemukan di mana adanya wilayah yang menghasilkan komoditas dimaksud.
ØPeta Dunia dikenal karena
Maluku
‘The Islands of Spices’ (Pulau Rempah-rempah), negeri rempah-rempah
cengkeh dan pala, di dunia hanya ada di Maluku. Karena Maluku, bangsa Eropa
berlomba ilmu pengetahuan tentang geografi untuk membaca posisi bumi, dan
keahlian memodernkan armada kapal layarnya untuk bisa mengarungi laut dan mentaklukan
samudera. Hingga bertemulah mereka dengan
benua milik bangsa Indian – Amerika sekarang, yang seharusnya bukan itu tujuan awal yang
direncanakan armada pimpinan Christoper Colombus dari Spanyol. Armada Portogis
pimpinan Vasco Da Gama yang kemudian paling awal berhasil menemukan anak benua Asia -
India, yang merupakan tujuan
awal Chritoper Columbus
seharusnya.
Jauh waktu sebelumnya pada awal abad ke-13 Marco Polo, pelaut avounturir asal Italia Marco Polo telah sampai
di Nusantara tetapi hanya berakhir di daratan Tiongkok. Bahkan hingga akhirnya bangsa-bangsa
Eropa menemui benua Aborigin - Australia untuk kemudian dicopy paste dari benua biru Eropa di barat menjadi benua biru
Eropa di timur, juga tidak dalam keinginan apalagi rencana.
Sebabnya adalah ribuan tahun bangsa Eropa “tertipu” bangsa lain – China
dan lalu Arab, atas mahalnya harga komoditas rempah-rempah cengkeh dan pala (selain
rempah-rempah seperti lada hitam, kayu manis, dan lain-lain). Nyatanya dua jenis
rempah-rempah ini, terutama cengkeh, ukuran sekantong atau segenggam cengkeh sama nilainya dengan emas
ukuran yang sama pada saat itu di daratan benua bangsa Eropa.
Peta dunia
kemudian harus berubah “gara-gara” cengkeh dan pala. Maluku
menjadi incaran bangsa-bangsa Eropa, tetapi dengan begitu bumi dipastikan
ternyata bentuknya bulat – sempurna, itu mungkin saja karena Maluku. Inilah
Maluku di pentas dunia, secara global lautan dan samudera serta daratan bumi di
menjadi saling tersambung, oleh sebab usaha menemukan keberadaan rempah-rempah
cengkeh dan pala yang di dunia hanya ada di kepulauan Maluku.
Mendahului bangsa-bangsa Eropa, China adalah yang pertama dan terlama
mengeksploitasi rempah-rempah di Maluku, kemudian diikuti bangsa Gujarat –
India, lalu bangsa Arab yang
memperkenalkan dengan harga selangit
kepada bangsa-bangsa di benua Eropa.
Terdapat beberapa catatan sejarah yang menginformasikan dan menerangkan,
akan adanya penggunaan rempah-rempah jauh sebelum era peradaban modern, baik di
zaman kekaisaran, maupun kerajaan-kerajaan besar dunia di masa-masa sebelum
masehi. Apakah rempah-rempah tersebut, dimaksudkan adalah cengkeh dan pala,
masih harus dibuktikan kebenarannya.
Setidaknya, cengkeh dan pala telah lama dimanfaatkan oleh bangsa lain
adalah bangsa China, sebagai yang paling awal di Maluku dan membarter komoditas
tersebut dengan barang-barang keramik berupa alat makan dan minum. Praktek
transaksi model kuno untuk keinginan saling memiliki sesuatu antara satu atau
lebih dengan orang yang lain, sudah terjadi pada Suku-bangsa Alifuru – penduduk
asli wilayah kepulauan yang sekarang bernama Maluku (dan Maluku Utara).
Bangsa Arab – selain India, mengenal cengkeh dan pala berawal dari bangsa
China dalam mata rantai perdagangan benua Asia Raya melalui apa yang disebut Jalur Sutra. Jalur yang membentang dari
China di Asia timur, melewati anak benua
– India, dan Asia Tengah hingga Persia dan Arab di bagian Asia Barat atau Timur
Tengah.
Kebutuhan bangsa-bangsa Eropa terhadap rempah-rempah, mengakibatkan
permintaan terus meningkat, akan tetapi karena pasokan yang terbatas membuat
harga menjadi sangat mahal. Hal ini menjadi pemicu bangsa–bangsa Eropa mencari
jalan sendiri menuju wilayah dimana rempah-rempah tersebut berada, hingga
bertemulah mereka dengan ‘The Island of Spices’ (Pulau Rempah-rempah) Maluku. Wilayah pertemuan yang
menyatukan samudera Hindia dan samudera, serta kepulauan tempat bertemunya
belahan bumi utara dan selatan, yang dilalui oleh garis khayal “Wallace’s line”, dibuat oleh seorang Peneliti
Inggris bernama Alfred R. Wallace
pada abad ke-19( Malay Archipelago 1869),
untuk memisahkan jenis flora dan fauna Asia dari flora dan fauna Australia yang
unik juga eksotis dan tidak ditemukan di belahan lain bumi.
Kepulauan Maluku dengan kekayaan alamnya, yang menjadikan sejarah
perjalanan ummat manusia di muka bumi terhubung antar benua dan merubah peta
perpolitikkan shahwat kekuasaan meluas hingga ke ujung bumi, selain kemudian
menyimpulkan bahwa bumi ternyata bentuknya bulat. Keinginan menguasai bangsa
lain dan merampok sumber daya kekayaan alamnya, merebak dimana-nama oleh bangsa kulit putih Eropa.
Catatan sejarah peradaban ummat manusia berubah disebabkan oleh kekayaan alam
kepulauan Maluku yaitu rempah-rempah bunga cengkeh dan buah pala, dua dari banyaknya ragam komoditi sumber daya alam yang tersedia di bumi
Maluku.
Negara Portogis yang paling awal membuat
jejar pelayaran dan menginspirasi bangsa Eropa untuk menantang gelobang,
menembus samudera, agar bisa menemukan wilayah entah di mana yang di sebut “kepulauan rempah-rempah”, selain anak
benua India unuk jenis rempah-rempah yang lain.
Bangsa Portogis yang sudah sejak awal
abad XV melalui Henry sang
Navigator telah menjelajahi bagian utara benua Afrika. Bermodalkan pengalaman itu
pada tahun 1488, armada ekspedisi pimpinan Bartolomeu Dias mencoba berlayar mengelilingi benua Afrika dan
berhasil melintasi untuk pertama kalinya Tanjung Harapan. Kemudian pada tahun
1497, atas perintah Raja Portogis Manuel I, Vaco da Gama sebagai navigator memimpin armada empat buah kapal
berlayar melewati Tanjung Harapan – Benua Afrika, untuk menuju pantai timur
benua Afrika dan selanjutnya melalui Samudera Hindia menuju Kalkuta, wilayah
selatan Hindustan, anak benua – India, dan tiba tahun 1498. Selanjutnya pada tahun 1511, ekspedisi Portugis
pimpinan Alfonso d’Albuquerque berhasil mencapai sekaligus menaklukkan Malaka.
Dari sana, mereka
menuju Maluku dan diterima oleh raja Ternate saat itu dan diperkenankan
berdagang dan bahkan diijinkan membangun benteng pertamanya di Ternate.
Sedangkan Chritoper Columbus berlayar ke arah barat dan hanya menemukan
San Salvador, dia gagal menemukan anak benua India yang menjadi tujuannya
semula. Baru kemudian armada Spanyol pimpinan Ferdinand Magelhaens pada tahun 1519, sampai di
Tidore Maluku, tetapi melalui jalur Samudera Atlantik dan melewati ujung
Amerika Selatan dan samudera Pasifik hingga tahun 1521 mereka tiba di Philipina
tetapi Magelhaens terbunuh saat bertemu dengan perang antar suku di Cebu. Lalu
posisinya diganti oleh Del Cano.
Dalam perjalanan kembali ke Spanyol, mereka singgah di Tidore lalu menjalin kerja sama dengan Tidore. Kerja sama itu tidak hanya
dalam hal perdagangan, tetapi juga dengan mendirikan benteng Spanyol. Sementara
itu, Portugis yang membuka kantor dagangnya di Ternate merasa terancam dengan
hadirnya Spanyol di Tidore, hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Tidore dan
Ternate telah lama bermusuhan. Atas alasan ini, Portugis kemudian merebut
Benteng Spanyol di Tidore. Portugis dan Spanyol akhirnya mengadakan perjanjian
yang disebut Perjanjian Saragosa
dengan perantara oleh Paus di Roma. Dengan isi perjanjian yaitu ; Daerah kekuasaan dan
pelayaran Portugis adalah dari Brazilia ke Timur sampai Halmahera (Maluku), dan
Spanyol berkuasa atas Mexico ke Barat terus sampai Phillpin. Sehingga
akhirnya Maluku dikuasai
Portugis sedangkan Philipin dikuasai Sepanyol.
Portogis menjadi bangsa Eropa pertama
yang berhasil tiba di Maluku, baru kemudian berturut-turut Spanyol, Inggris,
lalu Belanda, yang kemudian hari merubah wajah perjalanan sejarah kepulauan
Maluku dan kepulauan di Nusantara berbentuk
sebuah negara bernama Indonesia.
Catatan sejarah panjang perjalanan para
penakluk laut dan samudera yang semula demi kepentingan ekonomi, yaitu mencari
untuk menemukan kepulauan rempah-rempah. Pada akhirnya berhasil menemukan,
membuka dan membentangkan jalur perhubungan antar satu benua dengan benua lain sekaligus
memperoleh ilmu dan pengetahuan tentang muka bumi.
Kepulauan itu bernama Maluku, telah
dikenal dunia sejak ribuan tahun yang lalu. Ini menjadi modal sejarah masa
lalu, untuk dibangkitkan kembali, sebagai jembatan masa depan yang dapat
diandalkan untuk menjalin hubungan persahabatan guna kepentingan ekonomi daerah
dan kesejahteraan sosial Maluku. Kenapa diabaikan dan tidak dimanfaatkan ?
ØMaluku dan Negara Indonesia
Maluku lahir dalam satu kesatuan
kepulauan yang terbentang dari pulau Morotai di utara hingga pulau Wetar di
selatan, dengan penduduk pemukim awal adalah suku-bangsa Alifuru. Tidak ada
catatan sejarah awal berarti dari keberadaan hubungannya dengan adanya
kerajaan-kerajaan besar yang terbentuk di wilayah barat Nusantara, seperti
Singosari, Majapahit, Pasundan atau Sriwijaya pada masa sebelum kehadiran
bangsa-bangsa Eropa.
Maluku dengan suku-bangsa Alifuru-nya,
seperti wilayah bebas nilai dan tidak terjangkau atau terkuasai oleh
kerajaan-kerajaan tersebut. Hingga kehadiran bangsa Eropa pada awal abad ke-16
Masehi, baru kemudian ramai terjadi penghubungan wilayah dalam kaitan dengan
lalulintas invasi penguasaan wilayah jajahan selain Maluku dan pengangkutan
rempah dari Maluku menuju Eropa. Bahkan hingga keberadaan kerajaan-kerajaan
yang terbangun di Maluku, seperti kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo,
Moro dan Lolodan di bagian utara dan kerajaan kecil lain di bagian tengah dan
selatan, sangat sedikit adanya informasi tentang sejarah Maluku awal. Hingga
adanya bangsa Eropa, sejarah tentang Maluku barulah ditulis, sekalipun itu
hanya sepihak dalam kepentingan sejarah politik penjajah atas tanah jajahannya.
Orang Maluku baru mengetahui ada Sumpah Palapa oleh Gajah Mada - Pati kerajaan Majapahit, yang sumpahnya bermaksud menyatukan seluruh
kepulauan di Nusantara, setelah Indonesia terbentuk sebagai sebuah negara dan
merdeka dari bangsa-bangsa kolonial Eropa dan Jepang. Namun demikian, kehadiran
dan keberadaan bangsa Eropa di Maluku yang kemudian bersikap menguasai dan semena-mena
terhadap suku-bangsa Alifuru atau penduduk Maluku, telah menimbulkan perlawanan
berarti dan patut ditulis menjadi catatan sejarah heroisme mempertahankan dan mengusir pergi bangsa pendatang.
Secara sporadis dan lokal Orang Maluku
berperang dengan penjajah sejak awal mula kehadiran bangsa Portogis, Spanyol,
Inggris dan Belanda. Peperangan pernah
terjadi antara Kerajaan Ternate dan Portogis oleh Sultan Hairun, lalu dilanjutkan
putranya Sultan Babullah antara tahun 1563 – 1575. Juga oleh kerajaan Tidore dan Jailolo, di
utara dan Kerajaan Iha – Saparua, sebagai salahsatu perwakilan kerajaan Ternate di Maluku
bagian Selatan juga tidak luput dari peperangan yang juga dengan Portogis. Kerajaan
Hitu juga berperang dengan Portogis, bahkan juga perang dengan Belanda yang dikomandoi Kapitan
Ulupaha, dimana hampir bersamaan waktunya dengan pecahnya perang penyerangan
benteng Durstede di pulau Saparua pimpinan Kapitan Pattimura. Perang di ujung
barat pulau Seram – Huamual, dengan Belanda, adalah peperangan beruntun yang
terjadi hingga penghujung tahun 1817, juga menjadi bagian dari perang Hongi di bagian
tengah-selatan kepulauan Maluku.
Peperangan-peperangan tersebut, dan
tentu masih banyak lagi, adalah bukti yang menunjukan perlawanan orang Maluku
mempertahankan atau merebut kembali kekuasaan atas tanah airnya. Kemenangan dan
kekalahan silih berganti, menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah heroik masa
lalu Orang Maluku.
Wilayah kepulauan Maluku berada pada gugus kepulauan Nusantara bagian
paling timur bersama pulau dan kepulauan Papua, sedangkan kearah barat hingga
pulau Sumatera. Gugus kepulauan inilah pada akhirnya jatuh dalam cengkeraman
kekuasaan dan eksploitasi luar biasa bangsa-bangsa Eropa umumnya, dan khususnya
bangsa Belanda yang terlama menguasai kepulauan Nusantara selama 350 tahun
hingga tahun 1942 dengan masuknya penjajah bangsa Jepang yang berakhir di tahun
1945, dengan diproklamirkan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka berbentuk Negara
Republik berbasis kesatuan gugus kepulauan Nusantara pada tanggal 17 Agustus
1945.
Maluku telah berperan penting
menjadikan wilayah kepulauan Nusantara saling terhubung dalam satu kesatuan yang kemudian membentuk sebuah
negara yang hari ini bernama Indonesia. Sejarah terbentuknya negara Republik Indonesia, Maluku adalah
bagian penting dari salah satu pondasi sekaligus menjadi pilar utama terbentuknya
negara merdeka bernama Republik Indonesia, dan Maluku dikukuhkan sebagai salah satu provinsi
bagian dari negara ini, hanya dua hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
diproklamirkan atas nama bangsa Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta
di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Menteng Jakarta.
ØIndonesia adalah Maluku
Kita telah sepakat
menjadikan Indonesia sebagai negara yang juga milik Orang Maluku. Tetapi amat
sangat rugi bila kenyataannya negara Indonesia seperti menafikan dan
mengabaikan keberadaan Maluku, provinsi tua seumur negara Indonesia.
70 Tahun sudah Indonesia sebagai negara merdeka dan telah berkembang maju
dengan pencapaian-pencapaian berbagai prestasi pembangunan, setidaknya sudah
ada perubahan yang terlihat. Hanya saja porsi keadilan dalam pemerataan terkesan, Maluku diabaikan. Bukti
perbandingannya secara kasat mata dan pikiran, begitu pesat perkembangan
pembangunan dan kemajuan terlihat terbentang lebih terkonsentrasi di wilayah
barat Indonesia. Kesan pengabaian menjadi terbetik oleh pertanyaan atas
kenyataan bahwa Maluku bukan wilayah tandus sumber daya alam. Eksploitasi
berpayung otoritas pemerintah pusat atas sumber daya alam Maluku, telah lama
berlangsung dan tentu tidak terkira nilainya bagi kas negara Indonesia. Itu
satu hal, yang lain adalah kontribusi Maluku sebelumnya sebagaimana yang
disampaikan di atas.
Bahwa Indonesia hari ini, sebelumnya hanya adalah kepulauan di antara dua benua dengan penguasa oleh kerajaan-kerajaan kecil dan sifatnya lokal masing-masing pulau, kemudian menjadi terbuka kepulauannya dan dikenal dunia secara luas oleh adanya eksploitasi bangsa lain dari Eropa karena mencari wilayah kepulauan Maluku. Baru selanjutnya sejarah berubah oleh penderitaan oleh ketertindasan bersama menjadi semangat pengukuhan jati diri atas kepemilikan, lalu terbangun melalui perlawanan lokal di wilayah pulau dan kepulauan, terhubung menjadi satu kesatuan pendapat dan bersepakat menjadikannya sebuah negara bersama.
Bahwa Indonesia hari ini, sebelumnya hanya adalah kepulauan di antara dua benua dengan penguasa oleh kerajaan-kerajaan kecil dan sifatnya lokal masing-masing pulau, kemudian menjadi terbuka kepulauannya dan dikenal dunia secara luas oleh adanya eksploitasi bangsa lain dari Eropa karena mencari wilayah kepulauan Maluku. Baru selanjutnya sejarah berubah oleh penderitaan oleh ketertindasan bersama menjadi semangat pengukuhan jati diri atas kepemilikan, lalu terbangun melalui perlawanan lokal di wilayah pulau dan kepulauan, terhubung menjadi satu kesatuan pendapat dan bersepakat menjadikannya sebuah negara bersama.
Strip early spice trade
Mau apalagi harus yang mesti dilakukan, untuk mendapatkan perhatian lebih
pihak berwenang negara, agar secara sungguh-sungguh dan benar-benar
memperhatikan Maluku, melalui porsi pembangunan dan kebijakan politik yang
lebih proporsional dan rasional menurut pandangan Orang Maluku, bukan se-pihak atau
sedapat apa adanya oleh pemerintah pusat sebagai penanggung jawab dan penentu pelaksanaan
pembangunan negara.
Ketika mengetahui Maluku adalah
provinsi paling miskin di Indonesia pada urutan ke-4 dalam data statistik
tahun 2014, beta tidak marah karena kecewa, malah tertawa terbahak-bahak karena
mendapatkan kenyataan bahwa laut, daratan dan alam Maluku masih segar-bugar
dengan ketersediaan sumber dayanya, walau itupun sudah lama dikuras. Suatu lelucon oleh angka dari data statistik
yang sangat melawan akal sehat dan menimbulkan pertanyaan besar, mengapa
demikian.
Kemiskinan di Maluku adalah kemiskinan struktural, oleh adanya unsur
pembiaran dengan sengaja. Masyarakat memiliki barang tetapi tidak bisa
menjadikannya bernilai uang. Setidaknya komoditi yang dulu lebih mahal dari
emas ; cengkeh dan pala, hampir menjadi barang “sampah” saat ini, oleh ketiadaan proteksi dan inovasi kebijakan
secara kreatif pihak berwenang, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Belum
lagi komoditi hasil usaha lain dari pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan maupun usaha kelautan, hasil panen
atau tangkapan yang sudah tidak seberapa disebabkan masih bersifat tradisional
baik cara maupun sarana, kemudian hanya bisa dijual murah dengan harga
ditentukan tengkulak, selebihnya dibagikan gratis. Akses pasar sangat terbatas oleh
kendala sarana, prasarana transportasi, biaya ongkos yang mahal oleh jauhnya
jarak tempuh, serta kendala alam.
Kemiskinan adalah bencana sosial dan politik bagi daerah Maluku dan negara
Indonesia, karena bukanlah suatu musibah kemanusiaan, tetapi akibat
ketidakseimbangan dan keadilan dalam pemerataan membagi kebutuhan kue
pembangunan. Butuh perhatian yang lebih dan sangat serius menyikapi kondisi predikat
miskin. Sudah seharusnya tidak dibiarkan kondisi sedemikian terus seperti itu
berlama-lama, sebab akan memunculkan peluang tumbuhnya benih kecemburuan sosial
secara local, antara wilayah, dan mungkin saja berkembang hingga menghadirkan
isu dan pertanyaan yang lebih meluas terhadap perlu atau tidak perlukah
kehadiran negara – Indonesia, di Maluku.
Route of Cavendish's circumnavigation of the globe
http://www.transpacificproject.com/index.php/european-exploration-and-colonization/
Maluku belum lepas tuntas dari impian sebagian orang akan kemandirian
terpisah dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Jargon “mena muria” dengan lambang kebanggaan berwarna “benang raja-pelangi”, masih mengakar di sebagian jiwa dan pikiran
orang Maluku. Dianggap Separatis dalam jastifikasi negara, sebaliknya pejuang
dalam impian sang pemimpi, yang tidak bakal lenyap bahkan lebih tersulut bilamana
kehadiran negara dirasa sepi dan percuma.
Peristiwa tarian cakalele berbendera
pelangi di lapangan Merdeka kota Ambon pada peringatan Hari Keluarga
Nasional bulan Juni 2002, terjadi dihadapan Presiden Republik Indonesia Susilo
Bambang Yudhoyono dan pejabat negara lainnya. Bukti impian itu masih ada,
tetapi bukan berarti tidak bisa dihapus. Bisa, menghapusnya dengan
kesejahteraan. Orang sejahtera pasti kenyang, orang susah selalu lapar,
akhirnya kalap.
Negara dalam memandang dan memperlakukan Maluku harus lebih “khusus”, sekalipun tidak harus sama sebagaimana
Papua, Aceh atau Yokjakarta, tetapi memiliki nilai lebih – plus, dari daerah lain. Berupa ruang akses yang lebih leluasa untuk
politik anggaran dan regulasi kebijakan pembangunan sebagai wilayah provinsi berbasis
kepulauan yang memiliki spesifikasi rentang kendali wilayah laut terluas di
Indonesia. Sedemikian juga Pemerintahan di Maluku pun jangan seperti perahu
yang kehilangan layar, bahkan kehilangan kemudi di tengah laut Banda. Menyerahkan
nasib hanya kepada arus kemana terbawa, harus bersikap tanggap dan kreatif
membangun sinergi kekuatan dengan seluruh komponen Orang Maluku di daerah
maupun di luar daerah Maluku untuk lebih berdaya dalam posisi tawar dengan
pemerintah pusat. Bukan lagi asyik dengan diri sendiri seakan paling bisa dan
merasa sudah maksimal berbuat, pada kenyataannya data statistik tingkat
kehidupan masyarakat masih terseok-seok dan begitu berat menapak menuju puncak
kesejahteraan.
Porsi pemerataan pembangunan mesti dibuat seadil-adilnya oleh Pemerintah Pusat,
dan pemerintah daerah Maluku harus mereformasi mental aparatnya dan tata kelola
pemerintahan daerah, guna mempercepat kepastian kesejahteraan masyarakatnya,
dan jangan malu melibatkan segenap potensi Sumber Daya Manusia (SDM) Orang
Maluku, sebagai kekuatan agar lebih berdaya, guna menjadikan masyarakat Maluku
di hari esok lebih baik dari hari ini.
Depok, 08 Juni 2016
M. Thaha Pattiiha )*
-----------------------------------
)* ‘Orang
Maluku’, berdomisili di Kota Depok
Catatan ;
- Referensi sejarah dan informasi dari berbagai
sumber.
- Tulisan ini diperuntukan sebagai masukan dalam
Mubes Mama (Musyawarah Besar Masyarakat Maluku) yang berlangsung 27 Oktober
2015 lalu.
tetapi karena setelah diamati Mubes tersebut(Penulis hadir di kota
Ambon), sepertinya hanya “basa-basi politik”, sehingga urung dipublikasikan
saat itu