Oleh ; M. Thaha Pattiiha
(Bagian ketiga dari tulisan ; “PELA GANDONG ; Warisan Budaya Takbenda Bangsa Alifuru”)
(Bagian ketiga dari tulisan ; “PELA GANDONG ; Warisan Budaya Takbenda Bangsa Alifuru”)
Pela Gandong/Kapata (Sei hiti lisa A'aen lopu-siapa yang membuat masalah bakal terluka sendiri)/Ilustrasi ; @embun01
Budaya Gandong
tidak ada klasifikasi. Gandong ya itulah saudara sekandung seibu sebapak, satu
orang tua. Terlahir dari rahim ibu yang sama, kecuali Pela. Klasifikasi budaya
ikatan Pela, terdapat perbedaan berdasarkan kadar maupun nilai kualitas peristiwa
penyebab awalnya. Ikatan Pela oleh peristiwa biasa, dan karena peristiwa luar
biasa. Maka itu, harusnya hanya dua tipe klasifikasi jenis hubungan Pela, yakni
Pela Darah - disebut juga Pela Keras atau Pela Batu Karang, dan Pela
Tampa – tempat, sirih.
Pertama ; Pela Darah, menerangkan penyebabnya terjalin karena terjadi
peristiwa yang dapat atau hingga menumpahkan darah, yang apabila sampai
terjadi, akibatnya buruk karena akan atau benar-benar terjadi kematian.
Banyak peristiwa
yang menjadi alasan terjalinnya hubungan persaudaraan berjenis Pela Darah yang bukan
Pela biasa. Peperangan antara dua pihak, baik adu kekuatan dan kekebalan antara
dua orang Kapitan, atau antara kelompok(pasukan), dan salah satu pihak kalah
dan menyerah, lalu saling berdamai. Memberikan bantuan kepada salah satu pihak
dalam peperangan, menyelamatkan nyawa pihak lain yang tertimpa kecelakaan,
musibah, atau bencana – di darat ataupun di laut, yang dapat berakibat kematian.
Bagi pihak yang
kalah atau menyerah dalam peristiwa saling berperang, pengikut yang takluk
karena kematian – tertebas, Kapitannya setelah adu perang ketangkasan dan
kekebalan dengan Kapitan lain, begitupun pihak yang dibantu atau ditolong. Dari
pihak ini yang biasanya berinisiatif menawarkan diri menjalin hubungan Pela.
Pihak yang ditawari pun tidak akan menolak – sifat bijak dan karakter positif
Orang Maluku aslinya mudah berempati untuk tidak angkuh dengan menolak menerima
tawaran niat baik pihak lain bahkan walau sedang bermusuhan, untuk saling tidak
sekadar berdamai atau berterima kasih menghargai kebaikan yang diterima, tetapi
sampai menjalin persaudaraan berupa ikatan Pela.
Maha pentingnya anggapan
terhadap sifat dari peristiwa yang dialami dan telah dilalui, menjadi dasar
alasan atau latar belakang pertimbangan pemikiran putusan untuk harus dilakukan
ikatan Pela. Sebab awalnya jelas, yaitu berkenaan dengan penyelamatan nyawa
yang berarti memperoleh keselamatan dalam kehidupan, maka disakralkan untuk
dihargai sebanding sebagaimana bernilainya darah bagi kelangsungan hidup. Untuk
itu dibutuhkan darah sebagai media terjemah unsur penyatuan. Sepantasnya untuk
jiwa disatukan tidak sebatas “janji kata-kata”, butuh cara lebih dari itu yang tidak
dapat saling meniadakan serta sulit dilupakan – sifat jelek manusia sering lupa
atau sengaja melupakan, melalui cara saling bertransfusi darah antara para
pihak. Dengan begitu, masing-masing jiwa terbawa hidup hingga kematian bersama jiwa
yang lain, dan akan terus mengalir sejauh garis keturunan manusia – sesama
saudara Pela, menjalani kehidupan dunia. Saudara Pela sedarah di dalam otot dan
daging, saudarah setubuh. Sebab alasan itulah sesama saudara Pela Darah
dilarang saling kawin – menikah, karena makna pesannya sama dengan mengawini
saudara sekandung atau sedarah.
Pela Darah biasanya
dikukuhkan dengan sama-sama antara pemimpin kelompok – Kapitang, Upu Latu, atau yang
dituakan dalam struktur adat, meneteskan darah segar dari jari tangan yang
sengaja dilukai, disatukan dalam sebuah wadah – biasanya batok atau tempurung
kelapa, dicampur air saja atau dicampur minuman tuak lokal Maluku ; sopi atau sageru, lalu diminum bersama oleh kedua pemimpinnya mewakili
anggota kelompok. Dilanjutkan dengan prosesi sama-sama berikrar, mengucapkan
sumpah saling mengikat diri dalam hubungan persaudaraan selama-lamanya, disertai
hal-hal kewajiban yang harus dipenuhi, dan larangan-larangan yang tidak boleh
tidak dipatuhi bagi kedua pihak. Untuk kewajiban yang apabila tidak
dilaksanakan dan larangan yang dilanggar, secara spiritual – menurut keyakinan
adat leluhur, bakal mendapatkan akibat yang dapat merugikan diri sendiri atau
keseluruhan warganya.
Kedua, Pela Tampa Sirih. Jenis Pela ini memiliki posisi hirarki dalam
kadar peristiwa penyebab awal sedikit lebih di bawa Pela Darah, tetapi kadar nilai ikatan Pela setingkat Pela Darah,
yaitu persaudaraan. Latar belakang alasan dilakukannya ikatan Pela Tampa(tempat) Sirih bukan karena peristiwa luar biasa. Tetapi untuk lebih
mempererat atau meningkatkan hubungan persahabatan yang sebelumnya sudah terjalin,
oleh sebab perkawinan, karena pertemanan ketika sama-sama menjalani suatu
peristiwa, atau karena satu pihak membantu kebutuhan pihak lain dalam kehidupan
normal yang bukan peristiwa penyelamatan nyawa. Jenis Pela ini tidak semasif
Pela Darah, dan boleh saling kawin atau menikah.
Baca juga ;
Ikatan Pela
dilakukan – pada awalnya, bisa dua atau lebih secara kelompok terbatas orang,
bisa saja terbatas satu orang tetapi adalah seorang pemimpin, misalnya oleh
satu orang Kapitan dengan Kapitan lain, sudah bisa mewakili wilayah pemukiman atau
kampung(negeri)-nya. Bila awalnya hanya sekelompok orang dengan jumlah
seadanya, ketika kelompok berkembang menjadi sebuah wilayah pemukiman berupa
satu negeri atau lebih, ikatan dan sumpah itu tetap berlaku.
Ketika Pela
terjalin – pada syarat bawaan aslinya, khususnya Pela Darah, harus dipenuhi
dengan tanggung jawab sebagai sesama saudara Pela. Selain persyaratan
sebagaimana tersebut dalam “Sumpah Pela”,
maka sebagai saudara – karena setingkat Gandong, maka harus pula diberi semacam
hak waris. Bisa berupa wilayah(sebidang) tanah, atau berupa benda berharga
lainnya.
Hubungan
persaudaraan Pela Gandong dapat terjalin antara Negeri – setingkat Desa, antara
pulau. Sebagian saling memiliki hubungan Pela saja, hubungan Gandong saja,
maupun kedua-duanya ; Pela Gandong. Terhubung antara negeri pada komunitas sesama
satu agama, dan atau berbeda agama, Islam - Kristen. Dan tidak ada alasan dalam hubungan Pela maupun Gandong, yang menimbulkan perbedaan karena faktor latar belakang berbeda agama, sebab disadari bersama bahwa Pela Gandong lebih dulu ada sebelum agama hadir. Ketika secara politis Pela Gandong diberdayakan sebagai solusi menyelesaikan peristiwa konflik atas nama beda agama, patutlah untuk berterima kasih kepada Nenek Moyang Orang Maluku, karena telah mewariskan kepada generasi penerusnya suatu budaya yang sangat arif, bijak, dan cerdas - tidak "terkalahkan" oleh perubahan masa dan perilaku manusia.
Kampung
Bulak, 07/11/2019
(Bersambung ke bagian terakhir ; Pela
Gandong Sebagai Warisan Budaya Takbenda)
No comments:
Post a Comment