Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Demokrasi Indonesia seharusnya
makin baik dipraktekkan setelah era Reformasi tahun 1998, yang mengakhiri masa
pemerintahan Orde Baru. Orde Baru dianggap menerapkan demokrasi otoriter,
karena membatasi ruang kebebasan berpendapat dan berpolitik warga negara.
Tujuan reformasi, adalah memposisikan rakyat sebagai pemegang
kedaulatan. Prinsip dasar Demokrasi, demos(rakyat) dan kratos(kekuasaan),
rakyatlah yang memiliki kekuasaan, penyelenggara negara dikuasakan untuk memenuhi
hak-hak rakyat secara bertanggung jawab.
Masa reformasi memunculkan berbagai kesempatan dan bahkan kebebasan yang
oleh sebagian orang berpendapat sudah kebablasan. Kebebasan berpendapat dan
berpolitik malah memunculkan permasalahan lain, setelah sistem pemerintahan
yang sebelumnya semua tersentralisasi pada pemerintah pusat, dialihkan sebagian
urusan menjadi hak pengurusan pemerintahan di bawahnya di tingkat daerah,
provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintahan Provinsi, Kabupaten dan kota,
mendapatkan hak otonom, diberi kesempatan dan diserahkan sebagian urusan
menjadi wewenang kekuasaan di daerah. Desentralisasi wewenang dan dekonsentrasi
urusan. Tujuannya untuk secara mandiri mengatur urusan pemerintahan dan politik
di daerah masing-masing, termasuk menentukan kepemimpinan daerah secara
demokratis dengan cara dipilih secara langsung melalui pemilihan umum kepala
daerah (Pilkada).
Orde atau era telah berubah, tetapi kesan praktek cara sebelumnya masih
tetap terbaca, bahwa pemerintahan yang dibangun melalui demokrasi, seperti
tidak berubah cara prakteknya saat kekuasaan telah ada dalam genggaman. Kebebasan
memilih pemimpin daerah, masih tersandra oleh aturan umum yang membebaskan
ruang bagi sebagian elit politik berkuasa dengan leluasa menguasai pemerintahan.
Sebaliknya menyempitkan kebebasan bagi yang lain di masyarakat untuk sama peluang
berpartisipasi dalam demokrasi politik, karena butuh tidak sekadar intelejensi
dan kapasitas. Kapabelitas dan akuntabilitas pun belum berarti, karena untuk
memenuhi taraf elektabilitas, harus didukung kemampuan lobi politik dengan dukungan
anggaran pembiayaan maksimal.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 konstruksinya menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan
Wali Kota harus “dipilih secara demokratis”. Proses awal atau prasyarat yang harus dilewati agar bisa menjadi bakal calon
pemimpin daerah, sebelum ditetapkan sebagai calon oleh lembaga pemilihan umum untuk
dipilih langsung, harus lebih dahulu mendapatkan
dukungan rekomendasi dari Partai Politik(Parpol), atau dengan melalui dukungan langsung
masyarakat untuk bakal calon perseorangan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati Dan Walikota dan Wakil Walikota Menjadi
Undang-Undang, tidak ada pembatasan syarat dukungan maksimal Parpol untuk
seseorang atau pasangan calon kepala daerah, kecuali hanya dukungan minimal.
Didalam undang-undang tersebut, juga telah dihilangkannya peluang suara partai
yang tidak memenuhi quota perhitungan
mendapatkan kursi keanggotaan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan angka persentasi dukungan minimal
baik Parpol maupun dukungan langsung masyarakat untuk calon perseorangan yang telah
diperbesar.
Niatnya mungkin untuk memperbaiki kualitas demokrasi sekaligus kuantitas
guna efektifitas peran jumlah Parpol karena dianggap terlalu “ramai” dan
“sulit”, dalam membentuk kesepakatan atau kesatuan pandang politik bagi kelancaran
penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan Demokrasi yang harusnya murni
pendelegasian wewenang kekuasaan rakyat untuk mengakomodir kepentingan
hak-haknya, menjadi rusak oleh praktek politik transaksional,
sehingga kekuasaan secara paksa diperoleh pihak-pihak yang bukan utuh mewakili
kepentingan rakyat.
Menjadi tidak berbeda perubahan yang dimaksudkan, sebab masih terbuka
peluang untuk membentuk Parpol baru di pemilihan umum(Pemilu) berikutnya. Penyederhanaan
jumlah Parpol bertujuan untuk adanya peningkatan kualitas peran politik di
parlemen dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, maka menjadi tidak
berguna adanya pembatasan dimaksud.
Sebaliknya malah melahirkan kelompok elit politik yang mengerucut dalam jumlah
yang memudahkan terkontrolnya haluan politik, sehingga menguntungkan
kepentingan politik kelompok tertentu sesuai
yang diinginkan.
Pada hajatan demokrasi Pilkada Provinsi dan Kabupaten/Kota serentak
tahap ke dua tahun 2017, personal elit kekuasaan dan Parpol, menguasai benar
peta politik dalam persaingan merebut dukungan rakyat. Rakyat diposisikan sekadar
sebagai alat formalitas mengukuhkan peta demokrasi, yang telah dikondisikan
secara sistemik. Bakal calon pesaing, begitu sempit peluang mereka karena
dilemahkan melalui kuat-kuatan praktek
kapitalisasi politik dan kemampuan tawar dalam praktek politik transaksional. Parpol pun panen
“rejeki politik” sebanyak ketersediaan besaran nilai prosentase dukungan rekomendasi
partainya.
Suara konstituen partai maupun suara rakyat umumnya, bukan pertimbangan
utama, terabaikan oleh pesona kultur politik pragmatis personal atau
kelompok yang mampu secara kapital dan
atau karena kuat dalam penguasaan kekuasaan.
Desain politik pengkultusan dibangun secara paternalistik, dengan pesona
pragmatis dalam kekuasaan yang digenggam, dan rakyat dimarginalkan dan
tersudut. Rakyat terbelunggu dalam ketergantungan jangka panjang, sehingga mudah
dibentuk, gampang dimanfaatkan sesuka keinginan kepentingan sang penguasa.
Praktek manipulasi politik “noken” pun secara terselubung disemai melalui
program pemberdayaan, yang sesungguhnya memperdaya hak-hak konstitusionalnya.
Praktek politik yang tidak lagi menuntun moralitas sesungguhnya dalam
pemenuhan syarat berdemokrasi yang baik dan benar, tetapi telah dikemas dalam model
politik transaksional. Politik transaksional dalam Pilkada saat ini malah makin
massif dilakukan oleh para pemimpi kekuasaan. Transaksi dukungan politik
bernilai angka-angka penawaran, dilakukan secara dibalik tangan, dipatok besaran
nilai harganya untuk bisa mendapatkan sebuah rekomendasi bakal calon dari
Parpol. Disinilah praktek kapitalisasi politik dalam demokrasi, membuat mahal
dan mempersulit bagi yang tidak “bermodal”.
Jangan berharap banyak kualitas demokrasi makin membaik, menyaksikan diskursus
praktek demokrasi dalam Pilkada seperti ini, kenyataannya hanya sebatas melibatkan
elit yang sedang berkuasa dan Parpol. Posisi rakyat pemilih dalam proses memenuhi
hak-hak demokrasinya hanya boleh menunggu saat dipersilahkan di kotak suara, untuk
memilih calon “apa adanya” yang belum tentu sesuai figure calon yang diharapakan dan diinginkan oleh pemilih.
Depok, 13 Nopember 2016