Fenomena Kotak Kosong
baru muncul di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahap ke-2 bulan Pebruari 2017, menjadi tidak
terbantahkan. Sebaliknya mencengangkan karena menimbulkan tanda tanya. Apa benar
hanya pada daerah yang bersangkutan hanya ada satu pasangan calon, sehingga
harus melawan kotak kosong. Banyak pertanyaan yang lain menyikapi kenyataan sedemikian.
Desentralisasi kekuasaan
dimaksudkan memberikan hak otonomi oleh pusat kepada daerah dengan amanat untuk
mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat. Salah satu faktor pendorong adalah
berkembangnya pendidikan politik yang dapat membentuk budaya politik partisipan
masyarakat sipil (civil society). Peran
masyarakat sipil yang baik, dapat meminimalisir pemaknaan tunggal sudut pandang
kepentingan sepihak pemegang kekuasaan di daerah, sebaliknya membuka luas
ruang demokrasi yang lebih bermartabat bagi partisipasi politik semua warga
negara.
Bahwa fungsi seorang
kepala daerah yang bijak dan baik, adalah menciptakan peluang lebar dan membuka
kesempatan luas berdemokrasi untuk rakyat, agar leluasa secara aktif dan maksimal menggunakan hak
politiknya.
Kepala daerah sebagai
pimpinan pemerintahan di daerah (Pemda), dan institusi Partai Politik(Parpol) sebagai
kelompok organisasi politik masyarakat sipil (Civil society Politic Organization) di tingkat daerah, mestinya yang
berinisiatif. Aktif melaksanakan fungsi melahirkan kader unggul pemimpin untuk memenuhi
jabatan pemerintahan dan politik, sehingga terjaga kesinambungan kepemimpinan
untuk pembangunan daerah dapat terkondisikan secara stabil. Tidak akan sampai
menimbulkan gejolak politik “kasar” dan “kotor” aksi rebut-rebutan, dengan
saling menjegal, “melambung di tikungan”. Kuat-kuatan dengan berbagai
cara dan strategi, antara yang mempertahankan dan yang hendak merebut,
sebagaimana yang nampak disetiap masa pergantian kepemimpinan politik
pemerintahan saat ini.
Kehadiran “Tokoh” lain sebagai pesaing dalam
Pilkada tidak dianggap musuh berbahaya, bilamana langkah kebijakan
pemerintahan telah memenuhi kriteria
berhasil dalam masa kekuasaannya. Modal keberhasilan yang telah diakui rakyat, merupakan
peluang untuk berlanjut ke periode masa pemerintahan berikutnya, selain itu tidak
sampai penuh nafsu berebutan dukungan rakyat atau Parpol dengan pesaing lain
yang hendak tampil.
Parpol malah masih tetap saja
bersifat sentralistik kebijakan politiknya di era yang sudah direformasi. Mereka masih
menganut sistem kebijakan dan keputusan tersentral kepada lagalitas Pimpinan Pusat Partai dalam
menentukan arah haluan politik khususnya untuk kepemimpinan di daerah.
Regulasi sistem perpolitikan tidak dibuat sendiri oleh pemerintah tetapi bersama Parpol, melalui keanggotaan legislatifnya di parlemen, alih-alih demokratis dan reformis, malah terjebak dalam praktek sentralistik atau memang juga disengajakan demikian.
Baca juga ;
Regulasi sistem perpolitikan tidak dibuat sendiri oleh pemerintah tetapi bersama Parpol, melalui keanggotaan legislatifnya di parlemen, alih-alih demokratis dan reformis, malah terjebak dalam praktek sentralistik atau memang juga disengajakan demikian.
Dukungan pemberian
rekomendasi partainya kepada seseorang bakal calon, tetap saja memiliki borok
kejahatan yang melukai nilai demokrasi. Parpol di tingkat daerah hanya
berwenang menerima, menampung, menyeleksi bakal calon, selanjutnya elit
Pimpinan Pusat Partai yang memutuskan. Proses tahapan yang malah “birokratis”,
karena masih mempraktekkanny padahal itu salah satu musuh reformasi. Parpol harusnya menjadi lembaga yang menjalankan nilai-nilai bijak demokrasi berupa kebebasan yang tidak bertele-tele dan tidak sentralistik, maupun tidak kapitalistik dalam politik. Moral Parpol diuji untuk ikut menyebarkan pendidikan politik yang bebas dari politik pragmatisme.
Dibalik keputusan dengan
segala alasan rasional dan moral yang nampak dipermukaan, tersirat transaksi
hitung-hitungan kapitalisasi nilai tawar. Ukurannya total jumlah kursi dirinci
satuannya dengan besaran angka yang sangat elastis, berdasarkan kemampuan
jaringan lobby dan kekuatan kantong para bakal calon. Hal ini tidak akan
mungkin ada “berita”nya, tertutup dan sama-sama maklum.
Kesempatan bagi bakal
calon perseorangan atau independen, dikesankan tidak berbeda kerepotannya
dengan bakal calon melalui rekomendasi Parpol. Serba-serbi prasyarat yang harus
dilewati dan hambatan tak terkira dan tidak mampu dilawan, menjadi alasan
gagalkan peluang bakal calon perseorangan.
Adanya kotak kosong merupakan
fakta, telah terjadi praktek demokrasi transaksional dan oligarki. Silahkan
saja dimaknai dengan bantahan dalam kepentingan menurut sudut pandang
masing-masing, baik Personal calon maupun Parpol, sudah tentu akan menjadi bias
dan silang pandang karena relatif pasti akan dirasionalkan dengan berbagai
alasan pembenaran.
Pasangan calon tunggal yang
akan melawan kotak kosong, rata-rata oleh orang atau pasangan yang sementara memegang tampuh jabatan pemerintahan daerah tersebut (incumbent atau disebut petahana).
Terdapat ada 11(sebelas) pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dalam Pilkada serentak 15 Januari 2017, yang merupakan calon tunggal, sehingga akan berhadapan dengan "Kotak Kosong". Salam satu pasangan calon tunggalnya antara lain di Kabupaten Maluku Tengan, Provinsi Maluku.
Terdapat ada 11(sebelas) pasangan calon Bupati/Wakil Bupati dalam Pilkada serentak 15 Januari 2017, yang merupakan calon tunggal, sehingga akan berhadapan dengan "Kotak Kosong". Salam satu pasangan calon tunggalnya antara lain di Kabupaten Maluku Tengan, Provinsi Maluku.
Baca juga ;
Peluang orang yang untuk
berpartisipasi sebagai bakal calon kepala daerah, dihentikan hanya karena tidak
memperoleh rekomendasi Parpol sebagai akibat aksi borong yang adalah oleh
petahana hanya agar bisa menjadi pasangan calon tunggal. Disini, terjadi
aksi kuat-kuatan yang selalu
memposisikan petahana sebagai unggulan dan hingga berhasil sebagai pemenangan perebutan
hampir semua rekomendasi Parpol. Bila pun ada Parpol yang disisakan, dipastikan
tidak akan mencukupi jumlah syarat minimal dukungan bagi bakal pasangan calon
yang lain.
Aturan Undang-undang
tidak membatasi prosentasi maksimal dukungan rekomendasi Parpol, kecuali syarat
minimal. Peluang ini dimanfaatkan secara sengaja oleh penguasa tirani politik, dengan
cara penguasaan Parpol. Demokrasi secara monopoli dimaknai dan dipraktekan
dalam bahasa sistem yang diformalkan dengan aturan yang dikemas, seakan telah
mewakili semua kepentingan bersama. Rambu-rambu dan perangkap yang membatasi
pihak lain dan menyelamatkan kepentingannya dibuat samar dan malah multi-tafsir,
sehingga ada ruang untuk menyekat dan membungkam suara berbeda secara sepihak,
dengan pembenaran formal karena termaktub dalam aturan perundang-undangan.
Fenomena menarik
terlihat dari “aksi borong” rekomendasi Parpol di pilkada 2017 - tentunya dengan modal besar, ternyata
dilakukan rata-rata oleh bakal calon incumbent. Adapun Parpol yang disisakan,
tidak bakal cukup memenuhi prasyarat bagi bakal calon yang lain.
Kotak Kosong tidak
“haram” bila simpulnya dimaknai sebagai bentuk kegagalan kepemimpinan pimpinan
daerah, bersama dengan “mati rasa” moralitas politik elit Parpol oleh kegagalan
fungsi dan peran kaderisasi, regenerasi dan pendidikan politiknya, sehingga
tidak mampu menampilkan calon-calon pemimpin baru sebagai representasi utuh hak
politik masyarakat sipil yang makin berkualitas dari pilkada sebelumnya ke
pilkada berikutnya.
Rakyat yang memiliki hak
untuk dipilih tetapi kehilangan peluang, dan rakyat yang memiliki hak untuk pilih
(rights to vote) tetapi tidak berkenaan memilih, sebab hanya
1(satu) pasangan calon, kini tersedia “permen” ruang demokrasi yang silahkan
disuarakan aspirasinya melalui “aksi” memilih Kotak Kosong.
Perolehan suara Kotak Kosong
50% +(plus)1, maka pemilihan akan diulang, dengan pengajuan calon-calon lain
yang baru.
Selamat ber - DEMOKRASI !
Depok,
11 Nopember 2016
No comments:
Post a Comment