Tukel, sebagai istilah untuk menyebut suatu
kebiasaan yang seringkali dilakukan dalam hal berbicara apa saja dengan
semangat tinggi tetapi sekadar mengungkap hal-hal yang belum tentu benar,
cenderng tidak memiliki tujuan yang bermanfaat atau positif. Tentu apa yang
dibicarakan tidak dapat dibuktikan kenyataan atau realisasinya. Sama saja
sifatnya dengan istilah yang sudah umum yaitu omong kosong.
Istilah khas di
kalangan masyarakat Maluku, untuk menyebut orang yang sering berbicara,
bercerita, atau menebar omongan kosong sedemikian, disebut "tukang #kewel", disingkat #Tukel. Sebutan Tukel
digunakan untuk mengatakan atau menanggapi orang lain yang banyak bicara,
terbiasa bercerita panjang lebar tentang sesuatu, bahkan seakan tau banyak hal,
tetapi pada kenyataan di akhirnya, tidak pernah terbukti kebenarannya, atau
bukan sesungguhnya.
Sudah lama menjadi
istilah umum di kalangan sesama Orang-Maluku. Kadang sebagai candaan menyebut
seseorang pada sesama teman, tetapi juga gelar yang cenderung bersifat negatif
untuk menghakimi seseorang yang sering kali mengatakan sesuatu yang hanya omong
kosong, karena hanya sebatas itu tanpa bisa dibuktikan atau direalisasikan.
Bahkan boleh juga disematkan istilah itu kepada yang orang menganggap diri
merasa paling mengetahui segala sesuatu, yang ketika dipertanyakan lebih rinci
atas apa yang dibicarakan, yang bersangkutan akan menghindar dan berbelit
jawabannya atau asal bisa menjawab.
“Suka ba puji orang
pung hal(barang), atau suka makang puji deng orang pung barang”. Kalimat yang
sering terucap dikalangan masyarakat katong Orang-Maluku. Menggambarkan suatu
bentuk kebiasaan yang harusnya dipandang buruk, dan tidak boleh lagi sampai
menjadi “budaya”. Harus ditiadakan karena merupakan kebiasaan yang berpangkal
pada menganggap segala sesuatu sekalipun itu bukan milik sendiri tetapi disebut
seakan menjadi miliknya juga.
Karakteristik
kehidupan yang terbentuk dari keberadaan lingkungan yang ditempati, seperti di
kepulauan Maluku, dengan ketersediaan sumber daya alam di darat maupun di laut,
telah membentuk sifat penghuninya. Lebih banyak waktu luang dari kehidupannya
yang meminimalkan usaha saling berburu dan bersaing. Berlebihan dari yang
dibutuhkan, berpengaruh dalam membentuk sifat keseharian, termasuk banyaknya
waktu luang. Pola kehidupan yang terbentuk dari ketersediaan sumber daya alam
yang melimpah, telah menata pola hidup merasa segala sesuatu dianggap muda.
Mudah mendapatkan sesuatu, karena tersedia lebih dari yang dibutuhkan.
Terdapat sisi
humanis yang positif dari “budaya” tukel, yang boleh jadi telah menjadi bagian
dari pembentukan karakter Orang Maluku, karena terbiasa banyak bicara, telah
menjadikan budaya bicara terus terang dan spontan. Mengatakan sesuatu secara
langsung, apakah itu menyampaikan rasa marah, pendapat terhadap ketidak
setujuan, yang menjelaskan Orang Maluku tidak suka mendiamkan isi pikiran dan
pendapatnya, apalagi menyimpan di hatinya sebagai rasa dendam.
“Abis situ, abis”.
Maksudnya sehabis bicara – terus terang, maka masalah dianggap selesai. Sosio-kultural Orang-Maluku bukan berarti memang sama persis seperti itu, tetapi setidaknya
itu gambaran umum yang dianggap suatu kebiasaan selama ini. Bahwa, tidak pandai
menyimpan hal buruk berlama-lama di hati dan pikirannya. Merasa lebih baik, dan
itu ciri khasnya, bila sesuatu itu tidak dipendam apalagi hingga membentuk
dendam. Tidak suka, ya tidak suka, mau atau tidak, diperpendek atau
diperpanjang, jelas disampaikan, tidak disimpan yang mungkin saja menyerupai
awal bibit pembentukan jaringan kanker dendam kesumat, yang suatu waktu
tiba-tiba menyerang diam-diam dari arah belakang tanpa diketahui. Lebih baik
sesuatu itu disampaikan, karena dengan begitu dapat diketahui baik buruknya,
kurang lebihnya, untung ruginya, atau benar tidaknya.
Kadang suatu
kebiasaan bila terus menerus dilakukan akan menjadi terbiasa, tidak lagi
menimbulkan sensitifitas untuk memilah baik buruknya, bisa juga menjadi
kebiasaan yang dianggap lumrah. Tidak ada positifnya, negatif pun juga belum
tentu. Seperti meraba di dalam gelap, sulit menemukan yang dicari, hanya bisa
menerka untuk menentukan mana yang seharusnya. Tentu sisi moral menjadi tatanan
untuk memangkas alasan dan dampak ketidak-manufaatan karena asal bicara atau
banyak bicara, sebaliknya dengan terbiasa diam, pun tidak berarti lebih baik.
Maka tukel karena orang dan apanya, tetapi itu pas waktu dan tempatnya saat
ketika sedang menikmati segelas kopi, sambil bersiul mendengarkan lagu “bulan pake payung”.
No comments:
Post a Comment