Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Maluku, "Mutiara" Indonesia (Foto Ilustrasi ; Dokumentasi Pribadi)
Ole-ole
dari Mubes Mama 2015
Sebagaimana penjelasan dari Sekretaris
Panitia Mubes Mama, Cak Saimima (Tribune-Maluku.com),
yang menyatakan penyelenggaraan Mubes Mama guna mengkonsolidasikan wawasan keMalukuan dalam
realitas kebhinekaan negara kesatuan republik Indonesia dan memperjuangkan
keadilan dalam pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial. Untuk itu perlu
dilayangkan protes keras kepada pemerintah Pusat atas
pengabaian terhadap pembangunan Maluku selama ini. Selain itu, Mubes Mama ditujukan
untuk mengakomodasi desakan
kepada Pempus untuk memberikan kewenangan Otonomi Kepulauan dan pengakuan
pemerintah pusat terhadap Provinsi Kepulauan, realisasi Lumbung Ikan Nasional (LIN),
serta hak PI 10 persen Blok Migas
Marsela.
Pembukaan
acara musyawarah sekaligus mendengarkan pidato motivasi dari Wakil Presiden
Republik Indonesia M. Jusuf Kalla. Materi untuk sesi ceramah menampilkan nara
sumber Menteri Menteri Koordinator
Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Panjaitan.
Kutipan dari M. Jusuf Kalla ; "Mubes MAMA ini harus menjadi alat
perjuangan sekaligus cita-cita bersama seluruh anak Maluku untuk mengembalikan
lagi keharuman dan kejayaan masa lalu daerah ini, di masa akan datang” (www.antaranews.com). Mengingatkan tentang masa lalu, untuk dikembalikan
di masa “akan datang”. Ya, akan datang, tentang ruang waktu untuk sesuatu yang
tentu tidak segera besok atau lusa, setahun atau dua tahun. Pidato hebat yang
tidak sekadar hitamputih memahaminnya, karena sebagai wakil pemegang kuasa
pemerintahan pemerintah pusat, itu cukup politis.
Diberitakan, komponen masyarakat Maluku yang menjadi peserta
musyawarah seakan-akan telah terwakili secara utuh dan paripurna. Perwakilan
yang menjadi peserta berasal dari 11(sebelas) kabupaten/kota di Provinsi Maluku
dan perwakilan masyarakat Maluku dari atau yang berdomisili di luar Provinsi
Maluku, di 34 Provinsi dalam negeri negara Indonesia maupun yang di luar
negeri. Tentu sangat tanggung untuk dikatakan tidak sempurna. Kriteria
perwakilan pun sepertinya samar syarat-syaratnya, sehingga siapa mewakili
siapa, apa, mengapa dan bagaimana bisa mewakili, menjadi rana buram yang
kemudian hilang penjelasannya oleh pergantian waktu. Apalagi kegiatan dimaksud
diinisiasi oleh Gubernur Maluku Said Assagaff - Pemda Provinsi Maluku, dan tentu telah menggunakan dan
menghabiskan anggaran belanja yang tidak sedikit yang berasal dari dana kas daerah,
jelas itu uang milik bersama seluruh rakyat Maluku yang harusnya terukur
manfaat dan dipastikan mendapat hasil nyata.
Niat baik Mubes Mama “mungkin” simpulnya untuk membangun sinergitas antara segenap
komponen masyarakat Maluku bersama Pemda Provinsi Maluku, dalam satu pandangan
dan sikap bersama berupa visi dan misi serta penegaskan keinginan dan
kepentingan Maluku. Setidaknya
untuk hasil musyawarah, ada keinginan yang kuat dari peserta untuk mengakomodir
suara-suara ketidakpuasan umumnya masyarakat Maluku terhadap perlakuan tidak
adil oleh Pempus terhadap Maluku. “Ole-ole”
– buah tangan, dari Mubes Mama adalah 7(Tujuh)
Kehendak Anak Negeri Maluku (www.antaranews.com), yakni ;
1. Bertekad
terus membangun, mempertahankan dan mengembangkan semangat soliditas pro hidup antarsesama warga, terutama
sesama anak negeri Maluku.
2. Kami
bertekad berjuang dengan serius dan terus mendesak pemerintah RI agar
memberikan perlakuan yang adil kepada daerah dan anak Negeri Maluku melalui
kebijakan pembangunan nasional yang sesuai dengan kondisi objektif provinsi
Maluku yakni sebagai wilayah berakarkter kepulauan dan kelautan.
3. Bertekad
berjuang dan mendesak pemerintah RI untuk secara adil dan bijaksana
mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterlibatan anak Negeri Maluku dalam
penyelenggaraan kepemimpinan negara pada semua bidang di tingkat pusat.
4. Mendesak
pemerintah RI, DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk sesegara mungkin
membentuk undang-undang otonomi khusus provinsi kepulauan paling lambat 2017,
agar rakyat di semua provinsi kepulauan mendapatkan keadilan sosial, kemakmuran
dan kesejahteraan.
5. Kami
menghendaki pemerintah pusat agar pengelolaan semua blok migas di Maluku dapat
menikmati secara langsung hasil pembangunannya.
6. Bertekad
menolak berbagai upaya provokatif yang dilakukan oleh siapa pun dan dalam
bentuk apa pun demi memelihara keutuhan hidup bersama orang basudara
(bersaudara) sebagai anak Negeri Maluku secara berkelanjutan dalam bingkai
Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
7. Bersepakat untuk membentuk dan menjadikan Majelis Anak
Negeri Maluku sebagai wadah perjuangan bersama mewujudkan kesejahteraan dan
keadilan bagi semua anak Negeri Maluku.
Dikatakan sekadar ole-ole, sebab tujuh poin hasil musyawarah
yang menjadi tekad, desakan, dan kesepakatan merupakan kehendak Anak Negeri Maluku, ternyata tidak sesempurna yang diharapkan. Diinisiasi
Gubernur dan dilaksanakan sendiri oleh Pemda Maluku, dan hanya menghasilkan
sesuatu yang seperti membuang garam di Laut Maluku. Gubernur dan perangkat
Pemda ternyata tidak lebih posisi dan perannya sebagaimana umumnya masyarakat
Maluku yang tidak memiliki apa-apa, kecuali hanya bisa “membeo” kepada Pempus,
tanpa pernah mau belajar memahami sejarah karakteristis Maluku untuk bisa
dijadikan “alat tawar” dan “power” menentukan sikap sendiri – sesuai keinginan dan
kepentingan rakyat Maluku, kepada Pempus. Sayang sekali, karena Gubernur Maluku, begitupun DPRD Provinsi ternyata
tidak berdaya atau malas berpikir, atau mungkin saja menganggap dirinya sama
saja dengan LSM(Lembaga Sosial Masyarakat) yang serba terbatasi. Padahal mereka (Gubernur
dan DPRD) dipilih langsung oleh rakyat Maluku, memiliki legitimasi untuk bersuara
atas nama rakyat, belum lagi memiliki dukungan perangkat pemerintahan daerah serta
tentu saja anggaran.
Penyelenggaraan
Mubes bukan tanpa mendapat kecaman sebelumnya. Kecaman datang dari beberapa pegiat masalah ke-Maluku-an. Kecaman
datang dari Masyarakat Adat Bangsa Alifuru (www.tribun-maluku.com), yang meragukan kesungguhan, dan mencurigai sesuatu dibalik alasan
diselenggarakannya musyawarah tersebut. Alasannya karena dianggap tidak
merepresentasikan masyarakat Maluku, serta lebih cenderung dimanfaatkan untuk
kepentingan politik kekuasaan dan dijadikan instrumen politik kapitalis yang
menguntungkan pribadi dan sekelompok orang. Setidaknya hal itu terbukti dengan
tidak dimasukkan perihal upaya massif peminggiran masyarakat hukum adat dengan cara pengambilalihan tanah dan
hutan adat – Hak Ulayat, Sukubangsa
Alifuru di seluruh kepulauan Maluku. Tidak ada pembahasan dan
rekomendasi terhadap persoalan faktor hambatan administrasi negara dengan berbagai
regulasi yang mengkerdilkan dan cenderung menghilangkan hak-hak masyarakat
adat. Tidak ada desakan tenggang waktu kapan realisasi Lumbung Ikan Nasional (LIN), yang sudah pernah dicanangkan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon pada 9 Juni 2012 dan dipidatokan ulang oleh
Presiden Joko Widodo, begitupun tidak ada penguatan terhadap hak PI – Participating
Interest, 10 persen Blok Migas Masela, yang ternyata juga diinginkan oleh
Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tidak ada keinginan untuk mempermasalahkan(misalnya
Peninjauan Hukum ke Mahkamah Konstitusi) atas berbagai regulasi Pempus yang
menjadi pembatas wewenang daerah Maluku,
terutama di laut yang hanya 12ml(duabelas millaut), mestinya ada pengecualian khusus
kepada daerah Maluku sebagai wilayah perairan terbesar di Indonesia. Tetapi tidak
lupa menyelipkan kepentingan politik sepihak – perorangan, dengan cara “mengemis
– meminta belas kasihan” untuk jabatan Menteri di Kabinet Pemerintahan Negara.
Selain dengan sengaja bermaksud mengabaikan dan memarjinalkan peran lembaga-lembaga
ke-Maluku-an yang sudah ada dengan membentuk lembaga baru dengan “merek dagang” Majelis Anak Negeri Maluku.
Adakah ole-ole yang kadaluarsa?
Demokrasi pascareformasi telah
mengubah situasi politik yang dipuja-puji lebih demokratis, dengan Gubernur dan
Bupati/Walikota – Pimpinan Pemerintahan Daerah, ditentukan dengan dipilih
langsung oleh rakyat daerah bersangkutan. Otonomi Daerah “setengah hati”
menjadi lips service Pempus
memanjakan Gubernur dan Bupati/Walikota yang menjadi Kepala/Pimpinan
Pemerintahan Daerah. Peran tersebut satu paket dengan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang dalam prakteknya lebih berperan
mewakilkan diri sendiri dan mewadahi kepentingan oraganisasi partai politik
naungannya. Peran Dewan Perwakilan Daerah(DPD) – Senator, pun yang seharusnya berperan maksimal bersuara penuh
terhadap kepentingan daerah yang diwakilinya, posisinya hanya “mengekor” kepada
DPR-RI. DPD sangat terbatas legislasi dan kewenangannya, apalagi sampai memiliki
Hak Veto dalam posisi sebagai Senator.
Posisi DPD dan DPR, harusnya dibuat bersifat Bikameral – dua kamar, walau tidak
sampai menganut sistem negara Federasi seperti Amerika Serikat. Tetapi itu hal
lain dan mungkin nanti, sebab harus lebih dulu kembali mengamandemen
Undang-Undang Dasar 1945.
Sistem dan mekanisme yang serba
terbatas serta seperti masih sentralistik seperti tersebut di atas, mungkin
saja yang mengakibatkan “wakil” masyarakat Maluku (DPD dan DPR) di Parlemen dan
wewenang pemerintah daerah(Gubernur dan Bupati/Walikota) dalam hal otonomi
daerah menjadi seakan tidak mampu berbuat banyak untuk memperjuangkan
kepentingan Maluku kepada Pempus. Sehingga untuk itu, mereka butuh penguatan
sebagaimana melalui pelaksanaan Mubes Mama. Boleh saja, kecuali bukan bermaksud
untuk menutupi kelemahan diri sendiri dalam mengatur dan ketidakmampuan memimpin
pemerintahan daerah Maluku, apalagi hingga melemparkan tanggungjawab kurang dan
salah seluruhnya kepada Pempus. Tentu itu bentuk kebohongan dan pembodohan dengan
mekanisme intelektual yang sangat hina, dan menciderai kepercayaan rakyat.
Tiga tahun telah berlalu 7(Tujuh)
Kehendak Anak Negeri Maluku disuarakan,
saatnya diingatkan untuk dievaluasi guna mengukur tenggang waktu dan menilai hasilnya.
Satu persatu dari tujuh kehendak dimaksud dipilah, masing-masing disayat,
dibelah, lalu dianalisa. Sudah adakah perubahan signifikan sebagimana yang
diharapkan, atau sama saja, “masih seperti yang dulu” atau makin parah? Pada kenyataannya, Maluku hari ini masih berkutat
dengan ketidakmampuan pengurangan pengangguran, akibat minimnya peluang dan
lambatnya penciptaan lapangan kerja, serta terus saja tertatih dipusaran provinsi
dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia.
Pada poin salah satu kehendaknya
yaitu ; mendesak pemerintah RI, DPR dan
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk sesegara mungkin membentuk undang-undang
otonomi khusus provinsi kepulauan paling
lambat 2017(dibol oleh
penulis), agar rakyat di semua provinsi
kepulauan mendapatkan keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan. Apa
kabar Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi
Kepulauan? Sudahkah ada perubahan kebijakan dalam pembangunan nasional yang
sesuai dengan kondisi hidrologi dan karakter objektif provinsi Maluku sebagai
wilayah kepulauan? Seperti misalnya dalam hal perubahan besaran anggaran
pembangunan yang bersumber dari APBN untuk dana perimbangan daerah bagi Maluku oleh
Pempus dan tidak hanya mengakomodir luas daratan. Bila ada kehendak yang sudah “jatuh
tempo” tetapi masih diabaikan, sikap apa yang harus dilakukan oleh Maluku?
Menyelenggarakan lagi Mubes Mama, babak ke-2?
Depok, 30 November 2018