Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Dalam Kebudayaan Maluku dikenal Hukum Adat Sasi dan Matakau. Kedua aturan hukum adat sudah sangat tua umurnya, karena aturan yang secara tradisionil berlaku di masyarakat adat Maluku ini, telah diberlakukan beratus tahun yang lalu. Hanya saja, sejak kapan pastinya butuh penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejarahnya. Akan tetapi, sudah pasti telah menjadi bagian dari budaya masyarakat negeri-negeri adat di Maluku yang masih dihormati dan diyakini kegunaannya, sehingga sampai sekarang masih dipertahankan.
Sasi dan matakau, saling berbeda kegunaan peruntukan dan
perberlakuannya. Kesamaan ada dalam fungsi, yaitu khusus dalam mengatur dan
memelihara Sumber Daya Alam(SDA) dan lingkungan hidup umumnya, selain pelajaran
untuk membentuk moral dan perilaku masyarakat. Dimaksudkan agar terjadi
keteraturan dalam mengelola hasil alam dan lingkungan hidup, sehingga tetap
terjaga dan terlindungi dari kerusakan, bahkan moral atau adab masyarakatnya
menjadi positif.
Di wilayah Maluku bagian tenggara, yaitu di kepulauan
Kei disebut hawear, sama saja
fungsinya dengan sasi. Sasi dan matakau, sama-sama diperuntukkan kepada
masyarakat umumnya, tetapi alasan dan maksud, sanksi, dan kebutuhan asal
penerapannya saling berbeda.
Ø Sasi
Sasi, adalah hukum adat yang ditetapkan secara umum kepada
masyarakat – warga suatu negeri(desa) untuk larangan mengambil atau memanen
suatu objek sumber daya di alam dalam wilayah yang ditentukan. Untuk di
daratan, berlaku untuk buah-buahan seperti pala, kelapa, durian, maupun
buah-buahan lain atau jenis hasil hutan lain yang dianggap perlu untuk
diberlakukan larangan sasi. Bila diberlakukan untuk laut dan pantai, adalah
untuk jenis ikan tertentu. Di beberapa lokasi tertentu khususnya dia area
pantai, diberlakukan untuk panen telur burung Maleo, telur penyu, dan cacing(belut)
laor.
Bilamana di suatu negeri adat diberlakukan adat sasi,
maka aturan larangan sasi hanya berlaku di lingkungan dan sesuatu objek
larangan yang dimaksud pada negeri adat bersangkutan. Larangan tersebut tidak
berlaku di negeri yang bertetangga atau negeri yang lain, tetapi objek yang
dilarang berlaku bagi siapapun atau semua orang tanpa kecuali, baik warga di
dalam negeri maupun bukan warga negeri yang menerapkan adat sasi. Setiap orang
dilarang mengganggu, mengambil, atau memanen sesuatu objek yang dilarang atau
dikenakan larangan adat sasi, hingga tiba pada waktunya berakhir masa
berlakunya larangan sasi. Berlaku sanksi adat bagi siapapun yang melanggar
larangan adat sasi, berupa pembayaran denda, hukuman badan yaitu dipukul dengan
rotan sekian kali, juga bisa hingga diarak di tengah jalan keliling lingkungan
negeri. Untuk sanksi yang terakhir ini, lebih kepada efek jerah paling
maksimal, karena tujuannya buat pelanggar larangan untuk dipermalukan agar
tidak lagi mengulang perbuatannya. Ada pula – di masa lalu, nama atau identitas
pelanggar yang melalui Marinyo - juru
bicara negeri, diumumkan keliling negeri. Hingga di jaman modern saat ini,
kadang identitas pelanggar diumumkan melalui pengeras suara yang tersedia di
rumah raja (setingkat Kepala Desa), kantor pemerintahan negeri, atau tempat
ibadah – masjid atau gereja, kepada
seluruh lingkungan negeri.
Sasi merupakan larangan tidak tertulis, tetapi menjadi
kesepakatan bersama yang dihasilkan melalui musyawarah warga negeri. Sebagai peringatan
berlakunya larangan sasi, maka di sudut-sudut jalan keliling negeri akan
dipasang tanda menggunakan janur kelapa. Janur kelapa dianyam dan dihias atau dibentuk dengan hiasan dari robekan kain berang – kain merah, atau kain
putih yang diikat secara acak di sekitar batang janur. Sebelum dipasang, sasi
yang telah dibuat atau dibentuk akan diarak terlebih dahulu keliling negeri
dengan tata cara prosesi ritual yang sudah baku, dipimpin oleh Maweng atau Tokoh ritual adat negeri
yang khusus memiliki fungsi sebagai “Tuan” sasi negeri adat. Demikian juga pada
saatnya, ketika akan diakhiri masa berlaku larangan sasi, dilakukan pula oleh
Maweng.
Masa berlaku sasi disesuaikan dengan kebutuhan dan
tenggat waktu peruntukkannya, yaitu mulai dari masa awal hingga saat yang
dianggap sudah waktunya larangan sasi dicabut. Sasi diberlakukan bersifat
terbatas, baik terhadap objek SDA yang ditentukan, area atau wilayah yang
ditentukan atau diperuntukkan, dan untuk jangka waktu tertentu sejak kapan
dimulai dan hingga kapan berakhir waktunya. Untuk objek tertentu sasi dapat
diberlakukan secara periodik setiap tahun, seperti sasi ikan lompa (Trisina baelama; sejenis ikan sardin kecil) di negeri Haruku, pulau Haruku Kabupaten Maluku
Tengah. Sama juga seperti sasi menangkap ikan secara umum di negeri Kawa,
Kabupaten (Pulau)Seram Bagian Barat.
Selama masa berlakunya larangan sasi, apabila
diperlukan karena terdapat kebutuhan mendesak, maka melalui permintaan ijin
lebih dulu dan disertai syarat pembayaran denda tertentu, seseorang dapat
diijinkan mengambil sesuatu yang menjadi objek sasi. Penguasaan dan penerapan
pemberlakuan sasi, selain melalui pemerintahan negeri, dapat juga diserahkan penanganannya
kepada kelembagaan lain di dalam lingkungan negeri setempat. Dikenal di negeri-negeri
adat yang beragama Kristen, selain sasi adat juga terdapat sasi gereja.
Pembukaan Sasi Ikan Lompa, warga
ramai-ramai panen ikan lompa(Trisina
baelama) di sungai Learisa Kayeli,
Negeri Haruku – pulau Haruku, Kabupaten Maluku
Tengah(Sumber; antarafoto.com)
Ø
Matakau
Matakau, adalah hukum adat yang
bersifat terbatas kebutuhan dan peruntukkannya. Hanya dipergunakan oleh orang per orang atau suatu keluarga – matarumah atau keluarga se-marga, tertentu. Tujuan pemasangan
matakau diberlakukan untuk objek tertentu yang merupakan hak milik orang atau
keluarga yang bersangkutan. Misalnya untuk melindungi hasil kebun, pohon
buah-buahan, atau pun objek tertentu yang adalah milik orang atau keluarga yang
bersangkutan, sehingga tidak diambil atau dicuri oleh orang lain yang bukan
dari keluarga pemilik matakau.
Antara sasi dan matakau dimaksudkan untuk tujuan yang
sama, yaitu melarang orang lain untuk mengambil sesuatu yang ditandai
diberlakukannya larangan adat sasi dan matakau. Persamaan lainnya, adalah dalam
prosesi sebelum dipasang atau diletakkan di tempat atau lokasi yang dimaksud,
sama-sama melalui prosesi adat tradisionil yang lebih bersifat mistis. Perbedaan
ada pada kepemilikan, bila sasi secara umum dan dimiliki untuk digunakan bersama
oleh suatu negeri adat, maka matakau lebih bersifat kepemilikan keluarga atau
perseorangan. Matakau menurut bentuknya tidak hanya satu jenis, tetapi cukup
beragam bentuknya dan dengan prosesi pembuatan dan efek yang ditimbulkan saling
berbeda satu jenis dengan jenis matakau yang lain.
Dalam mitologi masyarakat adat Maluku, sasi dan
matakau dipercaya keduanya sama-sama memiliki daya kandung supra natural karena
bersendikan keyakinan secara kosmos menurut kepercayaan turun-temurun dari
nenek moyang, yaitu memiliki kekuatan mistis dan magis. Memang tidak
dipungkiri, sehingga ditakutkan dapat langsung berakibat buruk karena dapat membahayakan
bagi pelanggarnya, selain sanksi nyata. Seperti sasi, selain dampak nyata
dikenakan sanksi hukuman adat, akibat magisnya masih ada toleransi sebatas
bahaya ringan, seperti sakit perut atau akibat ringan lainnya. Sedangkan pelanggar
larangan matakau tidak dikenal atau mendapat sanksi adat, tetapi dampak magisnya
dipercaya bisa lebih parah hingga membahayakan keselamatan jiwa seseorang atau
pelaku pelanggarnya.
Sasi dan Matakau, merupakan bagian milik dari kekayaan
budaya adat yang lahir dari kearifan lokal masyarakat adat Maluku, dan telah
bertahan menembus dan melewati pergantian periode waktu dan jaman kehidupan
manusia. Menjadikan sasi dan matakau sebagai bagian dari hukum adat yang masih
dipertahankan dan dipergunakan hingga saat ini. Hal itu pula yang telah
berkontribusi dalam membentuk karakter dan jiwa masyarakat adat di Maluku,
tentang bagaimana SDA dipelihara, dirawat, dan dilestarikan, melalui cara-cara
bijak melalui tatanan mental kejiwaan masyarakatnya yang ditata secara beradab.
Maluku adalah wilayah yang meliputi Pulau Seram, Buru,
Tanimbar, Halmahera, kepulauan Kei, Banda, Aru, Gorom, MAKEBO(Manipa, Kelang,
Buano), TNS(Teon, Nila Serua) Pulau-pulau Terselatan(Kisar, Babar, Selaru,
Marsela, dll), Kepulauan Sula, Ternate, Tidore, Bacan, Obi, dll. Dari Morotai
di utara hingga Selaru paling terselatan, Sasi dan Matakau adalah budaya yang
masih digunakan untuk melindungi sumber daya alam dan lingkungan. Namanya pun
berbeda sebutan di masing-masing wilayah, tetapi fungsinya tetap sama.
Suatu bukti, bahwa dengan penataan yang tertib secara
tradisional melalui pranata hukum adat, hasilnya adalah SDA di Kepulauan Maluku
di darat maupun di laut hingga saat ini secara umum sebagian besarnya masih
terpelihara dan tetap lestari. Namun demikian, infiltrasi budaya yang terbentuk
dari perubahan jaman dan ilmu pengetahuan modern yang memunculkan budaya baru,
berbeda, dan tersendiri. Kadang terbesit pemikiran miring sebagian orang yang
seperti dengan sengaja ingin menghalau perbendaharaan budaya dengan mengesankan
seakan sudah kuno, tidak searah perkembangan jaman. Pola pikir demikian yang menjadi
batu sandungan dan yang bisa menghancurkan suatu budaya tradisional masyarakat
adat yang kadang lemah dan rentan pertahanannya terhadap suatu pengaruh pemikiran
dan perilaku baru yang seakan lebih baik dan modern. Dampak sesat budaya modern
yaitu cenderung instan, bersifat kepentingan sesaat, yang tentu menyesatkan
kepedulian terhadap keberlanjutan kehidupan manusia dan lingkungan hidup.
Setidaknya gaung konsep pembangunan berkelanjutan – Sustanible Development, bisa mengambil “nyawa” atau belajar dari
(khususnya) hukum adat budaya sasi. Sebagai warisan, yang lahir dari kecerdasan
hasil pemikir tradisional bangsa Alifuru yang sangat arif dan telah menjadi bagian
dari kekayaan budaya lokal Maluku saat ini.
Depok, 11 November 2018
------------
Catatan ; Untuk beberapa tulisan tentang Sejarah dan Kebudayaan Maluku, seperti Sasi dan Matakau ini, beta tidak harus melalui
studi lapangan maupun pustaka. Sebab beta sebagai anak adat maka sekaligus juga
sebagai pelaku atau pengguna pranata hukum adat yang berlaku di masyarakat atau
negeri adat di Maluku, sehingga tidak menggunakan referensi bahan atau data
dasar.Terkecuali gambar foto untuk melengkapi keterangan tulisan, ada yang
menggunakan sumber atau referensi dari pihak lain.
No comments:
Post a Comment