Ilustrasi Peta Kepulauan Maluku; “MALUKU” ; DILEMA NAMA WARISAN KOLONIALSumber; Google maps/diedit)
Ilustrasi Peta Kepulauan Maluku; “MALUKU” ; DILEMA NAMA WARISAN KOLONIALSumber; Google maps/diedit)
Sejarah kadang ditulis untuk memuji diri sendiri, dan
sebaliknya berusaha sedapat mungkin meniadakan orang lain dari dalam ceritanya.
Diri sendiri, dapat berarti pribadi seseorang, segolongan – kelompok, suku,
atau bangsa, dari dalam lingkungan sendiri dengan ungkapan-ungkapan yang
cenderung memuji, mengungkap keberhasilan dan berusaha mengecilkan hingga sebisa
mungkin menghapus kebobrokan, kekalahan, kegagalan, dan kejahatan sendiri.
Dan karena – hal yang sudah berlaku umum, sejarah
tidak diungkap untuk membesarkan dan apalagi mengagungkan orang lain yang
adalah seteru - musuhnya. Ada juga sejarah seterunya kalau pun ditulis, maka
yang diungkap adalah kebalikannya. Apalagi, sejarah adalah mengungkap kembali
suatu hal atau peristiwa yang sudah dilewati masa – yang terjadi atau bisa saja
tidak pernah ada. Ketika diceritakan, motivasi awal akan serta ikut
mempengaruhi hingga membentuk maksud dan tujuan penceritaan dan juga mengandung
emosi kejiwaan penceritanya. Ketika ada yang berbeda – pembelokan, atau hilang
– tidak tersebut, memang itu tujuan akhirnya sehingga terbentuk pengetahuan semata
sebagaimana maksud sejarah itu ditulis.
Sudut pandang
cara membaca sebuah sejarah, ketika digunakan untuk membaca sejarah tentang
nama Maluku, terungkap sesuatu yang mengganggu. Karena sejak wilayah
ini dinyatakan bergabung dengan negara Indonesia, nama “Maluku” digunakan
sebagai nama gugus kepulauan mulai dari
Morotai di utara hingga Selaru di ujung paling selatan, dan berbatas dengan
wilayah kepulauan Sulawesi dan Nusa Tenggara di barat serta Papua di sebelah
timur. Nama yang dalam administrasi ketatanegaraan Indonesia pascareformasi
1998 berubah – mekar jadi 2(dua) provinsi. Di bagian Pulau Seram dan Buru,
hingga Selaru di selatan tetap gunakan nama provinsi Maluku, dan kepulauan Sula hingga
Morotai, bernama provinsi Maluku Utara.
**
Dalam
tulisan-tulisan beta sebelumnya, “Maluku” dipahami sebagai nama yang sudah
sangat mewakili, yang menunjuk wilayah gugus kepulauan seperti tersebut di
atas. Nama yang ternyata belakangan melalui sejarah yang ditulis malah
mengalami degradasi pemaknaan dan cakupannya dipersempit. Muncul rasa penasaran
dan ketidaknyamanan hingga mengganggu pemikiran, apakah nama itu masih mau
hendak digunakan?
Terbesit
tanya itu hadir setelah membaca buku(edisi revisi); “Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950,”
karangan M. Adnan Amal, Gora Pustaka Indonesia, 2007. Sebuah
buku sejarah yang setidaknya cukup didukung referensi yang lengkap, dan menghimpun
begitu panjang alur perjalanan sejarah - 700 tahun, serta tentu saja dengan proses
pengumpulan data dan informasi, diskusi, hingga penyusunan – penulisan, yang
tidak mudah serta tidak dalam waktu yang singkat. Untuk itu, apresiasi sangat patut
dan wajar disampaikan kepada penulisnya.
***
Dikutip
dari yang disampaikan penulisnya ; “Pada
edisi ini perlu diberikan beberapa catatan klarifikasi. Dalam bab 1 sampai bab 11,
penulis menggunakan nama Maluku untuk menggantikan Maluku Utara. Pergantian ini
bukanlah tanpa alasan.“ (Selanjutnya disampaikan alasan berdasarkan sejarah
nama dimaksud) ….. “Apabila di sana sini
nama tersebut masih ditulis dengan Maluku Utara, ……., maka yang dimaksudkan adalah Maluku seperti dalam pengertian historis
yang disebutkan di atas, yang juga sesuai dengan perkembangan sejarah
ketatapemerintahan di kawasan ini sejak awal abad ke-19.”(Catatan Penulis
Untuk Edisi Revisi, hal.vi).
Diksi
narasi yang ditulis memang tidak secara terbuka mengemuka maksud bahkan inti
niat yang mungkin ingin dituju, tetapi tafsir bahasa mengindikasikan bahwa nama
Maluku tidak seharusnya digunakan – lagi, pada tempat atau wilayah lain, selain
yang dimaksudkan adalah hanya untuk rangkaian pulau – Ternate, Tidore, Moti,
Makian, dan kepulauan Bacan. Yang bersangkutan mengklarifikasi penggunaan nama
pada edisi terbitan 2(dua) jilid sebelumnya, nama “Maluku Utara” – seharusnya, diganti
dengan “Maluku” dalam edisi revisi dan penggabungan jilid I & II.
Penulisnya seperti tersadar, telah melakukan kesalahan atau kekeliruan,
sehingga perlu diklarifikasi.
Menjadi kontradiksi, ketika nama itu coba di”aneksasi” untuk dikembalikan dengan beralasan pada sejarah nama tersebut. Dan bukan tidak ada yang tidak tau – tentang latar belakang sejarahnya, ketika diterima dan digunakan untuk menamai wilayah ini – Maluku saat ini. Untuk yang selama ini mengenali atau mengenalkan identitas diri dan asal-usul nama wilayahnya sebagai Maluku – di luar yang dimaksud penulis buku dimaksud, mungkin juga sengaja melupakan bahwa nama itu beraura kolonialisme. Sebab bukan tidak memiliki nama sebagai identitas sendiri, karena Seram, Buru, dan seterusnya hingga di ujung selatan, adalah wilayah pemukim ber-etnis Alifuru dan ber-ras Melanesia, sama dengan penduduk asli pulau Halmahera di bagian utara.
Akan menyesatkan, apabila makna nama tersebut dengan
sengaja kembali dipersempit ruang lingkup wilayah cakupannya. Efeknya bakal
bisa akan berimplikasi kepada sikap antipasti dan reaksi untuk mendudukkan
ulang apakah masih atau sudah tidak perlu menggunakan nama dimaksud. Apalagi dikilas
balik ke masa lalu – merujuk alasan sejarah yang diulas (hal. 3-6) ; Asal-usul Nama "Maluku," simpulan
nama dimaksud sesungguhnya adalah nama warisan kolonial kerajaan-kerajaan lokal
di bagian utara, yang lalu dipakai secara formal oleh kolonial bangsa-bangsa
Eropa, kemudian jadi warisan bagi negara Indonesia – yang juga merupakan
wilayah warisan kolonial Belanda, diadopsi untuk nama provinsi.
****
Sedikit beralih dari persoalan “sengketa”
nama Maluku – yang bagi William
Shakespeare tentu bermakna paradoks, ketika Juliet berkata kepada
Romeo ; “apa arti sebuah nama” - harum mawar tetaplah harum mawar, kalaupun
mawar berganti dengan nama lain." Dalam hubungan ini sejarah nama ternyata
jadi tidak seharum rempah-rempah, sebab ada bagian yang hilang tetapi bakal
ketemu juga akhirnya dengan nama lain yang bebas sengketa. Tetapi agar
pandangan lebih detail yang dimaksud dengan “Kepulauan Rempah-rempah”, maka
nama(istilah) ini pun perlu diurai. Istilah yang maknanya menerangkan gugusan
pulau – kepulauan, dengan lebih dari satu jenis rempah-rempah. Bukan hanya
cengkeh yang awalnya ada di utara, tetapi juga pala yang bukan berada di utara
tetapi ada di Banda – tengah selatan.
Tetapi sejarah Kepulauan Rempah-rempah yang ditulis,
peran rempah-rempah pala yang hanya ada di Banda dan yang sudah begitu ramai
dengan aktifitas perdagangan serta sibuknya lalulintas pelayaran niaga
setidaknya 100 tahun sebelum Portogis hadir di Banda, tidak termasuk dari yang
ditulis.
Bisa jadi karena Banda letaknya jauh di selatan –
tengah, bahkan masih melewati kepulauan Seram Laut, pulau Seram, dan Buru. dari
letak wilayah Maluku yang dianeksasi sesuai maksud penulisnya. Menjadi narasi
yang kontraversial dengan apa yang dikatakannya – dalam keterangan tambahan ; -
“tidak mengetahui bahwa Banda adalah sebagian dari Maluku” (hal. 5). Mungkin yang dimaksud, Banda
sebagai salah satu koloni – taklukan Ternate? Satu dari pesan sejarawan Adrian B. Lapian dalam
bagian pengantar - yang sepertinya
masih berharap dikemudian hari akan memperoleh suatu kisah yang komprehensif(vii), dari kerajaan Ternate(hal.6).
*****
Mempertimbangkan kembali sejarah, klarifikasi dan
latar belakang penulis yang “bukan orang biasa-biasa saja”, serta tafsir –
prakiraan bukan cuaca, maksud sang penulis, bukanlah sesuatu hal yang
biasa-biasa saja yang boleh diabaikan. Adabnya, implikasi kehormatan atas
penggunaan nama oleh yang “bukan pemilik”, itu tidak pantas dan tentu
memalukan. Kecuali bermaksud ingin tetap dipertahankan – walau memalukan,
sebagai apresiasi terhadap salah satu warisan kolonial dengan cara memelihara nama
dimaksud. Selain merasa pantas saja dengan nama itu tetap disematkan sebagai
suatu epos romantis, agar bisa terus bernostalgia dengan “masa-masa indah”
bersama kaum kolonial.
“Mīlle viae
dūcunt hominēs per saecula Rōmam,” Alain de Lille ; Liber Parabolarum,
591 (1175), yang berarti "adalah seribu jalan membimbing orang selamanya ke
Roma, ya “banyak jalan ke Roma”, bilamana tidak direlakan nama Maluku untuk tetap
digunakan, maka tempuhlah jalan yang arahnya jelas dan pasti, yaitu kembali ke
“asal” keaslian, ini juga berdasarkan sejarah dan lebih tua usia dari usia
Maluku. Ke mana lagi, kalau bukan Alifuru. Sampai di sini, cukup diselesaikan
dengan TITIK!
Alifuru Seram, 16/01/2020
M. Thaha Pattiiha
M. Thaha Pattiiha
-----------
No comments:
Post a Comment