Oleh ; M.
Thaha Pattiiha
Ilustrasi ; Paradoks Integrasi Bernegara, Prolog Sumbang Sebagai Orang
Maluku (mth_@embun01/10012020)
Negara Indonesia tahun ini – 17 Agustus 2020, akan
memasuki usia proklamasi kemerdekaannya yang ke – 75 tahun, sekaligus adalah
usia terbentuknya negara Indonesia. Seumur itu bagi usia manusia normal sudah
pada level sangat tua, sudah melewati dan melakukan banyak hal termasuk sudah
akan mewariskan sesuatu – hal positif dan berguna, kepada anak-cucunya. Tetapi
tulisan ini tidak membahas perbandingan antara usia negara dan usia manusia,
yang tentu relatif ukurannya. Kecuali, suatu prolog aspirasi dari sudut pandang
sebagai Orang Maluku terhadap perlakuan yang masih belum cukup memenuhi –
“balas budi”, kewajibannya setara kapasitas kontribusi Maluku kepada negara
Indonesia. Beberapa hal dari tulisan ini, ada yang sudah sering dinarasikan
pada tulisan sebelumnya. Sengaja diungkap ulang, karena terbaca belum ada
tanda-tanda menuju perubahan berarti, apalagi bila di flashback -
sorot balik, selama - 75 tahun, masa integrasi sejak tanggal 19 Agustus 1945
sebagai salah satu provinsi awal negara Indonesia.
*
Komitmen untuk berintegrasi dalam suatu kesatuan bernegara, adalah agar bersama
meraih kesejahteraan, dalam porsi yang juga sama. Bersama menjalani kesulitan
dan menanggung kesusahan, bersama pula mendapatkan kebaikan dan menikmati
kesenangannya. Kehidupan bernegara, sama halnya – contoh sederhana, kehidupan
berumah tangga. Atas dasar ingin hidup bersama, maka bersama pula menjalani
kehidupan susah dan senang. Keseimbangan itu harus terjaga, agar tidak ada
pihak yang susah sendiri atau senang sendiri, tidak ada pihak yang hianat,
sebab akan menimbulkan pertengkaran. Solusi pertengkaran bisa mudah, bisa juga
sulit diselesaikan, kadang bisa berakibat masing-masing atau satu pihak memilih
jalan berpisah. Itulah kehidupan, semua ingin hidup nyaman dan bahagia, tidak
terkecuali dalam bernegara.
Negara Indonesia dibentuk oleh ratusan suku dan
bangsa, yang sebelumnya telah memiliki latar belakang sejarah, budaya, dan
sosial masing-masing yang saling berbeda. Bukan sesuatu yang mudah dan serta
merta dapat secara nasional berintegrasi dalam sebuah negara tanpa syarat dan
alasan menurut kepentinganya masing-masing. Integrasi nasional (national integration), hanya
dapat terjadi, bila prosesnya berlangsung dengan sadar dan rela, disertai
hasrat secara politis maupun antropoligis ingin bersatu dalam sebuah negara,
seperti negara Indonesia yang asal usul warga negaranya sangat beragam.
Usaha integrasi nasional sebagai suatu kesatuan
bernegara tidak dapat dilakukan dengan cara paksa – kekerasan dan atau jargon
dengan makna yang membingungkan, melalui kebijakan politik, apalagi tindakan
represif bersenjata, karena akan meninggalkan luka – dendam, hingga sampai
memunculkan sikap perlawanan kepada negara. Itu merupakan pola integrasi koersif,
sebab mengandalkan pola pendekatan politik kekuasaan. Pola integrasi koersif
bagi Indonesia harusnya bukan pilihan – kecuali mau dipaksakan, karena beberapa
konvensi internasional tentang hak azasi manusia yang sudah pula diratifikasi
Indonesia, menegaskan jaminan pada kebebasan untuk memilih kehidupan tersendiri
apabila dirasa hak-hak azasinya disepelekan atau tidak mendapat perlakuan yang
adil.
Jargon pola integrasi bernegara dengan mengusung
slogan, misalnya ; “jangan tanya apa yang sudah diberikan negara kepada
anda, tetapi tanyalah apa yang sudah anda berikan kepada negara.” Kadang
dibumbui pesan politis bahwa yang demikian menunjukkan sikap nyata cinta tanah
air - patriotism. Bukan masalah, apabila negara sudah sempurna
memenuhi kewajibannya dengan berlaku adil kepada setiap warga negara, terpenuhi
hak-haknya untuk hidup sejahtera.
Harus ada keseimbangan yang rasional dan mendidik,
bukan terselubung melalui kebijakan politik kekuasaan patut dipertanyakan,
sehingga jargon seperti tersebut di atas bila dibalik dari yang tersirat adalah
; “biar miskin, tetap semangat”, “biar lapar, tetap maju tak gentar”.
Orang lagi susah, lagi lapar “dipaksa” tetap bersemangat? Tentu dalam konteks
kejiwaan keyakinan agama berbeda dengan kehidupan bernegara. Secara agamis,
seseorang bisa bersabar dan tabah pada apapun masalah atau kesulitan yang
diyakini sebagai bentuk cobaan yang bersumber dari Tuhannya. Sebaliknya tidak
akan mudah dan begitu saja menerima dan dianggap tidak rasional dalam konteks
bernegara. Di kala rakyat menyaksikan adanya kondisi paradox di
kehidupan sosial kesehariannya. Betapa jauh perbedaan antara sebagian kecil
warga negara yang sangat kaya dan memamerkan kemewahan hidupnya, sementara
begitu banyak warga negara yang sekadar untuk makan saja begitu sulit, belum
lagi tuntutan kebutuhan akan tempat tinggal, kesempatan kerja, kesehatan,
pendidikan, dan apalagi rekreasi.
Patriotisme tidak butuh upaya paksa, karena itu
panggilan nurani secara sadar dan lahir dari dalam diri seorang warga negara
oleh rasa cinta yang tulus. Bisa saja diajarkan, dikampanyekan, tetapi tidak
dengan doktrin yang bersifat instruksional apalagi komando – diperintah.
Patriotisme lahir dari perlakuan negara yang benar-benar bijak dan adil
memenuhi hasrat dan hajat setiap warga negara tanpa kecuali. Kebijakan yang
melahirkan kesadaran penuh setiap warga negara untuk mencintai negaranya, yang
dengan sendirinya secara kejiwaan terpanggil ikut serta bahkan rela berkorban –
apa saja termasuk nyawa, demi membela dan mempertahankan negaranya dari
gangguan dan ancaman, baik dari dalam maupun dari luar.
Cara paksa integrasi bernegara tanpa ada imbal
baliknya hanya akan menyuburkan pola pikir perlawanan yang berbentuk
separistisme, selain makin memperkuat sikap primordial yang bersifat
etnosentrisme. Fakta yang terjadi apabila pola paksa integrasi diterapkan tanpa
keseimbangan dalam pemenuhan hak-hak kelayakan yang paling azasi dari suatu
kelompok suku maupun bangsa oleh negara. Fakta lain, apabila jurang pemisah
dibiarkan melebar akibat ketimpangan perlakuan kepada hanya suatu suku-bangsa
tertentu, yang dimaknai sebagai sikap tidak adil oleh negara.
**
Separatisme di Indonesia, kecuali Aceh dan Papua yang cukup lama
penyelesaiannya oleh negara Indonesia, sedangkan di Maluku sudah dimatikan
sebelum sempat berkembang dan tidak berumur panjang. Gerakan separatis di
ketiga wilayah kaya SDA ini pun sudah sempat memproklamasikan “negara”
bentukannya. Masing-masing memiliki alasan pada latar belakang sejarah
dan kebangsaan – ras, yang dianggap berbeda dengan umumnya suku-bangsa
Indonesia lainnya. Selain merasa sangat percaya diri bisa lebih baik
kehidupannya karena memiliki kekayaan SDA – Timor Timur contohnya - sekarang
menjadi negara merdeka bernama Timor Leste.
Namun “bibit separatisme” masih bisa akan hidup kembali
seiring perlakuan negara yang sebaliknya malah menumbuhkan hingga makin
menyuburkan bibit tersebut, yang dapat menjadi ancaman bagi usaha memfinalkan
sistem integrasi nasional NKRI. Namun demikian, separatis bagi suatu negara
sudah pasti dianggap “haram” hukumnya, sebaliknya tidak bagi pelaku
separatisme, karena menganggap hukumnya “halal”.
Tiga wilayah yang ditandai sebagai zona merah gerakan
separatisme di Indonesia, dalam hal tindakan oleh aparat keamanan negara,
agaknya berbeda antara yang dilakukan kepada Aceh dan Papua, dengan tindakan
kepada Maluku. Di Maluku, seseorang yang hanya menyimpan bendera separatisnya,
bisa menjadi terpidana makar, sementara pengibaran bendera pada dua wilayah
lainnya bahkan pernah hingga di depan pusat pemerintahan negara, dibiarkan.
Adanya gerakan separatis dikatagorikan sebagai musuh – pemberontak, karena dapat merusak kesatuan dan keutuhan wilayah kekuasaan suatu negara. Sesungguhnya separatisme tidak mungkin muncul, hingga berkembang luas, ketika hak-hak selaku warga negara untuk kehidupan layak telah terpenuhi oleh negara. Dengan demikian tidak lagi terkendala integrasi nasional, alami berproses tanpa perlu upaya paksa oleh negara.
***
Kapasitas Maluku dalam kontribusinya kepada negara Indonesia sebanding dengan
Aceh. Sama-sama sudah berawal sebelum nama Indonesia disematkan kepada
gugus kepulauan yang membentang antara benua Asia dan benua Australia, sampai
menjelang proklamasi kemerdekaan hingga terbentuk negara bernama Indonesia.
Bila Aceh punya Teuku Umar dan lain-lain, plus perempuan
perkasa Cut Nyak Dien, Maluku punya Sultan Nuku dan Kapitang Pattimura dan
banyak lagi, plus perempuan kabaresi Christina
Martha Tiahahu. Makin sempurna, karena Maluku adalah satu dari
provinsi-provinsi awal pendukung proklamasi kemerdekaan dan awal berdirinya
negara Indonesia. Belum lagi, potensi kekayaan SDA wilayah Maluku, telah banyak
menyumbang untuk menopang perekonomian dan penguatan pembiayaan pembangunan
negara Indonesia.
Maluku diposisikan seakan tidak memiliki kapasitas bernilai apa-apa, sehingga sangat berbeda perlakuan negara tidak sebagaimana kepada Aceh, apalagi Papua yang baru beintegrasi dengan negara Indonesia setelah melalui Pepera – Penentuan Pendapat Rakyat, tahun 1969. Aceh dan Papua begitu dimanjakan dengan kebijakan yang bagi Maluku begitu berbeda jauh – sejarak bumi dan langit. Maluku dimarjinalkan – “dianak-tirikan”, seperti sadar dan sengaja. Dalam hal pembagian porsi anggaran negara bagian Maluku, disamaratakan dengan wilayah lain yang dihitung besarannya berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah daratan. Seperti itu sudah pasti berakibat buruk bagi Maluku, kucuran dana pembangunan jadinya sangat minim. Makin sempurna perlakuan negara, karena sengaja dan sadar mengabaikan nilai-nilai positif dan plus Maluku kepada negara, juga menutup mata, hati, dan pikiran, terhadap masalah yang menjadi kendala percepatan pembangunan Maluku.
Belum tentu juga dipastikan dana porsi Maluku saat ini
sampai kapan mampu mengakhiri nasib tertanggung selama puluhan tahun sebagai
Provinsi Termiskin di Indonesia.
Maluku mengalami kemiskinan akibat
kebijakan negara yang tidak meluaskan peluang untuk Maluku mampu membangun
dirinya dengan mengandalkan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Anggaran
daerah lebih banyak hanya diperuntukkan bagi belanja pegawai, pimpinan daerah –
pejabat politik eksekutif dan legislatif. Terkuras di tingkat “elit daerah” –
rakyat Maluku yang digaji negara, tetapi tanpa produktifitas kenerja berarti
untuk terbukanya peluang-peluang bagi rakyat membangun kemandirian dan mampu
keluar dari perangkap kehidupan miskinnya. Anggaran untuk belanja pembangunan,
diperkirakan tidak lebih dari dua puluh persen dalam angka yang tidak seberapa
dibanding jumlah yang dibutuhkan. Akibatnya, benar-benar teori Malthus
- Thomas Robert Malthus; “Laju pertumbuhan penduduk itu seperti deret
ukur, dan laju pertumbuhan pangan – pembangunan dan pengentasan kemiskinan,
seperti deret hitung" - “The
Progress of Wealth” - Principles of Political Economy (1820), terbukti - dalam
konteks ini, terimplementasi di Maluku. Kemiskinan Maluku pun yang merupakan
kemiskinan struktural – bukan absolut, tetap berlangsung yang sepertinya akan
abadi, karena tidak pasti diperkiran kapan terentaskan.
Miris menyaksikan sebagian rakyat Maluku mengalami
kemiskinan akibat kebijakan politik negara yang seperti mengabaikan “jasa”
Maluku kepada negara Indonesia. Tentu ada juga kebaikan negara, khususnya
ribuan Orang Maluku yang diberi kesempatan dan peluang di ibukota negara
Indonesia – Jakarta, untuk bekerja sebagai preman penagih hutang, body guard,
penjaga property, dan pekerjaan andal otot lainnya. Profesi yang
terpaksa dijalani, karena di negeri asalnya di Maluku bukan tidak memiliki
apa-apa, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa, karena tidak tersedia apa-apa,
untuk bisa melakukan apa-apa menjadi sesuatu apapun yang berarti untuk memenuhi
apapun kebutuhan hidupnya.
Kesulitan yang mendera Maluku begitu kompleknya, akses antar wilayah dan pulau, mahalnya biaya-biaya - apalagi biaya transportasi, pendapatan harga jual hasil bumi yang sangat rendah – komoditi ekonomis, hasil perkebunan, pertanian, perikanan dan hasil laut, selalu saja mendapatkan harga yang tidak pantas hingga tidak dapat terjual. Harga berlaku komoditi ditentukan pembeli, tanpa ada perhatian negara – pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Mungkin karena Indonesia sudah benar-benar menganut ekonomi pasar bebas – liberalism – capitalism, rakyat yang menerima dampak buruknya.
****
Sebagai komunitas minoritas secara demografi dibanding dengan komunitas suku
dan bangsa yang lain di Indonesia, Maluku merasa sudah dan masih sering menjadi
“korban politik kebijakan” pemerintahan negara Indonesia. Maluku yang
wilayahnya kaya sumber daya alam, dengan jumlah penduduk yang minim, sangat
tidak dapat diterima akal sehat – suatu kondisi paradoks kehidupan bernegara,
ketika menyaksikan fakta SDA masif dikuras – dieksploitasi, oleh negara tetapi
rakyat Maluku masih saja ada yang miskin, sengsara hidupnya. Dan orang yang
“sengaja” dimiskinkan, suaranya memang sumbang.
Kampung Bulak, 11/01/2020
No comments:
Post a Comment