Oleh : M. Thaha Pattiiha*)
Brosur
kampanye tentang percepatan pemindahan Ibukota Provinsi ke Makariki di pulau
Seram
(Sumber
: Brosur Kampnye Paslon(Diedit;mth_@embun01, 08032020)
Politik itu - juga,
seni. Seni menata kata dan meramu cara. Dimana yang di-”kiblat”-i oleh
politik itu semata-mata hanya - demi, kepentingan, kepentingan bagaimana meraih
keinginan - apapun caranya dan bagaimanapun sulitnya. Suatu keinginan seseorang
atau sekelompok orang berlatar kepentingan yang bisa saja multiimpian. Dalam
praktek politik praktis - yang ujungnya guna meraih kekuasaan, urut-urutannya
bisa dimulai dengan memilih kata untuk meramu kalimat indah, manis, melankolis,
“mengawan-awan”, agar menyentuh nurani, meluluhkan bathin, dengan melalui
sesuatu yang diimimpikan sasaran, tebar asa penuh optimisme, iyakan saja apapun
kehendak publik. Dengan begitu, publik terpesona, merasa keinginannya bakal
terpenuhi oleh sang “penebar janji”. Benar-benar seperti implementasi pesan
taktik dan strategi elektabiliti Syafullah Fatah - pengamat dan konsultan politik;
yaitu “sentuh nuraninya, (lalu) patahkan logikanya.” Teori berpolitik -
praktis, memang butuh unsur seni, karena politik adalah ilmu untuk meraih
kekuasaan secara konstitusional ataupun inkonstitusional. Hubungannya dengan
konteks judul esai ini, terdapat “kata-kata kunci” wacana - isu, politik paling
menarik bagi publik Orang(pulau) Seram yang pernah disosialisasikan - rekam
jejak digitalnya cukup jelas, saat kampanye Pemilihan Kepala Daerah - Pilkada -
Langsung, salah satu pasangan calon(paslon) Gubernur dan
Wakil Gubernur Maluku
tahun 2017, yaitu; “Percepatan pemindahan ibukota Provinsi ke Seram.”
Konsep pilkada
langsung merupakan sistem yang dianggap paling demokratis karena rakyat memilih
secara langsung kepala daerah sehingga legitimasi terhadap proses dan hasil
pemilihan sangat besar. Sehingga masyarakat mampu dan mempunyai keluasaan untuk
mengontrol jalannya kepemimpinan dan pemerintahan, oleh karena itu pilkada
langsung diniatkan sebagai upaya mendemokratisasikan kehidupan berbangsa-bernegara
di tingkat lokal. Pertumbuhan demokrasi di tingkat lokal ini merupakan ikhtiar
untuk mencari pemimpin lokal yang memiliki legitimasi kuat, demokratis dan
representatif (Prihatmoko, 2005: 34). Pilkada langsung
merupakan konstruksi Pasal 18 UUD 1945, menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan
Walikota “dipilih secara demokratis”. Kata “dipilh secara demokratis” ini tidak
bisa ditafsirkan kepala daerah dipilih oleh DPRD sebagaimana diatur dalam UU No
22 Tahun 2014 yang kemudian dicabut dengan Perpu No 1 Tahun 2014. Perpu ini
dikuatkan dengan UU No.1 Tahun 2015 hingga kemudian berubah menjadi UU No 8
Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota secara langsung
oleh rakyat. Sehingga Gubernur dan Wakil Gubernur, Kepala daerah terpilih harus
memaknai hakikat pilkada langsung, tidak dipandang sebagai ajang perebutan
kekuasaan antarkandidat dan antarpartaipolitik(parpol) di belakangnya, yang
berarti diskursus demokrasi lokal hanya melibatkan elite dan parpol, tidak
demikian (Wiwin Suwandi, 2016).
Pilkada Maluku sudah berlangsung sejak tahun 2017 lalu dan paslon terpilih
dilantik pada tahun 2018. Telah 2(dua) tahun mengeban amanat rakyat Maluku dan
menjalani masa jabatan. Gubernur dan Wakil Gubernur, saatnya - seharusnya,
memenuhi dengan merealisasikan janji-janji semasa kampanye. Sebagai
pertanggungan jawab politik kepada masyarakat yang memilihnya(ibid).
Antara lain tentang
pemindahan ibukota provinsi Maluku dari kota Ambon di pulau Ambon ke Makariki
di pulau Seram. Janji kampanye yang diucap dalam kampanye panggung calon
Gubernur Murad Ismail dan calon Wakil Gubernur Barnabas N. Orno
(Murad-Barnabas), dan janji itu ditulis dalam brosur yang disebarkan ke publik
pemilih. Poin dimaksud tentu bukan satu-satunya sebab masih terdapat 15(lima belas)
dari 16(enambelas) poin program-program unggulan paslon Murad-Barnabas.
Setidaknya pilihan isu politik Tim “Thing Tank” paslon
Murad-Barnabas tentang pemindahan ibukota tentu sudah diprakirakan - diukur
secara matematika politik, bakal bisa mendongkrak keyakinan pemilih Orang Seram
untuk menjatuhkan pilihan kepada paslonnya. Dan pilihan isu tersebut setelah
dikampanyekan, ternyata terwacanakan secara baik, dan meluas di kalangan Orang
Seram. Cukup efektif berpengaruh dalam membentuk opini pemilih, khususnya Orang
Seram - baik di pulau Seram maupun yang bermukim di tempat lain di Maluku.
Terdapat keyakinan kuat terhadap latar belakang paslon - lebih khusus kepada
kapasitas calon gubernurnya - Murad Ismail, yang dianggap sangat kredibel akan
memenuhi janjinya ketika setelah terpilih. Meskipun saat itu terdapat calon
Gubernur “pribumi” Orang Seram, tetapi wacana dimaksud cukup kuat mengarahkan
pilihan Orang Seram secara signifikan kepada Murad-Barnabas. Pilihan yang
terbukti kemudian benar terpilih dan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur Maluku periode 2018-2023. Pasangan Murad-Barnabas sekarang sedang
menjalani masa jabatannya.
Acara pencanangan pemindahan
Ibukota Provinsi Maluku di Makariki pulau Seram, Sabtu 24 Agustus 2003 (Foto;
Istimewa)
Rencana pemindahan
ibukota Provinsi Maluku sudah dijejaki saat kepemimpinan Gubernur Albert
Ralahalu. Alasan dan pertimbangan yang mendasari rencana tersebut adalah
percepatan pembangunan perkotaan di kota Ambon di waktu mendatang tidak lagi
seimbang dengan daya dukung kelayakan, dengan indikator adanya luas wilayah dan
angka pertumbuhan penduduk. Pertimbangan indikator lain adalah
potensi wilayah di Makariki – pulau Seram, dianggap cukup mendukung untuk
dikembangkan sebagai Ibukota Baru Provinsi Maluku (tabaos.id). Tepatnya, Sabtu, 24 Agustus 2013, dilakukan peletakkan
batu pertama serta penandatanganan prasasti oleh Gubernur Albert Ralahalu dan
Ketua DPRD Maluku, turut menyaksikan Wakil Gubernur Maluku Said
Assegaff, Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal, dan Anggota DPRD Maluku. Ketika
kembali diwacanakan saat masa kampanye pilkada 2017, memunculkan kembali suatu
harapan akan segera direalisasikan karena sudah pasti akan ada perubahan
berarti mengikuti aktifitas berpindahannya ibukota provinsi di pulau Seram.
Bagi Orang
Seram yang telah turut serta berkontribusi secra electoral, terima
atau tidak terima, harapan agar direalisasikan janji politik saat kampanye
pilkada ternyata harus dirasionalisasikan melalui semacam pemahaman melalui
teori “Kelirumologi” - meminjam istilah Jaya Suprana - pendiri Musium Rekor
Indonesia, bahwa itulah kenyataan dari suatu janji politik. Mungkin
ada kekeliruan dengan janji itu, atau Orang Seram yang keliru mengira itu suatu
janji. Senin, 09 Juli 2019, Gubernur terpilih Murad Ismail membantah dengan
mengatakan; Tidak. Tidak ada pemindahan Ibukota”. “Saya sudah ke Jakarta untuk membicarakan masalah tersebut.
Tapi, tidak mudah pindahkan Ibukota. Sebab, kita pindahkan Ibukota, berarti
harus pindahkan juga Polda dan juga markas Pangdam, Kajati dan lainnya.”(tabaos.id, ibid)
Elektabilitas
elektoral bisa mungkin akan terpengaruh kepada pemilih yang pilkada lalu
menentukan pilihannya berdasarkan isu pemindahan ibukota. Begitupun moral
politik paslon, akan dijadikan pertimbangan pemilih secara rasional, dengan
menakar ulang kemana arah pilihannya bilamana yang bersangkutan kembali
mengikuti pilkada dan memunculkan isu politik baru di masa kampanye - tentu
perlu ditindak lanjuti keterkaitannya dengan cara disurvei. Tetapi akan ada
penilaian tentang kejujuran untuk penepatan janji-janji saat masa kampanye.
Kesimpulannya menjadi pembelajaran politik dan ukuran moral untuk menentukan
arah kepercayaan pemilih apakah masih akan memilih yang bersangkutan atau
sebaliknya meninggalkannya. Ukurannya sederhana dan masyarakat pemilih yang sekarang
makin cerdas memahami dunia perpolitikan. Akan dikatakan “janji yang lama -
sebelumnya, saja belum ditepati, mana mungkin akan menepati janji yang baru”.
Kemungkinan lain, isu kegagalan memenuhi janji tersebut boleh jadi akan
diangkat oleh “lawan tanding” paslon di pilkada mendatang, tetapi hanya sebatas
itu. Sebab tidak bakal efektif lagi bila hendak diangkat dalam kampanye.
Ukurannya butuh kapasitas paslon yang mampu meyakinkan ketika membonceng ulang
isu pindah ibukota, agar tidak menjadi boomerang. Sebaliknya bagi
Murad-Barnabas - masih cukup waktu dan kesempatan, berkewajiban menjelaskan
mengapa janji itu batal, selain fator kendala pendanaan, apakah akan diganti hal
lain, atau memang hanya sebatas “janji kampanye” demi meraup suara pemilih
Orang Seram.
Tipekal
pemilih dalam hajatan politik pemilihan umum(Pemilu) yaitu;
pemilih tradisional, pemilih emosional, dan pemilih rasional, tidak
lagi menetap karena dipengaruhi pengetahuan politik masyarakat dari pemilu ke
pemilu telah membuat kian melek politik. Pemilu lokal berupa pilkada langsung,
umumnya orientasi penentuan pilihan menunjukan trend peningkatan pemilih
rasional dari pada pemilih tradisional yang masih cenderung berpola pragmatis
dan primordial. Kecenderungan lain sebagai dampak negatif pilkada langsung
adalah adanya pemilih terdaftar yang pasif, tidak menggunakan - lagi, hak
pilihnya akibat ingkar janji kandidat terpilih dan selain hal lain seperti
perilaku Korupsi, Kolusi, Nepotisme(KKN), selain dari penilaian kepada
kapasitas - kemampuan, para calon baru atau calon incumbent -
petahana, di periode kepemimpinan sebelumnya. Ikut terpengaruh pula
yang memperbesar pemilih pasif, adalah pemilih tradisional yang menganggap
tidak akan mendapat atau berpengaruh apa-apa bila hak pilihnya digunakan atau
tidak digunakan. Kondisi ini – menurunnya penggunaan hak pilih, mungkin hanya
bisa tertolong bilamana pemilih emosional - pendukung utama kandidat, maksimal
menggunakan hak pilihnya.
Tipekal dan trend pemilih demikian
tersebut di atas, dalam hubungannya dengan tema yang dibahas – janji pindah
ibukota, berlaku hanya kepada pemilih Orang Seram dari kalangan “pribumi”
beretnis Alifuru yang bermukim di luar pulau Seram maupun yang di pulau Seram -
dalam hubungan ini masyarakat di kecamatan Teon Nila Serua(TNS) -
serta etnis Alifuru asal pulau-pulau lain - sudah
termasuk di dalamnya. Dan belum tentu berlaku bagi keberadaan penduduk Seram
umumnya yang saat ini makin menunjukan peningkatan signifikan, seperti di Seram
bagian barat yang sudah didominasi oleh penduduk terkonsentrasi - selain
wilayah lain di Seram, asal Sulawesi Tenggara, dan asal wilayah Indonesia
lainnya yang bermukim di daerah transmigrasi. Pemilih disebut terakhir mungkin
yang tidak perduli dengan janji politik dimaksud. Bagi Orang Seram - rencana
pindah ibukota yang batal, sudah pasti jadi catatan_kaki yang
akan kembali ulang dibaca saat pilkada mendatang.
Para politikus terbiasa menebar janji. Janji politik yang akan berakhir
ketika telah mendapat suara pemilih. Secara etika dalam moral perpolitikan
tidak dianggap hal luarbiasa yang butuh klarifikasi langsung dan cepat.
Biasanya suatu janji politik akan dibiarkan tenggelam hingga pupus ditelan
waktu dengan cara didiamkan, atau lenyap terlupakan dengan memunculkan isu baru
yang lain. Sisi moral dalam dunia politik kadang sengaja dibuat menjadi
relatif, pertimbangannya tergantung kepentingan. Mungkin karena, “politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan, dan
bagaimana” (Harrold D. Laswell, 1939, Politics : Who Gets
What, When, How).
Bukan
kebiasaan baru, sudah sering janji-janji politik - terucap dan tertulis,
sebagai cara dan upaya demi meraup dukungan suara pemilih saat pemilu. Seiring
kekuasaan yang kemudian telah digenggam, janji-janji itupun dengan sadar
sengaja dilupakan, atau dengan dibantah - diingkari, secara sengaja. Suatu
preseden buruk bagi demokrasi yang dianggap sebagai cara paling beradap dalam
memilih pemimpin, karena hak rakyat diposisikan terhormat yang langsung
menentukan sendiri wakilnya untuk memimpin mereka. Bila hak suara itu
dikhianati, rakyat sendiri yang harus memutuskan seperti apa kemudian.
Sesungguhnya, “politik bukan
parang yang hanya satu muka, tetapi pedang yang bermuka dua,” kata beta.
Gg Swadaya, 10 Maret 2020
----------------------------
*) Penulis adalah Pengurus Harian Dewan
Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan (DPC. PPP)
Kota Ambon - 4(Empat)
Periode ; 1985 s/d 2005.
No comments:
Post a Comment