Alifuru Supamaraina: IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU

Monday, February 24, 2020

IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU

Oleh : M. Thaha Pattiiha

  IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU
Antara Alifuru dan Maluku/Ilustrasi(Foto Dok.Grafis:mth_@embun01, 20022020)
Etnis Alifuru dan nama Maluku, dua hal dalam sengketa sejarah dan identitas. Masing-masing bermakna beda dalam satu bidang pigura, tetapi bukan seperti mozaik yang berkomposisi dalam paduan serasi sehingga hasilkan keindahan. Bagi Alifuru - dalam tulisan ini menunjuk kepada “etnis” Alifuru, bagian-bagian mozaiknya masih terselip di dalam baju Maluku. Akan terus diperjuangkan untuk dikembalikan, agar ditata ulang yang bukan lagi suatu lembaran mozaik, tetapi sebuah lukisan realisme yang utuh tanpa cela dan garis pemisah. Bila pun ada kalangan yang terganggu “kenyamanannya” oleh beberapa tulisan yang fokus mengungkap “borok” yang selama ini dalam banyak sejarah yang ditulis tentang Maluku - Maluku Utara, yang lebih menonjolkan kesan baik, agung, masyhur, manis, hingga romantis - umumnya demikian - tidak umum bila mengungkap yang sebaliknya. Wajar saja, tetapi bukan acuan pertimbangan merubah ritme yang sudah menemukan notasinya. Menyadari jati diri selaku salah satu anak adat Alifuru, terikat tanggung jawab moral untuk tidak sengaja mengabaikan masa lalu, karena merupakan pedoman arah guna menata jejak ke masa depan. Di dalam keyakinan menurut mithologi kosmos adat Alifuru, terdapat implikasi dampak, bilamana mengetahui sejarah dan warisan tatanan adat telah dirusak tetapi sengaja diabaikan anak-anak adat.

Sejarah dengan konotasi kala nama Maluku - pengertian nama dalam tulisan ini, adalah sejarah kolonisasi dan imperialis kepulauan serta perbudakan - bahkan genosaide, terhadap Alifuru. Hal itu yang terekam dalam memori ingatan melalui sejarah yang belum lama ditulis - bacaAdnan M. Amal, 2010, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. KPG - Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta., - “catatan sejarah yang jujur”.  Sebab selama masa kolonisasi dan imperialisasi berlangsung - setidaknya lebih dari 400 tahun oleh bangsa Eropa plus Jepang bersama imperium lokal dari utara - masa sejarah kala Maluku, hak-hak kepemilikan, hak kemerdekaan hidup dan kehidupan, serta warisan kekayaan budaya Alifuru sengaja dimarjinalkan, bahkan berusaha dihapus - dimatikan. Sebaliknya sejarah Alifuru, kalaupun pernah ditulis, terbaca seperti terpaksa - mungkin karena kesulitan membahasakan atau tidak menemukan cara dan istilah pengganti.

Kebudayaan yang lahir dari rahim komunitas Alifuru, sekaligus gambaran betapa hebat - secara intelektual, bijak, dan mulia catatan keunggulan kemampuan daya cipta. Pencapaian hebat yang sudah lahir jauh waktu sebelum tiba masa kegelapan di era kala Maluku dulu, juga hingga kini. Sejumlah kekayaan warisan tak benda Alifuru, seperti Bahasa Tana dan bahasa-bahasa lokal, nama Matarumah - fam - marga, budaya Pela-Gandong, falsafah Patasiwa-Patalima, budaya Kapitang, Sistem dan struktur Pemerintahan Adat, Hukum Adat, budaya rumah adat Baileo, budaya Batu Pamali, sistem Hak Ulayat - Petuanan - Dati, budaya Kalwedo - nilai adat yang menjalankan tradisi hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilietaHukum Adat Larvul Ngabal, budaya Dua Lolat  - serta Upacara Fangnea Kidabelabudaya Ursiuw dan Urlim  - dengan berkembangnya tradisi Letay - sementara di masyarakat yang jauh dari pusat keramaian atau perkotaan disatukan dalam budaya Sitakaka Walike, hingga budaya rumah adat Hibua Lamo  - berkonsep Nanga Tau Mahirete - dalam filosofis Ngone O'Ria DodotoBudaya SasiHawear, dan Matakau.

Kekayaan warisan benda, berupa hutan-hutan lebat di rimba belantara semua pulau - khususnya pulau-pulau besar. Hutan adalah jiwa dan kehidupan Alifuru, sehingga sangat dilindungi. Ribuan tahun kekayaan warisan benda seperti hutan yang juga habitat hewan, burung-burung “surga”, aneka tumbuh-tumbuhan endemik dan khas, aliran sungai, kali, dan  danau dijaga kelestariannya seperti memelihara hidup dan kehidupannya. Merusak alam sama saja menyumpahi dan merusak “rumah kediaman” para leluhur Alifuru, dan hal itu dapat berdampak buruk bagi lingkungan kehidupan dan perjalanan hidup komuniti di sekitarnya. Belantara hutan dengan potensi kayu luar biasa yang mengundang para pencari untung leluasa hadir dengan berbekal “sepotong surat ijin” dari penguasa politik berbaju Maluku, dan aneksasi paksa kekuasaan negara, lalu merampoknya secara formal.

Kekayaan kebudayaan warisan takbenda dan warisan benda milik Alifuru sekarang dieksploitasi sedemikian rupa - tanpa menyebut asal-usul atau sumber, untuk kepentingan kekuasaan dan pemerintahan, politik, ekonomi, bahkan agama. Agar tidak terbaca hanya menjiplak - hak cipta dan hak intelektual Alifuru, sengaja direkayasa sejarahnya agar nampak berbeda lalu dikenakan sebagai “baju Maluku”. Baju sejarah karena milik orang lain tentu bisa longgar, sesak, atau malah robek. Seperti itu bila bukan milik, malah terlihat lucu karena tidak cocok. Dan bila dibuka, akan terlihat baju tersebut label aslinya beridentitas Alifuru. Sudah sangat lama identitas sang pemilik - nama - sejarah - kekayaan budaya - hak kepemilikan sumber daya alam, yakni Alifuru, disembunyikan di dalam baju “palsu” Maluku. Berlangsung selama masa-masa ekspansi dan aneksasi wilayah Alifuru menjadi wilayah koloni – jajahan, oleh Maluku - hingga saat ini pun belum berakhir. Kanalisasi hingga marjinalisasi terhadap eksistensi Alifuru hampir saja menguburkan dan menghapus identitasnya. Mungkin karena para leluhur sengaja mengambangkan situasi hingga saatnya dengan momentum yang tepat untuk bangkit. Fenomena itu sekarang bersinergi yang secara bertahap terus menemukan alur dan terbangun jaringannya. Kesadaran politik anak adat atas hak-hak komunal Alifuru adalah keniscayaan, yang sebaliknya tidak elok bagi pihak tertentu. Menguatnya politik identitas Alifuru sebagai ciri yang melekat dan menunjukan jati diri adalah fenomena positif, yang bila sekarang dianggap menemukan ruang dan momentum untuk bersuara, hal demikian karena mulai muncul kesadaran atas perasaan adanya perbedaan-perbedaan. Rasa yang berbeda menjadi otherness - Connolly, William, 2002, Identity \ Difference: Democratic Negotiations of Political Paradox, Minneapolis: University of Minnesota Press: 64, untuk mengamankan kepastian dan menguatkan identitas diri bahwa etnis Alifuru juga memiliki martabat sebanding dengan etnis yang lain, bahkan memiliki nilai lebih.
Baca juga ; 
Alifuru; Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial
Selama ini potensi eksistensi dan identitas politik Alifuru dipolitisasi oleh kekuasaan politik hanya sebagai “kantong suara”, setelah itu dimarjinalkan dan dibungkamkan, hak-hak adat dan hak azasi tradisionilnya diabaikan dan malah  dikriminalisasi. Sumber daya alam Lingkungan adatnya masif dieksploitasi yang tidak utama demi kepentingan komunitas bersangkutan. Komunitas adat Alifuru sudah sejak lama diperlakukan sebagai budak dan sumber daya alam wilayah adatnya dieksploitasi dengan rakus oleh kolonialis, dan imperialis. Mau sampai kapan lagi. Saatnya diakhiri, sehingga wajar bila Alifuru berusaha memperjuangkan hak-hak politiknya yang sebelumnya sengaja diberangus. “Apa yang membuat politik identitas berbeda secara signifikan dari bentuk-bentuk awal politik pengenal pra-identitas, adalah tuntutannya untuk pengakuan berdasarkan pada dasar di mana pengakuan sebelumnya telah ditolak.  Tuntutannya bukan untuk dimasukkan dalam kesatuan “umat manusia universal” berdasarkan atribut manusia yang dimiliki bersama; juga bukan untuk menghormati “meskipun ada perbedaan”. Sebaliknya, apa yang dituntut adalah menghargai diri sendiri sebagai berbeda.” - Kruks, Sonia, 2001, Retrieving Experience: Subjectivity and Recognition in Feminist Politics, Ithaca, NY: Cornell University Press: 85. Bagi banyak pendukung politik identitas, permintaan akan keaslian ini mencakup seruan kepada masa sebelum penindasan, atau budaya atau cara hidup yang dirusak oleh kolonialisme, imperialisme, bahkan genoside. Dalam pembelaannya untuk kembali ke nilai-nilai adat tradisional, Taiaiake Alfred berpendapat bahwa: Sistem tata kelola masyarakat adat mewujudkan nilai-nilai politik yang berbeda, sangat berbeda dari nilai-nilai arus utama. Gagasan Barat tentang dominasi (manusia dan alam) secara nyata tidak ada; di tempat mereka kita menemukan harmoni, otonomi, dan rasa hormat. Kami memiliki tanggung jawab untuk memulihkan, memahami, dan melestarikan nilai-nilai ini, tidak hanya karena mereka mewakili kontribusi unik untuk sejarah gagasan, tetapi karena pembaruan rasa hormat terhadap nilai-nilai tradisional adalah satu-satunya solusi abadi untuk masalah politik, ekonomi, dan sosial yang menimpa orang-orang kita.” - Alfred, Taiaiake, 1999, Peace, Power, and Righteousness: An Indigenous Manifesto, Oxford: Oxford University Press: 5.


Terdapat 2(dua) versi yang saling berbeda latar belakang alasan ketika mengenalkan nama untuk wilayah kepulauan di antara kepulauan dan pulau Papua di timur dan kepulauan dan pulau Sulawesi di barat, samudera Pasifik -negara Palau - di utara, dan benua Australia di selatan. Versi “Maluku”, adalah penamaan baru yang secara sepihak dipaksakan untuk digunakan serta dikenalkan guna kepentingan tata administrasi kekuasaan wilayah koloni dan imperial - jajahan. Versi “Alifuru” - atau sebutan sejenis yang lain serta pengertian bangsa - suku - etnis, sila baca; “Etnis dan Nama Alifuru” dalam Maluku Dan Alifuru Dalam Dilema Nama Yang Tertukar, adalah versi paling jujur dan sangat benar, sebab memperkenalkan bukti sesungguhnya tentang nama identitas manusia pribumi pemukim wilayah kepulauan dan perairan laut di barat New Guinea atau Papua adalah etnis Alifuru. Karena itu, bagian perairan terluar wilayah dimaksud dinamai dengan nama yang sama dengan nama etnis pribuminya, yaitu laut Arafura atau Arafuru. Bila demikian, betapa telah membodohi diri sendiri - sesuatu yang memalukan, mempertahankan - “basandar matarumah orang”, dan meneruskan nama - matarumah, Maluku.  Nama dengan berbagai catatan kejahatan dan sejarah kelam etnis Alifuru masih digunakan, sementara identitas pribuminya terus digelapkan.

Dari tulisan tentang Maluku Dilema Nama Warisan Kolonial, kemudian disusul tulisan berikutnya sebagai uraian yang lebih detail dengan alasan dan tambahan sumber ilmiah, melalui tulisan; Maluku Dan Alifuru Dalam Dilema Nama Yang Tertukar, muncul kesan - dari sekian komentar via media sosial, ada yang keberatan dengan beban yang menyertai perubahan nama tersebut. Itu sudah pasti seperti itu, selain kesulitan mengganti nama tersebut dengan entah nama apa, tidak juga sekejap mata, dan tentu butuh biaya yang tak terhingga. Hanya seperti itu, betapa tidak seberapa besar beban dan sekejap pula mampu menghapus trauma masa lalu yang dialami Alifuru. Dalam hal ini, dikecualikan bagi sebagian Alifuru yang ikut - bergabung dengan bangsa kolonial dan imperialis, menikmati kesenangan hasil kolonialisasi dan imperialisasi di atas penderitaan pribumi Alifuru. Dikatakan akan ada beban “kerepotan” serta biaya, memang ada, kecuali tidak terdapat atau tidak pernah ada setingkat daerah di Indonesia atau negara di dunia yang mengalami pergantian nama.
IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU
Terdapat 3(tiga) cara melemahkan dan menjajah suatu bangsa pertama; kaburkan sejarahnya, kedua; hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya, dan ketiga; putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan jika leluhurnya itu bodoh dan primitif - Architecs of Deception - Secret History Freemasonry -tribunrakyat.com (12/12/2012).  Konsep kolonialias dan imperialis memang demikian, dan hal itu memiliki dasar pemikiran sebagai alasan. Seperti itu pula kenapa ada kolonisasi, Ir. Soekarno menjawab begini: "jang menjebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasjhuran, bukan keinginan melihat dunia asing, bukan keinginan merdeka, dan buka pula oleh karena negeri rakjat jang mendjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banjaknja penduduk, -sebagai jang diadjarkan oleh Gustav Klemm-, akan tetapi asalnja kolonisasi jalah teristimewa soal rezeki. Jang pertama-tama menjebabkan kolonisasi jalah hampir selamanja kekurangan bekal hidup dalam tanah airnja sendiri", begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah jang mendjadi sebab rakjat-rakjat Eropah mentjari rezeki dinegeri lain! Itulah pula jang menjadi sebab rakjat-rakjat itu mendjadjah negeri-negeri, dimana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula jang membikin "ontvoogding"-nja negeri-negeri djadjahan oleh negeri-negeri jang mendjadjahnja itu, sebagai suatu barang jang sukar dipertjajainja. Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul-nasinja, djika pelepasan bakul itu mendatangkan matinja". Begitulah tragiknja riwajat-riwajat negeri-negeri djadjahan! Dan keinsjafan akan tragik inilah jang menjadarkan rakjat-rakjat djadjahan itu. - Ir. Soekarno, Di Bawa Bendera Revolusi, hal. 1-2, dalam Beta Boetje, 2015, Kenapa Ada Kolonisasi, fb.
IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU
Sejarah dan kebudayaan Alifuru saatnya dikembalikan untuk didudukkan secara proporsional. Tetapi harus dijauhkan dari maksud untuk diagung-agungkan atau untuk disombongkan - sangat dilarang sesuai petuah adat, karena hal itu tidak dikehendaki para Datuk dan Nenek-moyang. Dan untuk nama “Maluku” samasekali tidak bermakna apapun dalam literasi tatanan adat komuniti etnis Alifuru. Nama itu miskin - bahkan papah, dari norma dan nilai hukum adat yang menyertai berupa hak kepemilikan petuanan atau hak ulayat. Sudah tidak ada relevansinya nama “Maluku” untuk terus dipakai dan dipertahankan, sudah kehilangan esensi dan makna positifnya, sementara bersarung baju - saat ini, beridentitas sejarah dan kebudayaan Alifuru.

Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did”, artinya:Milik orang lain tetap jadi miliknya, dan milik kita tetap jadi milik kita.” - Hukum Hawear Balwirin - bagian ke-7(tujuh) Hukum Adat Larvul Ngabal - Kepulauan Key.

Depok, 22/02/202

Sumber Bacaan  Online:
-          plato.stanford.edu
-          acedemia.edu
-          semanticscholar.org
-          openscholarship.wustl.edu

No comments:

Post a Comment