ABSTRAK
Kebiasaan yang tercipta dan terselenggara oleh suatu komunitas manusia dalam rentang waktu tertentu dalam sejarah kehidupan kemudian diteruskan kepada generasi berikutnya merupakan identitas serta tradisi atau adat istiadat. Menjadi warisan bernilai luhur untuk digunakan mengatur sikap moral dan perilaku, serta dipraktekkan dalam pergaulan dan menjalani kehidupan kemasyarakatan. Sebagai tatanan nilai, seiring waktu akan diperhadapkan dengan tantangan dan hambatan, bahkan perubahan, yang tercipta dari beragam kepentingan pihak-pihak yang tidak sepaham atau tidak satu haluan dengan kenyataan praktek adat istiadat.
Adat sebagai kekayaan dalam kebudayaan, kadang secara sengaja bila tidak dimandulkan maka dibiaskan secara paksa dan sepihak. Berakibat tatanan adat kehilangan makna positifnya, karena malah kadang dijadikan alat menjastifikasi syahwat kepentingan kekuasaan politik, dengan sangat mudah karena berada dalam jangkauan regulasi melalui jabatan kekuasaan di pemerintahan.
Kata Kunci ; Kebudayaan, Adat, Negeri Adat, Otonomi Daerah, Maluku, Alifuru.
Maluku - Ilustrasi (Disain ; M.Thaha Pattiiha)
Adat istiadat adalah
perilaku dan aturan-aturan atau kaidah-kaidah sosial yang telah berusaha
diterapkan sejak dahulu kala yang merupakan ciri khas dalam lingkungan suatu
masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI)1988:5,6, adat istiadat merupakan tata kelakuan yang kekal
dan turun temurun dari generasi lain sebagai warisan sehingga kuat berintegrasi dengan pola-pola perilaku masyarakat.
Di wilayah Maluku menjadikan tatanan nilai adat-istiadat suku-bangsa
Alifuru yang diwariskan sejak dahulu kala sebagai kearifan lokal dalam menata
dan menjalankan sistem pengelolaan urusan pemerintahan suatu wilayah yang
merupakan negeri adat. Nilai-nilai adat sebagai norma dan tata-budaya yang
terpelihara secara turun-temurun sejak zaman nenek moyang Orang Maluku dahulu,
menjadi “nafas” yang kemudian dipraktekan dan dikembangkan guna menyusun
struktur dan mengatur sistem tata-kelola pemerintahan. Sebagai landasan hukum
suatu sistem menurut adat, pemangku jabatan dalam struktur pemerintahan berlaku
secara tetap dan berlaku turun-temurun dalam keluarga marga tanpa boleh
digantikan oleh pihak lain diluar marga tersebut. Pihak lain dapat dikecualikan
untuk memegang jabatan dimaksud, apabila setelah ditunjuk(direkomendasi) atau
diminta untuk mewakili menjabat oleh pemilik hak berdasarkan hak asa usul.
Sifatnya berlaku hanya untuk sementara atau dalam jangka waktu tertentu,
setelah itu harus dikembalikan kepada pemilik hak pemangku jabatan tersebut.
Pemangku jabatan dalam struktur pemerintahan adat, adalah mata-rumah yang
sejak dari awal atau semula memiliki posisi kekuasaan atau dipercayakan untuk
memegang suatu jabatan dalam struktur pemerintahan sebuah negeri adat. Raja dan
Pembantu Raja atau staf pemerintahan, Saneri Negeri, Pimpinan Agama
khususnya di negeri-negeri Muslim, secara turun-temurun berasal dari mata-rumah
yang sama. Karena itu, setiap mata-rumah yang memiliki hak pemangku jabatan,
bertanggungjawab untuk selalu mempersiapkan penggantinya apabila pemangku
sebelumnya berhalangan tetap yang tidak mampu lagi memfungsikan diri
sebagaimana tuntutan jabatannya. Alasan penggantian lain, adalah bila pemangku sebelumnya
telah meninggal dunia.
Akibat Regulasi Pemerintah Negeri(Desa)
Struktur adat istiadat
yang telah menjadi kebudayaan masyarakat Maluku saat ini, bersendikan tatanan
adat berasal usul kebudayaan sukubangsa Alifuru. Praktek pemerintahan adat Maluku,
sebelum dan sesudah proklamasi kemerdekaan RI dan hingga sebelum berlakunya UU
Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, negeri-negeri adat
menjalankan sistem pemerintahan berdasarkan struktur baku dan tatanan adat yang
terpeliharan sejak ratusan tahun sebelumnya.
Perubahan regulasi pemerintahan ditingkat negeri atau desa, yang
menimbulkan kerancuan dengan hadirnya dualisme dalam penyelenggaraan
pemerintahan negeri adat. Kerancuan tidak sebatas ketika berakhirnya UU
tersebut di atas. Sebab setelah diundangkan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah, dan kemudian Peraturan
Pemerintah(PP) Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa. Mengatur dan menetapkan desa
atau yang disebut dengan nama lain, merupakan kesatuan masyarakat hukum yang
memiliki batas wilayah, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang
diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia
dan berada di Kabupaten/Kota.
UU serta PP tersebut di atas, memang merupakan penjabaran dari
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal (18B) – setelah diamandemen, tetapi pada kenyataannya
UU dan PP dimaksud tidak juga bisa mengakhiri fakta dualisme pemerintahan di
negeri-negeri adat, karena tidak serta merta mengembalikan ke situasi baku
sebelumnya.
“Maharaja Tak Bermahkota”
Pranata-pranata adat yang
bersumber dari sejarah asli adat-istiadat Maluku, yang sempat dilumpuhkan dan
muncul tatanan baru diluar sejarah asli dalam struktur negeri adat, ketika
setelah berlakunya UU Nomor 5 tahun 1979, hingga kini masih ada pengaruhnya. Pengaruh
itu sangat mengganggu dan belum semua terselesaikan, masih sebagian negeri adat
menjadi korban, karena tatanan adat negerinya makin tidak beraturan sesuai
sejarah tatanan adat negeri tersebut. Belum lagi diperparah dengan
berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
tentang Otonomi Daerah, memposisikan Kepala Daerah – Bupati dan
Walikota, secara tidak langsung malah sebagai “Maharaja Tak Bermahkota”
di Maluku.
Pengesahan Raja Negeri dengan melalui Surat Keputusan Pengangkatan Raja
oleh Kepala Daerah, terselubung ikut tergandeng kepentingan politiknya. Bagi
calon Raja yang tidak searah atau tidak tunduk kepada haluan politik –
kekuasaan, sang Kepala Daerah bagai pungguk merindukan bulan. Bagi Kepala
Daerah, siapapun dia calon Raja, persyaratan formal tidak penting, asal
se”iman” dengan misi penguasa daerah, bisa didudukan sebagai Raja atas nama
kekuasaan otonomi daerah. Politik kekuasaan penjajah Belanda seperti kembali
menemukan “nyawanya” di era otonomisasi daerah khususnya daerah kabupaten dan
kota.
Negeri-negeri Adat yang bermasalah dalam pemerintahan negerinya, bukan
akibat semata perebutan kekuasaan dalam negeri adat bersangkutan, tetapi karena
akibat campur tangan dalam misi kepentingan politik kepala daerah. Sengketa
permasalahan pemerintahan negeri, seperti yang terjadi di Kabupaten Maluku
Tengah beberapa tahun terakhir ini, kelompok adat dalam masyarakat negeri adat
tertentu melawan atau memperkarakan (Surat Keputusan) Bupati melalui Pengadilan
Tata Usaha Negara, hingga berlanjut ke Mahkah Agung(MA). Putusan hakim
pengadilan MA pun yang sudah berkekuatan hukum tetap, dan
dimenangkan kelompok adat, ternyata putusan pengadilan itu dengan sengaja dan
sadar diabaikan begitu saja, dan tidak pernah bisa dieksekusi kepada Bupati
Kabupaten Maluku Tengah. Entah mengapa (?)
Sedikit tidak berbeda antara zaman ketika saat di jajah bangsa asing,
Portogis hingga sampai yang paling mempengaruhi seperti oleh penjajah bangsa
Belanda, selain penjajah Jepang, dan zaman sesudah proklamasi kemerdekaan
Indonesia, yang kemudian Maluku menjadi bagian dari salah satu provinsinya.
Sistem pemerintahan negeri-negeri di Maluku apalagi setelah era otonomisasi
daerah, sebagian negeri adat turut diobrak-abrik agar haluan politik kepala
daerah tetap terpelihara, apalagi bila kekuasaannya sudah sampai hendak
berlanjut ke periode berikutnya. Tidak terkecuali demi untuk melanggengkan
orang-orang terdekat dalam lingkaran dinasti kekuasaan atau lingkup keluarga
sang kepala daerah.
Kekayaan nilai Adat istiadat Maluku sebagai menifestasi pencapaian luar
biasa kebudayaan suatu bangsa, bermetarfosis secara salah ketika
diimplementasikan secara politis untuk agenda politik kekuasaan sepihak. Bukan
hal yang sulit, karena posisi Raja negeri adat, adalah subsistem dalam struktur
kekuasaan pemerintahan daerah, kewenangan sudah diatur dalam aturan menurut
hukum negara. Mudah dicengkram oleh para Maharaja melalui kewenangan regulasi, menjadikan
posisi Raja negeri adat bak “memakan buah
simalakama”. Di satu sisi sebagai penguasa untuk mengatur kekuasaan negeri adat
secara otonom untuk kepentingan masyarakatnya. Di sisi lain tunduk dan
menjalankan perintah sebagai perpanjangan tangan kekuasaan pemerintahan di
atasnya. Raja negeri adat, kadang
dipandang seperti “cermin bermuka dua”.
Sengketa Negeri Adat
Mengingatkan kita kepada
sejarah saat Belanda menjajah wilayah Maluku, untuk kepentingannya, banyak
sekali negeri-negeri adat diperangi dan dihancurkan, kemudian membentuk
pemerintahan “boneka” yang baru, lain dari sebelumnya di negeri bersangkutan.
Di masa menjelang akhir pemerintahan penjajah Belanda organisasi pemerintahan
adat dan hukum adat di Maluku sempat ditetapkan dan dikukuhkan melalui
Keputusan Landraad Amboina No.14 Tahun 1919 ; bahwa Pemerintah Negeri
adalahRegent en de kepala Soas’s, serta di dalam Keputusan Landaard
Amboina No. 30 Tahun 1919 disebutkan bahwa Negorij bestuur adalah Regent
en de kepala-kepala Soa, yang berarti bahwa pelaksanaan pemerintahan
negeri dilaksanakan oleh Raja dan Kepala-kepala Soa.
Pemegang kuasa pemerintahan atas nama Raja atau Matarumah Perintah di
Maluku, yang sebelumnya di”pinjamkan”, diwakilkan atau mewakili sementara
waktu, sekadar penjabat pemerintahan, atau yang dipaksa diganti melalui campur
tangan kekuasaan dari atas, baik oleh kepala Pemerintahan Daerah, maupun yang
terjadi sebelumnya di jaman penjajahan, maupun hingga setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) atau peraturan turunan
setelahnya, mesti dikembalikan. Dikembalikan keasalnya, kepada pemilik pemangku
kekuasaan adat asli.
Seiring waktu hingga saat ini, jabatan yang sebelumnya hanya bersifat
sementara atau karena suatu rekayasa ciptaan penguasa dari atas, malah
dijadikan alasan pembenaran untuk mencari-cari pengakuan bahwa pernah memegang
kekuasaan dalam masyarakat negeri adat setempat. Ketika tampuk kekuasaan, tidak
terkecuali untuk hampir semua pranata dalam struktur adat negeri berhasil
direbut, berakibat timbul konflik yang berkepanjangan di dalam masyarakatnya.
Aktifitas pemerintahan negeri terganggu, kehidupan sosial terciderai,
merenggangkan keakraban hubungan dalam pergaulan antar anggota masyarakat
negeri, bahkan antara sesama saudara dalam keluarga.
Beberapa negeri adat di kota Ambon seperti Batumerah, Urimesing, Passo, juga
mengalami masalah terhadap ketidakpastian penyelesaian sengketa pemerintahan
adat negerinya. Pemerintah Kota Ambon, terlihat memang sedang berusaha
menyelesaiakan senghketa-sengketa dimaksud, melalui usaha perubahan Peraturan
Daerah tentang Negeri Adat sebagai cara mendapatkan solusi penyelesaian.
Sementara itu, pemerintahan negeri dilaksanakan oleh Penjabat Sementara(Pjs)
yang ditunjuk oleh Walikota Ambon. Pjs Pemerintahan Batumerah saat ini sudah
berlangsung lebih dari 10 tahun dengan Pjs yang berganti-ganti.
Negeri Adat Batumerah di Kota Ambon, adalah contoh tragedi negeri adat
zaman now, sebagai akibat rekayasa sejarah adat dengan merubah
struktur baku Matarumah Perintah(Raja Negeri). Alasannya Matarumah lain pernah
memegang atau menjabat pemerintahan negeri adat Batumerah. Faktor kepentingan
baik intern dan ekstern ikut sama-sama terlibat, memperkeruh situasi dan
memproduksi kendala ketidak pastian penyelesaian mendapatkan Raja Negeri yang
definitif berdasarkan hak asal usul sejarah adat negeri Batumerah.
Kasus sengketa pemerintahan negeri adat, terkesan seperti dilokalisir
menjadi seperti hanya adalah masalah perseteruan intern negeri adat
bersangkutan. Cara gampang ditempuh para Bupati dan Walikota, yaitu dengan
mengangkat Pjs. Pjs melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan hak
Kepala Desa(Raja Negeri – pen.) sebagaimana dimaksud dalam UU Desa
pasal (26). Dengan demikian seorang Pjs yang ditunjuk oleh Bupati atau
Walikota, bisa tanpa batas waktu tugasnya, tetapi bertindak sama saja dengan
tugas seorang raja Negeri.
Di dalam kasus lain, seperti yang terjadi di Kabupaten Maluku Tengah,
Raja-raja negeri adat tidak dilantik secara adat di dalam negerinya, pelantikan
oleh Bupati hanya secara kenegaraan dan tempatnya pun berlangsung di kantor
Kecamatan. Aneh ? Tidak, bagi Maharaja dengan hak otonomnya
yang sengaja dibiaskan maknanya menjadi kuasa absolut kekuasaan daerah otonom.
Adalah suatu kejahatan terhadap sejarah adat, yang mestinya dibersihkan
dari anasir yang merusak kearifan adat sebagai budaya yang dengan setia terjaga
tidak dalam waktu singkat yang diwariskan oleh para leluhur. Akibat buruk
lainnya, yaitu betapa telah turut berdampak menghilangkan jejak sejarah
berharga dari masa lalu bagi penataan perjalanan masa depan oleh sebagian
negeri-negeri adat yang mengalami dampak buruk upaya rekayasa pihak tertentu.
Sejarah tidak bisa dibisukan dengan kebohongan dan rekayasa pembenaran
melalui hasil pikiran para pemburu kekuasaan, sebab selalu ada bukti hitam atau
putih yang dapat diungkap disetiap periode waktu dan oleh setiap generasi ummat
manusia. Selalu ada catatan baik lisan(ingatan) maupun tertulis, tidak
terkecuali bukti-bukti di alam.
Tatanan adat yang membentuk karakter kebudayaan suatu masyarakat dan
terpeliharan secara turun-temurun, menjadi rusak oleh perubahan perilaku dan
pola pikir berdasarkan nafsu ingin berkuasa, walau kekuasaan itu hanya
setingkat wilayah negeri. Perubahan pola seperti ini, harusnya disadari untuk
dikembalikan kepada alur tatanan adat yang sebenarnya, demi menyelamatkan
pranata lain dalan struktur suatu masyarakat negeri adat. Sebab, ketika posisi
Raja berubah atau berganti dari “pemilik” yang seharusnya, harusnya akan ikut
pula merubah pemilik dalam posisi-posisi jabatan lain dalam keseluruhan sistem
dan struktur tatanan adat di suatu masyarakat negeri adat.
Tatanan Baku Negeri Adat
Posisi Raja Negeri Adat
dalam sebuah negeri adat, mengemban 3(tiga) fungsi kepemimpinan, yaitu ;
1) sebagai kepala pemerintahan, 2) sebagai kepala adat,
dan 3) sebagai pemimpin agama. Raja merupakan tokoh sentral dalam
kepemimpinan utuh sebuah negeri adat, sehingga sangat dituntut memiliki
pemahaman, kemampuan dan dan kecakapan untuk menjalankan tugas menurut ketiga
fungsinya. Bahkan seorang Raja adalah pemegang hak adat atas kepemilikan hak
ulayat atau hak petuanan terhadap area tanah adat, di dalam dan juga di luar
wilayah administratif pemerintahan negeri adat.
Selain Raja dan kesatuan perangkatnya dalam
struktur pemerintahan, maka Saneri Negeri merupakan lembaga permanen kedua selain
Raja. Keanggotaan Saneri Negeri bersifat tetap berdasarkan asal-usul matarumah,
dan jumlahnya tidak terbilang, tetapi berdasarkan sejarah awal pemebentukan
negeri adat yang bersangkutan. Saneri Negeri bukan semata berfungsi sebagai
Lembaga Badan Perwakilan Desa sebagaimana fungsi struktur pemerintahan
berdasarkan UU Desa, itu salah tafsir dan mendelegitimasi fungsi seharusnya dari
tatanan adat suatu negeri adat di Maluku. Saneri Negeri merupakan lembaga adat
yang berperan selain mewakili aspirasi atau kepentingan masyarakat negeri adat
untuk dimusyawarakan bersama Raja, juga berposisi sejajar dengan Raja dalam
fungsi melindungi dan menjalankan tata aturan adat, baik hak dan kepemilikan adat,
maupun hukum adat.
Provinsi Maluku telah menetapkan negeri sebagai kesatuan masyarakat hokum
adat melaui Peraturan Daerah(Perda) Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 Tentang
Penetapan Kembali Negeri Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah
Pemerintahan Provinsi Maluku. Terdapat pula Perda tentang tugas pengawasan dan
pembinaan Negeri Adat. Di tingkat kota dan kabupaten, juga turut ditetapkan
peraturan daerahnya tentang negeri. Perda-perda dimaksud sebagai legalisasi
pengembalian sebutan yang sebelumnya desa menjadi negeri, dimana ikut pula
pengaturan untuk mengembalikan sistem tatanan adat sebelumnya selaku sebuah
negeri adat. Perda-perda ini walau belum disesuaikan dengan diundangkannya UU
Desa yang terakhir, sangat indah dan manis dalam sajian kata-katanya, sayangnya
dalam implementasinya di lapangan masih menyakitkan dan bahkan sama sekali
tidak membantu memperbaiki walau itu sebatas merekatkan retakan. Masih
tergantung pada ada tidaknya kepentingan politik kekuasaan yang menguntungkan
bagi para Maharaja kabupaten dan kota.
Struktur pemerintahan Negeri Adat di Maluku, yang “harusnya” berlaku
permanen turun-temurun menurut silsila asal-usul dalam garis keturunan yang
sama, secara berurut dari atas terdiri dari Raja Negeri, Saneri Negeri, Kepala
Soa atau Kampung Petuanan, Kapitang, Maweng, Kewang, Marinyo, serta perangkat
lain dalam struktur suatu negeri adat. Di masyarakat adat negeri
Muslim(beragama Islam) Maluku, bahkan struktur Pengurus Masjid atau disebut
Kasisi di setiap masjid negeri adat, seperti untuk jabatan Imam, Chatib,
Modim, hingga Marbot, pun dijabat secara turun-temurun menurut garis keturunan
dari matarumah yang sama. Dikecualikan pada jabatan sebagai guru Pengajian,
boleh oleh siapa saja yang telah mampu membaca dan mengajar baca dan tulis
Al-Qur’an.
Negeri Adat adalah sebutan khas di Maluku, setingkat desa atau sebutan lain
di tempat lain. Dijelaskan dalam UU Desa. Disebutkan, desa(negeri) adat adalah
pengakuan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dalam sistem pemerintahan,
yaitu menetapkan unit sosial masyarakat hukum adat seperti nagari, huta,
kampong, mukim, dan lain-lain sebagai badan hukum publik. Negeri Adat memiliki
susunan asli yang memiliki hak-hak asal usul berupa hak mengurus wilayah atau
hak ulayat, dan mengurus kehidupan masyarakatnya dengan mendasari pada hukum
adat wilayahnya.
UU Desa pasal (103), disebutkan ; desa adat sebagai badan hukum
publik mempunyai kewenangan tertentu berdasarkan hak asal usul, yaitu : (1)pengaturan
dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli atau dengan kata lain
pemerintahan berdasarkan struktur dan kelembagaan asli, seperti nagari, huta,
marga dan lain-lain, (2) pengaturan dan pengurusan ulayat atau
wilayah adat, (3) pelestarian nilai sosial dan budaya adat, (4)penyelesaian
sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat yang selaras
dengan Hak Asasi Manusia, (5) penyelenggaraan sidang perdamaian
desa adat yang sesuai dengan UU yang berlaku, (6) pemeliharaan
ketentraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat,
(7) pengembangan kehidupan hukum adat.
Negeri Adat dan Negeri Administratif
Perpaduan kewenangan
sebagai negeri adat dan serta menjalankan kewenangan yang dilimpahkan dari
pomerintah daerah dan pemerintah pusat, bukan tidak berdampak semata positif dan
serta turut memperkuat tatanan adat, tetapi sebagian telah melemahkan secara
tidak langsung posisi sebuah negeri adat. Munculnya program pemerintah pusat,
berupa pengucuran langsung dana pembangunan desa melalui program dana desa,
telah berkontribusi terhadap perpecahan suatu wilayah kekuasaan petuanan atas
wilayah soa atau kampung-kampung yang hak ulayat wilayah berinduk atau ada pada
induknya suatu negeri adat.
Tuntutan pemekaran wilayah petuanan atau Soa menjadi negeri administratif,
tidak terelakan, demi mendapat jatah dana desa secara langsung, utuh dalam
jumlah maksimal sesuai permintaan menurut kebutuhan program di wilayahnya.
Secara administratif negeri administratif mendapat kewenangan kemandirian
menjalankan administrasi pemerintahan dan melaksanakan program pembangunan
pemberdayaan masyarakatnya – yang ditopang dana desa, sendiri secara terpisah
dari pemerintahan negeri induk.
Tentu alasan pemekaran itu hal positif, tetapi di lain pihak kontrol
kekuasaan atas wilayah petuanan(hak ulayat) dan praktek tatanan adat
dikhawatirkan makin terkendala bahkan melemah, mungkin saja terhapus. Hak
asal-usul negeri adat atas negeri administratif bisa saja tergerus politisasi
kepentingan pihak tertentu, baik kekuasaan politik maupun kepentingan
penguasaan sumber daya ekonomi pada wilayah negeri administratif.
Contoh kasus tentang pemekaran wilayah petuanan negeri adat, terjadi pada
kampung atau dusun petuanan yaitu Salamahu, di Kecamatan Tehoru Kabupaten
Maluku Tengah, adalah wilayah petuanan negeri adat Haya. Sepertinya tanpa
diketahui dan belum mendapatkan rekomendasi secara resmi oleh negeri adat Haya
sebagai negeri induk, kampung tersebut telah dimekarkan sepihak menjadi Negeri
Adminstratif. Merujuk pada UU Desa BAB III tentang Penataan Desa, Pasal (7) sampai
dengan pasal (17), jelas mengatur tentang Pembentukan, penghapusan,
penggabungan, dan/atau perubahan status Desa. Terdapat persyaratan-persyaratan
yang mestinya lebih dahulu dipenuhi untuk merubah status suatu kampung atau
dusun menjadi Negeri dan/atau sebaliknya.
Terdapat sejumlah wilayah Negeri Adat yang memiliki wilayah adat hingga
berpuluh-puluh soa atau kampung petuanan. Di pulau Seram, Negeri Haya di atas,
juga memiliki lebih dari sepuluh petuanan. Negeri Tehoru yang bertetangga
dengan Haya, juga demikian. Di Kabupaten Seram Bagian Timur, puluhan kampong
petuanan Negeri Adat Atiahu, dimekarkan dan menjadi sebuah Kecamatan Siwalalat.
Petuanan Negeri Kelmuri, Urung, dan banyak lagi yang telah lepas secara
administratif. Di Kabupaten Seram Bagian Barat, terdapat pula Negeri-negeri
Adat dengan banyak wilayah kampung petuanan, misalnya Kairatu, Eti, dan juga
Negeri Luhu.
Di pulau Buru yang sekarang telah mekar menjadi dua daerah kabupaten, sebelumnya
terdapat 8 (delapan) Raja Wilayah Adat, atau disebut Regentschap -menurut catatan saat pemerintahan penjajah Belanda. Masing-masing Regentscap
dengan Rajanya, memiliki hak adat terhadap puluhan kampung petuanan. Sekarang sebagiannya
tidak lagi. Kampung-kampung petuanan itu sebagian besar sudah sejak lama
berubah menjadi desa mandiri, dan sebagian Raja kehilangan legitimasi hak adat
atas sebagian wilayah adatnya, kecuali Raja Adat petuanan Leisela yang masih
cukup dominan. Negeri-negeri di kepulauan Maluku bagian tenggara, tenggara
barat, barat daya, dan Aru, tidak terkecuali telah mengalami
perubahan-perubahan yang tentunya menjadi kehilangan hak adat atas sebagian
atau keseluruhan wilayah yang adalah wilayah hak petuanannya.
Sebagai negeri adat, harusnya memiliki legitimasi hak adat yang selain dilindungi
melalui penetapan peraturan adat negeri adat, juga dilindungi dengan
peraturan-peraturan di atasnya secara lebih jelas dan pasti. Kepastian hak-hak
adat tersebut sebagai antisipasi ke depan guna tidak kehilangan cara dan daya
atas hak adat. Belajar dari pengalaman selama ini, akibat perubahan situasi
lingkungan kekuasaan selaku sebuah negeri adat, cenderung mengorbankan hak-hak
asal-usul secara adat atas wilayah
petuanan, dan serta menggerus sistem tatanan adat negeri-negeri adat
bersangkutan. Perlu sekali diatur dan ditetapkan dengan Peraturan Negeri(Perneg).
Fungsi Perneg untuk mengatur dan menegaskan tentang hak dan kewenangan menurut
hukum adat dan perundang-undangan negara terhadap status negeri administratif.
Putusan MK tentang Hutan Adat
Pasca-putusan Mahkamah
Konstitusi(MK) Nomor 35/PUU-X/Tahun 2012 tentang Pengakuan Hutan Adat,
Negeri-negeri adat di Maluku mestinya sudah harus menyadari peluang untuk
mengenali dan mengembalikan hak-haknya atas petuanan(hak ulayat) wilayah hutan
yang pernah masuk dalam daftar aneksasi oleh negara berdasarkan Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum
adat.” Keputusan tersebut telah dapat memberikan kepastian hak kepada
masyarakat adat bahwa hutan adat bukan hutan(milik) negara.
Koordinator Program
Perkumpulan HuMa Nurul Firmansyah menyatakan,
UU Kehutanan telah memisahkan hutan adat dari masyarakat hukum adat melalui
“negaraisasi” hutan. Negaraisasi hutan oleh pemerintah berakibat pada
kerentanan masyarakat hukum adat dalam menjamin kesejahteraan mereka dan
keberlanjutan ekologis hutan. Hutan adat bagi masyarakat hukum adat menjadi
satu kesatuan tak terpisahkan.
Hutan merupakan bagian dari kehidupan masyarakat hukum adat yang telah
menopang kehidupan kesehariannya, sekaligus titipan bagi generasi yang akan
datang. Hutan adat menjadi salah satu kekayaan penting bagi masyarakat hukum
adat untuk menjamin kesejahteraan hidupnya, tatkala negara justru mengingkari
keberadaannya. Hutan menyediakan aneka macam kebutuhan hidup bagi masyarakat
hukum adat. Hutan juga menjadi sumber kekayaan alam dan keanekaragaman hayati
masyarakat hukum adat yang mereka rawat dan jaga sejak dahulu kala.
Pemerintah perlu menjamin kepastian legal system untuk
hak-hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya dalam rangka menjamin
kesejahteraan bagi masyarakat hukum adat, seperti yang dicita-citakan
dalam Konstitusi. Instrumen hukum yang ada belum cukup mampu menjamin
perlindungan hak dan keberlangsungan masyarakat hukum adat dengan hutan adat
serta nilai budaya lestari yang melekat pada hak-hak adatnya.
Kasus-kasus penguasaan hutan dan lahan masyarakat adat secara “paksa” oleh
pemerintah di Maluku masih terjadi. Sebagaimana yang terjadi di pulau Seram
untuk HPH, Perkebunan Sawit, Lahan untuk Transmigrasi dari Jawad an Bali, dan
pertambangan Nikel. Di pulau Buru untuk pertambangan emas dan lahan
transmigrasi dari pulau Jawa, pulau Yamdena untuk HPH, pulau Romang untuk
pertambangan emas, kepulauan Aru untuk perkebunan tebu dan transmigrasi nelayan,
di pulau Wetar untuk pertambangan tembaga dan emas, serta pulau Liran untuk
emas.
Marjinalisasi terjadi secara masif seperti ingin menghapus memori budaya
dari masa lalu sekaligus dijauhkan dari hak asal ususl atas alam lingkungan
kehidupan dan mengabaikan nilai-nilai adat istiadat pada komunitas-komunitas
masyarakat adat. Komunitas-komunitas masyarakat adat khususnya sub-suku Alifuru
contohnya seperti yang terjadi di pulau Seram, maupun di pulau Buru, harus
menerima derita karena kebijakan yang berakibat marjinalisasi. Atas nama program
“pembangunan”, sub-suku Alifuru di pulau Seram yaitu ; Fuauru, Huauru, Nuauru,
dan komunitas sub-suku terbatas lainnya, dipindahkan secara sengaja dengan
mengabaikan budaya hidup mereka yang telah tertata dan bertahan ratusan bahkan
ribuan tahun lamanya. Alasan pemukiman kembali, kemudian mereka “dipaksa” meninggalkan
tempat atau lokasi asal usulnya, di”bujuk” harus menerima hal-hal baru untuk
menjalani cara hidup baru dana sing, hasil pikir dan keinginan “orang asing”(pemerintahan).
Tidak ada pilihan untuk bisa menolak.
Keputusan MK tentang Pengakuan Hutan Adat, sangat menghormati dan
melindungi hak waris masyarakat adat. Putusan ini dapat digunakan mencermati
kasus-kasus tersebut di atas. Seperti apa permasalahan yang menjadi inti titik
sengketa, sehingga timbul perlawanan masyarakat adat. Benar tidakkah pengkavlingan
atau pemetaan wilayah adat dimasukan menjadi hak negara, yang dilakukan secara
sepihak oleh pemerintah daerah maupun pusat, terhadap hutan maupun lahan milik
masyarakat hokum adat.
Maluku sebagai wilayah syarat adat, tetapi belum satupun wilayah hak adat
yang secara formal ditetapkan sebagai wilayah atau hutan adat. Saatnya di
masyarakat adat seperti komunitas sub-suku Alifuru di pulau Seram, memiliki
wilayah otonom yang ditetapkan dan dilindungi. Untuk ini, butuh kebijakan tulus
yang berhati-nurani dari pemerintah daerah Maluku khususnya untuk membuktikan
perlindungannya terhadap komunitas-komunitas masyarakat sub-suku Alifuru, baik
di pulau Seram, pulau Buru, dan wilayah lainnya di Maluku. Tentu pula butuh
kepedulian dan langkah nyata berupa advokasi dan perlindungan dari komponen
masyarakat, dengan melalui lembaga atau organisasi sosial, terutama dari dalam
lingkungan masyarakat Maluku.
Tantangan Negeri Adat
Globalisasi berbagai
ruang lingkup kehidupan, turut serta nilai-nilai adat ditantang untuk menjawab
proses yang sedang berlangsung. Proses globalisasi yang ikut membawa pengaruh
terjadinya akulturasi antara budaya lokal(setempat) dengan budaya dari luar(asing).
Nilai-nilai adat sebagai realitas budaya lokal, suka atau tidak akan mengalami
penyesuaian-penyesuaian, disadari atau tidak sedang berlangsung yang dengan
penyesuaian itu berarti dapat saja terjadi perubahan sebagai dampak proses
akulturasi.
Dengan panji modernitas, sosiokultur modern cenderung menabrak kemandulan
ruang gerak yang tidak diakomodir dirana adat. Bisa mengatas namakan reformasi
hak azasi, dapat pula meramunya dengan alasan demokratisasi. Tujuan akhirnya
bersifat sesaat dan tentu sesat ke depannya. Sebab tatanan adat bukan untuk
membedakan kelas sosial, atau menghalangi hak orang atau kepentingan umum suatu
komunitas masyarakat.
Adat sifatnya untuk menata, mengatur, dan membentuk
karakteristik dan moral suatu komunitas masyarakat agar tertib, mengetahui hak
dan mengerti kewajibannya, terpenuhi kebutuhannya, sehingga kehidupan
lingkungan masyarakatnya menjadi nyaman dan aman. Adat tidak mengharamkan
perubahan, tidak juga menghalangi perbaikan, tetapi tidak instan dan
terselubung kepentingan politik yang berdampak menghancurkan nilai-nilai adat.
Tentu kriteria adat dapat direformasi, tetapi tidak dipaksakan melalui alasan
dan pola pikir tidak berkarakter kearifan lokal yang telah lama membudaya. Adat
mencerminkan identitas dan menandai jatidiri yang menunjukan kepastian pada hak
kepemilikan.
Pemaksaan kehendak yang menyelubungi keinginan untuk penguasaan kekuasaan
adat, atau guna penguasaan suatu wilayah hak adat, masih
saja terus berlangsung. Caranya pun sangat liar dan tidak beradab, karena tidak
menghormati hak-hak orang lain, cara yang ditempuh tidak memberikan
pembelajaran yang cerdas sebagai manusia maupun sebagai institusi intelek.
Sadar atau tidak, tetapi terkesan berpola abai dan sengaja tidak dengan
menghormati tatanan adat dan menghargai pencapaian dan kepemilikan kekayaan budaya
masyarakat bersangkutan.
Bahaya lain selain dari rekayasa politik kekuasaan para Maharaja
pasca-desentralisasi(otonomisasi Daerah), masih terdapat upaya dari kalangan
seperti yang tersebut sebelumnya untuk kembali meraih peluang sebelumnya. Yakni
datang dari para pemangku jabatan sementara, kalangan yang pernah direkomendasi
mewakili, atau bawaan jabatan dari praktek politik kekuasaan devide et empra dan politik ekonomi hongi tochten di era kolonial Belanda.
Hasil maksimal kebudayaan yang tercipta dan dicapai, adalah berupa kepemilikan hak adat berdasarkan asal usul masyarakatnya, pengetahuan tentang hukum adat, hingga identifikasi jatidiri sebagai identitas suatu komunitas masyarakat adat yang kini dikenal sebagai Orang Maluku. Butuh waktu yang tidak singkat dalam menjaga, memelihara, dan melindungi kekayaan budaya, yang tercipta dari kemampuan dan pengetahuan sumber daya manusia yang didukung ketersediaan sumber daya alam Maluku.
Tanah air Maluku, yang lestari hingga saat ini, karena dominasi kontribusi
kearifan budaya adat, yang terpelihara melalui peradaban luar biasa yang
terbentuk melalui keberadaan negeri-negeri adat. Tatanan adat yang terpelihara
pada negeri-negeri adat, telah mampu mengatur secara bijak cara bagaimana
menjaga dan melindungi, merawat, serta tentunya mengajarkan cara mencintai bumi
Maluku dengan segala apa yang dimiliki.
Kepulauan Maluku spesifik dalam tatanan adatnya, tidak sebagaimana daerah lain di Indonesia. Di Maluku seorang Raja sebuah negeri adat memiliki hak kuasa tidak sekadar wilayah tanah yang sangat luas, tetapi juga terdapat komunitas–komunitas penduduk yang tersebar dan pemukimannya berada dalam wilayah kekuasaan hak adat.
Di sebagian wilayah negeri adat, tidak keliru bila disebut “Kerajaan”,
karena memiliki wilayah sangat luas dan masyarakat puluhan ribu. Karena itu,
diperlukan perlakuan khusus oleh negara tidak sebatas perlakuan sebagai sebuah
wilayah desa umumnya yang terkendali secara administrasi dengan hak kuasa yang
sumir. Perlakuan yang dimaksud, mungkin tidak sampai sebagaimana Daerah
istimewa Yogyakarta, tetapi perlakuan yang benar-benar melindungi hak kuasa
atas wilayah petuanan adatnya dan penguatan yang menyatukan, sebagai wilayah yang
khas karena hak asal-usulnya. Bukan di baliknya terkesan yang dipraktekkan oleh
sebagian pemimpin daerah otonom di Kapupaten dan Kota, malah upaya “meretakkan”
atau usaha memandulkan hingga sampai kehilangan haknya.
Negara Indonesia digabungkan dari beragam wilayah berbeda secara etnis dan
budaya, penyeragaman sistem pemerintahan tidak dipaksakan melalui kekuasaan
semata, sebab berbahaya karena dapat menimbulkan ketersinggungan dan
memunculkan antipati terhadap negara. Sosio-kultural Maluku sekarang adalah
warisan kebudayaan Bangsa Alifuru, yang menjadi pola dan pedoman yang telah
berurat-berakar sudah sejak sebelum era Indonesia sekarang, bahkan sebelum era
kelam kolonialis bangsa Eropa. Untuk itu, ketika negara(Indonesia) hadir dan
bersentuhan dengan hak-hak masyarakat hukum adat, sifatnya untuk melindungi, merekat
dalam ragam perbedaan yang dihormati, bukan malah menggerus apalagi hingga
menghilangkan hak adat, tatanan adat, dan hukum adat, apalagi sampai
menghilangkan sejarah hak asal usul yang melekat pada masyarakat adat Maluku di
dalam negeri-negeri adat.
“Kehidupan komunitas manusia pada lingkungan alam yang terjaga dan lestari,
serta tercipta pengetahuan dan melahirkan nilai-nilai moral bijak pada zamannya,
adalah kekayaan materil dan inmateril tak ternilai yang melahirkan identitas
kebudayaan suatu kaum”.
Depok, 14 Juni 2018
M.
Thaha Pattiiha
-------------------------------------------------------------------------------------
- Referensi ; Dari berbagai
sumber(dalam Catatan)
- Tulisan ini telah direvisi dan
di-upload ulang pada 20 Juni 2018
No comments:
Post a Comment