Masa lampau boleh berlalu bukan
berarti akan terlupakan atau hilang dari ingatan begitu saja, karena dengan mengetahui masa lalu
dengan segala peristiwa yang menyertainya dapat menjadi catatan sebagai sejarah.
Fungsi dan gunanya untuk memberi informasi dan pengetahuan untuk mengenali
identitas dan asa-usul yang telah turut membentuk dan mempengaruhi kehidupan di
masa sekarang menuju masa depan. Penulisan sejarah atau dikenal dengan
historiografi, berfungsi sebagai sumber tertulis yang mencatat dan mengungkap masa
lalu. Sebagai pengetahuan, penulisan sejarah harus memenuhi prasyarat dan
mengandung informasi yang seharusnya dihindarkan dari kepentingan yang bersifat
subjektif, kecuali mengandung kebenaran yang ditulis secara jujur, serta dibedakan
dengan tulisan fiksi. Ada kesan dan untuk itu dianggap perlu ditinjau ulang dan
diperluas, yaitu setelah membaca dan mengamati sebagian penulisan sejarah di
Maluku, dianggap belum sepenuhnya menunjukan
keterangan yang mencerahkan dan menginformasikan secara benar dan berimbang, selain
dipertanyakan sumber-sumber yang sepertinya masih miskin dan bias sumber.
Tulisan sejarah bukan karangan fiksi
Mengarang
adalah mengungkap isi pikiran dan rasa tentang sesuatu hal melalui tulisan.
Secara teori memiliki cara yang saling berbeda, antara sebuah tulisan yang
bersifat karangan biasa dan bebas, dengan menulis untuk mengungkap suatu fakta.
Menulis sebuah puisi, sajak, atau esai sastra adalah karangan yang mengungkap
imajinasi sang pengarang tentang sesuatu yang sifatnya fiksi tetapi dibuat
seakan fakta. Sebaliknya sebuah karangan bersifat fakta, adalah mengungkap
sesuatu penciptaan pikiran yang dibenarkan dengan lambang-lambang yang secara
teori memenuhi unsur yang dapat dibuktikan kebenarannya, bahwa sesuatu itu
bersifat nyata atau hingga dapat disaksikan secara kasatmata dan dibenarkan
secara pikiran dan tentu rasa.
Sesuatu yang ditulis berdasarkan realita, dengan
didukung adanya fakta, atau hal-hal yang benar disaksikan kejadiannya atau memiliki
dukungan sumber bahwa sesuatu peristiwa benar telah terjadi sebelum maupun yang
diperkirakan akan terjadi di suatu kurun waktu kehidupan, merupakan karya atau
karangan bersifat bukan(non) fiksi. Misalnya tulisan ilmiah atau ilmiah
populer, laporan, makalah, atau tulisan berita pada media masa. Tulisan
non-fiksi, cara menyampaiannya ditulis dengan syarat objektifitas yang maksimal,
yang mampu menggugah pikiran pembaca untuk diterima dan tidak multi makna,
serta dapat dipertanggungjawabkan. Sebaliknya karangan fiksi ditulis
berdasarkan khayalan dan imajinasi yang menonjolkan subjektifitas sang
pengarang, sekalipun tulisan tersebut sudah dibumbuhi dengan gagasan yang
menggugah emosi pembaca. Bahkan untuk tulisan fiksi ilmiah yang mengandung
rekayasa pikiran tentang ilmu pengetahuan, tetap saja sekalipun mengandung
informasi berupa ilmu pengetahuan, sifatnya hanya berteori atau berspekulasi
secara ilmiah.
Untuk tulisan yang bersifat imajiner jelas cenderung
fiksi, sehingga bukanlah fakta sejarah, karena sejarah adalah mengungkap fakta,
yang dapat dibuktikan. Menulis sejarah, bukan seperti mengarang sebuah cerita
imajiner, dan memang sangat tidak bisa diterima. Penulisan sejarah dapat saja
ditulis berbentuk menyerupai tetapi bukan benar-benar hasil rekaan maupun
rekayasa apalagi bersifat fiksi belaka. Sumber sejarah bahkan dapat berasal dari cerita mitos dan
pengetahuan lisan, boleh saja menjadi salah satu sumber sejarah. Hal ini
bilamana tidak ada pilihan sumber lain, karena samasekali tunadata dan bukti fisik. Pendekatan dengan pengetahuan mithologis dapat digunakan untuk memahami sebuah cerita yang bersifat mitos, dan kesaksian-kesaksian
dapat digunakan untuk memperkuat suatu cerita dari pengetahuan lisan. Bahkan
untuk sejarah yang sudah tertulis, pun butuh kajian yang berulang dan lengkap
syarat-syaratnya, sebab sudah sering terjadi suatu sejarah kadang tidak bebas
dari perlakuan semacam “daur ulang” dan atau pembetulan-pembetulan oleh setiap
generasi umat manusia pada masanya.
Suatu sejarah yang diungkap, harus dengan cara jujur
diceritakan sebagaimana peristiwa yang sesungguhnya dan benar-benar terjadi.
Tidak ditambah atau dikurangi, juga tidak butuh bumbu penyedap menurut yang
berselera penulisnya. Menambah, mengurangi, membumbuhi, sangat di-”haramkan”
dalam sebuah cerita sejarah berbasis penulisan ilmiah. Tidak sebagaimana
sebuah karangan imajiner atau fiksi, sejarah tidak mendasarkan informasi yang
maya dan apalagi penuh khayalan, karena yang seperti itu terdapat kemungkinan,
cerita sejarah tersebut tidak pernah terjadi, atau sejarah sesungguhnya sedang
dibelokkan atau dihilangkan, diganti dengan keinginan dan kepentingan menurut
kebutuhan si penulis atau rezim yang berkuasa saat sejarah itu ditulis
Sejarah tidak dikarang
tetapi diceritakan
Penulisan
sejarah atau historiografi merupakan
penulisan untuk memaparkan atau melaporkan suata hasil penelitian sejarah yang
telah dilakukan, apakah dari hasil penelitian lapangan atau penelitian
kepustakaan, yang merupakan cara penulisan sebuah karya ilmiah seperti
penulisan sejarah. Dari sini, suatu sejarah diceritakan dalam bentuk tulisan, dari
sumber yang berasal dari data penelitian sebelumnya berupa data lisan, tulisan,
dan kebendaan.
Historiografi menurut Nugroho Notosusanto1) adalah langkah terakhir dari 4(emat) langkah
kegiatan metode sejarah yang secara berurutan, yaitu ; pertama Heuristik, ke-dua Kritik Sumber atau Verifikasi, ke-tiga Interpretasi, dan ke-empat ; Historiografi. Metode
tersebut menjadi dasar suatu sejarah dapat diungkap dan diceritakan baik secara
naratif atau strukturalis, yang pasti secara ilmiah dapat dijadikan pengetahuan
yang benar dan obyektif. Karena bisa saja suatu tulisan sejarah dibelokkan atau
dikaburkan secara sengaja, atau lebih menonjolkan unsur subjektifitas dan
mengabaikan unsur objektifitas oleh adanya kepentingan penulis sejarah atau
karena suatu alasan yang memiliki tujuan tertentu untuk apa sejarah itu
ditulis. Sejarah yang ditulis harusnya yang bersifat obyektif dan tentu saja
absolut, akan tetapi bilamana bahan dasar sebagai data dan informasi yang tidak
lengkap, maka interpretasi sering muncul untuk menelaah atau menerjemahkan
ketidaklengkapan tersebut. Sampai di sini, butuh kejujuran obyektif atau
mengambil posisi netral, sehingga menghindarkan keinginan subjektif penulis
sejarah.
Bagi sejarawan yang manganut pandangan “relative
historis”, peristiwa masa lampau yang diperdebatkan karena perbedaan pandangan
terhadap peristiwa yang diyakinkan secara obyektif dan absolut, sikap netral
adalah sesuatu yang sulit dilakukan. Dasar pandangan sebagai alasannya karena pengetahuan
sejarah itu pada dasarnya adalah mengalihkan fakta-fakta pada suatu bahasa
lain, menundukkannya pada bentuk-bentuk, kategori-kategori, dan
tuntutan-tuntutan khusus2). Inti yang menjadi pedoman dasar penulisan sejarah
adalah mengungkap secara benar tentang kenyataan yang telah terjadi, karena suatu
kenyataan dalam sejarah adalah fakta. Fakta yang mendasari suatu sejarah
hendak ditulis.
Alifuru; Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial
Baca juga ;
Alifuru; Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial
Sejarah dan ruang lingkupnya secara epistimologis, menurut Dudung Abdurrahman3), sejarah yang dalam bahasa arabnya disebut tarikh,
mengandung arti ketentuan masa atau waktu – yang lalu dan pernah terjadi(Penulis). Ada pula
sebagian orang yang mengajukan pendapat bahwa sejarah sepadan dengan kata syajarah yang
berarti pohon - kehidupan, riwayat, atau kisah, tarikh, ataupun history dalam
bahasa Inggris artinya masa lampau umat manusia. Geschichte
dalam bahasa Jerman yang berarti sesuatu yang telah terjadi. Bahasa Belanda yaitu Geschiedenis, yang berarti
terjadi. Istoria dalam bahasa Yunani artinya ilmu yang
khusus untuk menelaah gejala-gejala dalam urutan kronologis.4-5) Seperti dalam berbagai istilah bahasa dan maknanya,
menunjukan bahwa sejarah berarti gambaran masa lalu tentang aktivitas
kehidupan manusia sebagai makhluk sosial yang disusun berdasarkan
fakta dan interpretasi terhadap obyek peristiwa masa lampau.
Suatu kaum atau suatu bangsa harus diingatkan tentang bahaya
pelemahan dan hingga suatu bangsa akhirnya bisa terjajah. Terdapat 3(tiga) cara6), yaitu
: pertama ; kaburkan sejarahnya, kedua ; hancurkan bukti-bukti sejarahnya
sehingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya, dan ketiga ; putuskan hubungan mereka dengan
leluhurnya, dengan mengatakan jika leluhurnya itu bodoh dan primitif.
Pesan George Santayana, filsuf yang berkebangsaan
Spanyol yang menganjurkan akan pentingnya kita belajar sejarah, bahwa “mereka
yang tidak mengenal masa lalunya, dikutuk untuk mengulanginya.” Di banyak
bangsa bisa kembali bangkit dari keterpurukan dan berjaya lagi, dengan
mempelajari sejarah dan mengambil semangat bangsanya di masa lalu sebagai
pengetahuan untuk hari ini dan menuju masa depan. Semua umat manusia yang
terdiri dari berbagai bangsa, masing-masing memiliki latar belakang sejarah
berbeda. Suatu bangsa yang kehilangan samasekali atau sebagian masa lalunya
karena alasan tertentu, bisa saja belajar dari sejarah bangsa lain sebagai
pengetahuan dengan segala baik buruknya untuk bisa mengatur kembali bangsanya
ke depan. Sebaliknya, untuk sebuah bangsa
dengan latar belakang kehidupan yang jelas, tentu memiliki cerita di masa
lalu. Cerita di masa lalu adalah kisah yang menjadai latar-belakang yang dapat
dijadikan sejarah, yang dapat
diceritakan di masa sekarang. Sebab fungsi sejarah adalah kisah yang
dapat menjadi pengetahuan dan pelajaran bagi generasi berikutnya yang datang di
kemudian hari, baik saat masa sekarang dan untuk masa yang akan datang.
Setiap generasi di masanya, harus mengetahui seperti
apa dan bagaimana generasi sebelumnya, dan generasi pada masa yang sekarang
kisahnya akan menjadi sejarah untuk generasi yang berikutnya di masa datang.
Seperti itu, kesinambungan masa dan generasi manusia bersama alam lingkungan
hidupnya, saling berhubungan dan saling mempengaruhi, berlangsung terus-menerus
mengikuti siklus waktu dan regenerasi umat manusia. Ketika suatu generasi
kehilangan sejarah masa lalu bangsanya, maka tentu ada yang salah dengan
catatan atau dokumentasi cerita sejarah dimasa sekarang, yang dapat berimbas
pada kehilangan identitas karena ketidak-pengenalan kepribadian. Sebab suatu
cerita sejarah merupakan dokumentasi informasi yang mencatat identitas dan
memperkenalkan peristiwa, tempat atau lokasi, ada tidaknya pelakunya pada masa
sebelumnya.
Histografi
Malukusentris
Malukusentris yang bukan Ambonsentris, agar pengaruh penulisan dan
sumber yang Belandasentris tidak mereduksi sebagian sejarah Sukubangsa Alifuru
secara keseluruhan dan cakupan utuh kepulauan Maluku. Belanda menulis sejarah
menceritakan dan membanggakan kehebatan bangsa dan negaranya, dan Orang
(Pribumi)Maluku diposisikan sebagai pemberontak. Pendekatan
penulisan sejarah dimaksud disebut Neerlandosentris, yaitu
penulisan sejarah yang dilihat dari peran orang Belanda (penjajah). Sebagaimana
buku sejarah berjudul Geschedenis van Nederlandsch Indie (Sejarah
Hindia Belanda), yang ditulis oleh sebuah team penulis sejarah yang dipimpin Dr.
FW. Stapel.7) Seperti kata Alfiansyah8) ; “Buku
oleh Stapel tersebut, bukanlah merupakan sejarah Indonesia, tetapi merupakan
suatu penulisan sejarah penjajahan Belanda atau sejarah Belanda di negeri
jajahan”. Menurutnya, penulisan sejarah dalam buku tersebut lebih menampilkan
orang Belanda, yang berarti orang Belanda (penjajah) diposisikan sebagai subjek
dalam cerita sejarah, sementara bangsa Indonesia hanyalah objek dari cerita
sejarah. Belum lagi sebutan yang kaum pribumi kepada bangsa Indonesia, yang lebih
menunjukkan bahwa bangsa Indonesia bukan sebagai bangsa, tidak memiliki suatu
negara. Bangsa Indonesia hanya didudukan sebagai pelayan orang Belanda. Akan
tetapi, dalam penulisan sejarah Indonesia - termasuk sejarah Maluku, masa
selama dijajah, malah menjadikan buku tersebut sebagai sumber. Kalimat, “Belanda
menjajah Indonesia selama 350 tahun”, adalah menurut Stapel.
Kapitang Pattimura boleh hari ini adalah seorang
Pahlawan bagi Maluku – Indonesia, bagi Belanda dia ada musuh dan pemberontak
yang patut dihukum mati dengan digantung, begitupun dengan Christina Martha
Tiahahu. Sejarah oleh Belanda hanya mencatat pimpinan dan anggota pasukan
Belanda yang mati dalam penyerangan Benteng Durstede di pulau Saparua, semuanya
tercatat(terdokumentasi) nama mereka, sebaliknya rakyat Maluku umumnya, selain
kedua tokoh tersebut di atas, tidak ada catatan nama mereka, bahkan jumlah
korban pun tidak. Seperti juga Ambon kota dengan benteng Victoria-nya, yang
merupakan kota yang lahir dan terbentuk oleh penjajah bangsa Eropa. Dibangun
awal oleh Portogis, dilanjutkan dan dimanfaatkan secara maksimal dan lama oleh
Belanda dengan VOC-nya. Dalam sistem pemerintahan wilayah jajahan, kota Ambon
menjadi pusat pemerintahan VOC untuk seluruh wilayah Nusantara yang
dikuasainya. Sekalipun kemudian pusat pemerintahan di pindahkan ke kota Batavia
di pulau Jawa. Kota Ambon tetap saja masih difungsikan menjadi sentral pengumpul
rempah-rempah dan pusat kontrol aktifitas lalulintas perdagangan dan manusia
saat itu. Telah berdampak adanya akulturasi budaya yang ikut berkontribusi
mempengaruhi kebudayaan asli Maluku - Alifuru. Tentu hal demikian menguntungkan
secara politik dan misi keagamaan demi kepentingan kekuasaan penjajahan Belanda.
Adanya akulturasi dan terbentuk kebudayaan baru, sementara di lain pihak
berakibat tergeruslah identitas asli Ras Orang Maluku yang berkebudayaan Sukubangsa
Alifuru.
Sejarah Maluku pun berubah dengan mengambil jejak
sejarah dari keberadaan kota Ambon jaman penjajahan Belanda. Nama Ambon kemudian
menjadi nama yang paling terpublikasikan yang malah membentuk pola pikir orang
– masih hingga sekarang, bahwa ada Suku Ambon. Sebutan atau panggilan Orang
Ambon, melekat pada semua orang di kepulauan Maluku, terucap oleh orang lain ketika
sedang di luar Maluku.
Terdapat beberapa momen bernilai sejarah yang sempat
beta catat, yang perlu ditulis sejarahnya baik baru atau butuh perbaikan dan
penyesuaian, yaitu :
- Sejarah
Asal-usul Nama Alifuru sebagai nama Sukubangsa kepulauan Maluku
- Tempat
atau lokasi awal sukubangsa Alifuru, berawal dari Nunusaku atau Supamaraina
- Menunjuk
dengan tepat dan pasti di mana lokasi atau tempat Nunusaku
-
Sejak
kapan persis sukubangsa Alifuru mendiami kepulauan Maluku
- Istilah
Siwa-Lima, apakah itu pembagian falsafah karakter manusianya atau merupakan pemisahan
kelompok orang dalam sukubangsa Alifuru, dan apakah istilah Siwa-Lima itu
bermula dari kepulauan di Maluku bagian utara atau awalnya dari pulau Seram.
- Maluku
itu nama daerah(wilayah) atau nama sukubangsa, lalu bagaimana dengan Sukubangsa
Alifuru yang bukan saja di kepulauan Maluku bagian tengah dan selatan, tetapi
juga di kepulauan Maluku di utara, Minahasa dan sebagian di pulau Sulawesi
bagian Tengah.
- Bukankah
Ambon adalah sekadar nama sebuah pulau, dan kota yang terbentuk serta komunitas
yang pertama menempatinya adalah berasal dari berbagai suku dan bangsa serta
ras dan budaya, apakah itu kemudian saat ini disebut “Suku Ambon”, yang seperti
merepresentasikan suku-bangsa semua Orang Maluku. Bahayanya adalah malah
menghilangkan identitas asli suku bangsa orang Maluku yaitu Alifuru.
- Pascapemekaran
dari Maluku menjadi Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara, sejarah yang
ditulis kemudian juga dipisahkan dengan saling tidak mengkaitkan bahkan hingga
tidak saling sebut samasekali, seperti saling menafikan kenyataan sejarah di antara keduanya pada
alur yang semestinya terkait. Bahwa Maluku merupakan satu wilayah kepulauan
yang tersebut pertama kali saat bangsa Eropa pertama hadir dan menguasai
kepulauan ini, dan sejarah sebelum adanya kehadiran bangsa Eropa.
- Sejarah
Maluku itu ditulis tujuannya selain sebagai informasi dan pengetahuan atau
bermaksud mengunggulkan yang satu atau lebih dan mengabaikan atau hingga
menghilangkan yang lain, selain bertujuan mempersatukan atau memecah-belah
- Perang Hongi Tochten dan Perang Huamual, yang berujung pembantaian masal oleh Belanda yang dikaburkan, begitupun dengan pembantaian
hingga pengusiran penduduk asli Kepulauan Banda.
Epilog
Sampai
setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, muncul sejarah modern Indonesia
yang bersifat nasional dan Maluku hanya sebagian kecil diungkap perannya dalam
sejarah Indonesia, selebihnya yang dibesarkan malah pemberontakan Republik Maluku Selatan(RMS) untuk
membentuk negara mandiri dari Republik Indonesia. Ketika sejarah tuan rumah
Maluku ditulis belakangan, telah begitu dalam tenggelam oleh sejarah nasional
yang masif diajarkan sebagai bagian dari mata pelajaran sejarah nasional di
lembaga pendidikan. Bahkan orang Maluku sendiri baru kemudian terkaget-kaget
bahkan dianggap sesuatu yang asing, kala sebagian sejarah Maluku mulai diungkap
secara baik dan terperinci belakangan ini. Mengapa juga tidak sekalian
dijadikan sebagai materi pelajaran sejarah muatan lokal konteks Maluku, agar
generasi muda orang Maluku lebih mengenal sejarahnya lebih baik dan menyadarkan
jati diri dan identitas bahwa daerah Maluku juga punya sejarah yang hebat, selain
sejarah umum secara nasional dalam konteks negara Indonesia.
Sejarah hanya bisa diungkap dari peristiwa yang pernah ada atau pernah terjadi, bukan hasil dari sebuah
imajinasi apalagi rekayasa mitos sang penulis yang dipaksakan untuk diterima pembaca atau orang lain.
Cepat atau lambat, sesuatu yang merupakan kejadian sejarah sesungguhnya di masa lalu akan
terungkap kebenarannya, atau cerita sesungguhnya, walaupun sengaja ditutupi atau
direkayasa dengan berbagai alasan pembenaran berbentuk apapun.
5 Januari 2019
Sumber Bacaan ;
1) Norgoho Notosusanto, Norma-norma
Dasar Penelitian Sejarah. Jakarta ; Dephankam
2) al-Sharqawi,
1981: 124 dalam Teddy Khumaedi S.Sos.i ; Filsafat Sejarah dan Metodologi Penelitian
Sejarah
3)
Dudung
Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, Jakarta; Logos Wacana Ilmu,
1999
4) http://yettydnovia.blogspot.com/2013/06/the-father-of-hstory.html
5)
https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah
6) Architecs of Deception – Secret History Freemasonry ;
www.tribunerakyat.com(12122012)
7)
https://dbnl.org/titels/titel.php?id=stap009gesc01
8)
Alfiansyah ; Sentra Edukasi http://www.sentra-edukasi.com/
No comments:
Post a Comment