Oleh : M. Thaha Pattiiha
(Seri #MOZAIKCoffee - #AlifuruItuMaluku)
(Seri #MOZAIKCoffee - #AlifuruItuMaluku)
Hutan
adalah mata rantai kehidupan masyarakat tradisional yang merupakan “nyawa”
antara untuk melanjutkan kehidupan masyarakat suatu komunitas di sekeliling yang
menggantungkan kehidupannya dari keberadaan hutan. Hutan menyediakan konsumsi
ransum kehidupan yang diperlukan setiap saat, selama peri kehidupan yang telah
terbentuk sejak awal membuat ketergantungan yang tidak dapat dilepaspisahkan
dengan alasan apapun secara sengaja oleh rekayasa manusia, kecuali karena
bencana oleh alam sendiri yang menggerusnya.
Bangsa
Alifuru secara entitas antropologis telah tumbuh secara alamiah dan menyatu
dengan hutan-hutan kepulauan Maluku sudah sejak ribuan tahun yang lalu, hingga kini.
Tidak ada yang berubah atau dirubah sendiri hutan-hutan mereka, sampai tiba
dinyatakan dengan atas nama kekuasaan negara kemudian hutan-hutan mereka pun
beralih kuasa dengan dipindah tangankan hak pengaturannya oleh negara. Negara lalu
yang menentukan ya dan tidak hak tersebut apakah masih menjadi hak milik atau
hanya hak kepemilikan semu. Saat masyarakat adat berteriak memprotes perlakuan
negara terhadap hutan-hutan mereka, aparat negara segera bertindak dengan
tangkas, sigap, dan represif, maka bubar dan pupuslah keinginan untuk
menyuarakan keresahannya. Suara-suara rintihan masyarakat adat, bagai dedaunan
layu lalu mengering di hutan-hutan adat yang digunduli mesin-mesin penebang dan
digilas traktor.
Keputusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35 tahun 2012, atas Undang-Undang(UU) Nomor 41 tahun
1999 tentang Kehutanan, dinyatakan bahwa hutan adat tidak lagi bagian dari
hutan negara, tetapi menjadi bagian dari hutan hak masyarakat hukum adat.
Putusan MK secara legal telah merevisi klaim sepihak pemerintah(negara), yang
memasukkan hutan adat sebagai hutan negara melalui UU Nomor 41/1999. Putusan dimaksud
telah membatalkan “negarasasi” tanah-tanah hutan masyarakat (hukum) adat, yang
sebelumnya – hingga saat ini pun masih, telah terjadi pelanggaran hak atas tanah-tanah
hutan milik masyarakat adat. Negarasasi berakibat pada pemiskinan,
penyingkiran, dan tindakan diskriminasi aparat negara terhadap masyarakat adat.
Aksi protes Masyarakat Adat Alifuru kepada pengusaha perkebunan sawit di pulau Seram bagian utara (Foto Istimewa)
Masyarakat
Adat berhak atas hutan dan tanah yang telah secara turun temurun hidup selama
beratus hingga beribu tahun sebelumnya bersama hutan-hutan dan tanah-tanah yang
menjadi bagian kehidupannya. Sampai di situasi itu, ternyata negara masih
menggantungkan harapan masyarakat adat secara samar dalam aturan yang kembali
membutuhkan upaya lanjutan oleh masyarakat adat, sebelum benar-benar secara
penuh berhak dan memiliki kuasa atas tanah-tanah dan hutan mereka. Hak itu tidak
segera bisa diperoleh, sebab masih harus ditindaklanjutkan dengan legalitas
berikutnya, berupa penetapan di tingkat daerah – provinsi dan kota/kabupaten,
melalui Peraturan Daerah. Sebabnya, putusan MK dimaksud tidak merevisi
pengakuan bersyarat keberadaan masyarakat adat sebagaimana Pasal (67) UU
Kehutanan tahun 1999. Untuk itu masyarakat adat harus diposisikan sebagai
subjek hukum, dengan dibantu dan disertakan dalam upaya percepatan pengakuan
hak oleh pemerintah daerah melalui inisiasi langkah konkrit implementasi
putusan Mahkamah Konstitusi melalui Peraturan Daerah (Perda) – bisa saja usulan
inisiatif DPRD, atau melalui Peraturan Kepala Daerah – Gubernur, Bupati, dan
Walikota.
Terdapat Perda
Provinsi Maluku Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Pengelolaan dan Pelestarian
Sagu. Perda yang diperuntukan guna perlindungan hutan sagu di Maluku,
hanyalah “omong kosong di atas kertas”, karena di lapangan, hutan-hutan sagu di
tanah hak ulayat masyarakat adat kian habis dibabat, dialihfungsikan untuk
kebutuhan perkebunan besar sawit, lahan transmigrasi, dan pemukiman.
Selebihnya, hingga saat ini pemerintah daerah Maluku maupun anggota badan
perwakilan rakyat di lembaga legeslatif masih “sono” - tertidur pulas,
tidak melakukan apa-apa. Tidak ada inisiatif apapun dari lembaga pengemban
aspirasi rakyat – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), baik Provinsi maupun
khsusnya kabupaten dan kota, yang tergerak nuraninya mau “menolong”
menyelesaikan kebutuhan dan kesulitan masyarakat adat untuk melegalkan hak
miliknya atas tana-tanah hutan adat. Lalu kepada siapa lagi harus dimintai
pertolongan? Tunggulah ketika tiba saat mereka datang meminta suara dukungan di
saat musim kampanye pemilihan umum, karena diluar saat itu suara masyarakat
hanya debu di kaca mobil dan jendela gedung parlemennya yang kedap suara dan
terhindar dari kepanasan dan kehujanan. Atau harus menanti dulu mereka
berangkat dan pulang dari “Studi Banding”
Perbedaan negara dan masyarakat adat, adalah soal kemampuan administrasi dan pengetahuan atas hak milik pada tanah-tanah hutannya. Masyarakat adat dengan “merek” masyarakat tradisionil, lemah posisi tawarnya, cenderung “bodoh” memahami duduk masalah. Sehingga secara terpaksa, karena tidak akan mampu menolak untuk kembali menyerahkan hak miliknya atas hutan untuk diatur oleh negara. Situasi yang menyayat rasa keadilan masyarakat adat, karena terbelit seperti lingkaran setan yang tak berujung pangkal, masalah yang melahirkan persoalan dan titik temu penyelesaiannya bergantung penting tidaknya “kebaikan” yang dibajaki dan diputuskan negara.
Kehadiran negara yang muncul belakangan, telah lebih berkuasa atas hak milik masyarakat warga negara – masyarakat adat, dalam lingkup wilayah kekuasaan negara. Kelemahan masyarakat adat atas administrasi dan pengetahuan hak miliknya atas hutan tidak semakin dipermudah, ketika kepentingan misi pemegang kekuasaan negara hendak dijalankan. Dr. Syafroedin Bahar - Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, menyatakan hal itu tidak berbeda dengan doktrin hukum penjajah Belanda yang mencantumkan asas domein verklaring dalam sistem hukumnya, yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan adanya kepemilikan atasnya, merupakan milik Kerajaan Belanda. Lebih lanjut dinyatakan, pengalaman menunjukkan bahwa pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Negara terhadap masyarakat adat tidaklah terjadi secara otomatis, tetapi harus diperjuangkan secara terencana dan terorganisasikan oleh masyarakat adat sendiri.
Perbedaan negara dan masyarakat adat, adalah soal kemampuan administrasi dan pengetahuan atas hak milik pada tanah-tanah hutannya. Masyarakat adat dengan “merek” masyarakat tradisionil, lemah posisi tawarnya, cenderung “bodoh” memahami duduk masalah. Sehingga secara terpaksa, karena tidak akan mampu menolak untuk kembali menyerahkan hak miliknya atas hutan untuk diatur oleh negara. Situasi yang menyayat rasa keadilan masyarakat adat, karena terbelit seperti lingkaran setan yang tak berujung pangkal, masalah yang melahirkan persoalan dan titik temu penyelesaiannya bergantung penting tidaknya “kebaikan” yang dibajaki dan diputuskan negara.
Kehadiran negara yang muncul belakangan, telah lebih berkuasa atas hak milik masyarakat warga negara – masyarakat adat, dalam lingkup wilayah kekuasaan negara. Kelemahan masyarakat adat atas administrasi dan pengetahuan hak miliknya atas hutan tidak semakin dipermudah, ketika kepentingan misi pemegang kekuasaan negara hendak dijalankan. Dr. Syafroedin Bahar - Ketua Dewan Pakar Sekretariat Nasional Masyarakat Hukum Adat, menyatakan hal itu tidak berbeda dengan doktrin hukum penjajah Belanda yang mencantumkan asas domein verklaring dalam sistem hukumnya, yang menyatakan bahwa seluruh tanah yang tidak dapat dibuktikan adanya kepemilikan atasnya, merupakan milik Kerajaan Belanda. Lebih lanjut dinyatakan, pengalaman menunjukkan bahwa pengakuan, penghormatan, dan perlindungan Negara terhadap masyarakat adat tidaklah terjadi secara otomatis, tetapi harus diperjuangkan secara terencana dan terorganisasikan oleh masyarakat adat sendiri.
Negara selalu pandai berkilah dan memiliki
banyak alasan menjadikannya peluang dengan pembenaran yang dipaksakan agar
masyarakat adat tunduk dan patuh mengikuti kemauan pemegang pemerintahan negara,
melalui wewenang kekuasaan dan kedaulatan. Walau harus tersingkir, terusir dan
terlantarkan dari tanah dan hutannya, tercabut dari akar budaya tradisionalnya,
hilang lenyap situs sejarah dan spritual masyarakat adatnya, hingga memaksa
tanpa bisa terbebaskan dari kubangan ketidakmampuan beradaptasi pada lingkungan
barunya. Semua itu dipandang ringan pemegang kekuasaan negara, yang bahkan
dianggap suatu pengorbanan demi kepentingan negara. Karena setiap pemegang
kekuasaan negara hanya menjalankan kebijakannya dengan alasan yang dipoles
seakan memang itulah kepentingan negara, dan masyarakat warga negara tanpa
pilihan harus menerima dan mengakui kebijakan itu benar negara melakukannya
untuk kepentingan rakyatnya. Begitupun masyarakat adat Bangsa Alifuru yang
lebih dulu lahir bersama hutan yang harusnya menjadi hak untuk dimiliki
sepenuhnya, tanpa pilihan harus rela dan “dilarang” berpikir dan bertindak
bertolak belakang dengan kebijakan atas nama kepentingan kekuasaan dan
kedaulatan negara. Bila sebaliknya negara memang peduli, maka Rancangan
Undang-Undang Tentang Pengakuan Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat,
yang masih menggantung padahal sudah disusun sejak rezim pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono dan hingga periode presiden Joko Widodo, dapat segera
disahkan dan diberlakukan.
Bangsa
Alifuru adalah manusia hutan, selain manusia lautan. Mereka telah terbiasa dan
akrab menyusuri belantara hutan dan rimbunnya padang ilalang. Menapaki lembah,
bukit dan pegunungan, hingga kembali menemui pasir pantai. Alifuru adalah
bangsa petualang yang pandai menundukkan
lawan dan menguasainya wilayahnya serta mampu mempertahankannya hingga
darah tidak lagi menetes. Pribumi Maluku yang tetap tegar menjaga wilayahnya
dari aneksasi bangsa asing, tetapi juga adalah ras petualangan – rumpun
Melanesia, yang santun menyapa alam dan setia menjaga rimbanya. Menjadikan
pulau-pulau besar khususnya di kepulauan Maluku tetap rimbun dengan pepohonan
yang tinggi menjulang, padat dan tumbuh subur, terawat dan lestari jauh sebelum
kehadiran negara baru bernama Republik Indonesia. Manusia pribumi Maluku
berbangsa Alifuru, memang adalah manusia hutan yang mampu melintasi lautan
antar pulau kepulauan Maluku. Hutan – juga lautan, yang telah merapatkan
perilaku manusia Alifuru untuk lekat dan selamanya ada bersama dan selalu
dengan hutan.
No comments:
Post a Comment