Wednesday, October 16, 2019
“Dunia Terbalik” Ada Juga Di Maluku
Ilustrasi “Dunia Terbalik”(Foto;@embun01)
Di hampir seluruh pelosok Maluku, pulau-pulau makin
disesaki dengan kehadiran warga pendatang yang lalu menetap selamanya. Khususnya
di pulau Seram, Buru, dan Aru, didatangkan melalui program
transmigrasi yang difasilitasi pemerintah, serta pendatang mandiri. Mereka
berasal dari wilayah barat Indonesia, rata-rata mereka memiliki kemampuan
teknik bertani untuk pertanian tanaman pangan, maupun perkebunan, maupun
nelayan dengan teknik penangkapan yang lebih baik. Selain pandai dan mampu
berdagang, juga kreatif berinovasi memanfaatkan Sumber Daya Alam(SDA) lokal
Maluku menjadi bernilai ekonomis.
Dari waktu ke waktu, secara ekonomi terlihat lebih makin
merajai kehidupan sosial, hingga mampu dan makin jauh mengungguli warga
pribumi, Mulai dari kesejahteraan hidupnya, pendidikan anak keturunannya, ikut
rebutan porsi anak-anak Maluku di perekrutan pegawai pemerintahan
daerah, polisi dan tentara. Dunia politik praktis pun sudah makin bebas
dirambah. Ekonomi pasar dan badan usaha, sudah jauh tinggalkan posisi warga
setempat. Suatu contoh paling sederhana, seperti sayur, harus dibeli dari para
pendatang, mereka yang menanam mereka juga pedagangnya, pembelinya pribumi
Maluku.
Dunia Terbalik tidak saja cerita fiktif senetron di layar
televisi, tetapi benar terbukti sedang booming dan trendy berlangsung
di bumi Maluku. Suatu ketika – dua tahun lalu, dari pulau Ambon ke pulau Seram,
selepas dermaga feri Waipirit sempat singgah di pasar Gemba. Betapa aneh
suasananya, pikiran melayang seakan mengira sedang berada di pasar Turi
Surabaya. Nanti setelah lanjut perjalanan dan melewati jembatan sungai ke arah
timur dan bertemu negeri Kairatu, baru kembali sadar ternyata masih sedang
berada di pulau Seram – Maluku.
Lalu apa yang salah dengan warga – akar rumput, pribumi
Maluku? Mesti dibedakan antara kondisi kehidupan warga masyarakat
biasa dengan para pejabat dan mantan pejabat – seperti gubernur, bupati, kepala
dinas, pegawai negeri golongan atas, dan anggota DPRD(Reformasi), merekalah
yang sudah sangat sejahtera, karena melimpah dan malah menyebar kekayaannya.
Berbanding terbalik antara pejabat dan warga pendatang, dengan masyarakat pribumi
umumnya, bak bumi dan langit di tanah air berlimpah kekayaan SDA – nya. Realita
yang mungkin canggung disuarakan seperti ini, tapi disadari dan tentu diakui
oleh penyimak non pragmatis dan bebas dari asupan paham primordial.
Di kesempatan dan saat yang sama terdengar
suara teriakan ; Maluku Miskin, ya MM - masih ada kemiskinan di Maluku. Sasaran
salah, dengan ditimpahkan kepada satu pihak – pemerintah pusat, Pempus – tidak
awalan “ma” apalagi akhiran “os”. Alasan paling “canggih” adalah karena minim
pembagian anggaran ke daerah. Peminat warung kopi pun ikut bersuara, beda
pandang – mungkin karena duduknya di sudut, katanya para pejabat daerah
terlihat tidak sama sekali ada yang sama terbukti ikut serta miskin seperti
sebagian rakyat Maluku. Malah ada yang sampai berulang menjabat, kalau tidak
lagi maka dibagikan, atau diregenerasikan jabatan-jabatan politiknya
secara adil dan merata kepada istri, anak, maupun saudaranya, karena sangat
cukup tabungannya untuk membiayai anggaran kontestasi politik electoral lima
tahunan yang syarat money politics –
berderma saat butuh suara rakyat.
Apa yang sudah para pejabat itu lakukan untuk merubah
mental dan perilaku pribumi Maluku – diistilahkan bermental ambtenaar, yang
terbaca telah menghasilkan perubahan karakter untuk bertaruh unggul dengan para
warga pendatang, sehingga tercipta keseimbangan atau sampai melebihi para
pendatang? Adakah perjuangan mereka untuk melindungi dan menyelamatkan praktek
perampokan, melalui politik penghilangan hak untuk menganeksasi kepemilikan SDA
bumi Maluku, atau pernahkah menyuarakan protes terhadap sejumlah regulasi dan
kebijakan Pempus yang diskriminatif yang merugikan kepentingan pembangunan
Maluku. Atau malah alih cerdas dengan berpola pikir dan laku seakan “Opas
Walanda” bagi pemerintah pusat. Setuju begitu saja untuk mengurus isi laut dan
menggunduli hutan-hutan alam – warisan nenek moyang, yang abadi dari ribuan
tahun sebelumnya.
Setidaknya kebijakan protektif seperti apa
yang pernah dilakukan dan realitanya adakah contoh konkritya? Dengan demikian
tidak ada alasan untuk mengatakan telah terjadi KKN – kolusi, korupsi, nepotisme,
berjama’ah di kalangan pejabat publik di Maluku selama ini guna memakmurkan
diri sendiri. Sebab nyatanya mereka telah bersungguh-sungguh berbuat,
sebaliknya hanya rakyat Maluku yang salah, karena tidak mau patuh dan atau
tidak ingin berubah “tabiat” agar lebih baik. Tidak lagi phobia - ketakutan, terhadap
siapapun pendatang dan tidak merasa termarjinalkan di negeri tanah air sendiri,
Maluku.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment