Suatu hari di bulan juni setahun lalu, ketika sedang terjebak macet –hampir
setengah jam sudah di tengah jalan Jenderal Sudirman Jakarta. Tiba-tiba dikejutkan
raungan bunyi serine motor patroli polisi jalan raya yang biasa mengawal
pejabat negara. Datang dari arah belakang di jalur cepat, mendekat dan berhenti
sejajar motor yang beta kendarai di
jalur lambat. Ternyata sedang mendatangi mobil yang berada di samping kanan
agak di depan dari posisi beta. Semua kendaraan memberi ruang bagi mobil patroli
polisi lewat. Tidak lama, satu mobil jenis sedan mewah – kelas kendaraan
pejabat tinggi negara(Indonesia), yang sebelumnya sama-sama terjebak macet, keluar
dari antrian lalu mengikuti kendaraan polisi pengawal. Nomor polisi dan kode
pada plat berwarna merah mobil itu
tertulis “RI” berikut dua angka.
Nomor
mobil yang sangat beta kenal, sebab pernah menaiki mobil tersebut hanya berdua bersama
supirnya – dari anggota militer kesatuan khusus, karena sang pengguna utama
yang menyuruh. Sedang yang bersangkutan menggunakan mobil lain. Sore hari di bulan
Maret tahun 2007, selepas jam kantor dan hendak pulang bersama ke kediaman
pribadinya di daerah Condet. Dari posisi kantor – gedung ITC, di ujung utara
jalan Abdul Muis – samping kanan depan Istana Negara Jakarta pusat, hingga
daerah Condet Jakarta timur, butuh waktu hanya kurang dari dua puluh menit yang
dalam kondisi normal bisa sampai satu jam.
Seperti
yang beta saksikan setahun lalu, begitu pula yang pernah beta alami – pertama
dikawal motor dan yang kedua dengan mobil patroli, dan nikmati fasilitas khusus
dengan perlakuan sangat istimewa yang
diberlakukan menurut tata aturan protokoler kenegaraan untuk kendaraan mobil dinas
dengan nomor polisi bertanda RI. Kode RI – Republik Indonesia, diperuntukan
khusus bagi pejabat tinggi negara. Seperti mobil Presiden Republik Indonesia berkode nomor; RI 1, Wakil Presiden ; RI 2,
dan seterusnya, hingga termasuk nomor yang dimaksud adalah khusus mobil Ketua
Komisi Yudisial Republik Indonesia(KY RI). Namun tidak digunakan Ketua KY –
sebab alasan intern, tetapi oleh Wakil Ketua KY. Dan karena kedekatan secara pribadi dengan sosok
Wakil Ketua KY, bukan mobilnya tetapi perlakuan khusus dan istimewa yang walau hanya
satu kali, pernah beta nikmati.
Seminggu
lalu, ketika sedang menata ulang buku-buku, majalah, kliping koran, dan
berbagai dokumentasi tertulis lainnya, kembali
diingatkan kepada peristiwa tersebut di atas beserta sosok sang tokoh Wakil
Ketua KY, plus kisah anekdot “Opas
Walanda”. Hal itu karena di lemari buku terdapat adanya buku biografi tokoh
yang bersangkutan yang diberikan kepada beta enam tahun lalu.
Biografi M.
Thahir Saimima, S.H,. M.H., berjudul ; PUTRA NEGERI SIRISORI ISLAM, DARI
UNIVERSITAS PATTIMURA UNTUK MALUKU DAN INDONESIA, dengan kata pengantar oleh
Dr. La Ode Ida – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah(DPD) Republik Indonesia.
Buku setebal 469 halaman berbahan kertas lux.
Diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia, Jakarta 2010.
Biografi M. Thahir Saimima, S.H,. M.H.,
PUTRA NEGERI SIRISORI ISLAM, DARI UNIVERSITAS
PATTIMURA UNTUK MALUKU DAN INDONESIA
Biografi, Politik, dan Hukum
Biografi M. Thahir Saimima SH.,MH., figur dengan
jabatan teras kenegaraan sebagai Wakil Ketua Komisi Yudisial Republik Indonesia.
Satu dari sedikit Orang Maluku di pentas nasional sebagai pejabat tinggi negara.
Lahir di negeri Sirisori Islam pulau Saparua, 20 Juni 1953. Setelah lulus
Fakultas Hukum Universitas Pattimura
Ambon, dipilih jalur praktisi hukum untuk aktifitas pengembangan karier
dan hingga memasuki dan menjalani kanca dunia politik. Status yang sudah
dijalani beberapa waktu sebelum lulus kuliah, yaitu sebagai Aparat Sipil
Negara(ASN) – d/h PNS – Pegawai Negeri Sipil, ditinggalkan guna jalani profesi
sebagai Pengacara Praktek/Penasehat Hukum. Mundur diri dari ASN demi memenuhi
persyaratan memperoleh status sebagai Advokat pada tahun 1986, dan merupakan orang
pertama di Maluku yang memperoleh status tersebut.
Biografi yang tidak sekadar cerita tentang hal-hal
terbatas perjalanan hidup pribadi yang bersangkutan, tetapi menampilkan dan menerangkan
tentang sebuah cita-cita besar, buah pikiran – ide, dan gagasan. Yang sangat
menarik dan membuat luar biasa tentang sesuatu yang dipikirkan di masa awal, terbukti
di kemudian hari dapat diraihnya. Lalu dengan posisi “kekuasaan” dalam
genggaman, sesuatu itu dapat diperjuangkan maksimal, hingga membuahkan hasil
nyata. Bahkan sampai diimplementasikan dengan dieksekusikan dalam praktek
sebagai penyelenggara.
Ide dan
gagasan yang merupakan materi skripsi untuk meraih gelar sarjana Strata Satu(S1/Sarjana
Hukum) pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura. Ternyata terbukti dapat difinalkan melalui keberadaan posisi
sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tahun 1999-2004,
dari
daerah pemilihan Maluku.
Komitmen
awal, sesaat sebelum dilantik sebagai anggota DPR-RI, dibangun bersama lima
belas orang anggota DPR-RI berlatar belakang profesi sama sebagai Pengacara
praktek atau Penasehat hukum dan Advokat(hal.96-98)
– satu diantaranya ; Hamdan Zulva yang kemudian menjadi Ketua Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia. Kesepakan bersama yang hanya ditulis tangan dan
ditanda tangani bersama, berisi empat poin, dan salah satu poin penting adalah
penataan kembali sistem peradilan. Kesepakatan tersebut dinyatakan ketika berada
pada Komisi II DPR – Komisi yang membidangi pemerintahan, hukum dan HAM,
pertanahan, dan aparatur negara, sekaligus sebagai anggota Badan
Legislasi(Baleg) dan Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) dan Panitia
Kerja(Panja). Berbagai masalah hukum, politik, dan pemerintahan, serta khususnya
berbagai produk perundang-undangan untuk penataan sistem peradilan berhasil selesai
dibuat(hal.165-166).
Lepas
dari faktor kedekatan – nepotisme, yang sering dan sudah umum dalam merekrut
kader partai politik, tetapi syarat kwalitas dan kapasitas pribadi yang
direkrut jadi taruhan untuk dapat dibuktikan, sehingga kesan dan hingga muncul tuduhan
nepotisme benar-benar tidak terbukti. Merupakan hal lain yang jadi catatan di
awal karier politiknya, ketika sambil
berpraktek hukum, direkrut masuk ke dalam dunia politik praktis. Adalah Abdul
Azis Imran Pattisahusiwa sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Partai Persatuan
Pembangunan(DPW.PPP) Maluku - masih bersama Maluku Utara saat itu, yang juga
satu kampung – negeri, sama-sama dari negeri Sirisori Islam, diajak bergabung dengan
status vote getter dalam Pemilihan Umum(Pemilu) tahun 1982. Selanjutnya masuk
dalam struktur kepengurusan partai dan serta menduduki jabatan sebagai Ketua
Generasi Muda Persatuan(GMP) Wilayah Maluku – organ sayap(underbow) PPP.
Melalui momen peringatan Hari Ulang Tahun(HUT)
GMP di tahun 1987, beta berkesempatan ditunjuk sebagai Ketua Panitia. Seluruh
kebutuhan dana untuk biaya kegiatan ditanggung secara pribadi oleh Pak Tha –
beta biasa menyapanya. Setumpuk kegiatan baik sosial maupun pertandingan olah raga dan perlombaan
seni beta gagas, dan sukses diselenggarakan. Saat itu tempat pelaksanaan dipusatkan
di lapangan Merdeka Ambon, berlangsung selama seminggu penuh. Pertandingan olah
raga gawang mini pada pagi dan sore di lapangan bola kaki, dan malam hari berbagai
mata lomba seni dipentaskan di tribun lapangan Merdeka. Pemakaian lapangan
Merdeka atas izin tertulis dari Ketua Komda PSSI Maluku ; Oni Wattimena. Siang-malam selama
seminggu, lapangan Merdeka digunakan beraktifitas oleh GMP, yang dengan melibatkan peserta laki-laki dan perempuan,
anak-anak, remaja, dewasa, dari beragam latar belakang strata sosial, ekonomi, (partai)politik,
maupun agama, di kota Ambon. Momen paling “demokratis” di zaman rezim Orde Baru
– Golkar, berkuasa.
Dari sini
– momen HUT, sepengamatan beta telah ikut berkontribusi menunjang jejak langkah
karier politik yang saat itu mulai dibangun, dan ternyata berjalan mulus serta sukses.
Selain cerdas, kokoh, dan sukses dalam menjalankan profesi utamanya sebagai
Advokat, jenjang karier politiknya terus menanjak menjadi salah satu tokoh muda
politisi Maluku yang diperhitungkan. Berturut-turut, setelah masuk dalam
kepengurusan PPP Wilayah Maluku, kemudian terpilih sebagai anggota DPRD Maluku(1992-1997)
dan (1997-1999). Tahun1997 ditunjuk sebagai penjabat Ketua DPW. PPP Maluku. Pada
Pemilihan Umum 1999, terpilih sebagai anggota DPR RI, serta terpilih sebagai
Ketua DPW. PPP Maluku dalam Musyawarah Wilayah PPP Maluku di Jakarta tahun 2000,
ditunjuk sebagai pimpinan Fraksi PPP dalam Sidang Umum MPR tahun 2001 dan
pimpinan
Fraksi PPP di DPR , dan terpilih sebagai Sekretaris Pengurus Harian Pusat Dewan
Pimpinan Pusat(DPP) PPP (2003-2008). Selanjunya di tahun 2005 terpilih sebagai
anggota Komisioner KY-RI, dengan posisi jabatan Wakil Ketua, dengan melepas jabatan
pada partai politik DPP PPP.
Berdasarkan
amandemen ketiga atas Undang-Undang Dasar 1945 pada Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat(MPR) 1-9 November 2001, antara lain membentuk lembaga
baru yaitu Komisi Yudisial. Dalam Pasal 24 B Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945(Amandemen), Komisi Yudisial bertugas untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Selaku
Komisioner dengan posisi sebagai Wakil Ketua, M. Thahir Saimima dengan pengalaman
dan kematangannya di dalam organisasi kader(HMI), partai politik(PPP), dan
praktisi hukum(Advokat), telah berkontribusi maksimal dalam peletakan dasar kontruksi
struktur dan manajemen organisasi serta penguatan kelembagaan Komisi Yudisial.
Opas Walanda
Menarik untuk diangkat, ketika istilah tersebut
berlatar peristiwa lucu dari kejadian nyata suatu ketika pada masa lalu di
Negeri Sirisori Islam(Louhata –nama
adat) – kampungnya M. Thahir Saimima. Kisah ini, kemudian di-copy paste dan disosialisasikan –
diceritakan Pak Tha, saat waktu senggang kepada karyawan KY, yang secara personal berasal dari daerah beda
budaya. Tentu ini sudah di lingkungan formal dan hight class di lembaga tinggi negara Komisi Yudisial, yang ternyata
cerita dimaksud malah berdampak sangat positif karena mampu membangkitkan
semangat dan memicu kemandirian
kemampuan dalam bekerja untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawab yang
diemban. Para karyawan – khususnya staf di bidang tugas pimpinan Pa Tha, tidak
ingin dikatakan seperti Opas Walanda, oleh karena kinerjanya jelek, sering
balik bertanya, atau tidak berusaha sendiri menerjemahkan perintah atau tugas
yang didelegasikan atasannya.
Sebutan Opas
Walanda digunakan untuk mengistilahkan seseorang atau orang lain yang sering
atau bisa disuruh atau diperintah melakukan sesuatu apa saja dengan patuh,
tetapi daya pikir lemah – nyaris bodoh. Istilah dulu saat semasa zaman
penjajahan Belanda. Para pesuruh atau yang diperbudak oleh orang-orang Belanda
disebut Opas, yang bagi orang Maluku
sudah umum dan sering digunakan sekadar
“meledek”, dan sudah tidak dianggap sebagai sindiran yang bermaksud menyakiti,
baik oleh yang menyebut atau yang dituju.
Alkisah, suatu hari Bapa Raja Sirisori Islam
kehadiran tamu, seorang juragan – nahkoda atau jurumudi, sebuah perahu layar
yang sedang berlabuh di pelabuhan negeri Sirisori. Kehadiran juragan perahu menghadap
Bapak Raja untuk melapor kehadirannya dan agar pas jalannya ditanda tangani. Bapak Raja kemudian memanggil Marinyo
– sebutan untuk petugas “Humas”- Hubungan Masyarakat, dalam pemerintahan adat
di Maluku, untuk mengecek kebenaran laporan si juragan langsung pada perahu di
pelabuhan. Sekembalinya Marinyo dari pelabuhan,
kepada Bapak Raja, dia melapor perahu layar tersebut berasal dari pulau
Geser, pulau di ujung timur pulau Ceram. Bapak Raja bertanya lagi, apa
muatannya. Marinyo menjawab tidak tau. Dia balik lagi ke pelabuhan menanyakan
apa muatannya. Marinyo balik melapor bahwa muatannya sagu geser. Bapak Raja
balik tanya, ada berapa ton sagu muatan perahu. Marinyo menjawab tidak tau,
sehingga harus kembali ke pelabuhan bertanya lagi berapa ton muatan, lalu
kembali melapor jumlahnya. Bapak Raja lanjut bertanya, berapa orang anak buah
perahu, Marinyo juga tidak tahu, dia balik lagi ke pelabuhan dan balik melaporkan
anak buah perahu ada sekian orang. Bapak Raja dibuat kesal oleh Marinyo yang
setiap ditanya selalu menjawab tidak tau dan harus bulak-balik bertanya lebih dulu,
akhirnya keluar ucapan Bapak Raja kepada Marinyo ; “ose ini kaya Opas Walanda” – kamu ini seperti Opas(pesuruh)
Belanda.
Cerita di atas sempat diceritakan ulang(hal.396)
salah satu staf KY. Selain itu, tidak sebatas hal-hal pribadi, tetapi banyak
hal umum tentang ilmu dan pengetahuan tentang hukum dan perundang-undangan,
politik, HAM, dan pemerintahan. Juga ide dan gagasan, serta pemikiran, tentang dan untuk Maluku dan
Indonesia. Dan tentu saja anekdot Opas Walanda dari negeri Sirisori Islam “naik
kelas” hingga level KY.
Sepertinya, tidak selalu sesuatu itu berdasarkan
teori ilmiah. Ada saja hal biasa yang terabaikan dan karena tidak dipandang
secara jeli dari suatu budaya dalam keseharian kehidupan sosial. Kadang
tersimpan nilai luhur yang dapat dijadikan pembelajaran moral, apabila dikemas
dengan daya olah yang cerdas dan terampil, dapat saja bernilai positif dan
tidak bakal kadaluarsa atau”kuno”.
Pengecualian bagi beta tidak sepemikiran dengan
sang tokoh, tentang pemekaran wilayah yang masih juga disarankan untuk
dilanjutkan. Karena pemekaran yang cenderung dipaksakan, malah kebablasan. Dapat
berakibat makin melebarkan retakan ikatan budaya dan sosial masyarakat Maluku
yang untuk hal tertentu sangat eksklusif menjadi mudah terakulturasi. yang makin
mudah melemahkan hingga menggerus makna falsafah ke-Maluku-an, yang bisa jadi akan
kehilangan identitas jati diri sesungguhnya sebagai kesatuan orang Maluku. Belum
lagi muncul persaingan hingga perseteruan batas wilayah karena keakuan dan
egosentris kedaerahan sebagai daerah baru. Maka itu, ide dan gagasan pemekaran
wilayah yang sebegitu masif dengan alasan rentang kendali sebagai wilayah
kepulauan, dan agar kucuran dana dari pemerintah pusat makin besar – terbukti
APBD Provinsi dan kabupaten/kota di Maluku yang sekarang pun masih saja “tekor,
minus, defisit”, akibat minimnya(sangat sedikit) alokasi dana dari pemerintah
pusat. Belum lagi diperparah ketidak mampuan pemerintah daerah meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah(PAD). Maka itu, bukan solusi utama apalagi dianggap tunggal – tidak lain kecuali pemekaran.
Jangan-jangan nanti di Maluku malah muncul pengganti istilah opas walanda
menjadi opas Indonesia, akibat Maluku telah pecah dan terurai hingga makin
lemah dalam posisi tawar, akhirnya kehilangan segalanya.
Selebihnya, inilah figur langka dari timur
Indonesia, yang mestinya masih dibutuhkan untuk tetap eksis mengisi formasi
dalam struktur yang relevan di negara ini. Sekalipun seperti diakui sendiri
oleh Dr. La Ode Ida(Kata Pengantar;hal.iv),
bahwa “persoalannya adalah pengaruh dari
dominasi kultur di negeri ini, diakui atau tidak, selalu meniscayakan
terabaikaannya figur-figur dari kawasan yang budayanya secara politik
kebangsaan diposisikan marjinal.”
Kampung Bulak, 08 November
2019
M. Thaha Pattiiha
No comments:
Post a Comment