Gong Perdamaian Dunia di KM 0 Kota Ambon (Foto Dok.Pribadi/2017)
"Tangan-tangan Setan" ikut
memainkan peran demi kepentingan politiknya, dengan mengorbankan masyarakat
biasa. Peristiwa yang sebelumnya hanya berlangsung di kota Ambon, kemudian
meluas ke seluruh wilayah Kepulauan Maluku. Menjadikan masyarakat
terpecah-belah dalam 2(dua) komunitas berdasarkan agama yang dianut. Tragis!
"Perang" antar masyarakat
sipil terjadi berlarut-larut tanpa kendali berarti dari pemerintah dan pihak
aparat keamanan. Hampir tiga tahun (1999 - 2001) berlangsung, mengakibatkan
ribuan orang menjadi korban dan mati sia-sia, harta-benda rusak, hilang lenyap,
pengungsian di mana-mana. Tragedi kemanusiaan yang kemudian
menjadi berita di seluruh dunia.
Di
pusat kota Ambon (Km 0) dibangun Monumen Peringatan dalam bentuk sebuah Gong
berukuran besar dengan nama "Gong Perdamaian Dunia".
Melalui puisi, situasi itu direkam, digambarkan, dan sekaligus sebagai catatan
peristiwa, dengan maksud agar mengingatkan setiap Orang Maluku dan siapapun, jangan pernah lagi ada
kejadian memilukan dan tolol seperti itu di kemudian hari.
kehidupan tidak pernah berlabuh
akan terus beriak mengikuti gelombang
tapaknya tak pernah terukur waktu
tak juga pernah singgah berlama-lama
hanya kenangan yang bercerita
ada tidaknya sesuatu yang terungkap
lebih dari sekadar harapan-harapan
karena ada sisi yang saling beda
pada begitu banyak yang kita pernah kenal
waktu akan dan masih saja kita lalui
sebagian tanpa makna
biarlah menjadi musik tengah malam
agar kita mampu menjemput pagi
dengan langkah-langkah pasti
Jakarta, 7 Juni 2002
DARI CATATAN KOTAKU
hari berbulan-bulan
ganti ke tahun
selalu kuhitung dan
terus menghitung
belum juga angka terjumlah
belum selesai
maut meradang
nyawa-nyawa
bulan ini masih ada
korban
lebaran ini setahun halaman-halaman
kematian kutulis,
berlembar-lembar kertas
habis dibakar dikoyak
seperti berita
kabar, lalu kabur
sedang kematian masih
saja terbaca
kubagi ruang tanpa sekat
untuk membaca wajah
kotaku
semua telah runtuh
dengan sebatang arang
kulukis matahari
siang tak berbeda dengan
matinya hati
dan malam gelap
menghadang
pada rasa takut yang mengerikan,
……………………………………..
aku masih terus mencatat
TRAGEDI (I)
(Sio Amboina)
hamparan kebun cengkih
dan pala
kuning gandaria seenak
rujak natsepa
hitam manggustang
senikmat durian
kusu-kusu, gurih
cakalang asar hative
adalah biduk, alam teluk
kota pantai
bagai tabir di bibir gelombang
riaknya kini tak tentu
batas pulau
sepanjang tahun hanya
badai dendam
bersama musim terus memburuk
keringkan daun pala dan
kembang cengkeh
menenggelamkan
jaring-jaring pelaut
menceburkan kembali
mutiara penyelam
tragedi kota renta
sisakan ujung parang
dan moncong pipa
tumbal nurani dan mimpi
yang tergadai
yang menang hanya benci
kalah menata dendam
amboi
sio, amboina
Jakarta, 1999
"Klik" Iklan untuk DONASI
TRAGEDI (II)
( Kepada
Merah dan Putih)
ose biking beta balas
ose datang beta sambut
ose hela beta kokang
ose papar beta labrak
ose basa beta lari
(ah, cili kata halia)
Jakarta Januari 1999
Prasasti Kota Laut
rimba beton panggungkan
seteru
hutan sampah taburkan
pongah
batang arang
menoreh keluh
di tanah datuk ;
jala telah ditebar
di laut keruh
berkarang
kusut dan
sobek
( perlu beratus tahun
merapikannya kembali )
Ambon, 7 Oktober 2002
SANG KAPITANG
dari tugu trikora jalan
a m sangaji
ia berlari menyongsong
maut
parang dan salawaku
bersilang di dada
satu nyawa menantang
pasukan manusia
beta kapitang alifuru
siapa berani, maju !
dari gang sempit
pertokoan, menyalak
senjata rakitan
dua butir peluru
menembus dadanya
TELAH ROBEK SELIMUT GANDONG
telah robek selimut
gandong
tercampak di dulang
patita
menggantung satu-satu di
pagar salele
helai –helai kain dibuat
sumbu
benangnya jadi pemicu
hari
hari membosankan dan
panjang
telah robek selimut
gandong
ketika pagi menapak
senja
hambar sudah sepotong
sagu lengpeng
dalam liarnya mainan
bola mata
bahkan jantung kadang
tak lagi
mengalirkan kehidupan
karena bayang-bayang
sekarat
telah robek selimut
gandong
dawai pemakaman telah berdenting
sendiri mengiring sunyi
kesendirian
oleh airmata basudara
tanpa raga
telah robek selimut
gandong
air mata di malam nan
merana
akankah mengalirkan
dendam anak beranak
telah robek selimut
gandong
telah dijadikan ikat
kepala
warna warni
Jakarta
Januari 1999
MARAH PUTIH MERAH MARAH
suara suara suara
mereka terus berteriak
lantang lalu menusuk
sebuah hati semua
jantung
lunglai terkapar ke
tanah
telanjang tubuh tubuh
saling cabik lain
merebut
balada mesum di kamar cakrawala
tertawa-tawa sahut
sahutan
desis nyawa meradang
perang berperang sesama
mata dan bibir siapa
peduli siapa pula
api terus menyala di
ufuk
mau berhenti belum
selesai
ini tanah bersumpah
darah
merah karena marah
putih merah tanah
memerah
TENTANG MAKNA KEMATIAN
(kepada para korban kerusuhan Maluku)
tubuh itu telah terbujur
diam
di badan jalan medan
sengketa
siapa dia ia masih muda
ini bukan korban
penghabisan
mestikah berapa lagi
hingga selesai hitungan tumbalmu
di tanah ini semua
adalah pesakitan untuk
dikoyak, dalam
selubung makna rahasia
semu, tapi terencana
kematian adalah
keniscayaan
kematian adalah milik Tuhan-mu
kematian adalah upacara
sakral
tidak untuk sesa’at
tidak untuk apapun
oleh siapapun
Jakarta
Desember 2000
ODE BUAT SAHABAT
(
kepada almarhum Ali Tuanaya)
rumah dan kamar ini
telah lama
tertinggal sepi berdebu
sunyi dari suara
perbincangan malam
saat siang pun tak tentu
kapan
karena janji hanya
terhubung
pada sinar lampu di
jendela kamar
telah kita urai ragam
kemunafikan
seisi perut negeri ini
bukit kecil kampung
airsalobar
tidak juga menjadi
datar karena suara kita
meski telah ditimbun
bartahun tahun
dengan abu rokokmu yang
tak pernah
dibuang di asbak
tahun ini aku ke makammu
membaca kisah
sambil menyaksikan
kehancuran kota kita
Ambon
Desember 2000
Di Plaza Kota
malam-malam lamunkan
kota
kubidik panah masa masa
lalu
dengan membanding
sempitnya ruang main
kota hanya seputar
pandang
di ujung tanah
ada barikade terbidik
menjaga pasar yang buka
siang malam
mengobral asa tanpa
label
tanpa kemasan
Ambon,
2001
Ini Kota Milik Siapa
kota ini telah dikaramkan siapa
jadi sebongkah tragedi ilusi dan
mimpi
jiwa-jiwa dipasung bagai ikan asin
dibelah dari kepala hingga ekor
digarami dikeringkan matahari
diberaki lalat
tetapi dirasa enak dan gurih
entah siapa
mereka di kota ini
mereka menabur dengki dalam gelap
lalu bertanya-tanya di ujung jalan
setelah ini kemana lagi
menjemput sasaran berikutnya
kota ini sengaja dimusnahkan
untuk ladang perburuan ragam
ambisi
menjadi padang main
binatang liar warna-warni
yang hitam bisa putih
birupun meniru warna laut
pada mata siapa memandangnya
hanya daftar perburuan yang
terbaca
Ambon,
desember 2001
-- 0 --
No comments:
Post a Comment