Oleh ; M. Thaha pattiiha
Adat adalah tatanan budaya yang hidup dan berkembang serta telah diakui dan ditetapkan sebagai aturan untuk dilaksanakan secara bersama-sama dalam komunitas suatu masyarakat yang bersangkutan.
Adat adalah tatanan budaya yang hidup dan berkembang serta telah diakui dan ditetapkan sebagai aturan untuk dilaksanakan secara bersama-sama dalam komunitas suatu masyarakat yang bersangkutan.
Bahwa tidak ada adat yang sempurna, sama saja dengan mengatakan tidak ada budaya yang lengkap, bahkan dalam peraturan perundang-undangan pun tidak sesempurna sesuai yang diinginkan semua orang. Tetapi tetap harus dihormati dan dipatuhi, bilamana sesuatu itu telah menjadi kesepakatan dan membudaya dalam rentang waktu yang telah lama.
Menilai positif-negatifnya suatu tatanan adat, relatif sifatnya. Yang demikian sama halnya dengan membongkar masa lalu menurut kepentingan masa sekarang, kemudian dianulir demi alasan – utamanya, kepentingan.
Sejatinya adat-istiadat tidak dipandang dengan kacamata politik kekinian, tidak oleh karena demi kepentingan sepihak apa lagi bersifat kelompok tertentu atau pribadi.
Negara Republik Indonesia secara formal mencantumkan keberadaan masyarakat (hukum) adat di dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, mengakui dan menjamin hak-hak
tradisional masyarakat yang masih hidup dan diakui. Konstitusi negara mencantumkannya, dimaksudkan agar tatanan
adat di masing-masing daerah di Indonesia, daerah provinsi serta
kota/kabupaten, wajib memelihara, mengembangkan, dan mempraktekkan tata aturan
adat yang menjadi tatanan kehidupan komunitas masyarakat. Adalah sebagai penghormatan negara, karena adat lebih dahulu ada bersamaan dengan masyarakat bangsa suatu negara. Adat hadir lebih dahulu dari konstitusi suatu negara, adat lebih tua dari tatanan kehidupan suatu negara, demikian juga dengan negara Indonesia, sehingga mencantumkan perlindungannya melalui aturan ketatanegaraan untuk tetap terselenggara oleh negara setidaknya sebagaimana awal-mula adanya.
Di Maluku, pemerintah provinsi telah
menetapkan Perda Negeri Adat melalui Peraturan Daerah
Provinsi Maluku Nomor 14 Tahun 2005 tentang Penetapan Kembali Negeri Sebagai
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dalam Wilayah Provinsi Maluku. Dan ditindak
lanjuti dengan Perda Nomor 07 Tahun 2011 tentang Penguatan
Kapasitas Kelembagaan Negeri, guna memfasilitasi penguatan Kelembagaan
Negeri Adat. Didalam Perda disebut “Negeri” adalah
istilah yang resmi digunakan, selain nama lain yang sejenis dengan kesatuan
masyarakat hukum adat Negeri yang terdapat di daerah lain dalam wilayah
Pemerintahan Provinsi Maluku, seperti Ohoy, Kampung, Pnue, Lekke dan
atau nama lain.
Masyarakat Dunia, melalui Sidang Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) di Markas Besar di New York, Amerika
Serikat tanggal 13 September 2007, menghasilkan Deklarasi
Perserikatan Bangsa‐Bangsa tentang Hak‐Hak Masyarakat Adat, sebagai pengakuan dan
sekaligus pengukuhan terhadap keberadaan Masyarakat Adat di seluruh
dunia. Deklarasi yang sangat tegas dan jelas, dan Indonesia satu dari 148
negara yang ikut menandatangani Deklarasi dimaksud. Dengan demikian, secara resmi Masyarakat Adat Bangsa Alifuru telah resmi terdaftar di PBB
pada awal bulan Desember 2015, sudah diakui deklarasi tersebut.
Inilah bentuk pengakuan dan penghormatan
pemerintahan dunia modern dalam kesatuan tata kehidupan bernegara dan
berbangsa, untuk menghormati, memelihara, mempraktekkan, serta mengembangkan
potensi kekayaan kearifan lokal, terhadap tatanan adat Alifuru yang telah
menjadi pengetahuan dan budaya di masyarakat asli kepulauan Maluku, khususnya
dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan di tingkat negeri.
All-the-34-rajas-of-ambon-pati-and-orang-kaya-about-1920
(doc.raja-leonard-l-rehatta-of-soya/google)
Pemukiman
Alifuru
Penduduk
asli yang mendiami kepulauan Maluku sejak ribuan tahun lalu adalah suku-bangsa Alifuru. Masyarakat suku-bangsa Alifuru sebelumnya hanya mengenal
kehidupan ketika berkumpul bersama adalah dalam satu bangunan rumah besar yang
disebut Baeileu. Baeileu, kata(sebutan) aslinya sesuai ucapan bahasa tana(h) - bahasa ibu bangsa Alifuru, adalah “(a) paei-leu” yang berarti panggil pulang. Rumah tempat berkumpul
atau tempat kembali pulang dari suatu perjalanan kemana-mana atau sebagai tempat beristirahat, maupun sebagai "titik kumpul" ketika waktu malam tiba, bagi semua anggota keluarga.
Suku-bangsa
Alifuru sangat mementingkan kehidupan bersama dalam satu keluarga dan bersama
dalam kelompoknya, sebagai cara pengamanan keselamatannya dari kelompok yang
lain. Karena pada masa itu, kehidupan masih sangat liar, hutan, lembah, bukit dan pegunungan juga pesisir pantai,
serta perairan, adalah wilayah bebas nilai. Hukum
rimba berlaku, siapa kuat – perorangan atau kelompok, dia yang
berkuasa. Selalu ada duel-maut adu kekuatan antara dua atau
lebih orang, mengandalkan kemampuan pada ketangkasan, kekuatan dan kekebalan
tubuh yang disebut Kapitang.
Yang kalah duel, kepala lawannya akan dibawa pulang untuk dipajang di rumah
adat – Baeileu, serta pada “Mahkota”- ikat
kepala ditambahkan satu helai bulu burung. Menandakan jumlah sudah berapa
orang musuh yang dikalahkan. Demikian juga peperangan antara kelompok-kelompok
suku–bangsa Alifuru, guna merebut dan menguasai suatu wilayah atau karena sebab
tertentu, juga kebutuhan akan persembahan dalam ritual adat dan kepercayaan
yang harus dipenuhi dengan “darah dan kepala manusia” lain dari luar kelompoknya.
Sehingga
untuk itu model kehidupan masa lalu suku-bangsa Alifuru, hanya ada dalam satu
rumah, atau bangunan besar yang didiami oleh banyak anggota keluarga. Kadang
bila perlu, harus berpindah lokasi tempat tinggal sesuai kondisi keamanan hidup
dan karena kebutuhan makanan bagi anggota keluarga atau kelompoknya, selain
karena masih sangat sedikit dan jarang jumlah manusianya di alam yang masih
sangat luas dan cenderung masih bisa bebas memilih untuk bertempat tinggal di
mana saja.
Pemukiman
dimulai bisa oleh hanya satu keluarga mata-rumah atau rumah (uma, luma)-tau juga marga – sebutan lain, tertentu atau pun
secara bersama-sama dalam beberapa mata-rumah yang bergabung, oleh faktor
kebersamaan maupun kedekatan adanya kesatuan fungsi terpakai dalam struktur
jabatan kelompoknya di wilayah milik atau penguasaan. Bila pun pemukiman diawali
dengan satu mata-rumah, tetapi kemudian
selalu akan bergabung anggota kelompok terdekat dalam satu kesatuan
intern mata-mata rumah hingga
terbentuk suatu komunitas mata-rumah yang bernama soa. Model pemukiman demikian perkembangannya lamban dan hanya
terbentuk pemukiman setingkat Nama
atau dusun, dan mata-rumah paling awal
bermukim akan diangkat sebagai pemimpin dengan sebutan Kepala
Soa.
Bilamana
dibentuk langsung secara bersama oleh beberapa mata-rumah, berarti itu akan dipimpin
langsung seorang Kapitang, karena
sebab dan alasan tertentu, baik disebabkan sejarah kepemilikan dan kekuasaan
atau alasan pertahanan wilayah. Model ini, perkembangannya cepat menjadi
beragam mata-rumah, akibat perkawinan dimana karena perempuan(istri/ibu) adalah
matrilineal yang mengikuti mata-rumah suami, dan selanjutnya anak keturunannya akan menyandang nama atau mengikuti
mata-rumah laki-laki(suami/bapak) karena bapak bersifat patrillineal. Hal yang sama terjadi pada bentuk pemukiman pertama
di atas.
Dapat
juga sebuah Ama, aman, yama atau yamano, sebutan
bisa berbeda oleh adanya dialek setempat untuk menyebut sebuah kampung
besar atau negeri – sebutan sekarang, bermula terbentuk dari beberapa Nama atau Dusun yang sudah lebih dulu berdiri dalam wilayah kekuasaan sang
Kapitang. Walaupun
wilayah pemukiman baru, struktur adat masyarakatnya tetap pada tatanan adat
masyarakat Alifuru, dimana pemimpinnya adalah oleh orang dari mata-rumah Kapitang.
"Klik" Iklan untuk DONASI
Perkembangan
waktu diikuti pertambahan jumlah manusia suku-bangsa Alifuru dan ketika mulai
tersentuh manusia pendatang dari luar wilayahnya, perubahan pola hidup pun
terjadi dengan tidak lagi hidup berpindah-pindah. Tetapi mulai menetap
seterusnya dalam suatu wilayah tertentu
yang dipilih, kemudian menyelenggarakan suatu tatanan hidup bersama dengan
tata aturan menurut pemahaman dan pengetahuan suku-bangsa Alifuru, yang
diyakini kebaikannya, disepakati dan disetujui bermanfaat oleh komunitas
bersangkutan.
Struktur
yang terbentuk kemudian dalam sebuah Ama - Aman,
Yama (yamano), yaitu suatu perkampungan besar, secara adat suku-bangsa
Alifuru awalnya dipimpin oleh seorang
Kapitang Besar sebagai penguasa, yang kemudian menjadi Mata-rumah Raja atau rumah-tau parenta di kemudian hari. Jabatan posisi ini secara turun-temurun
menjadi hak mutlak mata-rumah bersangkutan yang tidak dapat digantikan oleh
mata-ruma lain, kecuali karena alasan tertentu oleh mata-rumah Raja kemudian
bisa saja menunjuk seseorang dari mata-rumah lain untuk sementara waktu memegang
jabatan raja, sama halnya dengan jabatan lain dalam struktur adat kekuasaan
pemerintahan Yama bersangkutan.
Sesungguhnya
di kehidupan masa lalu suku-bangsa Alifuru atau Upao – sebutan lain dalam
bahasa Alifuru, tidak dikenal sebutan “Raja” untuk pemimpinnya, tetapi Kapitane-ela’o
atau Kapitang Besar sebagai penguasa
suatu wilayah tertentu, di dalamnya
terdapat pemukiman atau perkampungan-perkampungan masyarakat Alifuru. Saat ini
dikenal dengan nama Hak Petuanan
yaitu hak kekuasaan atas suatu Insa
atau wilayah tanah – hutan, yang lebih
luas melebihi batas pemukiman yang ditempati. Dalam kiasan, hak petuanan
melebihi batas pandang gunung dan tanjung, seperti tak terbatas karena luas
atau jauhnya hak petuanan.
Baeleu -(a)paeleu ; rumah adat keluarga Alifuru
Terbentuknya
Negeri Adat
Terbentuknya
Negeri-negeri Adat, dimulai seiring
pengaruh dari luar, yang terjadi ketika
kerajaan-kerajaan besar dari wilayah bagian barat kepulauan Nusantara,
mencoba meluaskan kekuasaannya hingga ke kepulauan Alifuru - Maluku, hingga pada
masa kepulauan Maluku terjebak ratusan tahun dalam kerangkeng kekuasaan bangsa
Eropa, karena kepemilikan kekayaan hasil bumi rempah-rempah yaitu cengkeh dan
pala.
Perubahan
luar biasa adalah saat kepulauan Maluku diduduki dan dikuasai oleh bangsa
Belanda sebagai penjajah. Pemukiman suku-bangsa Alifuru yang sebelumnya
sebagian besar masih bermukim di perbukitan dan pegunungan, marak dibangun
pemukiman baru hampir di semua pesisir pantai pulau-pulau. Menjadi terbuka dan
tentu saja jadi terpengaruh dengan kehadiran para pendatang, yang datang
sendiri atau didatangkan oleh penjajah Belanda. Belanda demi kepentingannya,
berbagai cara dilakukan guna memperbanyak pemukiman baru di wilayah-wilayah
yang dapat dimanfaatkan bagi kepentingan politik dan ekonomi daerah jajahannya.
Belanda juga berkontribusi bahkan aktif campur-tangan dalam hal mengharu-biru
tatanan adat khususnya dalam hal kepemimpinan pemerintahan adat di banyak
negeri, dengan mengganti orang sesuai selerahnya dari mata-ruma lain yang bukan
dari garis keturunan raja, menjadi raja baru negeri-negeri yang setia dan patuh
serta dalam penguasaannya.
Di kemudian
hari kekisruhan tersebut berlanjut ketika Maluku menjadi bagian dari negara
Republik Indonesia, dengan tata pemerintahan menurut selera pemerintah pusat
yang menyama-ratakan sistem pemerintahan, dimana negeri menjadi desa dan kepala
pemerintahannya harus dipilih oleh rakyat penduduk negeri bersangkutan.
Diformalkan kemudian melalui Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Demokrasi ala rezim pemerintah pusat - Jakarta, dimaknai liar dan beragam
menurut kepentingan setempat pihak-pihak tertentu dengan menabrak tata
pemerintahan adat. korbannya adalah negeri-negeri adat di Maluku. Kekacauan
tatanan adat terjadi akibat pemerintahan dipimpin oleh yang bukan dari garis
keturunan mata-ruma Raja, yang berimbas pada struktur pemerintahan negeri dan
sosial menurut adat mengalami degradasi praktisnya ketika terimplementasi. Praktek penyelenggaraan pemerintahan bak tukang stempel kartu pos – kata
adinda Doktor Faidah Azuz-Sialana , praktek ritual acara upacara adat kehilangan makna dan fungsi
sakralnya. Akibat lain adalah sebagian negeri, berada dalam perseteruan sesama
warga masyarakat se-negeri, karena aturan tersebut membebaskan siapapun bila
dapat memenuhi persyaratan secara administratif, boleh mencalonkan diri menjadi
raja negeri.
Hingga
era demokrasi masa pasca reformasi tahun 1998, didalam UUD tahun 1945 pasal 18a menyatakan
jaminan Negara atas hak-hak tradisional masyarakat yang masih hidup dan diakui.
Dengan itu, pemerintahan menurut garis keturunan Mata-rumah Raja harus berasal dari Soa Tuni – soa asli atau utama, sebagai mata-rumah Parentah pada pemerintahan adat di
Maluku sehingga kembali mendapatkan nyawa dan nafas kehidupannya.
Namun masih saja ada gangguan dan tuntutan dari mata-rumah lain, yang bukan asli soa parentah tetapi dulu pernah berkesempatan memegang kendali pemerintahan oleh adanya sebab dan alasan tertentu, sekarang malah memaksa dengan ikut menyatakan diri bahwa mereka juga adalah mata-rumah parentah atau pernah memerintah. Sedemikian menjadi fenomena yang muncul di sebagian negeri adat, bukan saja pada jabatan raja, tetapi melebar pada hampir semua jabatan dalam struktur baku sistem pemerintahan negeri adat di Maluku.
Namun masih saja ada gangguan dan tuntutan dari mata-rumah lain, yang bukan asli soa parentah tetapi dulu pernah berkesempatan memegang kendali pemerintahan oleh adanya sebab dan alasan tertentu, sekarang malah memaksa dengan ikut menyatakan diri bahwa mereka juga adalah mata-rumah parentah atau pernah memerintah. Sedemikian menjadi fenomena yang muncul di sebagian negeri adat, bukan saja pada jabatan raja, tetapi melebar pada hampir semua jabatan dalam struktur baku sistem pemerintahan negeri adat di Maluku.
Upaya memelihara
tatanan adat negeri, sedang berhadapan dengan laju perubahan zaman, cenderung seperti bersendikan falsafah kuno yang di-bias-kan, yaitu ; siapa kuat (pintar) dia menang(berkuasa), sekalipun untuk itu adat di"labrak", sayangnya itu mengingkari petuah, sumpah, dan janji para datuk dan kapitang.
Alifuru mese !
Depok, 27 Desember 2015
Sebuah tulisan yg menarik. Mestinya Lembaga Kebudayaan Maluku berinisiatif utk mengumpulkan tulisan-tulisan seperti ini, agar dapat memberi masukan kpd pemda dan DPRD dlm rangka penataan adat-istiadat di Maluku, termasuk aturan-aturan yg terdapat dlm Perda ttg pemerintahan dan negeri adat, yg banyak kekurangan nya.
ReplyDeleteSebuah tulisan yg menarik. Mestinya Lembaga Kebudayaan Maluku berinisiatif utk mengumpulkan tulisan-tulisan seperti ini, agar dapat memberi masukan kpd pemda dan DPRD dlm rangka penataan adat-istiadat di Maluku, termasuk aturan-aturan yg terdapat dlm Perda ttg pemerintahan dan negeri adat, yg banyak kekurangan nya.
ReplyDeleteTatanan adat yang merupakan kearifan lokal masy Maluku sejak dulu, yg berkontribusi menata dan memelihara kehidupan Orang Maluku sebelum kehadiran bangsa asing, seharusnya dibebaskan dari kepentingan politik praktis saat ini, sebab ketika itu terjadi, maka kemurnian nilai adatnya menjadi termarginalkan kadang dgn sengaja. Cenderung pragmatis untuk beragam kepentingan sesaat.
DeleteTerimakasih bp Jop, su singgah di beta pung 'paparisa kacil' nie.