Oleh : M. Thaha Pattiiha
Dahulu kala siapa
yang mengira bahwa nantinya ada sawah di bumi Maluku, sesuatu yang tidak
terbayangkan sebelumnya. Saat ini terbentang ribuan hektar areal persawahan di
pulau Buru dan pulau Seram. Pasokan pangan beras, sudah sebagian dapat dicukupi
dari persawahan yang diusahakan oleh para petani transmigran dari pulau Jawa.
Pulau Jawa yang sudah sangat padat penduduknya, mengharuskan pemerintah
Presiden Soeharto di jaman Orde Baru, memindahkan penduduk ke luar Jawa ke
pulau-pulau lain dan Maluku menerima sebagian dari mereka. Ketrampilan bertani
sawah dan palawija, menjadi andalan usaha ditempat yang baru. Transmigran yang
memiliki ketrampilan sebagai nelayan, ditempatkan di kepulauan Aru, Maluku
bagian tenggara.
Niat baik tentunya
oleh pemerintah, dengan menghadirkan petani dari Jawa yang terampil mengelola tanah dan pandai bercocok-tanam, terampil menangkap ikan dan usaha perikanan
maupun kelautan. Para transmigran mendapatkan kehidupan baru dan lebih baik
dengan disediakan secara gratis areal tanah dan pemukiman serta kemudahan
lainnya. Dipenuhi kebutuhan hidupnya dalam waktu selama belum mendapatkan hasil
dari usaha tani atau nelayannya. Mereka ditempatkan bertetangga dengan penduduk
asli di masing-masing tempat. Tujuannya agar penduduk asli setempat,
mendapatkan pengetahuan bertani, juga berkebun, secara benar , bagi
nelayan mendapatkan ketrampilan menangkap ikan. Petani dan nelayan transmigran,
diharapkan membagi pengetahuan dan mengajarkan ketrampilan bertani dan nelayan
kepada penduduk asli setempat, sehingga dengan kehadiran para
transmigran di dekatnya, mereka sama-sama akan mampu mencapai kesejahteraan
hidup.
Waktu berlalu,
petani dan nelayan penduduk asli setempat masih sebagaimana sedia kala. Tidak
berubah, dan transmigran tidak berpengaruh apa-apa dengan kemampuan bertani maupun ketrampilan nelayannya, terhadap penduduk setempat. Impian bersama
kehidupan makmur masyarakat penduduk asli yang dituju oleh cita-cita pemerintah
mendatangkan dan menyandingkan transmigran di dekatnya, malah menjadi mimpi
buruk. Pada kenyataannya, hanya kehidupan para transmigran yang berubah
lebih baik. Efek positif untuk perubahan yang diharapkan bagi pengembangan
kemampuan bertani dan ketrampilan nelayan, tidak terjadi sama-sekali.
Kecuali perubahan pada faktor pengembangan keluarga dan keturunan, oleh
adanya perkawinan campur antara penduduk asli dan transmigran.
Niatnya ya positif,
kenyataan negatif, maksudnya sih baik, tujuan melenceng.
Kehidupan para transmigran, malah sejahtera, sementara penduduk asli tetangganya
masih sebagaimana awalnya, seperti yang dulu, jangankan sejahtera, sedikit saja
berubah sudah syukur, ini malah makin sengsara.
Di pesisir utara
timur hingga barat pulau Buru, hanya untuk kebutuhan sayur-sayuran seperti
kangkung saja, mereka tidak menanamnya sendiri, dibeli ke pasar kota Namlea.
Sayur-sayuran dan kacang-kacangan di pasar itu, semuanya dipasok dari wilayah
pertanian para transmigran asal Jawa dan Madura yang ditempatkan di dataran
Wayapo. Menyatu dengan lokasi penghuni mantan tahanan politik Orde Baru.
Masyarakat penduduk asli di teluk Kayeli juga sama, pemenuhan kebutuhannya dari
hasil usaha para transmigran, padahal mereka hidup bertetangga. Wilayah dataran
Wayapo setiap waktu rutin dilalui untuk akses menuju kota Namlea, ibukota
kabupaten Buru. Sepertinya hanya numpang lewat.
Tidak ditemui
perubahan berarti dari cara bertani, sebagai pengaruh positif oleh adanya para
transmigran. Bila ada yang berubah, ialah perbedaan tingkat kesejahteraan para
transmigran yang jauh lebih baik dari tetangganya penduduk asli setempat,
bahkan lebih baik dari penduduk pulau Buru umumnya. Kondisi demikian
terlihat juga pada lokasi-lokasi para transmigran di wilayah lain seperti pulau
Seram, sama saja jalinan ceritanya, hanya beda tempat. Masalahnya sama-sama
miskin efek, sebaliknya sama-sama berpotensi menimbulkan dampak
kepada kehidupan sosial.
Secara ekonomi,
para transmigran makin baik dan cenderung mengungguli penduduk asli setempat,
yang kemudian memberi kesempatan pada perbaikan tingkat pendidikan anak-anak
keluarga transmigran, dan seterusnya telah merambah jauh hingga memasuki dan
menempati posisi pada rana politik dan kekuasaan, mereka makin berisi dan kuat.
Posisi tawar politik kian bergigi, setidaknya diperlihatkan ketika ada hajatan
pesta demokrasi, jangan berharap banyak dapat meraup hak suaranya bila anda
bukan siapa-siapa mereka, tidak sekadar punya apa atau bisa apa.
Bukan tidak
mungkin, timbul pemikiran kecemburuan sosial antara penduduk asli dan para
transmigran, bila tidak diantisipasi secara terencana dan baik. Sebaliknya,
bagaimanapun juga bagi para transmigran dapat berusaha untuk menyesuaikan
posisinya dengan menata kembali secara arif dan bijaksana dalam menjalankan
kehidupan sosialnya. Para transmigran pun karena telah lama bermukim, pasti
sebagian telah menyatu dengan kehidupan dan budaya penduduk asli setempat. Bagi
yang lain harus terus berusaha untuk menjadi lebih membumi kepada penduduk
asli, dengan setia dan hormat pada tatanan nilai dan budaya masyarakat asli.
Sehingga ruang jarak tidak sampai melebar, yang dapat menimbulkan sengketa
pemikiran, apalagi hingga menghadirkan konflik fisik oleh perbedaan asal-usul.
Orang Maluku pun
dulu ada pernah bertransmigrasi ke daerah lain termasuk ke pulau Jawa, bahkan
berimigrasi ke negara lain, tetapi dalam alasan yang memang berbeda dengan
ketika transmigrasi dari daerah lain yang didatangkan ke Maluku.
Maluku sekarang ini
sudah tidak lagi boleh menerima kehadiran transmigrasi baru, mempertimbangkan
laju pertambahan penduduk asli Maluku yang kian hari makin tidak seimbang
dengan ketersediaan lahan dan bahkan kesempatan berusaha. Kepadatan penduduk
per kilometer persegi dari tahun ke tahun terus meningkat, baik oleh penduduk
asli dan terutama oleh pendatang dari daerah lain. Pendatang bukan transmigran,
biasanya mengikuti keluarga atau sanak-famili yang lebih dulu ada di Maluku.
Kehadirannya bukan berarti harus ditolak, tetapi pemerintah daerah patut
memperhatikan pola perubahan sosial di masyarakat dengan membuat program yang
mampu memudahkan dan sebagai penyelamatan penduduk asli agar tidak tergerus
kehidupannya oleh kehadiran para pendatang.
Perkembangan
situasi sosial agar selalu terpantau dan menjawabnya dengan tindakan dan
langkah nyata, tidak menutup mata dan telinga atas dan dibiarkan
berlarut-larut tanpa antisipasi dengan kendali berarti. Bisa saja potensi oleh
kerawanan sosial bukan tidak mungkin dapat memicu timbulnya kecemburuan sosial
sebagai akibat perbedaan tingkat kesejahteraan hidup di masyarakat dimana
pendatang jauh lebih makmur dari penduduk asli.
Keunggulan dalam
ketrampilan dan memiliki modal usaha, menjadikan mereka para pendatang
mendominasi perekonomian, bahkan lama kelamaan dapat dipastikan berlanjut
kepada dominasi dan penguasaan bidang-bidang lain. Di Kota Ambon, juga Seram
Bagian Barat, sebagai contoh kasus, “bisik-bisik tetangga” sering
terdengar di level bawah masyarakat penduduk asli akan ketidak-penerimaan telah didominasi pihak dimaksud.
Siapa juga yang mau
terus menjalani kehidupan dalam kondisi kesusahan, apalagi hingga menderita
miskin di negeri sendiri. Kesadaran akan selalu mengingatkan dan memaksa
seseorang dalam situasi genting untuk melakukan penyelamatan dan perubahan atas
situasi yang dialaminya. Ciptakan cara dan lakukan langka nyata, beri
kesempatan dengan menyediakan peluang-peluang tanpa berbatas, dengan
begitu seperti apapun karakter yang terpatri, akhirnya akan berubah juga. Air
yang lembut bila terus menetes, bisa melubangi batu yang keras pada akhirnya.
Hati nurani pribadi
jangan pernah dimatikan oleh kepentingan menyelamatkan diri sendiri, sehingga
harus membutakan mata batin dan akal sehat terhadap suara penderitaan basudara sendiri
Orang Maluku. Karena walaupun dosa urusannya pribadi dengan Tuhan, tetapi
karakter kemanusiaan berdasarkan jati diri oleh identitas, tidak membolehkan
ketidak-pedulian antar sesama anak suku-bangsa Alifuru, apalagi sampai
digadaikan seharga keuntungan sesaat, mengabaikan penderitaan berkepanjangan
saudara sendiri dan anak cucu ke depan.
Bukan lagi saling
melempar salah dan tanggung jawab, tetapi sekarang saatnya berbenah, dan
menata, untuk unggul, agar tidak kehilangan kebanggaan pada tanah air sendiri
bumi Maluku tercinta. Menjaga, jangan sampai terjadi ; Orang Maluku
menjadi pendatang di negeri sendiri, apalagi hingga menjadi
transmigran ke daerah orang.
Depok,
10 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment