Bagian ke -3(tiga)tulisan (lengkap) ; Blok-Masela (ABADI FIELD
BLOK MASELA ; JALAN TERJAL
MEREBUT HAK MALUKU ) Oleh ; M. Thaha Pattiiha
---------------------------
IV. Seteru
Konstitusi vs Neolib Di Blok Masela
Konstitusi Negara Republik Indonesia UUD 1945 dalam bagian Pembukaan, mengamanatkan
kepada penyelenggara pemerintahan negara untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, dan juga keadilan sosial. Di dalam hal pengelolaan Sumber Daya Alam(SDA),
UUD 1945 pasal (33) ayat(3) telah jelas diperuntukan mensejahterakan
penghidupan seluruh rakyat Indonesia.
Kekayaan SDA dalam penguasaan negara, untuk dikelolah dan hasilnya
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rakyat banyak secara
keseluruhan, bukan sebagian atau kelompok tertentu, bukan pula untuk orang per
orang, apalagi pihak asing bukan warga negara. Kekuasaan negara sebagai sebagai
penerimaan amanat rakyat yang adalah pemilik hak atas kekayaan negara. Negara atas
nama rakyat tidak boleh kalah dari
tekanan pihak manapun yang menginginkan kekayaan negara hanya bagi kepentingan
atau dinikmati sepihak. Keinginan pihak
tertentu untuk menguasai kekayaan negara, tidak akan pernah surut dan
tidak akan berakhir dari waktu ke waktu, karena sifat dasar kebutuhan bagi
manusia manapun tidak pernah akan terpuaskan, hanya bisa berakhir atau lenyap
oleh kematiannya.
Potensi menjanjikan luar-biasa dari kandungan kekayaan pada lapangan gas
Abadi Blok Masela, menarik dan mengalihkan perhatian dunia sekaligus
memunculkan rasa ingin menguasai dan memiliki. Terjadilah pertarungan antar
kekuatan memperjuangkan kepentingannya dengan menggunakan beragam cara
maupun menempuh berbagai jalan, demi menguasai keuntungan seutuhnya yang memang sangat menjanjikan dari potensi Blok Masela.
Produk gas bumi dan turunannya di beberapa negara, telah menjadi sumber
pendapatan utama dan menyerap maksimal tenaga kerja. Sebagian negara menjadikan
impor gas alam cair(Liquid Natural Gas - LNG) dari Indonesia yang selama ini hanya dijual
secara “gelondong” dengan harga murah. Setelah diolah kemudian menghasilkan berbagai jenis produk turunannya, lalu
dijual kembali ke Indonesia dengan harga berlipat kali dari harga beli semula.
a. “Kepretan” Rizal Ramli
Adalah Rizal
Ramli, Menteri Koordinator Bidang
Kemaritiman dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia(2015-2016) yang pertama buka suara, menurut Rizal Ramli
dalam konferensi pers bersama pejabat Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK
Migas) di kantor Menko Maritim, Jakarta)25),
dikatakan kandungan gas Blok Masela termasuk sangat besar, dari potensi awal
yang kecil kemudian kembali ditemukan cadangan gas yang makin banyak hingga
mencapai 10,7 TCF.
Rizal Ramli kepada Kementerian ESDM dan SKK
Migas, diminta untuk mengkaji ulang Proposal
Revisi Rencana Pengembangan - Plan of Development
(PoD) dari sebelumnya 2,5 juta ton per tahun(MTPA) dengan cadangan
6 TCF. menjadi 7,5 MTPA untuk cadangan 10,73 TCF.
Diajukan Impex Masela Ltd di bulan April 2016 dan telah disetujui serta diserahkan oleh SKK Migas pada 10
September 2015. Dalam perhitungan Rizal
Ramli tingkat pengembalian investasi - Internal Rate of Return
(IRR) mencapai 15,04 persen, dan
potensi penerimaan negara ditaksir mencapai 43,8 milyar dollar AS atau sekitar
Rp 626,3 triliun26).
Rizal Ramli
Penggunaan teknologi fasilitas FLNG, adalah Haposan Napitupulu, Ph.D27), Doktor Ahli
Geologi lulusan University of Texas, mempersoalkan rencana Inpex Masela Ltd - (Inpex Corporation) dan Shell
Plc - (Royal Dutch Sheel) sebagai
pengelola Blok Masela yang dalam usulan perencanaan, akan membangun fasilitas
kilang gas cair terapung (FLNG) untuk
memproses gas di atas laut. Alasannya menurut Haposan, teknologi fasilitas yang
hendak digunakan relatif masih baru yang dikembangkan Shell di seluruh dunia dengan nilai investasi yang hingga mencapai 19,3
miliar dollar AS. beliau malah seperti mencurigai Shell, mitra INPEX, Shell ingin menjual teknologi FLNG – nya (yang hingga saat ini belum
terbukti) sekaligus menjadikan Lapangan gas Abadi Blok
Masela sebagai "Kelinci Percobaan"
dan "Sapi perah", dengan
membebankan seluruh biaya investasi dan biaya operasi menjadi tanggungan negara
melalui mekanisme "Cost Recovery".
Demikian juga dengan INPEX, Haposan pun tidak luput untuk mencermatinya, karena bila
skenario FLNG berhasil maka seluruh
produksi gas bumi dijadikan LNG yang dengan
mudah ditransportasikan, selain sebagian
produksi, khususnya Entitlement
bagian K3S berserta pengganti cost recovery
akan dibawa ke Jepang dalam rangka mendukung Energy
Security Jepang.
Satu langkah keputusan menghasilkan
keuntungan bersama untuk kedua investor, INPEX
dapat mendukung energy security
negaranya di Jepang dan Shell berhasil mengujicoba sekaligus teknologi baru FLNG-nya terjual. Selanjutnya Shell dapat menjual tekhnologi FLNG–nya ke negara lain yang membutuhkan,
karena sudah proven atau terbukti.
b. Antara Kubu Offshore dan Kubu Onshore
Seteru di dalam kekisruhan memilih
sistem pengelolaan gas Blok Masela, telah memposisikan atau menciptakan
dua kubu antara kubu Offshore – terapung, dan kubu Onshore
- di darat. Kubu Rizal Ramli (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya) sebagai pendukung opsi Onshore
disatu pihak, dilain pihak kubu Sudirman Said (Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral/ESDM) dan kawan-kawan(dkk)
yang mendukung opsi Offshore.
Rizal Ramli28)
mengabarkan bahwa dalam sidang kabinet awal tahun 2016, ada tiga pejabat yang mendukung
pengembangan Blok Masela melalui fasilitas kilang gas alam cair terapung Offshore. Yaitu Menteri ESDM
Sudirman Said, Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir, serta Kepala (SKK
Migas) Amien Sunaryadi.
·
Untuk menyamakan persepsi – mendukung opsi Offshore, diantara para pejabat SKK Migas, Kepala SKK Migas Amien
Sunaryadi sempat membahas topik tersebut dalam pertemuan yang dihadiri sekitar
150 pejabat SKK Migas pada 23-25 Oktober 2015 di Markas Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Kopassus Batujajar Bandung. Sebelum itu pun, Amien Sunaryadi masih
sempat mengirimkan anak buahnya ke luar negeri29),
untuk mencari masukan atau lebih tepatnya mencara alasan pembenaran dari para
pemain gas kelas dunia, hasilnya ya disepakati Offshore sebagai pilihan.
“Kalau
FLNG lebih murah. Itu terbalik angka yang dipakai(Rizal Ramli)”30), ini tanggapan Kepala SKK Migas Amien
Sunaryadi. Amien Sunaryadi beralasan, biaya operasional pipa lebih tinggi dari FLNG sekitar 356 juta dollar AS per
tahun, sedangkan FLNG hanya 304 juta
dollar AS. Karena itu SKK Migas menyarankan kepada Menteri ESDM Sudirman Said
untuk memilih opsi FLNG untuk
pengembangan Blok Masela.
· Sudirman
Said sebagai kubu pendukung opsi Offshore
pun menguatkan rekomendasi SKK Migas untuk skema pengembangan Blok Masela
menggunakan opsi Offshore, alasannya
lebih hemat dibanding opsi Onshore
yang menggunakan jaringan pipa, alasan lain lebih hemat FLNG karena dapat menumbuhkan industri maritim dalam negeri,
misalnya mendukung industri perkapalan. Untuk menguatkan alasan tersebut yaitu
opsi Offshore, Sudirman Said bahkan
hingga menyewa konsultan independen untuk mengkaji ulang biaya-biaya guna
menguatkan sarannya memilih opsi terapung31).
Opsi Offshore(FLNG) dianggap lebih
hemat biaya, berdasarkan perhitungan SKK Migas(tabel di bawah ini), yaitu Onshore membutuhkan 19,3 milyar dollar
AS, sedangkan biaya Offshore hanya 14,8
milyar dollar AS yang akan digunkan untuk membangun FLNG dengan kapasitas
produksi 7,5 juta ton per tahun32).
Perbandingan
Biaya Menggunakan Sistem Pipa(FLNG)(Sumber;
SKK Migas/Google)
· Sikap membela kepentingan “Neolib” seperti tidak mengenal rasa
gentar, bahkan seperti bermaksud “mengancam”, bahkan seperti “jurubicara” pihak
investor Blok Masela, sebagaimana Press
Release (Pernyataan Pers)33) yang dikeluarkan SKK Migas pada tanggal 16 Maret
2016.
Keterangan pers itu diawali dengan kabar
bahwa pihak INPEX
Indonesia (investor)
menyatakan bila hingga 10 Maret 2016 belum ada keputusan terhadap persetujuan Revisi PoD Blok Masela yang sudah diajukan oleh INPEX Indonesia sejak awal September tahun lalu(2015), maka INPEX Indonesia telah memutuskan untuk
melakukan downsizing personil, hingga
40 persen personil INPEX di Indonesia.
Termasuk Shell Indonesia yang telah
meminta para Engineer Shell di Belanda, Kuala Lumpur dan
Jakarta yang semula bekerja untuk proyek Masela segera mulai mencari pekerjaan
baru di internal Shell global.
Alasan IMPEX
dan Shell adalah karena tertundanya
Revisi PoD Blok Masela dan menginginkan
tetap pada usulan sesuai rekomendasi SKK Migas yaitu Offshore, dan bila tidak maka (menurut SKK Migas) maka jadwal FID (Final
Investment Decision) proyek Masela yang bernilai investasi lebih dari 14
miliar dollar AS akan mundur kurang lebih 2(dua) tahun yaitu ke akhir tahun
2020. SKK Migas menyayangkan bahwa dalam situasi ekonomi
Indonesia yang sedang menggalakkan investasi, ternyata ada investasi besar yang
sudah di depan mata harus mundur minimal 2 tahun. SKK Migas juga menyayangkan
bahwa dengan terpaksa rakyat Maluku akan tertunda dari proyek ini minimal untuk
2 tahun.
· Direktur
Eksekutif Center of Energy and Resources
Indonesia (CERI) Yusri Usman34),
bersikap terhadap pernyataan pers SKK Migas tersebut, dengan menyatakan sikap kepada
Kepala SKK Migas, bahwa “Papa gagal paham” memaknai apa dibalik pesan yang
sangat esensi di dalam Keputusan Presiden Jokowi tersebut - yang menetapkan
opsi Onshore. Apalagi pernyataan pers tersebut dalam gaya bahasa
yang terkesan provokatif terhadap rakyat Maluku, bahwa rakyat Maluku harus
tertunda lagi 2 tahun untuk menikmati manisnya proyek Blok Masela di tahun
2020. Menurut Yusri Usman, kalau pun saat awal Maret 2016 PoD sudah disetujui Pemerintah, tetap saja proses persiapan tender FEED dan pelaksanaan FEED, Feasibility Study, serta AMDAL, butuh waktu juga sekitar 2 tahun
dan diperkirakan tahun 2018 setelah Inpex diperpanjang kontrak PSC –nya. Pada saat itu FID(Final
Investment Decision) baru akan ditetapkan apakah layak dilanjutkan atau
dihentikan dengan memperhatikan harga pasar gas dunia.
Pernyataan Pers SKK Migas35)
dianggap gegabah oleh Yusri Usman, sebab seharusnya informasi yang diperoleh
dari Inpex dan Shell terlebih dahulu dibicarakan secara tertutup bersama Kementerian
ESDM dan Menko Kemaritiman sesuai
tupoksinya guna mendapat solusi. Terkecuali bermaksud ingin menyudutkan pihak
berseberangan dengan keinginan SKK Migas, dengan maksud ingin membentuk
persepsi publik bahwa semua penundaan atau kekisruhan proyek ini, penyebabnya
adalah kelompok penentang Offshore.
Menurut Yusri Usman, apabila Feasibility
study, AMDAL, juga FEED (Front End Engineering Design)
yang menjadi dasar perhitungan keekonomian proyek dilaksanakan dengan benar, tentu
tidak ada “kegaduhan” dimaksud.
Disarankan
kepada SKK Migas, untuk apabila takut biaya EPCI(Engineering, Procurement, Construction and Installation
- Rekayasa, Pengadaan, Konstruksi dan Instalasi) akan membengkak dari nilai
PoD, maka solusinya membuat kontrak FEED termasuk EPCI dalam satu paket dengan sistem lumpsump. Sebagaimana dilakukan Shell
di proyek Prelude Australia, dimana Shell
merasa tidak ada biaya yang membengkak dari nilai PoD karena kontraknya dengan SAMSUNG
menggunakan sistem lumpsump36)
atau berbiaya tetap dan pasti.
Kalau langkah tersebut dijalankan oleh SKK
Migas, tentu tidak perlu Inpex Masela
utk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja(PHK) terhadap Tenaga Ahli Nasional dan Staff pendukung untuk kegiatan terkait,
malah harus mencari tenaga tambahan lagi, disebabkan banyak Tenaga Ahli
Nasional terkait bidang ini yang sudah pindah ke Malaysia.
· Sebelumnya
oleh Asosiasi Migas Indonesia (Indonesia
Petroleum Association/IPA) melalui
Direkturnya Sammy Hamzah37)
sempat menyatakan persoalan molornya pengembangan Blok Masela menjadi sentimen
negatif bagi investasi migas Tanah Air. "Saya tidak ingin berkomentar soal proyek secara spesifik karena itu
urusan perusahaan masing-masing. Namun yang jelas keputusan Menteri ESDM
terkait dengan Blok tersebut membuat investasi migas menjadi tidak
positif."
· Pengamat
energi Febry Tumiwa38), mengeritik dan mempertanyakan rekomendasi
Menko Kemaritiman dan SDM, konsep Rizal Ramli dianggap hanya berdasarkan
hipotesis semata, bukan berdasarkan kajian ilmiah. Febby Tumiwa menekankan kepada
hasil kajian oleh Inpex selaku
operator yang melibatkan para konsultan berkelas internasional (Poten and Partners), juga melibatkan
akademisi dalam negeri seperti dari Universitas Indonesia (UI), Institut
Teknologi Bandung (ITB), dan Institut Teknologi Surabaya (ITS). Dan serta hasil
kajian kementerian teknis (Kementerian
ESDM). Bila dikalkulasi maka kajian yang telah dilakukan tersebut telah
menghabiskan ribuan jam kerja serta dana ratusan juta dolar Amerika. Pilihan
terbaiknya adalah FLNG, karena multipleir effect – nya akan jauh
berdampak positif bagi pengembangan industri maritim Indonesia dan industri
pendukungnya. Juga alokasi gas DMO
juga bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan gas di dalam negeri, bahkan seluruh
produksi gas dari Blok Masela bisa saja dijual di dalam negeri sepanjang
harganya sesuai dengan harga pasar.
· Senior Manager Communication and
Relations Inpex Ltd, Usman Slamet39) mengakui,
bahwa “kalau di dalam kontrak, hanya gas.
Tapi, perlu kita ketahui, bahwa gas akan disedot dengan melalui kepala bor.
Jadi, yang keluar dari liquid, itu nggak hanya gas. Tapi, ada campuran lainnya.
Ada kondensatnya, ada air, ada gas-gas lainnya yang ikut tersedot”.
Mengenai konsep pengembangan lapangan
gas abadi tersebut, pihaknya tetap pada PoD
di laut atau offshore yang diusulkan sejak 2010 dan direvisi setelah ditemukan
kandungan gas yang lebih besar di Masela. Menurutnya, “konsep FLNG, itu berdasarkan hasil studi dan kajian bertahun-tahun.
Dari sisi ekonomi projectnya, dampak lingkungannya kecil, gangguan terhadap
sosial budaya dan juga terbaik dari sisi efek gandanya”. Kepada pemerintah,
khususnya Presiden Joko Widodo, Inpex Ltd
berharap segera memutuskan pengembangan lapangan gas abadi di Blok Masela sesuai
usulan PoD yaitu FLNG karena dianggap itu konsep yang terbaik.
· Silang pendapat antara pilihan opsi Offshose
dan opsi Onshore, melebar ke
mana-mana, bahkan wakil rakyat di parlemen Inas
Nasrullah Zubir40), anggota Komisi VII DPR RI, bahkan
hingga menuduh Rizal Ramli telah melakukan langkah anomali ; "terjadi anomali ketika Rizal Ramli yang
tiba-tiba datang tanpa membuat hitung-hitungan mengatakan bahwa untuk Blok
Masela harus menggunakan skema PLNG (Onshore) karena lebih murah dan lain sebagainya." Anggota Legislatif
ini, bahkan mempertanyakan kepada Rizal Ramli, kenapa tidak percaya dengan
hitung-hitungan yang sudah dilakukan oleh pihak Inpex.
· Ekonom Faisal Basri41), yang juga sebagai wakil ketua Tim Counterpart yang bertugas mengawasi
kerja Konsultan Independen, pun berpihak kepada hasil kajian Konsultan Poten and Partners yang sejak awal
diketahui memang cenderung setuju FLNG. Faisal Basri yang minta kepada presiden
Rizal Ramli ditertibkan, karena “melawan arus” dengan memilih opsi Onshore. Dia juga menyatakan bahwa
keuntungan investor akan tergerus jika pemerintah memilih skema kilang darat (Onshore).
· Selain Faisal Basri, ada
juga logika Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia (ECW), Ferdinand Hutahaean yang mengatakan
jika pembangunan Blok Masela dilakukan di darat, maka pemerintah tidak mendukung
pengembangan kemaritiman. Logika Ferdinand ini dianggap lucu, dalam memahami
pengembangan kemaritiman, alasannya konsep kemaritiman melalui tol laut, yang
menghubungkan antar pelabuhan laut di Indonesia akan dapat terwujud kelancaran
lalulintas pelayaran itu, juka kegiatan ekonomi di semua pelosok Nusantara
berjalan baik, khususnya Indonesia bagian Timur42).
Menarik
mengamati silang pendapat seanteru elit dan pakar sesama orang Indonesia,
berhadap-hadapan diantara para petinggi negara, tidak terkecuali Orang Maluku. Menteri Kordinator Maritim
dan Sumber Daya (Menko Maritim dan ESDM) Rizal Ramli bersama Staf Ahlinya Haposan Napitupulu, Ph.D disatu pihak dan
dipihak seberang ada Menteri ESDM Sudirman Said, Kepala Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi,
bahkan ikut serta Wakil Presiden Muhammad
Yusuf Kalla.
Mereka yang disebut terakhir di atas, seperti
lebih condong mendukung “Asing”, dari pada berpikir ulang kebaikannya kepada
rakyat banyak, tidak sebagaimana Rizal Ramli. Pendapat Rizal Ramli pula yang
merebak dan jadi polemik di publik tentang Blok Masela, melibatkan berbagai
pihak.
Pilihan kepada opsi Onshore, bukan tanpa alasan yang kuat dan hal itu mengundang
beragai pendapat yang intinya ikut mendukung opsi tersebut. Tidak terkecuali
dukung penuh dan sungguh-sungguh datang dari segenap komponen atau elemen masyarakat
Maluku, semua sama satu suara menginginkan pembangunan kilang pengelolaan gas
Blok Masela berada di daratan Maluku.
Aksi Demonstrasi Aliansi Masyarakat Adat Maluku di pusat kota Ambon.
Menuntut Blok Masela di bangun di darat(Onshore)
·
DR Abraham Henry Tulalessy43), Pengamat Lingkungan dari Universitas Pattimura, yang juga Direktur Yayasan
Satu Darah, menyatakan heran dengan hitung-hitungan pembiayaan yang disampaikan
pemerintah tentang biaya pengelolaan kilang. DR. Abraham membandingkan proyek FLNG milik Inpex di Blok Predule, Australia, kapasitas lebih kecil dari FLNG Masela, tetapi menghabiskan biaya
26 milyar dollar AS. Dipertanyakan, kenapa FLNG
Masela dengan kapasitas jauh lebih besar bahkan terbesar di dunia, pembiayaan
hanya 14 milyar dollar AS, selisihnya sebesar 12 milyar dollar AS. Beliau juga
mengetitik usulan rencana pembangunan lokasi storage LNG di Aru, menurutnya dari Aru jaraknya sekiatar 600 km,
sementara dari pulau Selaru- Maluku Tenggara Barat, berjarak 90 km atau dari
pulau Babar – Maluku Barat Daya, 90 km, beliau menduga sengaja dibuat agar
terlihat bahwa pengelolaan di darat lebih mahal.
Sebelumnya
DR Abraham menyampaikan bahwa “dalam FGD (Forum Group Discussion) ini, semua pembicara 100 persen ingin di
darat. Semua orang Maluku di Maluku, Jakarta, dan luar negeri, termasuk pejabat
pemerintah di Jakarta mau di darat. Ini hanya tinggal Kementerian ESDM sendiri.
Kita tidak tahu ada apa dengan sikap ini”44)
FGD
tentang Blok Masela ini dihadiri ilmuwan, seperti Prof. Dr. Aholiab Watloly, Prof. Dr. G. Ratumanan, Prof. Dr.
Hermin Soeselisa, Prof. Dr. Dessy Norimarna, Prof. Dr. Bob Mosse, Prof. Dr.
Thomy Pentury, Dr. Ir. Paul Usmany, Dr. G. Pentury, Dr. Muspida, Dr. Yustinus
Malle, Dr. Max Tukan, Dr. Mohamad Bugis, Ir. Daud Ilela Msi, Dr. Tony
Litamaputy45).
· Ekonom asal Universitas Pattimura, DR Djufry Rays Pattilouw46)
berpendapat, “ alasan opsi offshore
sangat tendensius pada kepentingan ekonomi parsial dan jangka pendek. Soal
aspek ekonomi yang menjadi pertimbangan utama, itu juga debateble. Sebab,
pembangunan kilang di laut, berikut fasilitas pengangkutan serta teknologi
tinggi yang digunakan juga butuh biaya besar dan inefisiensi pada skala
ekonomi. Sementara, dampak eksternalitas ekonomi bagi masyarakat setempat
sangat minim”.
· Di saat awal mulai merebaknya tarik-menarik kepentingan, antara pihak yang
mempertahankan opsi Offshore dan yang
menginginkan pilihan kepada opsi Onshore,
Masyarakat Maluku sudah bersuara. Melalui salah satu poin rekomendasi hasil
Musyawarah Besar Masyarakat Maluku pada 25 -26
November 2015 di kota Ambon, dinyatakan bahwa ; “Kami menghendaki pemerintah pusat agar pengelolaan semua blok
migas di Maluku dapat menikmati secara langsung hasil pembangunannya”47).
Tidak
spesifik poin rekomendasi dimaksud, namun pesannya Maluku mendapat lebih dari
yang sebelumnya.
Diskusi “Blok
Masela Sesuai Konstitusi” Jakarta, 5/3/2016 ; Bersama DR.
Dradjad Wibowo, Dipl-Oekonom Engelina Pattiasina, DR Nono Sampono(foto;Istimewa)
· Forum Tujuh Tiga (Fortuga) ITB dalam diskusinya di Jakarta pada Selasa 6 Oktober 2015, Kardaya Warnika48)
– Ketua Komisi VII DPR-RI, menyampaikan pendapatnya ; “Kalau Pemerintah lebih peduli dengan kepentingan domestik, maka
selayaknya menyetujui pembangunan lapangan gas di darat yakni di wilayah
Maluku,” Dikatakan selanjutnya, kalau pembangunan lapangan gas dibangun di
darat, maka kepentingan nasional (rakyat) akan lebih terjamin. Sebaliknya,
kalau dibangun di laut maka kepentingan internasional (asing) yang lebih
terjamin. Kardaya sangat setuju, kilang di darat karena dapat memunculkan multi
efek dari proyek tersebut untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia,
terutama bagi warga lokal di Maluku.
· Mantan
Komisaris Utama PT PLN, Alhilal Hamdi49)
yang juga hadir dalam diskusi tersebut, menilai, rencana pembangunan kilang gas
abadi Blok Masela, Pemerintah Indonesia “dipaksa” untuk hanya memutuskan
(memilih) pola terapung di laut. Hilal seperti merasa ada yang “aneh”. Yakni,
proposal yang disampaikan oleh perusahaan gas alam cair asal asing sangat tidak
fair, karena tidak memberikan opsi lain kecuali hanya pembangunan dengan pola
terapung di laut. “Padahal, pembangunan
lapangan gas dengan pola terapung ini akan menghadapi dua tantangan utama,
kestabilan operasi dan keselamatan operasi,” ujar Hilal.
· Hasil
diskusi Fortuga sebagaimana tabel di bawah ini, juga mengusulkan pembangunan
lapangan gas abadi Blok Masela itu hendaknya dibangun di darat, setelah
melakukan sejumlah kajian ilmiah, baik dari aspek investasi, operasional, profit, maupun keuntungan nasional.
Sumber ; Diolah(Pen) Tim FORTUGA dan SKK
Migas
· Engelina Pattiasina50),
Senator dari Maluku, mengingatkan pelajaran dari PT. Freeport lebih dari
cukup untuk menjadi renungan dalam mengelola sumber daya alam, terutama Blok
Masela. Sebab, samar-samar sudah terdengar kalau Blok Masela akan menjadi
Freeport baru, karena memiliki cadangan gas yang sangat melimpah (sekitar 40
triliun kaki kubik). Jumlah yang jauh lebih besar dibandingkan dengan cadangan
gas Blok Tangguh (Papua Barat) sekitar 14,4 Triliun kaki kubik.
c. Haposan pun Balik
Badan
Sebagai seorang pejabat yang berwenang di SKK Migas, Haposan Napitupulu, Ph.D, sebelumnya menyetujui
usulan skenario PoD kilang laut pada
2010, saat PoD pertama diajukan pada
2008. Hingga ketika pada Oktober 2015 Inpex
selaku operator Blok Masela kembali mengajukan PoD kedua, dengan alasan telah terjadi perubahan cadangan gas pada
Blok Masela.
Haposan Napitupulu, Ph.D, kemudian “balik badan” dan berpendapat
lebih baik opsi di darat (Onshore).
Haposan, memang berobah sikap dari yang sebelumnya mendukung opsi Offshore. Alasan perubahan pendapat itu,
sebagaimana yang disampaikan kepada Direktur Program CEDeS Edy Mulyadi51),
perubahan sikap Haposan sebagai seseorang yang benar-benar ahlinya -
bukan “ahli abal-abal”, memiliki pola
pikir bijak dan peduli terhadap manfaat yang lebih luas untuk dapat dinikmati
rakyat banyak di Republik ini, dan lebih khusus masyarakat Maluku.
Bukan sesuatu yang tiba-tiba dan asal
berubah. Pemikiran Haposan sangat mendasar dan berpola kepada implementasi
konstitusi negara, yang mengamanatkan pengelolaan kekayaan sumber daya alam
harus lebih dahulu mementingkan kepentingan negara dan memenuhi kebutuhan
rakyat banyak.
6(Enam) poin pemikiran Haposan sebagai berikut ;
Pertama,
jika dibanding biaya terapung di laut, maka investasi dan biaya operasi di
darat lebih rendah; Kedua, produksi gas yang dialirkan ke darat dapat diproses
sebagai LNG dan sekaligus bahan baku untuk industri petrokimia (yang tidak akan
terjadi apabila memilih opsi terapung di laut); Ketiga,
LNG dapat disuplai ke pulau-pulau di sekitar Maluku dan NTT untuk pemenuhan
kebutuhan energi dengan menggunakan small carrier yang tidak dapat dilakukan
jika Kilang LNG dibangun di laut; Keempat, harga jual produksi gas Blok Masela tidak seluruhnya
terpengaruh oleh fluktuasi harga minyak dunia, sebab gas yang dipakai untuk
industri petrokimia dijual dengan harga tetap dengan eskalasi tahunan; Kelima,
ketika harga crude mencapai kurang dari 30 dollar AS per barel seperti saat
ini, pola terapung di laut akan menyebabkan hampir seluruh pendapatan negara
tersedot untuk membayar cost recovery. Sedangkan jika di darat, yang sebagian
gas untuk petrokimia yang harga jual gasnya tidak diikat dengan harga crude, akan
tetap memberikan pendapatan yang stabil; dan Keenam,
pola di darat dikombinasikan dengan industri petrokimia akan memberikan nilai
tambah dan penyediaan lapangan kerja yang jauh lebih tinggi daripada jika
dibangun di laut.
Manfaat besar Blok Masela
dari karunia rezeki Allah - Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bagi bumi dan
rakyat Maluku, oleh Edy Mulyadi52), mempertanyakan hal itu
kepada para pembela pihak “asing” ;
“Saya kok menjadi prihatin sekaligus sedih. Sebegitu dahsyatkah
iming-iming kelompok asing itu, hingga mampu membuat kalian mengabaikan akal
sehat ? Sebagai anak bangsa yang menghendaki kemashlahatan bagi
sebesar-besarnya bagi rakyat Maluku dan di Indonesia bagian timur, saya
seharusnya marah kepada kalian. Mengapa kalian tega membunuh hati nurani kalian
sendiri, hingga tega membiarkan saudara-saudara kita di bagian timur tetap
berada dalam jeratan kemiskinan ? Sebegitu dahsyatkah iming-iming kelompok
asing itu ? Bagaimana mungkin bicara tentang multiplier effect, tentang
percepatan pembangunan ekonomi rakyat Maluku dan sekitarnya, kalau membangun
kilang di laut ? Bagaimana bisa bicara tentang pabrik petrokimia, tentang
penyerapan tenaga kerja, tentang tingginya kandungan lokal, dan transfer
teknologi kalau yang dibangun adalah kilang apung di laut ?”
Apabila kilang dibangun di laut, maka gas Masela hanya diangkut ke
luar negeri dalam bentuk LNG, dari
sini pemerintah akan memperoleh sekitar 2,5 milyar dollar AS per tahun,
sementara penduduk Maluku dan sekitarnya cuma jadi penonton sambil gigit jari.
Si “Rajawali
Ngepret”53) ;
Rizal Ramli, sampai pada pernyataan dalam sebuah diskusi publik ; ada pejabat
yang keblinger ingin menandatangani PoD Lapang gas Abadi Blok Masela namun
mementingkan perusahaan asing. “Saya
peringatkan, jangan kebangetan.” Dia
menuduh para pejabat SKK Migas banyak yang tidak berpikir independen meski
gajinya besar.
"Kami ingin
dibangun Onshore, tidak Offshore seperti idenya Kementerian ESDM
dan SKK Migas, karena kalau Onshore
kita bisa bentuk kota baru, Indonesia timur akan hidup, sehingga cita-cita Pak
Jokowi poros maritim akan jalan," ujar Rizal Ramli54). Rizal Ramli tidak berharap bukan sekadar
pindah kilang dari laut ke darat, tetapi sekaligus saatnya merubah paradigma
dalam mengelolah SDA. Gas tidak lagi hanya diubah menjadi LNG kemudian diekspor, tetapi gas juga dibutuhkan untuk energi dan
bahan baku industri petrokimia dan turunannya. Berkembangnya industri lokal
yang akan membuka lapangan kerja, memperoleh dan atau penghematan devisa
negara, tumbuh dan perkembangnya pengusaha nasional dan daerah serta industri tersier55).
Banyak sekali pendapat selain pendapat-pendapat di atas, dan dari
berbagai pendapat itu, baik pribadi atau secara bersama-sama, semua mengarah
kepada kesimpulan akhir sama-sama sepakat menghendaki agar proyek pengelolaan Lapangan
gas Abadi Blok Masela, dilakukan di darat. Semua pendapat dimaksud, tentu
berdasarkan alasan-alasan sangat rasional dan juga jujur, dengan
hitung-hitungan angka-angka dan pertimbangan yang matang, sepakat dalam satu
suara mendukung opsi kubu Rizal Ramli (Onshore)
dan sebaliknya menolak opsi kubu Sudirman Said plus Shell(Offshore).
"Dengan nilai sebesar itu, telah
lahir anak haram bernama 'conflict of
interest' hasil perselingkuhan dengan pemilik modal yang bernama majikan
sehingga menjadi wajar para 'middleman'
akan memanfaatkan sekaligus memperjuangkan sang majikan untuk mendapat hak
kesulungan atas Project Block Masela,"
kata Ketua Forum Masyarakat Maluku (Formama) Arnold Thenu56).
Jejak Pendapat
(Onshore atau Offshore) - Blok Masela
Melalui media sosial – online, penulis mengajak
masyarakat khususnya masyarakat – Orang, Maluku untuk menyampaikan pendapatnya,
dengan cara memilih antara opsi "A – Onshore", dan opsi "B – Offshore". Hasilnya,
tidak satupun Orang-Maluku yang
memilih opsi Offshore. Bahkan tidak sekadar memilih opsi, tetapi ikut
berkomentar menyatakan pendapatnya dengan nada sangat “marah”, apabila opsi
Onshore tidak dipastikan menjadi pilihan penerintah menentukan operasional Blok
Masela.
Suara-suara “protes” dari masyarakat Maluku, sangat banyak baik orang Maluku
khususnya maupun pihak lain, semua menyampaikan pendapat dan bahkan mempertanyakan,
intinya semua sepakat, bahwa Lapangan gas Abadi Blok Masela harus memberikan
keuntungan sebesar-besarnya dan maksimal khususnya kepada rakyat Maluku, selain
kepada negara.
d.
Keputusan Presiden ;
Onshore
Keputusan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengambil
keputusan dengan menetapkan kilang pengelolaan Lapangan gas Abadi Blok Masela
di darat atau memilih opsi Onshore, sekaligus “anti klimaks” mengakhiri perseteruan
antara kubu Offshore dan kubu Onshore. Keputusan itu pertamakali
disampaikan Presiden dalam acara tidak resmi kepada wartawan di Bandara Supadio
kota Pontianak, Kalimantan Barat pada 23 Maret 201657). Presiden menyampaikan ulang
keputusannya serta alasan memilih opsi di darat (Onshore), dalam pidato peresmian Jembatan Merah Putih di Kota Ambon
pada 4 April 2016.
Perbandingan Biaya Pengembangan Blok Masela (Sumber; katadata.co)
Keputusan Presiden bukan
tanpa hitu-hitungan lebih dahulu, oleh Tim Independen lebih dulu membuat
formulasi(Tebel di atas) dan
dipergunakan oleh Kantor Staf Kepresiden sebagai data pembanding dengan
perhitungan oleh Inpex dan KKSK. Data ini yang tentunya dipakai oleh Presiden
untuk mengambil keputusan dengan memilih menetapkan kilang berada di darat.
Keputusan Presiden untuk pengelolaan dan
pengembangan lapangan gas Abadi Blok Masela di darat, ditangkap sebagai telah
terjadi pergeseran sudut pandang,
perubahan paradigma, sejalan dengan amanat konstitusi negara.
Paradigma lama ; "tebang,
keruk, sedot, kemudian ekspor", kepada yang baru, yaitu ; sumber daya
alam sebagai motor penggerak ekonomi dan pengembangan wilayah(integrated developement) dengan meningkatkan nilai tambah dari
sumber daya alam di wilayah. Selain itu, dengan paradigma baru, dalam pengembangan Blok Masela akan
sangat berdampak terhadap penerimaan negara menjadi lebih besar, menyediakan
lapangan kerja, dan diarahkan mengurangi impor produk industri petrokimia
beserta turunannya yang menguras devisa lebih dari Rp 200 triliun/tahun58).
Tentu ada pihak yang kecewa dengan keputusan
Presiden yang memilih opsi Onshore.
Presiden telah benar bertindak sebagai kepala pemerintahan dan atas nama negara
berdasarkan konstitusi. Keputusan memilih opsi Onshore, setidaknya dapat mengakhiri perdebatan panjang
berbulan-bulan dan berlarut-larut dengan beragam alasan dan argumen pembenaran,
antara apakah yang lebih baik memilih opsi Onshore
atau opsi Offshore.
e. Simpul Alasan
Offshore dan Onshore
Terjadinya
perseteruan antara pihak yang menginginkan opsi Offshore dan pihak pendukung opsi Onshore, telah menyebabkan suasana menjadi kisruh, baik di antara
pejabat dalam pemerintahan negara, hingga melibatkan masyarakat secara luas. Masing-masing
pihak memiliki alasan dan pertimbangan tersendiri terhadap pendapatnya untuk
mempertahankan opsi yang diinginkan. Beberapa alasan disimpul untuk menjawab beberapa
pertanyaan atas pilihan opsi Offshore
dan opsi Onshore, antara lain sebagai
berikut ;
e.1. Pilihan
opsi Offshore ataupun opsi Onshore, berapapun biaya dana pembangunan
kilang LNG, akan diganti atau dikembalikan
oleh pemerintah kepada Investor dalam bentuk Cost Recovery, sehingga tidak akan ada yang dirugikan, khususnya
pihak investor.
e.2. Apakah biaya pembangunan kilang LNG di
darat(Onshore) lebih mahal dari LNG Terapung(Offshore) ?
Versi
SKK Migas (sumber ; Inpex) menyatakan
hasil hitung, kilang LNG di laut 14,8
Milyar Dollar AS, dan kilang LNG di
darat 19,3 Milyar Dollar AS. Menurut Kemenko Maritim ( sumber ; Oxford Institute for Energy Strategy
(2014), serta pengalaman Insinyur Indonesia sejak tahun 1970-an, membangun 18
buah LNG Darat seperti di Bontang,
Arun, Donggi Senoro, dan 1 LNG(Tangguh)
yang sedang dibangun di darat). Kilang LNG
di laut berbiaya 22 Milyar Dollar AS, dan kilang LNG di darat 16 Milyar Dollar AS.
Nampak
perbedaannya, versi SKK Migas menyatakan biaya kilang di darat lebih mahal, dan
dilaut lebih murah. Sebaliknya menurut Kemenko Maritim biaya kilang di darat
lebih murah, dan kilang di laut lebih mahal. Secara umum keuntungan yang lebih
luas kepada negara dan rakyat berdasarkan amanat konstitusi, khususnya rakyat
wilayah Maluku, yaitu ada pada versi Kemenko Maritim.
e.3. Apakah LNG Kilang di Darat mematikan
industri Maritim ? Pilihan kilang di darat, memungkinkan ;
- Pengembangan Industri Petrokimia di wilayah
Maluku dan sekitarnya, yang dapat menghidupkan perekonomian di wilayah
Indonesia Timur, sehingga mengurangi ketimpangan antara wilayah Indonesia, serta
berefek positif membuat makin ramai jalur pelayaran dari dan menuju Indonesia
Timur.
- Pengembangan industri Maritim, karena akan
tersedia Bahan Bakar Gas(BBG) untuk industri perikanan, Cold Storage, bahan bakar industri rumput laut, dan lain sebagainya,
khususnya di wilayah perairan Maluku.
- Distribusi gas – LNG, akan lebih mudah untuk pemenuhan kebutuhan penyediaan listrik
di wilayah Maluku, NTT, dan sebagian NTB.
- Penggunaan
local content lebih dari 35%, yang
dapat menciptakan peluang kerja untuk lebih dari 7.000 tenaga kerja(TK).
-
e.4. Apakah kondisi laut di sekitar Blok Masela
tidak memungkinkan atau tidak sesuai untuk perpipaan LNG darat, karena
dikawatirkan terjadinya gempa dan kondisi palung ?
Menurut
sumber dari Jurnal Geophysical Research,
Vol. 117, B09310, dok.10.1029/2012.JB009425.2012, Peta Seismotektonik, Blok Masela dan sekitarnya dinyatakan bebas gempa.
Sedangkan untuk profil penampang kelandaian dasar laut dari Blok Masela ke
pulau Selaru, menurut gambaran Kemenko Maritim tidak menunjukan rentang
penampang pipa pada palung yang lebih dalam, sebagaimana digambarkan oleh
SKK-Migas(dan Inpex). Menurut SKK Migas
(dan Inpex) alur penampang pipa masuk
ke bawah ke dalam permukaan dasar laut yang berpalung lebih dalam.
e.5. Bagaimana dengan resiko kilang LNG Terapung
(Offshore), adakah ?
- Belum ada data yang menunjukan telah ada bukti
penggunaan teknologi
LNG
Terapung yang dioperasikan hingga tahun 2017. Sebagai contoh,
Prelude
– Australia, baru saja beroperasi 2017 tahun lalu.
- Belum
ada referensi yang dapat digunakan untuk memastikan bahwa biaya investasi LNG di darat lebih mahal atau lebih
besar dari LNG Terapung.
- Menurut
saran pertimbangan dari lembaga konsultan Poten
and Partners, resiko keselamatan, stabilitas, kehandalan operasi, serta
kesulitan mentransfer LNG ke Small
Carrier, secara teknis tidak memungkinkan untuk menyuplai LNG ke daratan. Selain itu penggunaan LNG menurut Poten and Partners, tidak ekonomis untuk bahan baku industri
Pertrokimia.
- Belum
ada perusahaan Asuransi yang sanggup memberikan jaminan
- Penggunaan
local content kurang dari 10%, atau
tidak lebih dari 2.000 TK.
Perseteruan para pihak tentang pilihan opsi pembangunan
kilang LNG Blok Masela, telah membuat
kisruh. Terbaca seperti ada sesuatu yang sengaja disembunyikan dan sadar
direkayasa, agar Blok Masela bisa memberi keuntungan sepihak dan maksimal dalam
waktu singkat bagi kelompok yang boleh jadi dapat disebut sebagai kelompok Neolib
(Neo Liberalisme). Sebagai kelompok rezim Neolib, secara bebas dan sadar mempraktekkan
cara menggunakan kekuatan modal dan kekuatan pengaruh dalam jaringan kekuasaan suatu
negara atau wilayah. Dengan begitu, keuntungan sebesar-besarnya yang diharapkan
jaringan pemilik modal(investor) secara sepihak dan dalam waktu singkat, begitupun
tentu pejabat pengambil kebijakan publik yang “terbeli”.
Era ekonomi Neolib saat ini, meletakkan kemampuan modal atau
capital, sebagai kekuatan besar untuk
membebaskan penguasaan jaringan ekonomi seluas-luasnya tanpa harus ada
hambatan. Kepentingan itu bisa datang dari dalam negeri atau dari luar negeri.
Dari luar negeri, tentu akan melibatkan dan atau bekerjasama dengan kekuatan ekonomi
dari luar negeri. Melalui jaringan dan kesepahaman sistem pengelolaan ekonomi rezim
liberal para pejabat pemerintahan, maka dengan regulasi pihak pemodal atau
kelompok Neolib dapat dengan mudah mempraktekan politik ekonomi liberalnya.
Sistem neolib tidak memperdulikan kepentingan masyarakat luas diluar
kepentingan pribadi atau kelompoknya, yang terpikirkan hanya keuntungan ekonomi
yang sebesar-besarnya bagaimanapun cara tempuhnya.
Terdapat kecenderungan kesan sedemikian, boleh jadi seperti
yang tergambar dalam perseteruan para pihak yang mempertahankan pendapatnya
yang menginginkan opsi Offshore -
Kilang Terapung, dan menolak opsi Onshore
– Kilang di Darat. Di pihak lain, pilihan opsi Onshore berdasarkan alasan
dan pertimbangan manfaat yang lebih baik dan luas seperti yang diuraikan di atas,
adalah sebagaimana yang diamanatkan Konstitusi Negara Indonesia UUD 1945, Pasal
(33).
Konstitusi mengamanatkan kepada negara, untuk berlaku adil
dan merata dalam pengelolaan dan distribusi kekayaan yang terkandung di dalam bumi
dan air yang dikuasai negara. Keadilan dan pemerataan berbagi hasil pengelolaan
kekayaan bumi dan air yang dikuasai dan dikelola negara, harus diperuntukkan
dan diwujudkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan hidup rakyat Indonesia,
dengan mengutamakan terlebih dahulu rakyat wilayah letaknya kekayaan dimaksud. Untuk
Abadi Field Blok Masela, rakyat Maluku terutama yang pertama harus
memperoleh manfaat sebesar-besarnya untuk kesejahteraan hidup, karena letaknya
berada di dalam wilayah provinsi Maluku.
Bersambung ke bagian ke -3(tiga) ; V. Dibalik “Kisruh” Blok Masela
Klik di sini ;
Depok, 24
Mei 2018
--------------------------------------
Sumber(Referensi) :
25) Rizal Ramli ; Kompas.com ; Rizal Ramli Minta Pengembangan "Blok
Gas Abadi" Dikaji Ulang ; https://edukasi.kompas.com/read/2015/09/21/183452426/Rizal.Ramli.Minta.Pengembangan.Blok.Gas.Abadi.Dikaji.Ulang (21/09/2015, 18:34 WIB) diundu 1/10/2015, dan ; katadata.co.id
; Rizal
Ramli ; Minta
Pengembangan Blok Masela Dikaji Ulang (Senin 21/9/2015, 18.56) diundu
1/10/2015 21:30
26) Ini Asal Muasal Kisruh Pembangunan Blok Masela
27) Rizal
Ramli. Op.Cit.
28) Rizal Ramli.
Op.Cit
30) Kisruh
Dibalik Pengembangan Blok Masela ; Op.Cit.
31 Rizal
Ramli. Op.Cit
35) Press Release Kepala SKK Migas; Op.Cit.
37) TEMPO.CO KAMIS, 17 DESEMBER 2015 | 04:09 WIB Keputusan Blok Masela Jadi Penentu Investasi Migas
Laut Dalam diundu 10/1/2016 20:33
39) ambonekspres.fajar.co.id
; Op.Cit.
41) Agus Priyanto ; Faisal Basri, Tim Counterpart Blok Masela yang Tak Independen ;
43) Abd
Muissyam ; Soal Blok Masela, Sudirman said Cs “Nyatakan Perang” dengan
Orang Maluku ?
44) Abd Muissyam
; Op.Cit
45) Abd
Muissyam ; Op Cit.
46) ambonekspres.fajar.co.id
; Op Cit.
48) Abd
Muissyam ; Op.Cit
49) Abd
Muissyam ; Op.Cit
51) Edy
Mulyadi ; Op Cit.
52) Edy
Mulyadi ; Op Cit.
54) Rizal
Ramli. Op.Cit
56) Blok
Masela: Masyarakat Maluku Kembali Bersuara Lantang
57) Engelina Pattiasina ; Op Cit.
58) NAPITUPULU,
HAPOSAN. PH.D. Op.Cit