Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Setiap manusia ditakdirkan untuk
lahir, hidup(rejeki) dan mati, tanpa pilihan. Kita tidak dapat memilih untuk
dilahirkan dari keluarga – orang tua, siapa, di tempat atau negara mana.
Menjalani hidup dengan rezeki kehidupan seperti apa, serta ketika saatnya mati
entah kapan dan di mana. Bersyukur bagi kita Orang_Maluku, karena dilahirkan di
tanah air “impian”, yang berlimpah sumber daya alam. Kekayaan yang seakan tak
berbatas.
Kita patut
bersyukur, karena anugerah Tuhan Yang Maha Pemurah dihadiahkan tanpa terkira.
Limpahan rezeki dan keberkatan sumber daya alam yang tersedia, mestinya
peruntukan pemanfaatannya sudah dapat mensejahterakan kehidupan khususnya rakyat
pribumi pemukim kepulauan Maluku saat ini.
Ilustrasi Kepahlawan Pattimura, foto; @mbun01, (21/3/2017)
Maluku Negeri Impian
Maluku secara religi adalah tanah,
air, dan udara di alam dunia yang terberkati. Bumi kehidupan yang menoreh
selaksa harapan dan peluang dengan didukung ketersediaan pemenuhan syarat atas
keinginan – keinginan. Syarat-syarat itu tersedia untuk suatu kepastian dapat meraih
dan menikmati kehidupan sejahtera dan makmur, penuh kebahagiaan dan keindahan
dalam kehidupan. Tidak perlu berharap sebatas khayalan, karena hampir semua syarat
nyata tersedia di alam Maluku untuk meraih dan menikmati peluang itu.
Sumber
daya alam bumi kepulauan Maluku, daratan di atas tanah diberkahi hutan alam, tumbuh-tumbuhan,
hewan dan burung-burung “surgawi”, keanekaragaman hayati. Membentang gunung, bukit, lembah, dan
pantai-pantai, melahirkan mata air dan dialiri sungai dan kali yang bening,
segar, dan higienis. Tanah daratan kepulauan dengan keseimbangan ekologi dan
ekosistem yang nyaris lengkap dan sempurna.
Di perut
bumi – di tanah daratan dan di balik dasar tanah lautan, tersedia aneka tambang
dan sumber energi. Uranium, emas, tembaga, nikel, minyak bumi, gas, batu bara,
batu sinabar – bahan baku Merkuri, batu gamping – bahan baku semen, batu
marmer, beraneka batuan indah. Di lautan - permukaan, perairan, dan dasar
lautan, berlimpah beragam jenis ikan dan aneka hewan laut, mutiara terindah,
sebaran karang beraneka bentuk dan warna, beragam tumbuh-tumbuhan dasar laut,
hingga di bibir pantai, memukau pandangan mata yang menepis keinginan waktu yang
berbatas agar lebih lama menikmati keindahannya. Sempurna dengan limpahan udara
alam beriklim tropis dua musim yang segar dan membetahkan. Membentang bak
permadani pantai-pantai berpasir dan berbatu indah, dengan pepohonan rimbun dan
tumbuh-tumbuhan penghias sepanjang pesisir. Selalu terdengar nyanyian merdu
burung-burung indah di belantara hutan-hutan yang hijau, rimbun, dan lebat.
Hampir
sempurna ketersediaan limpahan sumber daya alam Maluku, yang hanya sebatas menjadi
“mimpi” dari bukan pribumi Maluku. Sebaliknya, menjadi impian yang dapat
dikhayalkan bagi pribumi Maluku karena limpahan kekayaan itu benar-benar nyata
tersedia, dapat dirasakan berharap dapat dinikmati dalam kehidupannya.
Sebagai “Nona Manis”, Maluku Selalu Dikecewakan
Dalam kenyataan
hari ini, Maluku terkesan bagai “Nona Manis”, yang cantik jelita dan nyaris
sempurna dalam ukuran akal pikiran dan nurani, bahkan syahwat. Yang demikian biasanya
menjadi impian siapapun setiap lelaki. Semua ingin memilikinya, maka tentu saja
berbagai cara ditempuh untuk mendapatkannya.
Sebaliknya,
sebagai nona manis, tentu memiliki impian-impian tersendiri yang ingin digapai,
dan mempunyai pertimbangan dan pilihan-pilihan agar bagaimana dengan
kemanisannya dapat menjadi kebaikan bagi diri sendiri tanpa kesulitan dan ada
pembatasan untuk memilih jalan hidupnya untuk masa depannya. Tetapi itu sebatas
impian, karena sebaliknya kepahitan yang dirasakan.
Sebagai
suatu impian – tentu berbeda dengan mimpi, memang mesti dikhayalkan karena
memiliki landasan dan alasan. Impian adalah ide dasar berpatokan pada suatu
kesaksian nyata, akan adanya sesuatu yang dimungkinkan melahirkan impian itu
menjadi hal yang nyata pada bukti yang dimiliki dan sedang disaksikan. Dan Maluku
sebagai “nona manis”, tidak berhenti diperebutkan, karena diimpikan untuk
dimiliki kekayaannya. Selama ini yang disaksikan dan dirasakan, tidak berbeda
dengan pribahasa “habis manis sepa
dibuang”, seperti itulah posisi Maluku.
Tidak ada
yang salah apabila ada pihak begitu bernafsu
menguasai bumi Maluku sebagi tanah air impian untuk digarap dan dimiliki
harta buminya. Kekayaan Maluku, bukan kemudian adalah anugerah kebaikan yang patut
dan mudah untuk dimiliki bagi rakyat Maluku. Malah berubah menjadi musibah yang
melahirkan kekecewaan hingga memunculkan rasa iri pribumi Maluku atas
kekayaannya sendiri. Kekayaan di depan mata, hanya bisa dipandang tanpa
kemampuan maksimal untuk dimanfaatkan dan menikmati hasilnya, sementara orang
lain leluasa menguasai dan bebas menggarapnya, lalu hasilnya dibawa pergi ke
luar Maluku.
Keadaan demikian seperti tidak tidak berbatas, terjadi sejak Maluku terbuka bagi orang luar sudah sejak sebelum dan sesudah kehadiran bangsa-bangsa penjajah asing, hingga pun setelah menyatu dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Maluku belum merdeka untuk menikmati hak milik kekayaan hasil buminya hingga sekarang, sebaliknya masih merana akibat tersandera politik regulasi sebagai kebijakan rezim penguasa negara yang diamini penguasa di daerah. Pada akhirnya melahirkan musuh bersama kemanusiaan, yaitu kemiskinan pada rakyat Maluku.
Keadaan demikian seperti tidak tidak berbatas, terjadi sejak Maluku terbuka bagi orang luar sudah sejak sebelum dan sesudah kehadiran bangsa-bangsa penjajah asing, hingga pun setelah menyatu dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Maluku belum merdeka untuk menikmati hak milik kekayaan hasil buminya hingga sekarang, sebaliknya masih merana akibat tersandera politik regulasi sebagai kebijakan rezim penguasa negara yang diamini penguasa di daerah. Pada akhirnya melahirkan musuh bersama kemanusiaan, yaitu kemiskinan pada rakyat Maluku.
Rasa iri
karena selalu dikecewakan, sesak karena dijepit, merana karena diabaikan
hak-haknya, memang menyakitkan. Maluku selalu kecewa. Sudah bertahun-tahun dan
berlapis kekecewaan yang dirasakan pribumi Maluku, bahkan tanpa jeda waktunya. Dampaknya
makin buruk, karena telah meracuni cara berpikir dan mental sebagian orang
Maluku beralih jadi apatis dan pasrah, “mati kutu”. Parahnya lagi makin kehilangan
ke-maluku-annya, berubah sifat dan arah berpikir menjadi bagai “Opas Walanda”- cerita lengkapnya akan
dimuat dalam tulisan lain. Yaitu anekdot tentang orang yang segala sesuatu
dilakukan semata atas perintah tuannya, tanpa berpikir, tanpa inisiasi, akibat takut
atau sungguh karena bodoh.
Maluku
terkesan, makin kehilangan nilai-nilai perjuangan dan semangat kepahlawanan
Kapitan Pattimura dan ribuan pahlawan pribumi Maluku yang telah rela berkorban
nyawa, mati berkalang tanah, demi menyelamatkan tanah air Maluku dari aneksasi
penjajahan orang asing. Kecuali hanya sekadar rekayasa kata-kata yang
dipaksakan untuk ditulis pada potongan terbatas panflet atau balehu sederhana, serta koor
aubade-serenade yang dikomando dalam upacara serimonial. Persembahan yang kian
kehilangan makna dan manfaatnya, karena tidak lagi membathin di benak generasi
milenial. Menjadikannya rutinitas yang makin tidak “bernyawa”.
Tidak
mudah memang, segala sesuatu yang diimpikan dapat digapai. Maluku butuh para
“Kapitan Milenial” – generasi bernyali era millennium
kedua, yang pantang pulang tanpa mengusung “kepala lawan” untuk dipajang di
Baileu. Tentu saja butuh syarat dan cara, agar mampu berjibaku dan pantang
berbalik mundur ketika dihadapkan dengan tantangan dan rintangan yang
menghadang. Didukung sarana sebagai media transformasi dan distribusi impian
dimaksud. Dikukuhkan dalam sebuah strategi dengan pola terencana yang
konstruktif, terukur, dan masif. Bersih dan steril dari kepentingan pragmatis
sempit, sepihak, sesaat, yang tentu saja sesat. Tersempurnakan melalui kesepakatan bersama yang
didukung penuh kesungguhan upaya implementatifnya secara maksimal. Dipoles
semangat jiwa yang terbangun melalui visi yang menjanjikan, dan dipastikan
dapat divisualkan di masa depan.
Kampung
Bulak, 14/08/2019
No comments:
Post a Comment