Pohon “raksasa” di belantara hutan –
Dataran tinggi Supamaraina, Pegunungan Manusela, pulau Ceram, Maluku
(Sumber foto; Victor Parinussa Lopulalan)
Provinsi Maluku memiliki luas daratan hanya 7,6% (54,148,48 Km2) dari luas lautan yang 92,4%(658,331,52 Km2). Dari luas daratan yang tidak seberapa besar itu, terdapat luas keseluruhan kawasan daratan yang dinyatakan sebagai wilayah hutan adalah sebesar 3.919.701 Ha. Sudah sejak rejim Orde Baru di awal tahun tujuhpuluhan, sudah berlangsung aktifitas penebangan pohon di hutan-hutan pulau besar di Maluku – Maluku Utara, disertai industri besar yang memproduksi kayu lapis. Masifnya aktifitas formal “penggundulan hutan” Maluku tersebut sepertinya belum berakhir. Hingga di rezim Reformasi saat ini, masih aktif berlangsung tanpa jeda dan tanpa terganggu dengan berbagai protes masyarakat adat. Masyarakat (Hukum) Adat secara de facto diakui sebagai pemilik hak ulayat atas hutan-hutan yang diberi ijin konsesi secara resmi oleh negara atas dasar ayat-ayat sakti Konstitusi Negara Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Melalui Surat Keputusan(SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan(LHK)
Republik Indonesia Nomor : SK.2382/Menhut-VI/BRPUK/2015 Tanggal : 29 Mei 2015
terdapat 15(limabelas) perusahaan IUPHHK-HA/HT(Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Kayu - Hutan Alam/Hutan Tanaman) yang beroperasi atau mengusahakan
kawasan hutan di Provinsi Maluku. 13(tigabelas) perusahaan pemegang IUPHHK-HA,
dan 2(dua) perusahaan pemegang IUPHHK–HT, dan surat Gubernur Maluku hanya
diperuntukan kepada perusahaan pemegang IUPHHK – HA. Dan dengan SK dimaksud,
atas nama negara, Menteri LHK kepada para “pemodal” diberikan ijin konsesi atas
kawasan hutan Maluku adalah sejumlah 758,850 Ha, untuk memproduksi kayu
rata-rata per tahun 250.000 M3. Jumlah yang diijinkan merupakan 19,36% dari
keseluruhan luas kawasan hutan, atau 49,41% dari luas Hutan Produksi(HP) dan
Hutan Produksi Terbatas(HPT).
15(limabelas) perusahaan IUPHHK-HA/HT(Ijin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Alam/Hutan Tanaman) yang beroperasi
di kawasan hutan di Provinsi Maluku. 13(tigabelas) perusahaan
pemegang IUPHHK-HA, dan 2(dua) perusahaan pemegang IUPHHK–HT
IUPHHK - HA/HT, dulu atau sebelumnya pemerintah Indonesia menggunakan
istilah ijin HPH/HTI(Hak Penebangan Hutan/Hutan Tanaman Industri). Istilah “Hak
Penebangan”, sepertinya kemudian disadari pemerintah - pengambil kebijakan, itu
keliru atau bahkan salah. Istilah yang disingkat HPH/HTI, kemudian diganti
dengan sebutan yang lebih “indah”, yaitu Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan.
Intinya sama saja, yaitu untuk menebang pohon-pohon “raksasa” yang telah
ratusan bahkan ribuan tahun tumbuh dan tegar menancap ke bumi dan berdiri tegak
menjulang ke langit di kawasan hutan-hutan alam untuk diambil kayunya demi
kebutuhan pundi-pundi keuangan negara dan daerah. Atas nama kekuasaan negara, hutan-hutan
alam yang bukan tidak mungkin sebagian – seperti di Maluku, ada pemiliknya,
tetapi kewenangan negara sebagai pengatur kebijakan menjadikan para pemilik
berada pada posisi lemah secara prosedural dan formal administratif.
Luas Kawasan Hutan di
Provinsi Maluku - SK Menteri Kehutanan Nomor 854/Menhut-II/2014 tanggal 29
September 2014
(Sumber tabel dan data;
Dinas Kehutanan Provinsi Maluku)
Moratorium dan Masyarakat
Adat
Terbitnya Surat Gubernur Maluku Morad Ismail Nomor 552/ 1850, tentang Penghentian
sementara (Moratorium) Kegiatan
Operasional IUPHHK–HA/HT, yang ditujukan kepada Pimpinan IUPHHK–HA/HT,
tertanggal 10 Juni 2019. Kebijakan yang sifatnya sementara itu, semacam butiran
embun di dedaunan yang menyegarkan ketika hari masih pagi sebelum terbitnya
matahari yang belum tentu berudara sejuk. Apakah sesingkat dan sebatas itu
waktunya, yang kemudian berubah ketika muncul matahari dengan sinar teriknya
yang melenyapkan kesejukan itu, dan malah makin membuat gerah dan menyiksa
dalam waktu yang panjang. Begitu pula, apakah dengan moratorium sudah dipastikan tidak akan menimbulkan aksi kejahatan berupa penebangan dan pembalakan secara liar yang tentu didukung dengan modal dan alat oleh para perambah hutan 'berdasi". Untuk itu butuh dukungan kuat dari para Bupati dan aparat pemerintahan hingga level terbawah, untuk mengawal kebijakan yang sudah diambil Gubernur. Masyarakat Adat pun harusnya dilibatkan, diajak berpartisipasi, untuk ikut serta mengamati, mengawasi, dan mengawal, implementasi kebijakan moratorium di wilayah-wilayah adanya kawasan konsesi.
Membaca pertimbangan yang menjadi alasan surat Gubernur, memang cukup
mendasar dan luas cakupan serta makna dan tujuannya. Namun demikian, agak belum
menyentuh bagian lain dari kepentingan Masyarakat Adat pemilik hak ulayat pada
kawasan-kawasan hutan yang diberikan izin oleh pemerintah untuk para pemilik
modal beroperasi menjalankan bisnisnya.
Masalah memformalkan hak Masyarakat Adat yang masih saja menggantungkan dalam harapan ketidakpastian yang sebelum
dan sementara ini masih dalam usaha yang masih terus diperjuangkan. Harus diakui bahwa hampir semua
kawasan hutan yang di”usaha”kan pemegang IUPHHK, khususnya pada hutan alam(HA) di Provinsi Maluku, selalu bermasalah antara Masyarakat Adat setempat dengan pemegang izin konsesi. Hal itu berakibat timbulnya silang sengketa atau konflik, yang berlarut-larut.
Hutan di Maluku, hampir tidak ada yang tidak diakui sebagai hutan
hak adat atau hutan hak ulayat Masyarakat Adat di sekitar wilayah setempat. Akan
tetapi ketiadaan bukti formal secara tertulis dan tergambar di atas kertas
terhadap pengakuan hak kepemilikan dimaksud, telah mengalahkan hak secara de facto yang pengakuan kepemilikan
haknya hanya beralaskan kesaksian semu dalam bahasa tutur dan pembuktian tanda secara
maya dengan merujuk pada benda atau posisi alam di sekitarnya.
Deforestasi dan
Degradasi Hutan
Aktifitas perusahaan penebangan hutan di Ahiolo-Abio, Seram bagian Barat(Foto; Istimewa)
Pengusahaan hutan untuk kebutuhan kayu oleh perusahaan, sudah merupakan kegiatan industrialisasi yang bertujuan meraih laba
sebesar-besarnya. Negara menerima pendapatan dari biaya ijin yang diterbitkan,
dan daerah – lokasi hutan, hanya kebagian pajak penjualan hasil kayu sebagai
pendapatan asli daerah(PAD). PAD dari hasil hutan oleh perusahaan yang disetorkan kepada kas
daerah Provinsi maupun kabupaten/kota di Maluku, oleh masyarakat umumnya samasekali
tidak ada yang tau seberapa besar angka pendapatannya. Tetapi dampak dari kehadiran industri berbasis eksploitasi kayu hutan alam bagi masyarakat
sekitar hutan yang diberi konsesi oleh pemerintah, tidak berarti apa-apa, selalu saja dampak negatif dan merugikan
dalam jangka waktu yang lama.
Berbeda dengan kebutuhan terbatas terhadap kayu dari kawasan hutan oleh umumnya
masyarakat biasa, tidak seberapa parah dibanding perusahaan pemegang izin
konsesi hutan. Deforestasi dan degradasi hutan di Maluku harus diakui adalah akibat kegiatan
penebangan besar-besaran oleh perusahaan-perusahaan yang diberi izin resmi, dan penjahat perambah
hutan yang dibiayai jaringan mafia pengusaha pedagang kayu. Bukan oleh masyarakat biasa
umumnya, apalagi oleh masyarakat adat pemilik hak ulayat atas hutan setempat.
Masyarakat Adat di Maluku selama ini adalah yang paling berperan aktif menjaga hutan
mereka, sehingga bisa lestari dari generasi ke generasi, hingga negara hadir
dengan kewenangan yang diatur sepihak melalui regulasi oleh rezim penguasa.
Masyarakat adat baru sadar akan kehilangan hutan-hutan mereka, ketika
dikejutkan dengan kehadiran alat dan mesin-mesin modern penghancur hutan di wilayahnya.
Hutan yang digunduli, berakibat buruk pada daya serap air hujan menjadi sangat
minim. Sebaliknya, terjadi peningkatan debit air di saat musim hujan yang berujung banjir besar,
meluap, melebar, dan meluas dari daerah aliran sungai(DAS) alami biasa dan
sebelumnya. Selalu buruk akibatnya. Bukan saja merusak kebun dan tanaman pertanian masyarakat, tetapi juga hingga mengairi pemukiman masyarakat, yang menyulitkan masyarakat untuk
beraktifitas serta tidak dapat memanfaatkan air aliran kali karena selalu penuh lumpur. Lumpur
dari tanah yang terkikis dari tanah yang sebelumnya adalah hutan-hutan tetapi karena telah digunduli perusahaan konsesi. Tanah yang terbawa banjir hingga ke daerah aliran kali/sungai, sehingga mengalami pendangkalan. Tanah
lumpur juga membuat air tidak lagi bening serta bebas dari kuman dan bakteri berbahaya, tentu tidak lagi dapat dimanfaatkan
masyarakat setempat. Sebaliknya ketika datang musim kemarau, kali/sungai yang sebelum selalu
mengalirkan air, berubah menjadi kubangan telaga yang kotor, bahkan menjadi kering. Plasma nutfah pada aliran air yang
merupakan bagian dari ekologi air dan berkontribusi dalam ekosistem alam
sekitarnya menjadi mati dan lenyap.
Beberapa contoh kasus, dari dampak buruk akibat penggundulan hutan
besar-besaran oleh perusahaan konsesi di bagian hulu atau berdekatan dengan
aliran sungai/kali. Sudah terjadi di kali Wae Pure di pulau Buru bagian utara,
Wae Kawa, Tala, Eti, dan Sapalewa di pulau Ceram bagian barat, Wae Mala, Wae
Pia, Wae Ruatan(Wae Lahatan) di Teluk Elpaputih. Wae Kawa-Nua di Teluk Telutih,
Wae Mual, Wae Isal, Wae Sariputih, Wae Samal, di Ceram Utara, serta Wae
Mesiwang di bagian paling timur pulau Ceram, dan Wae Kudal serta Wae Noil di
kecamatan Werinama. Dua kali/sungai yang tersebut terakhir bukan oleh
perusahaan yang mendapat ijin konsesi hutan, tetapi oleh perusahaan PT. Nusa
Ina yang berencana membuka perkebunan kelapa sawit di hutan lindung, antara negeri
Tobo dan negeri Osong. Perusahaan dimaksud ditengarahi beroperasi dengan modus perkebunan kepala sawit, tetapi nyatanya saat ini yang dilakukan adalah
kegiatan penebangan dan perdagangan kayu. Aktifitas tersebut selain telah
berakibat merusak daerah aliran sungai/kali dari 2(dua) kali - Wae Kudal dan Wae Noil, juga tentu akan membahayakan
keselamatan masyarakat setempat.
Kayu dari pohon yang ditebang sesuai ijin, biasanya sudah dipetakan
kawasannya dan sudah pula dihitung berapa jumlah kubikasi kayu yang hendak
dihasilkan sebelum aksi operasional penebangan di lapangan - hutan. Yang tidak dihitung – karena tidak diperlukan
pemberi dan apalagi penerima ijin, adalah berapa jumlah pohon lain yang jadi
korban patah, roboh, dan mati, di sekitar satu batang pohon yang ditebang. Satu
pohon yang dirobohkan sesuai patokan baku ukuran diameter pohon yang dituju
untuk setiap pohon yang ditebang, tidak dapat dihindari akan ikut menjadi
korban puluhan batang pohon lain di sekitarnya. Belum lagi, ketika batang pohon
dimaksud akan diangkut ke lokasi penumpukan, berapa lagi pohon yang rusak,
hancur, dan lenyap, guna membuka akses jalan bagi sebatang pohon besar yang hendak
ditarik atau diangkut.
Penggundulan hutan atau deforestasi, berakibat terjadinya degradasi hutan.
Seterusnya masih terdapat daftar panjang dampak buruk dan menyakitkan yang
menyertai tanpa mampu dikendalikan, dan hutan yang sudah digunduli tidak
mungkin lagi bisa dikembalikan sebagaimana kondisi semula. Belum lagi minimnya
implementasi aturan sanksi reboisasi, dan lemahnya penegakkan hukum bagi
pelanggar batas ijin konsesi beserta kelalaian atas kewajiban sosial perusahaan
konsesi. Reboisasi hanya omong kosong dan mimpi di atas kertas dan di meja "transaksi izin". Cerita tentang kegagalan menghutankan kembali hutan yang telah digunduli, malah tidak lagi menjadi perhatian utama, belum lagi tidak mungkin bisa dalam waktu singkat dapat mengembalikan kondisi hutan kepada keadaan sediakala
seperti sebelum digunduli. Maka terbitnya moratorium, bukan solusi, apalagi sifatnya hanya sementara, akan
tetapi sediki dapat memberi “nafas kehidupan” bagi hutan dari nafsu angkara
penggundulan hutan tanpa empati oleh pemilik modal besar melalui
perusahaan konsesinya. Sebaliknya kepada komunitas masyarakat adat setempat
pemilik hak ulayat atas hutan yang dikonsesikan, dapat menggunakan kesempatan
untuk membenahi perihal prasyarat yang ditentukan sesuai peraturan negara terhadap prosedur dan langkah mengformalkan hak kepemilikan secara adat atas hutan yang menjadi tujuan moratorium. Masyarakat Adat juga harus berperan aktif mengawasai aktifitas perusahaan, agar tidak ada kegiatan apapun di
area atau wilayah konsesinya selama masa berlaku moratorium, yang tidak
ditentukan batas waktunya. Akan tetapi bisa dipastikan, pada saatnya moratorium
akan dicabut.
Hanya Bupati Kepulauan Tanimbar Yang
Tanggap
Tepat 2(dua) bulan, sejak surat Moratorium Gubernur Maluku di terbitkan
dan disampaikan kepada ke 13(tigabelas) perusahaan pemegang ijin konsesi hutan
di Maluku, dengan tembusan kepada seluruh Bupati/Walikota di Maluku. Aksi cepat
tanggap ditunjukan oleh Bupati Kabupaten Kepulauan Tanimbar, Petrus Fatlolon.
Tindak lanjut penegasan melalui surat Bupati Nomor 552/785/2019 tertanggal 26
Juni 2019, ditujukan kepada PT. Karya Jaya Berdikari untuk sementara
menghentikan seluruh kegiatan operasional pemanfaatan hasil hutan kayu di
wilayah kabupaten Kepulauan Tanimbar. Sikap Bupati itu sekaligus memenuhi
janjinya kepada masyarakat Tanimbar dalam aksi damai oleh Umat dan Ormas
Katholik yang berlangsung di Kantor
Kabupaten pada selasa (19/9/2017).
Sikap
bijak yang langsung tanggap oleh Bupati Kepulauan Tanimbar ternyata tidak
berimbas kepada para Bupati yang lain, khususnya di 3(tiga) kabupaten di pulau
Ceram dan 2(dua) kabupaten di pulau Buru, yang bersangkutan dengan aktifitas
perusahaan pemegang IUHHK – HA pada wilayah administratif kabupatennya. Sudah
melewati bulan kedua sejak surat moratorium Gubernur Maluku diterbitkan, tetapi
terkesan Bupati yang lain masih “sono” – tertidur pulas, atau mungkin
menganggap bukan urusannya karena tujuan surat kepada perusahaan konsesi dan
mereka hanya mendapat surat tembusan dan apalagi bukan semacam perintah
langsung oleh Gubernur kepada para Bupati yang bersangkutan.
Aksi Damai
Masyarakat Adat Alifuru Pulau Ceram memprotes Ijin Konsesi kawasan Hutan Adat,
di 0 Km pusat kota Ambon (7/11/2018). Aksi yang semula berlangsung tertib,
berubah ricuh oleh “Siluman Provokator” yang menyusup ke dalam barisan massa
aksi, ketika tiba di halaman kantor Gubernur Maluku (Foto ; Istimewa)
Permasalahan sengketa kawasan hutan adat yang mendapat Ijin Konsesi oleh
Pemerintah Pusat adalah atas Rekomendasi yang diterbitkan Pemerintah Daerah, baik Provinsi
maupun Kabupaten, bukan saja mendapat protes keras masyarakat di Kepulauan
Tanimbar. Sudah berkali-kali aksi damai di lakukan masyarakat adat guna
memperjuangkan hak-haknya atas hutan adat yang dikonsesikan pemerintah. Aksi
protes dilakukan baik masing-masing di lokasi yang disengketakan, di kota-kota
pusat pemerintahan Kabupaten, hingga pusat pemerintahan Provinsi Maluku di kota
Ambon. Nyatanya tidak ada realisasi kepastian janji-janji yang di”nyanyi”kan
para Bupati dan Gubernur Maluku – sebelum ini, kecuali yang dilakukan Gubernur
Morad Ismail – saat ini, dan oleh Bupati Kepulauan Tanimbar.
Surat Moratorium oleh Gubernur Maluku, sejalan dengan Pemerintah Pusat yang
juga masih memberlakukan moratorium hutan hingga saat ini. Yaitu keputusan
Menteri LHK yang telah menetapkan Peta moratorium revisi XIII melalui Surat Keputusan No. SK.
6559/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/12/2017 tanggal 4 Desember 2017. SK ini mewajibkan
Gubernur dan Bupati/Walikota dalam menerbitkan rekomendasi dan penerbitan izin
lokasi baru berpedoman pada peta moratorium dimaksud.
Sejatinya,
Gubernur- begitupun Bupati dan DPRD se Maluku, tidak berhenti sampai dengan
hanya moratorium yang sifatnya sementara, tetapi ditindak lanjuti kepentingan
dan harapan besar Masyarakat Adat Maluku, dengan segera membuat Peraturan
Daerah(Perda) serta Surat Keputusan Kepala Daerah terhadap penetapan Hutan Adat di masing-masing kawasan 3(tiga)
pulau besar yaitu Ceram, Buru, dan Yamdena, serta Kepulauan Aru. Dengan begitu,
akan meminimalkan dampak timbulnya sengketa hak atas wilayah adat antara sesama
komunitas Masyarakat Adat, maupun antara Masyarakat Adat dengan perusahaan pemegang izin konsesi yang diterbitkan Pemerintah.
Sebagai akhir, masih terdapat perusahaan yang ditengarahi sudah sedang beroperasi
tetapi tidak tercantum di dalam daftar Moratorium, yaitu CV. Titian Hijrah di wilayah adat negeri Ahiolo-Abio, PT. Strata Pacific di Teluk Waru - SBT, yang mendapat ijin konsesi selama 35 tahun, dan PT. Tanjung Wana Sejahtera yang
sekalipun diketahui permohonan ijinnya untuk tiga lokasi konsesi di SBB sudah
ditolak Kementerian KLH, tetapi di lapangan sepertinya sudah ada aktifitas penebangan.
Selain itu, terindikasi masih akan hadir beberapa perusahaan berikutnya, antara
lain PT. Borneo Indah Permai - yang akan menggunduli hutan SBT. Perusahan-perusahaan itu sedang berupaya atau
dalam proses mendapat ijin konsesi dari Pemerintah Pusat – Menteri KLH, yang
tentu dilampiri dengan surat Rekomendasi dan Ijin Lokasi Baru dari Gubernur Maluku
dan para Bupati letak lokasi tujuan ijin konsesi hutan.
Idul Qurban(11/8/2019)
Catatan ;
* Sebagian sumber data, informasi, atau
rujukan, dalam tulisan ini mungkin tidak disebut, akan tetapi semua ada dalam
dokumentasi penulis.
* Tulisan selanjutnya adalah berupa peta
area/kawasan konsesi masing-masing dari 13 perusahaan pemegang IUPPK-HA di
pulau Ceram,
Buru, Yamdena, dan Kepulauan Aru.
Buru, Yamdena, dan Kepulauan Aru.
No comments:
Post a Comment