Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Abadi Field Blok Masela, Negara harus adil, proporsional, dan transparan, dalam berbagi
hasil Sumber Daya Alam gas Blok Masela dengan Maluku (Grafis @embun01/Sumber SKK Migas)
Blok Masela terletak di
bumi Kepulauan Maluku yang memiliki pemukim – manusia atau orang yang menjadi
penduduk asli suatu wilayah, yang tentu jauh lebih tua dan lama usianya dari
umur penggabungan dalam bentuk satu nama wilayah baru yang disebut negara. Akan
tetapi Blok Masela bukan berarti hanya atau adalah milik seutuhnya masyarakat
pemukim atau pribumi Kepulauan Maluku semata. Di baliknya di dalam kenyataan
bernegara dengan berbagai dilema kekinian yang dihadapi daerah Maluku, tentu
akan memunculkan berbagai tanya tentang apa manfaat peran negara, ketika masih
dihadapkan pada situasi daerah yang kecenderungannya mengecewakan.
Wilayah daerah Maluku kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA), di lain pihak
masyarakatnya masih berselimut kemiskinan.
Sebagai satu kesatuan dalam sama-sama bernegara, yang paling
diutamakan adalah kesamaan derajat dan mendapatkan perlakuan yang adil dan
proporsional terhadap kedudukan hak dan kewajiban selaku warga negara. Hak
berpolitik secara demokratis, hak penghormatan terhadap kepemilikan, dan hak
untuk sama-sama memperoleh kehidupan sejahtera. Demikian dengan hak politik
dalam negara Indonesia yang menganut azas demokrasi, sudah seharusnya tersedia
ruang berdiskusi dan berpendapat oleh warga negara terhadap posisi negara dan
setiap produk kebijakan yang ditetapkan dan dijalankan rezim pemerintahan
negara. Membedah dan mengkritisi suatu produk kebijakan setiap rezim
pemerintahan sudah semestinya mendapatkan ruang dan keleluasaan untuk
disuarakan baik sebagai individu maupun secara bersama-sama selaku warga
negara.
Memandang kedudukan negara – Indonesia, dalam kerangka berpikir
nasionalisme, adalah satu hal. Tetapi bukan berarti menafikan hal yang lain
dalam konteks daerah sendiri – Maluku, oleh sebagai Orang Maluku, yang tentu
tidak sangat rasional untuk diabaikan posisinya sebagai wilayah penghasil
terbesar SDA gas bumi yang ada pada Blok Masela. Sementara menyaksikan
kenyataan saat ini Maluku dalam kesejahteraan hidup penduduknya, sebagian masih
berkubang dalam derita hidup sebagai warga miskin dengan peringkat luar
biasa. Betapa tidak, wilayah yang dianugerahi Tuhan dengan kelimpahan kekayaan
sumber daya alam, dan tentu dengan jumlah penduduk tidak seberapa besar
dibanding daerah lain di Indonesia, kenyataan menunjukkan masih saja miskin.
Masih bertengger pada urutan ke-4(empat) provinsi termiskin dari 34 daerah
Provinsi negara Indonesia.
Maluku memang salah satu provinsi dari negara Indonesia, tetapi
adalah wilayah yang sejak semula atau sebelum dan hingga disatukan dalam negara
Indonesia, merupakan komunitas Masyarakat (Hukum) Adat - MHA. Sebagai
MHA, secara sosial kemasyarakatannya terikat dalam tatanan hukum adat. Hukum
Adat telah dengan baku mengatur dan menerangkan kepemilikan terhadap suatu
wilayah atau objek yang menjadi haknya. Wilayah yang disebut atau ditunjuk,
bisa apakah itu berupa wilayah di tanah (kering) daratan maupun di perairan
(kali/sungai, dan hingga pun laut – lepas pantai), sebagai hak ulayat.
Suatu hak yang tidak baru dan serta-merta dimiliki, akan tetapi diperoleh
secara turun-temurun, sudah sejak awal dinyatakan sebagai milik yang dikuasai
secara bersama-sama dalam komunitas suatu masyarakat adat. Tanah dan perairan
dimaksud, baik di permukaan maupun di balik permukaan atau di dalamnya, sudah tentu
tidak tanpa memiliki atau terdapat sumber daya. Masyarakat pribumi Maluku boleh
terpisah-pisah pada begitu banyak pulau, tetapi secara sosial dan budaya merasa
sama-sama terikat dalam satu kesatuan MHA Maluku.
Sampai tiba kemudian negara hadir, dan Maluku dinyatakan sebagai
salah satu provinsi dari Negara Indonesia, hak(azasi) kepemilikan selaku MHA
lalu berubah. Maluku berada dalam keterbatasan posisi kuasa dan lemah dalam
daya tawar kepentingan daerahnya. Pembatasan yang sengaja secara sadar dan direncanakan
matang melalui regulasi oleh rezim pemegang kekuasaan pemerintahan negara.
Negara lalu diposisikan secara formal, utuh, dan disentaralkan sebagai penguasa
yang paling berhak, dan adalah pengatur tunggal dalam eksploitasi dan
pembagi hasil kekayaan SDA. Negara melalui Pemerintah Pusat – Pempus,
yang berwewenang memutuskan berhak atau tidak kepemilikan suatu kekayaan
alam di daerah, serta pembagian pendapatan hasil untuk setiap kekayaan sumber
daya alam yang digarap dan dikelola di semua wilayah yang terpetakan –
teraneksasi, sebagai wilayah administratif kekuasaan pemerintahan negara.
Daerah Penghasil SDA setempat - sebagaimana Maluku di Blok Masela,
yang harusnya adalah pemilik SDA dimaksud selaku MHA, dalam
posisi tidak bisa mungkin mengelak dari penguasaan Pempus, sebab telah dibatasi
hingga dihilangkan samasekali, telah "dieliminasi" hak kepemilikannya
secara formal melalui konstitusi negara; Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD
1945). Konstitusi telah dengan sangat jelas mengatur dan menetapkan negara
sebagai penguasa dan pengendali utama kekayaan alam di suatu daerah – provinsi
dan apalagi kabupaten/kota. Negara telah mengatur secara mendasar, baku, dan
formal, sekaligus membatasi – untuk tidak dikatakan menghilangkan samasekali,
hak kepemilikan sebagai daerah penghasil. Dikecualikan kepada Provinsi Papua
dan Papua Barat dengan otonomi khususnya, dan yang diistimewakan seperti Daerah
Istimewa(DI) Aceh. Dua daerah tersebut diperlakuan berbeda, khusus, dan
istimewa, oleh negara dalam hal bagi hasil SDA.
Konsep desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan yang
diagung-agungkan Pempus di dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah(sebagaimana sudah dirubah beberapa kali),
hanya untuk urusan yang lebih bersifat “peran-serta” di bidang administarasi
birokrasi pemerintahan yang sekadar sebagai kepanjangan tangan Pempus. Daerah
diberi otonomi kekuasaan wilayah tetapi dibatasi jarak, luas, volume, dan
kapasitasnya. Begitu pula dalam hal pendapatan bagi hasil antara Pempus(negara)
dan daerah penghasil SDA, sebagaimana UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, yang mengatur tentang
hubungan keuangan di sektor minyak dan gas, dalam prosentase pembagian
benar-benar jauh dari azas keadilan. Daerah penghasil – dengan berbagai
masalah, kendala, dan keterbatasan kemampuannya, memperoleh bagian atau porsi
pendapatan hasil tidak sebanding dengan kebutuhan maupun posisinya sebagai
daerah – wilayah, penghasil SDA. Begitu pula di berbagai aturan secara
sektoral, bahkan hampir seragam saling mengukuhkan dalam menyilang – membatasi
hingga menghilangkan, kedudukan dan peran daerah penghasil, akibatnya daerah
selalu kalah kala berhadapan dengan posisi negara.
Suka atau tidak, induk regulasi oleh negara dalam melakukan
tindakan “pembatasan” kepada daerah penghasil SDA, adalah Ayat (3) Pasal 33 UUD
1945 – sebelum dan sesudah diamandemen, bahwa ; “bumi dan dan air dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya, dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Atas dasar ayat-ayat sakti konstitusi,
posisi Maluku beserta kekayaan SDA gas Blok Masela, sudah diatur dalam aturan
turunannya yaitu UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. UU
dimaksud menjelaskan tentang posisi Negara yang memberikan wewenang kepada
Pemerintah Pusat dengan status sebagai Kuasa Pertambangan sebagai eksekutor
dalam mengatur dan menyelenggarakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi sumber
daya alam pertambangan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, di
antaranya adalah pertambangan gas di Blok Masela.
Masela adalah nama yang diambil dari nama pulau terdekat, pulau
Marsela, untuk menamai area lapangan atau blok gas alam abadi. Kekayaan
kandungan gas pada blok Masela hampir tidak terbatas potensinya, sehingga
disebut lapangan Abadi atau Blok Abadi. Letak blok gas tersebut berada di perut
bumi dasar laut Arafura wilayah Kepulauan Maluku, tetapi adalah “kekayaan
nasional” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal (1), dan hak penguasaan sepenuhnya
oleh negara diformalkan dalam Pasal (2) UU Nomor 22 Tahun 2001. Sementara
Pemerintah Daerah - Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain
sebagaimana Ketentuan Umum Pasal (1) Ayat (22) UU yang sama, “ hanya”
diposisikan sebagai Badan Eksekutif di Daerah di mana letak area objek
pertambangan.
Posisi Maluku – begitupun daerah lain yang sama sebagai daerah
penghasil, jelas secara formal telah dieliminasi melalui regulasi dalam UU
dimaksud yang dibuat Pemerintah Pusat. Dengan demikian, kuasa kepemilikan
tidak pada daerah sebab telah tersingkirkan atau disisihkan oleh kekuasaan
Pempus atas nama negara. Daerah pemilik harus mengalah, kecuali dianggap untuk
difungsikan hanya sebagai pelaksana kebijakan dan perintah kekuasaan Pempus di
daerah. Maka itu, tidak heran kita menyaksikan dalam hampir setiap pembicaraan
dan apalagi pengambilan keputusan penting tentang Blok Masela di dalam
lingkup Pempus, maupun ketika berunding dengan pihak Kontraktor(Investor)
– Inpex dan Shell, Maluku tidak disertakan. Daerah Penghasil hanya boleh
menerima yang diputuskan Pempus(Negara), termasuk keputusan Blok Masela
dikelola sepenuhnya(100%) oleh pihak Kontraktor Production Sharing Contract(PSC) - kontrak bagi
hasil produksi, Inpex Corporation - Jepang(65% Saham) dan Shell – Belanda(35%Saham).
Blok Masela 100% pun sepenuhnya dikuasai pihak asing.
Makna kedaulatan negara dan nasionalisme kebangsaan dalam penguasaan guna
memproteksi kekayaan negara sebagaimana amanat konstitusi negara kehilangan
esensinya. Kadang menjadi semacam omong kosong politik melalui politisasi
jargon patriotis yang terasa manis dan terdengar indah. Pada kenyataannya hanya
rayuan palsu kepada rakyat – khususnya di daerah, yang papah cara dan buta
jalan untuk mempertanyakannya.
Konstitusi negara, bukanlah Kitab Suci Agama yang adalah Wahyu
Allah yang tidak mungkin bisa dapat dirubah manusia. Berbeda dengan Konstitusi
yang bisa dirubah-rubah atau diamandemen. Konstitusi UUD 1945 sudah mengalami
amandemen malah sampai 4(empat) kali. Begitu pula sistem pemerintahan Negara
Indonesia - pascareformasi tahun 1998, telah berubah dari rezim
pemerintahan dengan sentralisasi serta konsentrasi kekuasaan yang hanya pada
Pempus, menjadi desentralisasi dan dekonsentrasi kekuasaan kepada pemerintahan
daerah. Daerah diberi wewenang kekuasaan berupa otonomi kekuasaan di
masing—masing daerah, khususnya kabupaten/kota, tetapi bukan tidak terbatas.
Konstitusi diamandemen lagi, kenapa tidak. Atau kembalikan ke semula, dan
diikuti perubahan pada berbagai UU dan serta aturan-aturan turunannya, yang
membuat daerah merasa diabaikan peran dan fungsinya dalam sama-sama mengurus
kepentingan negara di daerah, dan khususnya untuk hak-haknnya sebagai
daerah penghasil SDA.
Reformasi regulasi diperlukan, sehingga daerah penghasil seperti
Maluku, merasa ada keadilan dan kesetaraan oleh negara dalam menikmati porsi
kekayaan wilayahnya secara proporsional dan transparan, sehingga mampu memenuhi
kebutuhannya sendiri. Negara pun tetap berfungsi serta tetap pula mendapat
porsinya, termasuk porsi bagian berbagi dengan daerah lain yang bukan daerah
penghasil atau minim SDA. Reformasi juga mengamanatkan keleluasaan dalam
kerangka demokratisasi yang menyediakan ruang dan jalur kepada rakyat
menyuarakan tuntutannya, agar negara dapat menuntun daerah secara bijak dan
adil. Dengan begitu, dapat menepis munculnya riak arus untuk tidak
menjadi gelombang yang nantinya malah merepotkan negara.
Kampung Bulak, 11 september 2019
Bersambung
tulisan bagian ke empat ; “Berebut PI 10%
Lupa DBH Blok Masela”
No comments:
Post a Comment