Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Pela Gandong - Ilustrasi(by; @embun01/2019
Prolog
Maluku memiliki kekayaan budaya yang unik, khas, inspiratif, dan
beda, yaitu budaya Pela Gandong. Satu dari warisan kekayaan budaya
Bangsa Alifuru – seperti Falsafah Siwalima, Uma Tau - (Mata
Rumah/Fam/Marga), Sastra Kapata, Tom-Tad – hikayat
lisan, dan hukum adat Larvul Ngabal di kepulauan
Kei, dan lain-lain, yang patut terus dikaji untuk diberdayakan, dengan
cara dimanfaatkan sebagai alat pemersatu Orang Maluku, guna penguatan identitas
jati diri ke-Maluku-an.
Budaya Pela Gandong terbukti kaya makna dan fungsi, yang mampu
bertahan melewati ragam hambatan perjalanan seiring perubahan masa dan
pergantian generasi manusia. Pela Gandong – dan serta warisan kekayaan budaya
Bangsa Alifuru lainnya, telah menjadi kebudayaan Maluku, tetapi esensi dasar
dan akar yang adalah cikal bakal - awal sesungguhnya, yang melatar belakangi
sejarahnya belum secara detail dan sempurna diungkap. Latar belakang sejarah
Pela Gandong bertumpu pada riwayat kehidupan Bangsa Alifuru, di mana Maluku
hari ini, terlahir dari Alifuru di masa lalu, karena Alifuru Itu Maluku. Tetapi
masih saja “malu” diungkap, atau, entahlah.
Tema bahasan judul tulisan ini terdiri dari beberapa rangkaian.
Mengenai latar belakang sejarah kehidupan arif Bangsa Alifuru hingga tercipta
budaya Pela Gandong yang dikenal sebagai kebudayaan Maluku sekarang. tentang
latar belakang dan pengertian Pela Gandong, klasifikasi dan filosofi Pela,
serta budaya Pela Gandong sebagai warisan takbenda Bangsa Alifuru. Rangkaian
tulisan ini tidak banyak menggunakan referensi, khususnya mengenai
budaya Pela Gandong yang sudah pernah ditulis dan dipublikasikan sebelumnya.
Secara pribadi penulis, pengetahuan disadur dari pemahaman sebagai generasi
penerus budaya Bangsa Alifuru saat ini, dan disimpul dari tutur sejarah – oral
story, kalangan tokoh adat Maluku, khususnya dari pulau Seram.
Pela Gandong
Dalam Sejarah Kebudayaan Maluku
Berawal di akhir
abad ke empatbelas, bangsa Eropa yang sebelumnya hanya dijadikan pasar –
konsumen(pembeli), terpaksa berusaha mencari sendiri di mana letak wilayah
sumber komoditi rempah-rempah yang telah mendunia selama berabad-abad lamanya.
Era Revolusi Ekonomi dunia pun merebak, dimulai atau berawal dari setelah
kepulauan rempah-rempah – “The Spices
Island”, ditemukan bangsa Eropa – dua puluh lima tahun lebih masa
pencarian(1497-1512) - (Baca; “The Spice Islands” dan Magellan, Entry Point Menuju Dunia Baru - The Spice Islands dan Ferdinand ).
Usaha pencarian untuk menemukan wilayah sumber rempah-rempah
cengkeh dan pala, yang diistilahkan – khususnya cengkeh, sebagai “emas coklat”.
Perumpamaan dari nilai mahalnya harga cengkeh, yang di pasar Eropa saat itu
untuk segenggam cengkeh setara nilai sama dengan segenggam logam emas.
Bagi Maluku, itu
menandai masa dimulainya sejarah Maluku tertulis, yang sebelumnya masih sebatas
cerita mythos – oral story, yang disalin dari mulut generasi satu ke generasi
berikutnya. Bila pun ada yang sudah tertulis – beraksara Arab gundul (Arab-Melayu). Tetapi hanya berupa
hikayat serta catatan internal yang terdapat pada beberapa dari kerajaan
yang terbentuk di bagian utara kepulauan Maluku – Moro, Loloda, Jailolo,
Tidore, Bacan, dan Ternate (Adnan Amal, Kepulauan Rempah-Rempah: Perjalanan
Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950. Jakarta: Gora Pustaka Indonesia, 2007). Di
masa itu, konsentrasi bangsa asing – Eropa, yang hadir ke Maluku lebih banyak
menulis tentang kepentingan politik penguasaan wilayah guna memonopoli
perdagangan hasil rempah-rempah – cengkeh dan pala. Berkisah tentang peperangan
– penaklukkan, antara sesama bangsa Eropa di Maluku, dan bangsa Eropa dengan
kerajaan-kerajaan di Maluku. Selebihnya, adalah tentang misi keagamaan Katolik
dan Protestan, dan sedikit mengenai ilmu pengetahuan tentang sumber daya alam
bumi Maluku.
Saat yang sama, budaya
pertalian hubungan Gandong sudah ada jauh waktu sebelumnya, serta lahirnya
budaya perikatan hubungan Pela yang cenderung semacam gerakan budaya dalam
diam. Nyatanya tidak sama sekali terbaca penjajah bangsa Eropa sehingga tidak terdapat
catatan untuk itu. Kecuali yang agaknya dapat dibaca dan berhasil “dimatikan”, adalah
usaha untuk menjauhkan bangsa pribumi kepulauan Maluku dari budaya kehidupan asli
sesuai asal-usul sebelumnya. Seperti melarang cara berpakaian tradisional, melarang
penggunaan bahasa Alifuru dalam berkomunikasi sehari-hari, serta upacara –
acara ritual, adat karena dianggap perbuatan mistis – memuja setan, yang
bertentangan dengan ajaran agama yang disebarkan misionaris bangsa Eropa.
Akibatnya fatal,
sebab beberapa bahasa lokal pribumi Maluku khususnya di negeri-negeri beragama
Nasrani kemudian lenyap. Terkecuali bahasa(pesan) Kapata, atau dalam sebutan lain yaitu Lan(Lani) atau Kahua, yang lebih menyerupai karya
sastra. Bahasa kapata berbentuk pesan, yang memuat catatan sejarah, serta ajaran
moral kebajikan. Bahasa kapata menggunakan bahasa tana. Bahasa tana adalah bahasa Ibu – mather language, bangsa Alifuru, disebut
juga Souw Upa – bahasa Alifuru(Souw =
bahasa, Up(f)a = Alifuru), atau sebutan lain ; Souw m’tuan – bahasa tua/tua-tua. Bahasa kapata adalah bahasa satu arah, sebab
tidak dapat digunakan untuk saling berkomunikasi secara dua arah. Bahasa kapata
– saat dipaksa untuk dihapus penjajah Belanda, yang masih tetap dipelihara dalam
ingatan sebagian tokoh atau masyarakat adat setempat di hampir semua negeri
adat, yang kemudian secara sembunyi-sembunyi dituturkan untuk disalin pada
ingatan generasi penerusnya agar diteruskan secara turun-temurun.
Penjajah juga tidak
sepenuhnya berhasil dalam hal melarang praktek kepercayaan menurut adat
istiadat bangsa Alifuru. Secara tersembunyi, keyakinan kepada kepercayaan nenek
moyang dalam bentuk upacara adat tetap saja dipelihara dan dijalankan.
Setidaknya hampir di seluruh negeri(kampung) adat di Maluku masih memiliki “batu pamali” atau dolmen, situs spiritual dari masa lalu yang tetap dipelihara
sebagai salah satu unsur kelengkapan syarat sebuah negeri adat.
Bukan saja agama Kristen,
agama Islam pun yang disebar bangsa Arab, Persia, Melayu, dan Jawa, melalui
jalur perdagangan emas coklat, tidak dapat pula melenyapkan budaya atau tradisi
anutan yang diwariskan nenekmoyang – pendahulu, bangsa Alifuru. Agama-agama Samawi(Agama Ibrahim) – Kristen Katolik,
Protestan, dan Islam, oleh pribumi Maluku boleh saja dianut secara penuh
kesadaran dan keyakinan – diimani,
tetapi tradisi warisan nenek moyang tetap pula dipelihara.
Budaya Pela Gandong
yang sebelumnya sudah ada, ternyata efektif menjadi alat dan cara untuk saling
membantu menolong sesama sekaligus menyatukan. Pela berfungsi sebagai cara
untuk mengikat antara dua atau lebih para pihak antara negeri, dan Gandong
diangkat untuk diingatkan kembali akan hubungan genekologis. Keduanya bertujuan
sama-sama saling mengikat maupun kembali terikat hubungan persaudaraan.
Hubungan antara manusia yang berbeda ikatan dengan hubungan persahabatan,
apalagi hanya pertemanan.
Hubungan Gandong
teringatkan dan kembali dibangkitkan untuk dimanfaatkan, serta begitu pula
hubungan Pela marak terjalin, ketika kondisi Maluku dan sesama orang Maluku
sedang berada di dalam situasi perpecahan yang sengaja dibangun penjajah bangsa
Belanda. Demi kepentingan keuntungan ekonomi dari hasil bumi rempah-rempah
Maluku, Belanda menerapkan praktek politik devide
et impera. Politik “adu domba” sesama orang Maluku – rakyat dengan rakyat,
rakyat dengan tokoh atau pemimpin lokalnya, dibenturkan untuk terpecah belah.
Sulit menyatu, sehingga menjadi lemah kekuatannya, kemudian dengan mudah
ditundukkan, dikuasai tanpa perlawanan berarti. Dengan begitu, mudah untuk
di”rampok” hak milik kekayaan sumber daya – hasil komoditi, alamnya.
Tidak saja politik devide et impera, Belanda juga melakukan
politik pelayaran armada hongi - www.voc-kenniscentrum.nl, atau
Hongi Tochten – akan dibahas khusus pada tulisan tentang Hongi Tochten. Munculnya ancaman pelayaran
oleh keberadaan Bajak Laut –
perampokan di lautan, yang dikomandoi orang-orang Tobelo yang tersingkir dari
kerajaannya di bagian utara kepulauan Maluku dan eksodus ke wilayah Seram Pasir
di pantai utara pulau Seram. Ancaman bajak laut tidak saja mengancam pelayaran
bangsa asing, tetapi juga pelaut pribumi kepulauan Maluku sendiri.
Saling bantu saat
sedang diterpa masalah, ketika sedang terancam diserang musuh, terdampar atau
kandas karena badai dan gelombang sehingga perahu armada hongi – disebut perahu
kora-kora, bocor atau rusak, terdampar
dalam pelayaran untuk urusan atau karena tujuan lain, kelaparan karena
kehabisan bekal makanan dan minuman dalam pelayaran. Banyak alasan dan sebab
yang berintikan tindakan saling memberi pertolongan secara kemanusiaan disaat jiwa
sedang dalam kesulitan, maupun hingga usaha bantuan guna penyelamatan nyawa sesama
manusia, yang tentu tidak selalu sudah saling kenal-mengenal sebelumnya. Jiwa
kemanusiaan para pendahulu Orang Maluku saat itu, betapa telah sangat bijak dan
bermoral positif luar biasa, rasa dan sikap saling menghargai dan berterima
kasih, melahirkan tatanan budaya berupa jalinan saling mengikat hubungan persaudaraan
secara permanen, atau disebut hubungan Pela.
Sekadar sebagai
contoh, adanya hubungan pela antara negeri Kilang - Hukurila, di timur pulau Ambon dengan negeri Werinama di
selatan-timur pulau Seram, yang disebut Pela
Batukarang atau disebut juga Pela
Keras – akan jelaskan pada subjudul berikut. Ikatan Pela yang terhubung
ketika perahu kora-kora pedayung dan para Kapitan
– pemimpin yang memiliki kekebalan tubuh terhadap senjata tajam serta
berani dan mahir berperang, dari negeri Kilang terdampar karena rusak dan
ditolong oleh Kapitan dan warga pribumi negeri Werinama. Pela – klasifikasi Pela
Keras, yang menghubungkan negeri Kaibobu di selatan-barat pulau Seram dengan
negeri Waai di utara-timur pulau Ambon. Awalnya terjalin oleh sebab bantuan
yang diberikan Raja Waai untuk mempertemukan Raja Kaibobu dengan Gubernur
Jenderal Belanda di kota Ambon, guna mengusir bajak laut yang mengancam para
pelaut atau nelayan negeri Kaibobu dan negeri-negeri lain di laut selat Honimua
maupun di laut Seram dan Buru.
Contoh hubungan Gandong, seperti antara negeri Tamilou(pulau Seram), Sirisori, Haria (pulau Saparua), Hutumuri, dan Wa’ai(pulau Ambon). Antara negeri Buano(pulau Buano), Ulath(pulau Saparua), dan Oma(pulau Haruku). Gandong antara pulau Nusalaut(7 Negeri) dan pulau Ambalau(7 Negeri), dan lain-lain.
Contoh hubungan Gandong, seperti antara negeri Tamilou(pulau Seram), Sirisori, Haria (pulau Saparua), Hutumuri, dan Wa’ai(pulau Ambon). Antara negeri Buano(pulau Buano), Ulath(pulau Saparua), dan Oma(pulau Haruku). Gandong antara pulau Nusalaut(7 Negeri) dan pulau Ambalau(7 Negeri), dan lain-lain.
Oleh sebab
pertemuan-pertemuan antara sesama pribumi kepulauan Maluku yang melahirkan
sikap saling memberi pertolongan dan bantuan dikala sangat dibutuhkan, terjadi
jalinan persaudaraan yang diikat secara erat melalui budaya pela. Dan karena pertemuan-pertemuan
antara pribumi yang telah terpisah-pisah tempat atau wilayah pulau bermukim,
tetapi karena daya ingat dan pemahaman sejarah perjalanan kehidupan pribumi
Alifuru, dan serta ditunjang bawaan nama Mata
Rumah – nama marga, memudahkan kembali terhubung ikatan oleh kesatuan dalam
asal usul awal wilayah bermukim dan juga diketahui awal asal usul dalam garis
keturunan yang sama. Sekalipun telah hidup terpisah, tetapi berdasarkan sejarah
asal usul, maka hubungan persaudaraan sedarah atau sesama satu garis keturunan
tetap terhubung atau kembali terjalin, yang disebut ikatan Gandong.
Ikatan oleh pola hubungan Pela Gandong terbukti efektif menjaga kesatuan ikatan persaudaraan sesama pribumi kepulauan Maluku, yang selama masa penjajahan terus menerus dipecah belah. Sebaliknya mampu menghalau dan bertahan dari berbagai cara yang dipraktekkan penjajah, melalui peperangan langsung, penghilangan budaya asal melalui akulturasi budaya pribumi dengan budaya bangsa asing, memanfaatkan isu perbedaan keyakinan agama, atau pun politik adu domba antara sesama pribumi,
Baca juga ;
Ikatan oleh pola hubungan Pela Gandong terbukti efektif menjaga kesatuan ikatan persaudaraan sesama pribumi kepulauan Maluku, yang selama masa penjajahan terus menerus dipecah belah. Sebaliknya mampu menghalau dan bertahan dari berbagai cara yang dipraktekkan penjajah, melalui peperangan langsung, penghilangan budaya asal melalui akulturasi budaya pribumi dengan budaya bangsa asing, memanfaatkan isu perbedaan keyakinan agama, atau pun politik adu domba antara sesama pribumi,
Situasi yang sama
kembali berulang di masa sudah bernegara – Indonesia, setelah merdeka dari
penjajahan bangsa asing. Kepentingan politik nasional “pembesar” Indonesia di
Jakarta diarak dan dilokalkan ke Maluku – mereka sangat paham sensinya karakter keagamaan
Orang Maluku sebagai pemicu konflik. Momentum yang kemudian dimanfaatkan pihak
berkepentingan dalam politik lokal di Maluku. Antara “pemain” elit nasional dan
local, sama-sama memainkan peran kepentingan politiknya dalam agenda berbeda melalui
uji nyawa rakyat Maluku. Korban nyawa dan harta ribuan rakyat Maluku secara
sia-sia untuk kepentingan yang tidak dipahami, dan menimbulkan luka dendam
antara dua pihak – terbagi menurut agama yang dianut(Muslim dan Nasrani), yang
berseteru mengadu nyawa.
Sampai ketika
situasi tidak lagi bisa mampu dikuasai untuk dihentikan aparat keamanan negara(Indonesia)
– secara kasat mata malah secara personal ikut terlibat di masing-masing pihak.
Muncul paket “sang penyelamat”, berisi nilai-nilai arif dari kekayaan budaya
yang diwariskan bangsa Alifuru. Warisan budaya ikatan persaudaraan Pela Gandong
mengambil alih peran negara, untuk menertibkan dan mengamankan situasi, padamlah
“peperangan” antara sesama pribumi Orang Maluku – pihak lain juga ikut terlibat,
hingga akhirnya mampu mendamaikan serta menyatukan kembali.
Terbukti dan teruji,
bahwa budaya “kuno” - Pela Gandong, warisan tak benda bangsa Alifuru tidak
selalu tidak berarti apalagi kadaluarsa.
Kampung Bulak, 01/11/2019
Bersambung ke sub judul ; Pela Gandong ; Latar Belakang dan Pengertian