Oleh; M. Thaha Pattiiha
Ilustrasi Dewan Adat Maluku (mth_@embun01/18022020)
Judul tulisan ini memang panjang, sepanjang satu tarikan nafas
perasaan nelangsa dan berkecamuknya pikiran-pikiran ketidakpuasan dan
ketidakterimaan terhadap nasib dan masa depan negeri-negeri adat. Ketika
menyaksikan dari hari ke hari tidak pernah surut oleh peristiwa-peristiwa yang cenderung
menciderai tatanan adat yang terpelihara sejak dulu. Ternyata bukan hanya
Belanda, di zaman sudah merdeka pun praktek “suka-tidak suka” pada pemerintahan
berdasarkan adat Negeri - Desa - Hena - Aman - Ohoi - atau sebutan lain, malah
ulang dipraktekkan dalam kewenangan sebagai penguasa otonomi daerah - kabupaten
dan kota. Demi melanggengkan kekuasaan pihak tertentu adat dibuat seakan lomba
“hela rotan”, yang kuat yang menang. Mereka
adalah “orang baru” yang menang karena peluang politik yang dapat mengangkangi
tatanan adat dan karena didukung kekuatan uang. Akumulasi ketidakpuasan atas
peristiwa-peristiwa penghancuran tatanan adat, telah mengerucut membentuk suatu
pandangan “kasar” yang perlu disuarakan ke publik. Rasa prihatin selaku anak
adat, tentu harus peduli. Berharap akan ada perubahan kesadaran atas
tanggungjawab moral kepada kepentingan jangka panjang pelestarian kearifan
nilai-nilai adat. Adat mengandung nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan,
kelembagaan sosial, dan hukum adat, yang lazim oleh masyarakat pada suatu
daerah. Secara internasional Masyarakat Adat, telah mendapat pengakuan dan
perlindungan melalui
Deklarasi Perserikatan Bangsa‐Bangsa Tentang Hak‐Hak Masyarakat
Adat, yang disahkan pada sidang umum
PBB tanggal 13 September 2007 di New York. Kecuali itu, Rancangan Undang-Undang Masyarakat
Adat yang masih belum juga disahkan DPR-RI.
Belajar dari peristiwa yang menciderai tatanan
Adat
Di kabupaten Maluku Tengah - Malteng, sudah tak
terbilang jumlah negeri adat yang pemerintahannya bermasaalah akibat campur tangan
- kepentingan politik, kekuasaan penguasa di atasnya. Bahkan, sebagian negeri
adat kepala pemerintahannya hanya berstatus “Kepala Desa”, bukan Raja Adat, sebab hanya dilantik Bupati
di Kantor Kecamatan, ada juga yang dilantik malam hari di ruang tertutup, setelah
itu pun tidak ada pengukuhan secara adat di dalam negeri bersangkutan -
pelajari tatanan sejarah semua negeri sebagai negeri adat - pengukuhan adat
sifatnya wajib. Menurut aturan - UU Desa, tentu sah dalam pada level terbawa
struktur pemerintahan negara, tetapi tidak menurut tatanan adat dan aturan yang
mengatur sistem pemerintahan negeri berdasarkan adat.
Di kota Ambon - seperti juga di Malteng -
kabupaten Seram Bagian Barat - SBB, negeri-negeri adat diambangkan status
pemerintahannya melalui penunjukkan Penjabat Sementara - Pjs - memanfaatkan
“ruang bermain-main” Undang-Undang Desa, oleh Walikota - dan Bupati. Masa bertugas
penjabat yang harusnya bertenggang waktu -hanya 6(enam) bulan, diabaikan,
dimelarkan tanpa batas waktu dan berlangsung bertahun-tahun, malah ada yang
lebih dari satu orang Pjs pada negeri yang sama. Terdapat negeri adat yang bermasalah
tentang Mata Rumah Parentah, kemudian diputuskan Saneri Negeri melalui voting,
sesuatu yang tidak pernah ada dan tidak dikenal dalam sejarah adat, tetapi
diciptakan dikhasanah politik sesat dunia modern.
Seperti tersebut di atas, hanya contoh kecil dari
peristiwa yang sudah berlangsung lama. Melalui kewenangan otonomi daerah,
seperti terkonsep, terstruktur, dan masif, adat negeri diacak-acak, pelaku adat
dibenturkan dan Hasilnya efektif. Posisi dan peran adat melemah daya tawarnya di
hadapan penguasa otonomi daerah. kekuasaan politik oligark. Tatanan baku nilai-nilai adat terpinggirkan, diposisikan
dalam kendali untuk boleh hanya sebagai “kaki tangan” kekuasaan. Efek sial
otonomi daerah, yaitu malah melahirkan “Maha Raja” untuk Raja negeri raja-raja.
Maluku:
Dilema Nama Warisan Kolonial
Baca juga ;
Maluku:
Dilema Nama Warisan Kolonial
Dalam struktur adat, kecil kemungkinan untuk
diutak-atik, dirubah pakemnya, tetapi bukan berarti ruang berdemokrasi dan
peluang tertutup bagi siapapun dalam struktur adat. Struktur adat yang sifatnya
baku dan permanen pada sebuah negeri adat, bukan berarti menstratakan kehidupan
sosial masyarakatnya dibedakan secara kelas sosial. Maksudnya lebih kepada
fungsi sesuai tugas yang diemban dan hal itu berdasarkan kemampuan yang
dimiliki - di awal sejarah penetapannya.
Ketidak-mungkinan yang tidak berlaku bagi penguasa
otonomi daerah. Melalui upaya kolusi dengan kekuasaan, memberi peluang -
sama-sama mendapat keuntungan politik, bagi mereka yang menganggap adat sebagai
halangan dan batu sandungan melanggengkan ego sempit dan ambisi terselubung personalnya,
terutama yang termarjinalkan dalam struktur adat. Orang-orang sedemikian yang sering menjadi
“penyamun” untuk mengobrak-abrik kekayaan adat yang sesungguhnya sudah baku, sesuai
silsilah dan sejarahnya. Sengaja dibuat kabur
dengan “dikangkangi”, agar dapat merebut ruang untuk berkuasa di dalam
negerinya.
Mengamati peristiwa yang berlangsung di kabupaten
Seram Bagian Barat, seharusnya diformalkan lebih dulu negeri - hena - yama,
yang merupakan negeri adat, dipisahkan dengan negeri pemekaran baru. Dalam hal
pemekaran suatu negeri, tidak boleh ada “matahari kembar”, sehingga status
negeri baru hanya bersifat pemisahan hak kelola administri umum pemerintahan
setingkat negeri adat. Negeri baru tidak dapat mengambil alih kuasa hak adat
atau hak ulayat negeri induk - kecuali diijinkan atau dilepas oleh negeri
induk. Secara adat, negeri baru berstatus negeri biasa dengan sebutan “Kepala”
- dapat diganti melalui Pemilihan sesuai diatur UU Desa, tidak sebagaimana
“Raja” merupakan sebutan negeri adat dan menjadi hak utuh matarumah parentah
dan tidak dipilih sebagaimana negeri baru hasil pemekaran.
Hal menarik mengantisipasi polemik yang bakal muncul dalam hal
permasalahan pemerintahan tingkat negeri - Ohoi, langkah strategis mendudukan
kebenaran sejarah pemerintahan adat, sekaligus terobosan paling efektif –
menurut keyakinan adat, dilakukan oleh Bupati Maluku Tenggara, M. Thaher
Hanubun. Bupati menggelar
Sumpah Adat Makan Tanah dan Sumpah Kepunahan Tujuh Generasi Keturunan (Daur Viit) bagi Para calon Kepala Ohoi -
Negeri, Definitif. bilamana bukan
sebagai garis keturunan yang berhak. Dengan cara ini para “penyamun” yang bukan
matarumah parentah dibuat berpikir
dan tidak bakal berani merampok yang bukan haknya. Cara demikian beta yakin, tidak bakal berani dilakukan
penguasa otonomi daerah - kabupaten dan kota lain, yang syarat dengan praktek politik
oligarki.
Peran bisu lembaga adat Majelis Latu-Pati membuat
masyarakat buta akan fungsinya, mungkin hanya lembaga pelengkap penderitaan
masyarakat adat, selebihnya berubah fungsi menjadi lembaga politik dan
sub-ordinan birokrasi kekuasaan, selain hanya sekumpulan “priyai”. Lembaga Latu-Pati secara personal terdiri
dari para raja - kepala pemerintahan, negeri adat, harusnya lebih berperan
menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan dan hak-hak masyarakat adat, yang
juga demi kepentingan negeri adat yang dipimpinnya.
Sementara Pemerintah Provinsi seperti “mati rasa”,
dari Gubernur ke Gubernur berikutnya, mungkin menganggap permasalahan adat
bukan hal penting. Masalah pemerintahan adat, samasekali diabaikan - terkesan
tidak peduli, dianggap itu urusan Bupati dan Walikota. Hak-hak tradisionil
petuanan - hak wilayah(tanah dan hutan) - hak ulayat, Masyarakat (Hukum) Adat,
diambangkan statusnya sementara secara masif ijin diterbitkan kepada korporasi
kapitalis untuk menggarap dan tentu menghancurkan hutan wilayah hak adat, tanpa
manfaat berarti kepada masyarakat adat pemiliki hak. Aksi protes secara damai
Masyarakat Adat dihadang Aparat Bersenjata,
dan bila diterima hanya untuk didengarkan tuntutannya. Lalu didiamkan dan sepi
dari tindakan yang diharapkan - yang dituntut.
Butuh Dewan Adat
Mempertimbangkan peristiwa dan hal-hal
permasaalahan dikemukakan di atas, perlu segera dibentuk lembaga legislatif
masyarakat adat, yaitu Dewan Adat. Dewan Adat dibutuhkan untuk mengemban fungsi
sebagai aspirator, mediator, dan fasilitator kepentingan Masyarakat Adat, dengan sesama intern komunitas masyarakat adat, dengan
pemerintah, swasta, dan pihak lain, sesuai kuasa dari Masyarakat Adat.
Dewan Adat harus benar-benar kedudukannya
independen, steril dari pengaruh kepentingan birokrasi pemerintahan, pemodal
swasta, partai politik, agama, dan tidak dijadikan kendaraan politik meraih
kekuasaan politik di pemerintahan. Anggota Dewan Adat merupakan pribadi-pribadi
yang yang diusulkan, diseleksi - sesuai syarat independensi yang dimaksud di
atas, dari usulan anggota jaringan Koalisi Masyarakat Adat, dengan persyaratan
yang diatur ketat. Anggota Dewan Adat setelah terpilih dan ditetapkan,
dikukuhkan melalui “Sumpah Adat”. Dan keanggotaan harus memperhatikan unsur
keterwakilan semua wilayah adat yang seimbang.
Terdapat banyak sekali kesatuan masyarakat - adat,
yang sudah terbentuk baik berupa Organisasi Kemasyarakatan - Ormas, Lembaga
Sosial Masyarakat - LSM, Institusi Independen, Tokoh-tokoh Adat di Seram, Makebo, Gorom, Ambon, Banda, Buru,
Lease, Key, Aru, Tanimbar, Babar hingga Wetar. Personal-personal Pemerhati Adat
dari Akademisi dan Masyarakat umum berlatar Anak Adat, di seluruh Maluku maupun
yang berdomisi di luar Maluku. Dari jaringan tersebut bisa diajak berkoalisi, disebutlah
“Koalisi Masyarakat Adat”, dan melalui perwakilan yang ditunjuk atau dipilih, kemudian
membentuk suatu lembaga formal permanen yang hanya khusus mengurus kepentingan
adat, yaitu Dewan Adat. Dewan Adat, walaupun bersifat independen tetapi karena
kedudukan, fungsi, dan kewenangannya, maka harus diakomodir untuk mendapat pos anggaran
pembiayaan rutin untuk operasional lembaga setiap tahun dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah - APBD.
Baca juga ;
; 20/02/2020
Sumber ; Berbagai
link berita media online, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Desa, Perda Adat Malteng/Ambon/SBB, Deklarasi PBB Tentang Hak‐Hak Masyarakat Adat, - dalam Domentasi Penulis.
No comments:
Post a Comment