Alifuru Supamaraina: MALUKU DAN ALIFURU DALAM DILEMA NAMA YANG TERTUKAR

Thursday, February 6, 2020

MALUKU DAN ALIFURU DALAM DILEMA NAMA YANG TERTUKAR

 Oleh ; M. Thaha Pattiiha

MALUKU DAN ALIFURU DALAM DILEMA NAMA YANG TERTUKAR
Etnis Alifuru (Foto Istimewa/Desain grafis mth_@embun01/01012020)

Prolog
               Nama merupakan predikat identitas suatu obyek. Nama menerangkan dan menjelaskan sesuatu itu apa dan seperti apa. Sesuatu itu dapat dikenal, disamakan atau dibedakan melalui nama. Setiap nama memiliki penjelasan arti, makna, latar belakang sejarah, maupun tujuan. Sebuah nama bisa tidak diganti atau diganti, tergantung kebutuhan, manfaat, dan tujuan. Lain lagi bila pengguna nama yang tertukar, akan diikuti kekeliruan tafsir, selain membebani sejarah bila terdapat kisah kelamnya. Sebagaimana nama Maluku dan Alifuru, dua nama yang dikenal pada satu wilayah geografis yang sama. Maluku mengenalkan kepada istilah  wilayah, sedangkan Alifuru menerangkan identitas komuniti pribumi wilayah tersebut. Beberapa sumber yang dijadikan rujukan, menjelaskan perbedaan yang memunculkan pertanyaan, cenderung kontraversial. Masing-masing nama berlatar belakang sejarah yang saling berbeda konteks serta nuansa, tetapi satu dalam peristiwa di kurun waktu yang sama sebelumnya. Era, situasi, dan pola pandang telah berubah, kesesuaian tataguna nama sudah bergeser konteks sehingga kehilangan relevansi obyektifnya.


Sejarah dan Arti Nama Maluku

Sejarah nama Maluku dikutip berdasarkan sumber-sumber yang dihimpun M. Adnan Amal dalam; Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950,1 tentang Asal Usul nama “Maluku”. Van Fraassen,2 mengutip Pigeaud, bahwa nama Maluku telah dicatat dalam Nagarakertagama(1365) sebagai “Maloko.” Diduga bahwa penulis Nagarakartagama - Mpu Prapanca3, telah mengadopsi nama itu dari kebanyakan pedagang Arab yang melakukan kegiatan perniagaan di Nusantara. Dalam hikayat Dinasti Tang (618-906) disebutkan4 eksistensi suatu kawasan yang digunakan untuk menentukan arah daerah Ho-ling (Kaling) yang terletak di sebelah baratnya. Kawasan ini bernama “Mi-li-ki,” yang diperkirakan sebagai sebutan untuk Maluku. Penulis-penulis Cina dari zaman Dinasti Tang, yang menyebutnya sebagai “Mi-li-ku,” tidak dapat memastikan lokasi sesungguhnya kawasan yang ditunjuk dengan nama tersebut. Pada masa kemudian barulah diketahui bahwa yang dimaksudkan dengan “Mi-li-ku” itu adalah gugusan pulau-pulau Ternate, Tidore, Makian, Bacan, dan Moti.5

Nama ”Maluku” menurut M. Adnan Amal,6 memiliki 3(tiga) tiga pengertian. Salah satunya ditinjau dari sudut sejarah; Maluku pada zaman bahari hanya terbatas pada pulau-pulau di kawasan utara Maluku, yaitu Ternate, Tidore, Makian, Moti dan Bacan. Antonio Galvao7, yang menjabat sebagai Gubernur Portugis ke-7 di Maluku antara 1536-1540, menulis dalam Historia das Moluccas: Nama sebenarnya kepulauan Maluku terbatas pada pulau-pulau yang berada di bawah pemerintahan dan raja-raja Maluku, dan lebih khusus lagi adalah: Ternate, Tidore, Moti, Makian, Kayoa, Bacan, Labuha, yang sebelumnya bernama: Gapi, Duko, Moti, Makian (Mara), Maligo, Seki, dan Kasiruta. Sementara P.H. van der Kemp8 berpendapat bahwa Maluku yang sebenarnya meliputi Ternate, Tidore, Bacan dan Halmahera (Jailolo). Dikemukakan Naidah penulis Hikayat Ternate : "Maluku artinya Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan." Menurutnya, hal ini disebabkan "Maluku kie raha ma asal rimoi bato, ma-kabasaran se ma-istiadat rimoi bato" - "Empat gunung Maluku sesungguhnya punya satu asal-usul - punya kemegahan dan budaya yang sama".9
Beberapa catatan lain dalam sejarah - selain arti nama tersebut, nama Maluku sudah disebut tetapi tidak termasuk untuk wilayah lain - sebagaimana dimaksudkan di atas, kecuali setelah di era ekspansionis - penaklukkan,  kerajaan lokal di utara dan bangsa Eropa hingga Jepang. Wilayah yang taklukkan oleh kerajaan lokal dan menjadi wilayah koloni – jajahan, pun tidak disebut bernama - bagian dari, Maluku, kecuali oleh penjajah Eropa dan Jepang. Alasannya memang jelas, sebab Maluku adalah nama istilah terbatas, hanya untuk wilayah kerajaan Jailolo, Ternate, Tidore, dan Bacan, sebagai 4(empat) pilar yang dikenal sebagai “Moloku Kie Raha”. 10
Sifar Ar-Rijal (Imam Rijali), dalam Hikayat Tanah Hitu,11 Alkissah XXI ; ... Hatta datang musim barat, datang pula angkatan itu ke tanah Hitu, masuk ke Kota Laha. Maka datang baginda cili Ali dan gimelaha Aja dan hamba raja Ambalau minta kepada amiral, demikian katanya: ‘Tellah sudah selamat tanah Ambon daripada bahaya. Marilah kita ke Maluku tolong kepada negeri Ternate.’(italic, pen). Maka kata amiral Matelif* dan Istiwin Warhaga* menyahut amiral keduanya: ‘Jika dengan manfaatnya maka kami mau ke Maluku.’ (italic, pen). Alkissa XXII ; ... Itulah kesudahannya. Ada pun daripada titah seri sultan di Maluku (Ternate - pen),  demikian bunyinya: ‘Bahwa sesungguhnya tanah Ambon itu takluk kepadaku, tetapi kepada artanya itu mana kehendaknya tiada kepadaku, karena benyagaan itu sama sukah keduanya.’12

Dilema Nama Maluku
Berselang 2(dua) hari setelah proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia - 17 Agustus 1945, tepatnya tanggal 19 Agustus 1945, bagian timur wilayah kepulauan Nusantara yang juga merupakan “warisan” dari wilayah bekas jajahan Belanda yang disebut Maluku, termasuk yang mendukung. Sejak itu, tanggal tersebut diperingati sebagai hari lahir provinsi bernama Maluku.
Kepulauan Maluku – dan Maluku Utara, berpenduduk asli - pribumi, beretnis Alifuru. Cakupannya13 meliputi seluruh kompleks  dari  kelompok  dan rangkaian pulau yang batas-batas; di sebelah utara dengan kepulauan Filipina, di sebelah timur dengan  Papua, di sebelah tenggara benua Australia,  sebelah baratdaya  pulau-pulau  Sunda  Kecil dan  di  sebelah  barat dengan Sulawesi. Memiliki luas wilayah ± 851.000 km2, dengan konsentrasi perairan laut seluas 765.272 km2(90%) dan daratan yang terdiri dari ribuan pulau seluas 85.728 km2(10%). Sebaran etnis Alifuru secara antropologis masih dapat diperluas ke rangkaian pulau-pulau terdekat di sekitarnya dan hingga ke samudra Pasifik dalam kesatuan ras rumpun Melanesia.
Wilayah Maluku secara resmi dikukuhkan - 12 tahun kemudian setelah bergabung dengan Indonesia, sebagai Provinsi - Daerah Tingkat I, negara RI dengan Undang-Undang(UU) Darurat Nomor 22 Tahun 1957, kemudian diganti dengan UU Nomor 20 Tahun 1958. Pascareformasi 1998 – berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru - kekuasaan Presiden Soeharto, bagian utara Maluku dimekarkan. Berdasarkan UU Nomor 46 Tahun 1999, Tanggal 12 Oktober 1999, berdiri Provinsi Maluku Utara terpisah dari provinsi induk, Maluku. Maluku yang sekarang kemudian ditetapkan kembali melalui Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2008.14
Awalnya, nama Maluku selama ratusan tahun secara sepihak demi memudahkan kepentingan kolonial Eropa kemudian Jepang menata administarasi wilayah jajahannya, wilayah yang bukan termasuk kemudian secara politis disatukan dalam satu nama - tidak dilakukan kolonial kerajaan lokal. Selama ratusan tahun pula nama itu terpublikasi dan tersosialisasi secara internasional. Hingga pun ketika terbentuk negara Indonesia, sudah di zaman merdeka masih digunakan. Begitupun kelompok yang oleh pemerintah Indonesia dianggap separatis, termasuk yang “paling konyol” memakai “Maluku” untuk nama status gerakan politiknya.

Belajar dari misalnya sebutan “Indonesia” untuk nama wilayah kepulauan Nusantara - bekas wilayah administratif pemerintahan penjajah Belanda - yang di-”waris”-kan kepada Indonesia, sebelumnya oleh Belanda disebut “Hindia Belanda” - Nederland Indie. Nama itu tidak digunakan, tetapi “Indonesia” – dari istilah “Indunesos15 artinya Kepulauan India - yang diperkenalkan George Winsdor Earl (1813-1865), seorang antropolog berkebangsaan Inggris ditahun 1836, yang dianggap lebih “mewakili”, dan bukan nama “warisan” penjajah Belanda. Nama Indonesia yang dipakai untuk negara baru yang diproklamirkan kemerdekaannya. Paling tidak nama tersebut tidak bernuansa Belandasentris.

Maluku, jelas hanya nama untuk 4(empat) kesatuan wilayah kerajaan di utara. Pengguna nama itu di luar wilayah bagian utara, malah mempersempit cakupan makna konfigurasi pulau-pulau wilayah sebaran komuniti pribumi Alifuru, selain sangat bertolak belakang karena sejarahnya. Sehingga nama Maluku yang dipakai pada provinsi yang sekarang, sudah berstatus “adopsi” nama. Tidak lagi berarti apa-apa dengan nama dimaksud. Selain kontraversial dan kontra-historis, sudah pula mengalami penyempitan - untuk tidak disebut kehilangan - makna, sebab sudah tercabut bersama akarnya. Bisa dibaca dari lisan maupun tulisan mereka di bagian utara, indikasinya ingin eksistensi wilayahnya kembali sesuai hak asal usulnya, sebagai pemilik pengguna nama Maluku. Hal yang wajar dan pantas kembali ke pemiliknya untuk ditempatkan ke posisi sesungguhnya, sebagai suatu kebenaran sejarah dan etika kepantasan penggunaan sebuah nama. 

Penggunaan nama Maluku – di luar wilayah di utara, pun selalu akan memunculkan trauma kisah tragis masa lalu, akan kelamnya perlakuan kaum kolonial - penjajah, baik bangsa asing – Eropa hingga Jepang, serta kolonialisasi kerajaan lokal. Masa kepulauan etnis Alifuru ditaklukkan dan dianeksasi oleh ekspansi kerajaan lokal dari utara, hampir bersamaan di abad yang sama dengan kehadiran bangsa kolonial Eropa. Hadir pertama Portogis - 1512, hingga akhir masa jajahan Belanda – 1942(1949?) dan Jepang - 1945, selama itu kuku kolonial asing dan lokal tertancap di kepulauan Alifuru. Karena itu, “Maluku” adalah nama yang Kolonialismesentris.


Etnis dan Nama Alifuru

 
               Etnis Alifuru yang merupakan suatu kesatuan komuniti, tersebar mulai dari Pulau Wetar, Kisar, Romang, Sermata, Babar, Damar, kepulauan Tanimbar, Aru, Key, Banda, Seram Laut, Lease(Nusalaut, Haruku, Saparua - Hatawano), pulau Ambon, Buru, kepulauan Makebo(Manipa, Kelang, Buano), pulau Seram – di dalamnya Teon - Nila - Serua, dan - seharusnya, termasuk pulau-pulau di utara. Sejauh ini, soliditas komuniti dalam kesatuan etnis Alifuru masih tetap terpelihara dan terjaga baik sebagai suatu kesatuan sosial yang utuh. Dikatakan Koentjaraningrat16; “komuniti sebagai suatu satuan sosial yang utuh yang terikat pada suatu tempat dengan ciri-ciri alamiah khas, sehingga merupakan bagian dari suatu sistem ekologi yang bulat.”
 
Alifuru dikatakan komuniti etnis, dimana para ahli Antropology menggolongkan manusia ke dalam ‘suku’ (tribes), ‘bangsa’ (nation), dan ‘etnis’ (ethnic),17 sesungguhnya tidak berbeda dari suku maupun bangsa, kecuali dalam ukuran, bukan dalam komposisi struktural atau fungsinya.18 Sebab, menurut Profesor Alo Liliwery19 kata ‘etnis’ (ethnic) berasal dari kata dalam bahasa Yunani ‘etnos’ yang merujuk pada pengertian ‘bangsa’ (nation) atau ‘orang dan/atau rakyat’ (people).
 
Definisi yang ketika disandingkan dengan catatan kesaksian berikut, makin mempertegas kejelasan identitas etnis Alifuru sebagai komunitas penghuni yang sah yang selama ini dinafikan dengan sengaja keberadaannya.

Sebagai salah satu pedoman mengenali Alifuru, digunakan catatan kesaksian dari ahli geografi dan para penjelajah perairan laut dunia, sebab cukup menjelaskan untuk mengenali wilayah yang disebut Maluku - Maluku Utara. Catatan-catatan faktual yang dijadikan rujukan resmi oleh International Hydrographic Organization (IHO),20 untuk menamai area perairan laut yang terletak di barat daya kepulauan Papua - New Guinea, sebagai Laut Arafura atau Arafuru - lihat peta bumi.

Rekaman ahli Cartograaf - Uitgever, Belanda, Joan Willemsz Blaeu (1659),21 mencatat di dalam teks-teks pada peta dinding Hindia Timur; "Archipelagus Orientalis, sive Asiaticus". Blaeu menulis bahwa penduduk pedalaman “Maluku” menyebut diri mereka "Alfores". Ketika Captain Thomas Forrest22 mempublikasikan laporan setelah berlayar melintasi Kepulauan - yang mereka sebut, Maluku pada tahun 1775,  menyebutkan tentang orang-orang "Harafora" yang tinggal di ujung barat New Guinea dengan subordinasi terhadap "Papuas", dan menyebut termasuk yang di Magindano - Mindanao - Filipina.

Dalam laporan lain pada tahun 1804, Conrad Malte-Brun23 - Ahli Geografi - juga Jurnalis di Prancis - kelahiran Denmark, mengulangi laporan Thomas Forrest, tentang semacam persaingan atau tarik menarik nama ras "Haraforas", sehingga Conrad Malte-Brun memasukkan juga Borneo - Kalimantan - etnis Dayak. Etnologis James Cowles Prichard24 mendeskripsikan sebagai “pemburu kepala”. John Coulter25, menyebut "Horrafora" dalam rekaman catatannya pada tahun 1835 ; yaitu orang yang tinggal di pedalaman barat daya New Guinea, dan diterapkan pada tribespeople di sana. Coulter menyimpulkan bahwa orang Papua dan Horraforas adalah dua ras berbeda di New Guinea. Dokumentasi pada Arsip Nasional Belanda terungkap catatan dari AJ van der Aa pada tahun 1939 dalam Kamus Toponimik26, disebutkan; "penduduk dari Maluku menyebut diri mereka "haraforas", yang diterjemahkan sebagai "anak-anak gunung". Sumber lain menyebut nama Arafuru berasal dari bangsa Portogis – masih perlu diperdebatkan, yang terambil dari kata "Alfours," yang berarti "orang bebas".

Nama Arafura kemudian muncul di Arah Berlayar ke Laut Arafura - Sailing Directions for the Arafura Sea, yang disusun oleh George Windsor Earl tahun 183027 dari narasi 2(dua) anggota Angkatan Laut Belanda; Letnan Kolff dan Modera. Pada tahun 1830-an, dua lelaki tersebut mengidentifikasi nama laut Arafura berasal dari nama asli untuk "orang-orang pegunungan" di Maluku - bagian dari Indonesia. Selanjutnya, istilah Arafura berdasarkan sejarah dalam catatan para ahli tersebut, menjadi dasar rujukan IHO mendefinisikan Arafura atau Arafuru sebagai nama laut salah satu perairan di gugusan kepulauan Nusantara, beserta batas-batasnya.28 Sekaligus mengingatkan bahwa nama tersebut “rambatan jaringan akarnya” jelas hidup, kuat tertanam, lebih tua usia antropologisnya, paripurna sejarah serta sosio-kulturalnya, sempurna identitas etnisnya, tidak pantas untuk tidak dibanggakan.


Tenggelamnya Nama Alifuru

Alifuru sebagai nama etnis asli - pribumi, tidak sepopuler nama Maluku yang merupakan nama wilayah yang dalam administrasi pemerintahan penguasa asing maupun lokal yang sangat dibutuhkan untuk petunjuk alamat. Makin lengkap keterpurukan nama Alifuru, karena sengaja ditenggelamkan emperium penguasa kerajaan penyandang nama istilah Maluku - dan kata atribut tambahannya, serta didukung sebagian pribumi - berdarah Alifuru, yang merasa “jijik” dengan nama Alifuru. Sempurna “penderitaan Alifuru”, oleh karena orang-orang “pintar” penggagas seperti tanpa susah payah berpikir lagi, langsung menyematkan kekeliruan kontekstual nama tersebut - Maluku, menjadi nama resmi, malah di saat era kolonial dinyatakan telah berakhir.

Diskriminasi terhadap etnis Alifuru seumur dengan masa hidup kerajaan lokal dan keberadaan penjajah asing. Ratusan tahun perlakuan merendahkan derajat kemanusiaan Orang-orang Alifuru. Dengan sengaja secara sadar diskriminasi dipraktekkan serta dipelihara melalui pola stigmatisasi yang terstruktur secara sosial dan masif berlangsung.  Cukup berhasil menyebabkan mental rasa percaya diri dan semangat keakuan dan kebanggaan sebagai pribumi etnis Alifuru memudar, berubah melemah menjadi bermental hamba sahaja - budak.

Praktek politik pecah belah dan menguasai - devide at empra, sebagaimana dipraktekkan kolonial Belanda, sama dan sebangun dengan kerajaan lokal. Bahkan antara kolonial lokal dan asing - Eropa, sama-sama seiring sejalan - sampai “bersahabat”. Saling membantu untuk sama-sama menyerang suatu koloni yang dituduh memberontak, dan bahkan saling bertukar posisi kuasa atas suatu wilayah taklukan - koloni. Lebih mengarah kepada saling memelihara kepentingan kekuasaannya, sementara rakyat wilayah bersangkutan boleh hanya diam menerima dan menikmati kepahitannya.

Beberapa catatan peristiwa kelam “kejahatan” kerajaan “Maluku”, adalah memanfaatkan orang Alifuru Halmahera  untuk menyerang Alifuru Seram ; “Hampir bersamaan dengan kedatangan Wallace di Ternate, pada Januari 1858 Kesultanan Ternate dan Tidore mengirim pasukan Alifurunya ke Seram guna membantu Belanda menumpas pemberontakan yang terjadi di sana. Pemberontakan yang terjadi di Mani(?-pen), Sahulaut(Sahulau?-pen) dan Cepaputi(Elpaputih?-pen) ini akhirnya berhasil dipadamkan. Atas keberhasilan tersebut, pasukan Alifuru diberi penghargaan oleh Belanda.”29 Sebelumnya, eksekusi mati orang-orang Alifuru Seram Huamual di benteng Victoria 1643(?) - jadi ingat legenda “Nene Luhu” - yang ditangkap atas surat rahasia Sultan Hamzah kepada Gubernur VOC di Ambon.30 Sultan Ternate Hamzah, pun pernah “menjual” Ambon dan Hitu kepada Belanda (VOC) pada 1644, seharga 73.000 gulden; 56.875 gulden untuk Hamzah pribadi, dan sisanya untuk kas Kerajaan - Ternate, serta hadiah pakaian, gong, beragam ornamen terbuat dari emas, sebuah meriam kecil dan beberapa pucuk senjata.”31

Jati diri sesama orang Alifuru sengaja dibenturkan. Etnis Alifuru sekadar tameng dan diperbudak yang dengan mudah dan kapan saja dimanfaatkan, hingga tega dikorbankan demi kemashuran penguasa kerajaan lokal. Seperti juga kolonial asing, sama-sama mempraktekkan politik penaklukkan selain dengan senjata - peperangan, juga melalui pendekatan - penundukkan secara halus, dengan cara penyebaran agama. Tetapi tujuannya sama saja, untuk tujuan kepentingan penguasaan perekonomian. Sementara identitas dan kekayaan budaya Alifuru disingkirkan, diberi label katagori sesuatu yang terhina, bodoh, kotor, dan terkebelakang.


Epilog

Apabila dianggap Alifuru adalah Maluku, maka konteks dan nuansanya - secara politis, sudah sengaja dipersempit makna dan sejarahnya - dikaburkan, kecuali Maluku adalah - bagian dari, Alifuru, itu beralasan. Sehingga nama Maluku harusnya diganti dengan nama yang tidak mengakar kepada sejarah kelamnya, dan terkuburkan traumanya. Sematkan nama yang berimplikasi positif, yang bermaksud mengukuhkan identitas dan mengokohkan jatidiri sehingga patut dibanggakan.

Dipertanyakan, karena tidak memenuhi unsur dukungan sebagai alasan kuat guna menamai wilayah etnis Alifuru yang tersebar lebih luas dari sekedar empat pulau yang digelar Maluku. Memang, bukan hal mudah - mengganti nama, tetapi itu pilihan terbaik - melenyapkan sejarah kelamnya dan mengokohkan identitas jati diri yang sesungguhnya, daripada menggunakan nama yang tidak pada tempatnya. Kembalikan ke induk asal-usul untuk menghidupkan jaringan yang lama dimatikan, dengan menghubungkan kembali ke akar asal-usulnya agar lebih sehat berkembang.

Akumulasi akulturasi suatu kehidupan sosial suatu kaum ketika berlangsung lama dan tanpa disadari, dapat menggerus identitas asli yang berakibat malah membingungkan jatidiri, kehilangan posisi berpijak, hingga kehilangan arah mencapai tujuan. Dibaca dari kondisi sosial dan budaya, “kehebatan” yang diagungkan selama ratusan tahun kekuasaan monarki lokal dan kolonial bangsa asing, dan setelah bernegara, begitu pula - apalagi, “ajaran kebaikan” agama-agama samawi - Islam dan Kristen. Ketika diperhadapkan dengan masalah seperti konflik sosial tahun 1999 di wilayah ini, ternyata mengalami kebuntuan solusi untuk mengatasinya. Dalam kebingungan menemukan cara, tampil nilai-nilai luhur warisan kearifan budaya Alifuru yang sempat terselamatkan dan tetap terpelihara, berperan menjadi solusi damai.

Mau disebut Maluku, Maluku Utara, atau apapun namanya kemudian, tidak akan merubah identitas asli komunitinya. Pada lahirnya, siapapun orangnya bila benar penduduk asli - pribumi, Maluku maupun Maluku Utara, dipastikan secara genekologis terlahir dari nenek-moyang ber-etnis Alifuru.

Kampung Bulak, 07 Februari 2020
 
 
Sumber ;
 
1.    AMAL, M. Adnan, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. Jakarta: KPG -           Kepustakaan Populer Gramedia, 2010. h. 5.
2.       Ch. F. van Fraassen, Ternate, de Molukken en de Indonesische Archipe, dalam M. Adnan Amal, ibid.
3.       Paramita R. Abdurrahman, dalam  AMAL, M. Adnan, ibid, h. 26.
4.       AMAL, M. Adnan, ibid, h.8
5.       Ibid
6.       Ibid
7.       Antonio Galvao, Historia das Moluccas, dalam AMAL., ibid h. 8-9.
8.       P.H. van der Kemp, dalam AMAL., ibid hal. 9.
9.       Naidah, Sejarah Ternate (1878), dalam AMAL., ibid h. 9
10.    AMAL, M. Adnan, ibid, h.36
11.     Sifar Ar-Rijal(Imam Rijali) ; Hikayat Tanah Hitu (RIDJALI HISTORIE VAN HITU), www.anu.edu.au
 diundu 04/01/2016.
12.    Dikutip sesuai tata bahasa tulisan asli, kecuali ejaan disesuaikan – pen, Ibid
13.    Bemmelen (1949) dalam Muh. Fadhlan S. Intan; Eksplorasi Geoarkeologi Situs Paleolitik di Pulau Seram, Jurnal Papua, Volume 9, No. 1 Juni 2017 : 4
14.    Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Maluku Tahun 2005-2025, Pemerintah Provinsi Maluku Tahun 2014, Lampiran  Perda No. 02 Thn 2009, tanggal 14 September  2009.
15.    Waileruny, Semuel (2011) Membongkar Konspirasi Di Balik Konflik Maluku. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, h. 22
16.    Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta. UI Press. h. 139
17.    Waileruny, Semuel, ibid h. 127
18.    Profesor Ahmad Fedyani Saifuddin, seorang Guru Besar Antropology Universitas Indonesia di Jakarta – yang sependapat dengan Ioan Myrddin Lewis, seorang Profesor Emeritus Antropologi pada  London School of Economics, dalam Waileruny, Semuel, ibid h. 128
19.    Profesor Alo Liliwery, Guru Besar Jurusan Sosiologi Universitas Nusa Cendana, Kupang, ‘Nusa Tenggara Timur’ (NTT), dalam Waileruny, Semuel, ibid h. 129
20.    International Hydrographic Organization (IHO) - Organisasi Hidrografi Internasional, adalah organisasi antar pemerintah yang bekerja untuk memastikan semua lautan dunia, lautan dan perairan yang dapat dilayari disurvei dan dipetakan. Didirikan tahun 1921.
21.     Blaeu, Joan Willemsz, Archipelagus Orientalis Sive Asiaticus. Amsterdam,   https://www.wikiwand.com/en/Arafura Sea Diundu 20/06/2018

22.    Captain Thomas Forrest; A Voyage to New Guinea & The Moluccas, G. Scott, London (1780, first ed. 1779), https://www.academia.edu/37060900/A_Quest_for_Insularity_Thomas_Forrest_s_Voyage_to_New_Guinea_and_the_Moluccas  Diundu 20/06/2018

23.     Conrad Malte-Brun (1812), kadang disebut Malte-Brun, diingat karena menggabungkan nama untuk wilayah geografis Oceania (French OcĂ©anie) –, Wikipedia Diundu 10/11/2019

24.    James Cowles Prichard (1813); Physical History of Man,  in the; Researches Into the Physical History of Man, Edited by George W. Stocking, Jr,. @1973, https://www.press.uchicago.edu/ucp/books/book/chicago/R/bo3621533.html Diundu 10/11/2019

26.    A.J. Van Der Aa (1939), Kamus Geografis (Edisi Belanda) - Kamus Toponimik, tentang nama-nama tempat (toponim), asal-usul, makna, penggunaan, dan tipologi.
27.    George Windsor Earl, The Eastern Seas, or Voyages and Discoveries in the Indian Archipelago, in 1832, 33, 34. (1837)
28.     The Arafura Sea (or Arafuru Sea) https://www.wikiwand.com/en/Arafura Sea  Diundu 20/06/2018
29.    AMAL, M. Adnan, ibid, h.310
30.    Ibid, h.120
31.    Ibid, h.122

No comments:

Post a Comment