Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Ilustrasi ; "Isles Moluques." Georges-Louis, fl. 1740-1780. Peta lempeng tembaga, dengan warna tambahan, 20 × 27 cm. Dari Le Rouge Atlas nouveau portatif (Paris, 1748). Referensi: Parry, Kartografi Kepulauan Indian Timur, piring 6.25[Sumber ; Historic Maps Collection]
Sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan
garis pantai sepanjang 7,9 juta kilometer persegi, dan Kepulauan Maluku sendiri terdiri
dari 1.340 pulau besar dan kecil, dengan luas wilayah 706.645 km2.
Luas wilayah yang terdiri dari luas lautan(perairan) 658.294,69 km2(92,6%) dengan
panjang pantai 10.662 km serta luas daratan 47.350,42 km2(7,4%).
Maluku secara demografi tidak besar jumlah penduduknya, menurut data BPS
dalam Maluku Dalam Angka 2017, hingga tahun 2016 hanya berjumlah 1,715,548
jiwa. Dengan jumlah yang “tidak seberapa” itu, tetapi wilayahnya sangat besar
dalam kepemilikan potensi kekayaan Sumber Daya Alam(SDA).
Antara
luas wilayah, potensi kekayaan SDA, dan dengan jumlah penduduk yang boleh dikatakan minimalis - seadanya dibanding luas wilayah,
bahkan sudah dikurangi setelah di kepulauan Maluku bagian utara dimekarkan
menjadi Provinsi Maluku Utara. Kenyataan hari ini Maluku - Maluku Utara, secara umum masih saja
tertatih-tatih pembangunan wilayahnya. Penyebab dan kendalanya beragam, tetapi lebih kepada kebijakan dan regulasi dalam politik hukum dan sistem administrasi pemerintahan negara, tentang bagaimana Maluku diperlakukan dan diposisikan. Untuk itu, cara pandang untuk menyaksikan Maluku hari
ini, butuh kesabaran jiwa untuk menenangkan emosi dan ketenangan pikiran agar
beragam “kejanggalan” terurai sebab dan akibatnya, walau itu kadang hingga
harus melewati batas kemampuan sebagai manusia normal dan beradab.
Sebagaimana kita memandang sejarah
Maluku pasca_kemerdekaan dengan terbentuknya Negara Indonesia, dan dengan
pernyataan sikap para tokoh Maluku untuk Maluku bergabung dengan Negara
Indonesia, sampai dengan pembubaran NIT(Negara Indonesia Timur) – bagian dari
Republik Indonesia Serikat(RIS) yang juga dibubarkan. Demikian hingga dengan dibungkamkan
pergerakan rencana membentuk Negara Republik Maluku Selatan(RMS), Orang Maluku seperti
“mati rasa”, untuk tidak dikatakan “mati kutu”. Maluku terpuruk keunggulan
posisi tawarnya, seperti tidak lagi mengenal dan memiliki arah menjalani
perjalanan waktu hingga saat ini, padahal masih tetap berkomitmen bersama dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).
Janji Untuk Maluku
Terasa tidak penting siapa Presiden
sekarang atau yang akan terpilih di dalam penyelenggaraan Pilpres 2019 bulan
April yang akan datang. Memori kolektif, yang terbentuk dari pengamatan secara
personal melalui pembelajaran dari
pengalaman selama ini, bahwa hampir semua Presiden pernah memuji dan menjannjikan
sesuatu untuk Maluku. Janji politik yang selalu berulang, diulang-ulang baik
secara langsung di saat kehadiran Presiden Republik Indonesia datang berkunjung
ke Maluku, maupun tentu dalam kesempatan lain di lain waktu dan tempat. Janji
yang disampaikan langsung di hadapan rakyat Maluku, atau kepada perwakilan atau
tokoh yang mewakili masyarakat Maluku ketika bertemu langsung dengan Presiden. Janji-janji
berulang dan berganti pengucapnya dalam bahasa yang cukup diacak susunan tata
kalimatnya, padahal pada prinsipnya tetap sama yaitu mengandung pesan yang
dinilai adalah suatu janji. Nilai janji seorang Presiden adalah pesan negara, pesan
atas nama NKRI. Sayangnya janji-janji itu kemudian lenyap lagi seiring bersama
bergantinya presiden, dan tentu akan kembali muncul lagi bersama presiden yang
baru.
Presiden Soekarno, beta perkirakan sangat
memuji posisi Maluku yang menyatakan menyatukan diri dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, serta mungkin saja ada janji yang terucapkan. Persisnya apa
yang dijanjikan dibalik pujian seperti itu, beta tidak mengetahuinya persis,
silahkan tanya tokoh-tokoh Maluku yang terlibat dalam persiapan awal
kemerdekaan dan saat menata kemerdekaan Indonesia yang baru diproklamirkan.
Jangan lupakan juga, apa yang dirundingkan Presiden Soekarno dengan para tokoh
Maluku setelah diakhirinya pemerintahan Republik Indonesia Serikat dan dengan dibubarkannya
Negara Indonesia Timur(NIT). Soekarno pun pernah sampai menginjakkan kaki di
pulau Seram, dan memberi nama kepada kota baru yang merupakan Ibukota Kabupaten
Maluku Tengah yaitu Masohi. Soekarno tidak mungkin tidak ada sesuatu yang tidak
disampaikan sebagai janji kepada para Tokoh Maluku – pro Republik saat itu, demi
mengukuhkan dan mengawal keutuhan negara Indonesia yang masih berumur muda, beserta
dengan atau agar Maluku tetap sebagai salah satu provinsi intinya. Wilayah
Maluku juga menjadi “garis depan” Indonesia dalam Operasi Trikora, ketika
menghadapi Belanda dalam usaha merebut Papua – Irian Barat, bahkan dana operasi
sebagian disumbangkan Maluku dari penjualan hasil bumi kopra – kelapa. Tugu
Trikora di pusat kota Ambon, menjadi monumen bisu yang merekam sikap
nasionalisme Maluku bagi Indonesia dalam kontribusinya menyatukan Papua kedalam
NKRI.
Setelah
terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia
yang diistilahkan dengan G30S/PKI, terjadi pembunuhan sejumlah Jenderal
Angkatan Darat, pemerintahan Soekarno secara de facto dikendalikan atau
dipegang oleh Soeharto. Tentu atas rencana dan persetujuan Soeharto dan
Soekarno, serta pembicaraan (mungkin saja plus
janji) dengan para Tokoh Maluku saat itu, ribuan orang yang dinyatakan terlibat
G30S/PKI, ditahan dan dibuang ke pulau Buru, salah satu pulau terbesar kedua di
Maluku setelah pulau Seram. Pulau Buru khususnya dan Maluku umumnya, menjadi
dikenal luas tidak sekadar di Indonesia tetapi di dunia, sebagai wilayah
pengasingan tahanan politik orang-orang Komunis Indonesia. Predikat wilayah
pengasingan atau pembuangan orang-orang yang dinyatakan musuh negara, dan
Maluku – khususnya pulau Buru, walau para tahanan tersebut sudah dibebaskan,
tetapi masih terbaca penyandang “gelar” Pulau PKI hingga hari ini. Negara belum
pernah secara resmi menyatakan gelar tersebut telah dihapus, kecuali kemudian
menjadikan wilayah tersebut sebagai lokasi pemukiman Transmigrasi Nasional
dengan mendatangkan tambah warga baru dari pulau Jawa.
Hasil
Pemilu pertama jaman Orde Baru tahun 1971, menjadikan Soeharto resmi sebagai
Presiden Indonesia dengan predikat rezim Orde Baru(Orba), menggantikan Soekarno
– rezim Orde Lama(Orla). Berlanjut eksploitasi SDA Maluku. Pembabatan hutan(hasil
kayu), penggalian isi perut bumi Maluku(hasil tambang), penjaringan kandungan
laut perairan Maluku(ikan, udang, teripang, lola, dan mutiara), adalah kekayaan
yang dieksploitasi secara besar-besaran hingga berakhir rezim Orba di tahun
1998. Sejumlah perusahaan besar pembabat hutan-hutan di hampir semua pulau dan
pabrik kayu lapis didirikan, kayu berkualitas bagus seperti meranti merah Buru
diekspor gelondong ke luar negri, sementara kayu asalan atau kualitas rendah diproduksi
sebagai kayu lapis. Perusahaan-perusahaan asing dengan ratusan armada kapal
ikan dan udang bertonase ratusan ton masif mengeruk dengan nafsu isi laut
Maluku. Tidak terbilang nilai kekayaan atas perolehan keuntungan penjualan hasil
eksploitasi SDA Maluku, tentu sangat luarbiasa jumlahnya.
Saat
Indonesia beralih dari rezim Orde Baru kepada Rezim Reformasi, berawal dengan
pemerintahan negara dipegang oleh Presiden B.J. Habibie, kemudian K. H. Abdurrahman Wahid dan dilanjutkan dengan pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri, Maluku porak-poranda oleh kerusuhan akibat konflik massa. Saling
berhadapan sesama Orang Maluku yang secara terkelompok terbagi menjadi dua
berdasarkan agama yang dianut masyarakat Maluku. Konflik dimaksud telah
mengakibatkan ribuan orang mati sia-sia, cacat, terluka dan tersandera efek
traumatis. Kehancuran perekonomian, kehilangan kesempatan kerja dan berusaha,
kehilangan dan kerugian harta benda, keretakan hubungan sosial dan budaya, carut-marut
dunia pendidikan dan pelayanan kesehatan. Ketika karena dengan kesadaran secara
budaya adat sesama orang Maluku sehingga konflik tersebut diakhiri, Maluku
terseok-seok dalam upaya merehabilitasi kondisi kehancurannya untuk kembali
menjadi normal.
Kepemimpinan
negara setelah Megawati Soekarnoputri, dilanjutkan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, dan saat ini Presiden Joko Widodo. Atas nama kekuasaan negara, berdasarkan
Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, pasal (33) ayat (3); “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Selanjutnya
dalam beberapa aturan turunan konstitusi, malah melahirkan pembatasan kepada
daerah pemilik SDA sehingga tidak dapat mengelola sendiri atau mendapatkan hak
lebih baik terhadap ketersediaan SDA yang ada. Karena itu, Maluku hanya bisa
berharap dari hasil bagi – bukan bagi hasil, kekayaan SDA-nya dengan daerah
lain, menyebabkan Maluku masih tidak berhasil menyelamatkan diri dari
ketidak mampuan membiayai kebutuhan dana pembangunan sebagaimana dibutuhkan dan
diprogramkan oleh daerah Maluku. Akibat buruknya, Maluku masih terbelunggu
dalam kerangkeng, sekaligus terpuruk sebagai wilayah Provinsi termiskin di
Indonesia.
Harapan
besar keluar dari keterpurukan dimaksud, “dikhayalkan” bakal bisa melalui beberapa
momentum kegiatan serimonial sesaat tingkat nasional yang diselenggarakan di
Maluku. Momen serimonial yang meninggalkan harapan melalui janji Presiden
Indonesia, kenyataan realisasi masih menggantung di alam mimpi rakyat Maluku.
Misalnya janji untuk membangun Lumbung Ikan Nasional (LIN) di Maluku, yang pernah
dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon pada 9 Juni 2012 disaat
penyelenggaraan Sail Banda. Janji LIN dimaksud dipidatokan ulang oleh Presiden
Joko Widodo. Belum lagi kepastian kepemilikan hak Maluku atas PI – Participating
Interest, 10 persen atas Blok Gas Masela, sebab sementara ini Maluku
dihantui keinginan dan sedang diperjuangkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur
untuk juga mendapatkan bagian hak di Blok Masela.
Masalah
Provinsi Kepulauan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintah Daerah, provinsi kepulauan diberi wewenang, antara lain
mengurus perairan 0-12 mil dan pembagian kewenangan dengan pemerintah
kabupaten/kota. Kewenangan tersebut tidak berbanding lurus dengan perlakuan yang
adil dan bijaksana terhadap kekhasan dan kekhususan kondisi hidrologi kepulauan
Maluku yang memiliki wilayah berperairan luas dengan potensi kekayaan SDA
luarbiasa. Hal itu ditunjukan dengan minimnya anggaran pendapatan daerah yang
bersumber dari Dana Alokasi Umum(DAU). Buktinya, Maluku masih terpuruk keadaan
hidup masyarakatnya yang tergolong provinsi termiskin, serta masih tingginya
angka pengangguran, dan melempemnya pelayanan masyarakat dalam banyak bidang
pembangunan daerah. “Sumber Daya
Alam (SDA) kita sangat kaya sekali, tetapi masyarakat miskin dan yang
memiskinkan kita adalah aturan yang dibuat Pempus,” kata Wakil Gubernur Maluku
Zeth Sahuburua (Tribun-Maluku.com
2/16/2016).
Untuk mengatasi
masalah minimnya alokasi anggaran oleh Pemerintah Pusat yang memperlakukan
wilayah Maluku “bak anak tiri”, karena besaran anggaran hanya pertimbangannya berdasarkan luas daratan dan jumlah penduduk. Maka Maluku
bersama provinsi yang sama karakteristik wilayahnya yaitu Maluku Utara,
Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Kepulauan Riau,
Sulawesi Tengah, masih berjuang dan sudah berlangsung 13(tiga belas) tahun. Di
tahun 2008 dibentuk Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan, guna bekerjasama untuk
terus mendesak Pemerintah Pusat dan DPR segera mengundangkan Undang-undang
Provinsi Kepulauan(UUPK). Sayangnya, usaha tersebut masih sulit direalisasikan Maluku
masih harus terus berjuang, sebab masih sangat kental politik hukum negara,
dimana yang lebih dahulu dikembangkan adalah daratan, padahal negara Indonesia
nyatanya adalah negara kepulauan dan sekaligus negara maritim. Saatnya Pempus memberi stimulus untuk meningkatkan pertumbuhan
perekonomian Maluku, dengan memberi Maluku kewenangan khusus dan jelas guna
mengelola laut lebih dari sebatas hanya 0-12 mil laut dari garis pantai.
Dalam
RUU tentang Perlakuan Khusus Provinsi Kepulauan,
Pasal (1) angka (1), “definisi daerah
kepulauan adalah provinsi atau kabupaten/kota yang memiliki wilayah laut lebih
luas dari wilayah darat, yang di dalamnya terdapat pulau–pulau termasuk bagian pulau yang membentuk gugusan
pulau.” Butuh perlakuan khusus melalui
perubahan cara pandang dalam politik hukum yang selama ini dikembangkan masih
terkonsentrasi pada daratan, agar disesuaikan dengan ciri negara Indonesia
sebagai negara kepulauan dan negara maritim.
Bismar Arianto(kepri.antaranews.com), Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Maritim Raja Ali Haji, menyatakan permasalahan daerah kepulauan di
Indonesia dapat dikategorikan ke dalam empat permasalahan utama, yakni sebagian
besar pulau-pulau merupakan daerah kawasan tertinggal dan banyak yang tidak berpenghuni,
serta keterbatasan pelayanan administrasi pemerintahan, pemberdayaan ekonomi
dan sosial budaya, sarana dan prasarana komunikasi dan transportasi, termasuk
transportasi laut yang menghubungkan antarpulau kecil dan pulau besarnya.
Bismar mengemukakan Indonesia negara strategis sehingga perlu dipahami pentingnya
posisi negara ini sebagai negara kepulauan, yang seharusnya juga diimbangi
dengan percepatan dan prioritas pembangunan di daerah kepulauan yang merupakan
komponen penting dari negara kepulauan.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo melalui Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional /Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/BAPPENAS) memiliki rancangan program tentang Arah dan
Strategi Pengembangan Wilayah Strategis Maluku – Papua, yang terhitung masih
tinggal satu tahun lagi masa pemerintahannya berakhir. Pencapaian program
dimaksud, masih belum terukur pencapaian maksimalnya. Belum ada perubahan berarti
khususnya bagi Maluku dalam hal perubahan untuk penambahan besaran jatah anggaran
dari APBN (Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara) kepada APBD(Anggaran Pendapatan Dan Belanja daerah) Maluku. Masih banyak permasalahan yang dihadapi Maluku, mulai
dari masih kurangnya infrastruktur primer untuk masyarakat, aktifitas ekonomi
yang terbatas, masih rawannya keamanan, khususnya di daerah kepulauan yang
memiliki akses sebagai pulau-pulau terluar atau berdekatan dengan perbatasan
dengan negara lain. Hal yang terpenting adalah minimnya anggaran yang
disalurkan untuk daerah kepulauan, sehingga perlu dievaluasi. Harus ada
perbedaan antara daratan dan lautan untuk daerah kepulauan Maluku. Maka itu, harapan
besar ditumpuhkan melalui UUPK, sebab Alokasi Dana
Perimbangan dari APBN akan mempertimbangkan lautan
sebagai bagian dari luas daerah.
Mengulang ingatan, tentang salah satu butir Kehendak Anak Negeri Maluku, hasil Musyawarah Besar Masyarakat Maluku (Mubes Mama) tanggal 25 - 26 November 2015 di Kota Ambon, yang sudah disampaikan kepada Pemerintah Pusat di Jakarta, yaitu ; Mendesak pemerintah RI, DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk sesegera mungkin membentuk undang-undang otonomi khusus provinsi kepulauan paling lambat 2017, agar rakyat di semua provinsi kepulauan mendapatkan keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan. Sudah tiga tahun berlalu, belum ada tanda-tanda keinginan tersebut dipenuhi atau ditanggapi serius oleh yang tertuju. Mungkin saja akan lenyap bersama bergantinya kekuasaan dan waktu.
Mengulang ingatan, tentang salah satu butir Kehendak Anak Negeri Maluku, hasil Musyawarah Besar Masyarakat Maluku (Mubes Mama) tanggal 25 - 26 November 2015 di Kota Ambon, yang sudah disampaikan kepada Pemerintah Pusat di Jakarta, yaitu ; Mendesak pemerintah RI, DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk sesegera mungkin membentuk undang-undang otonomi khusus provinsi kepulauan paling lambat 2017, agar rakyat di semua provinsi kepulauan mendapatkan keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan. Sudah tiga tahun berlalu, belum ada tanda-tanda keinginan tersebut dipenuhi atau ditanggapi serius oleh yang tertuju. Mungkin saja akan lenyap bersama bergantinya kekuasaan dan waktu.
Maluku sudah lelah karena begitu lama berharap pada Pemerintah Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat(DPR)Republik Indonesia untuk percepatan segera pengesahan UUPK, sehingga ada keadilan dalam porsi anggaran bagi Maluku dan
permasalahan pengelolaan SDA Wilayah Maluku sebagai wilayah kepulauan dimungkinkan akan mudah teratasi serta mempercepat keluarnya Maluku dari peringkat Provinsi Termiskin di Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).
Maluku secara santun masih berharap seperti itu, agar tidak berubah cara berpikir untuk menuntut lebih sampai harus meminta diperlakukan sebanding - berdasarkan sejarah Maluku, seperti perlakuan khusus negara Indonesia yang diberikan dan diterima oleh Provinsi Papua, Aceh, dan Jogjakarta.
Kpg.Bendungan, 11 Desember 2018
No comments:
Post a Comment