Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Latu Pati, Ilustrasi KembangSagu/M.Th.Pattiiha |
Dengan pemahaman sebagai bagian dari anak adat yang secara
turun-temurun tersalin pengetahuan, baik dari lingkungan keluarga sendiri, wilayah domisili, maupun
perluasan pengetahuan melalui berbagai literasi berbagai referensi. Beta mencoba mereka’a – bedakan dengan
rekayasa, pemahaman kedua kata dimaksud dengan kajian berawal dari pengertian asal
bahasa dan istilah sebutan menurut bahasa-tana,
yaitu bahasa ibu(mother language) penduduk
asli kepulauan Maluku berbangsa Alifuru. Hal ini dimaksudkan untuk dapat
memahami kedudukannya dalam pengertian bahasa dan praktek penggunannya menurut
pemerintahan hukum adat bangsa Alifuru. Lebih dari itu, beta mencoba menggugah
para pemerhati kebudayaan bangsa Alifuru - cikalbakal kebudayaan Maluku, untuk lebih
jauh berkonsentrasi mempelajari dan mengembangkan pengetahuan tentang kebudayaan
Alifuru agar benar-benar menjadi identitas dan jatidiri Orang Maluku. Tentu
tidak dibatasi hanya di wilayah Maluku bagian tengah, tetapi juga diseluruh
wilayah dalam lingkup kepulauan Maluku dan Maluku Utara. Sesungguhnya Bangsa Alifuru
itu Orang Maluku, yang tersebar mulai dari ujung utara pulau Morotai hingga bagian
paling terselatan pulau Selaru.
Memperhatikan kedua kata yang disatukan dalam satu penyebutan,
memaknai unsur struktur kelembagaan dalam pemerintahan adat. Umumnya orang Maluku
sangat bersahabat dengan sebutan Latu Pati. Ketika dicerna lebih dalam, maka sebutan seharusnya Latu dan Pati, yang
berarti menunjukkan adanya dua posisi dengan pengertian yang saling berbeda
tetapi berkaitan, kecuali strata fungsinya. Apakah Latu hanyalah Latu, atau
Latu berasal dari kata Ratu, sebab dalam pengucapan kata dari sumber bahasa tana – bahasa ibu(mother language), penduduk asli
kepulauan Maluku yang berbangsa Alifuru, huruf “r” jamak diganti dengan huruf
“l”. Sedang kata “Pati”, tidak berbeda dalam sebutan dan penulisan, seperti
sebagaimana adanya, kecuali dalam penulisan yang dipakai untuk nama sebutan
marga yaitu nama keluarga atau matarumah.
Latu dipahami sebagai gelar atau pangkat yang
disematkan kaumnya kepada pemegang kekuasaan atas suatu wilayah tertentu dalam
tatanan Masyarakat Hukum Adat di Maluku. (A)upu Aiya – Tuan(Bapak) Raja, sebutan
dalam bahasa tana. Gelar Latu – (A)upu Latu,
sebagai sebutan lain atau yang setingkat derajatnya dengan kata gelar “Raja”,
yang seharusnya atau umumnya adalah oleh seorang laki-laki, sebaliknya “Ratu” adalah
gelar yang disematkan yang menurut pemahaman dan pengetahuan umumnya juga adalah
seorang penguasa, tetapi adalah oleh seorang perempuan. Pernah ada, tetapi
tidak umum terjadi di negeri-negeri adat – kecuali khusus di masa awal di
wilayah adat Kelmuri pulau Seram bagian Timur tetap disebut Ratu(Ratu Kelimuri), walaupun kepala pemerintah
atau pimpinan negeri adat dipegang oleh seorang perempuan, tetap saja disebut
Raja – dipanggil Ina Aiya atau Ibu
Raja, bukan Ratu.
Pengenaan gelar Latu dan Pati tidak asal sebarangan disandangkan,
karena gelar atau sebutan tersebut disematkan untuk penguasa yang terbukti pada
awalnya memiliki keunggulan baik secara fisik maupun bathin. Adanya hanya pada mereka
yang disebut Kapitang, yaitu orang
yang unggul secara holistik, karena memiliki kemampuan kekuatan fisik dan kekebalan
tubuh terhadap senjata tajam, serta kekuatan secara bathin. Hal itu dibuktikan
melalui keunggulan atau kemenangan dari suatu peristiwa adu kekuatan fisik dan kekebalan
serta ketangkasan melalui sebuah peperangan. Oleh karena keunggulan sebagai
seorang Kapitang, menjadikannya penguasa suatu komunitas masyarakat sekaligus menguasai
sebuah wilayah.
Sebagai lanjutan penjelasan menurut bahasa tana, penyebutan untuk perempuan
umumnya adalah Hihina atau Mahina , sebutan yang membedakan dengan
sebutan untuk Ibu(Mama) yaitu Ina. Demikian
juga berbeda sebutan untuk umumnya perempuan dewasa dan tua – sudah berumur
lanjut, disebut Pinantua. Seperti
diketahui, gunung tertinggi – 3027 meter dpl,
di kepulauan Maluku berada di pulau terbesar yaitu Seram, adalah gunung Binaya.
Nama yang diambil dari sebutan asli bangsa Alifuru(Pulau Seram) sejak awal,
bukan dinamai oleh siapapun selain bangsa Alifuru. Sebutan awalnya menurut
pengucapan lida kental Alifuru dahulu kala adalah B(p)inaiya. Pengucapan antara huruf “p” dan huruf “b” kedengarannya
sama hingga hampir sulit dibedakan. Hal ini merujuk kepada mitologi bangsa Alifuru-Supamaraina, pemukim dataran tinggi pegunungan Manusela, memposisikan
gunung Binaiya sebagai puncak “aiya”
- gunung Penguasa(Latu – Raja), yang memberikan perlindungan kepada gunung Ina-Tuni – ibu kandung, Murkele, sebagai
induk yang melahirkan keturunan Bangsa Alifuru. Diyakini sebagai pusat awal
kehidupan “Manusia Alifuru”,
sekaligus pusat peradaban “Orang Maluku”
ber-Bangsa Alifuru. Sekalipun demikian, di antara kedua gunung ini hanya gunung
Murkele yang dianggap sebagai gunung Keramat.
Sebagai gunung paling dikeramatkan, puncak Murkele sangat terlarang untuk
didaki orang “luar”, tidak seperti gunung Binaiya yang boleh didaki oleh
siapapun hingga ke puncaknya.
Baca juga ; Sasi dan Matakau
Kembali kepada bahasan utama, boleh jadi gelar Latu merupakan istilah yang
bermetamorfosis dari istilah sebutan untuk Ratu? Karena seorang Ratu pun bisa
saja adalah penguasa yang memiliki kekuasaan dalam sejarah awal proses
terbentuknya suatu komunitas masyarakat suku - bangsa, hingga kemudian menyelenggarakan
sendiri suatu sistem pemerintahan menurut tatanan hukum adat pada wilayah
kekuasaannya, atau disubtitusikan kepada seorang Pati. Seseorang yang
menyandang gelar Pati, bukanlah orang atau pihak lain di keluarga besar Latu.
Sewaktu-waktu gelar Pati dapat mengganti
posisi sekaligus bergelar Latu, bila ketika menduduki tampu pimpinan tertinggi
komunitas kaumnya, karena juga menjadi pemegang kekuasaan pada wilayah lain
dalam lingkup kekuasaan Ratu. Pati dalam tatanan adat Maluku-Alifuru, masih
merupakan bagian lingkup dalam satu garis keturunan atau keluarga se-marga/fam
atau satu mata-rumah. Pendelegasian kekuasaan untuk memimpin atau mengurus
suatu wilayah atau kelompok masyarakat suku yang lain yang dipisahkan atau baru
dibentuk.
Istilah Pati ditinjau dari segi bahasa
tana, dalam sebutan dan tulisan “kemungkinan” diambil dari kata ; “pa’a ti”.
Berasal dari kata dasar “pa’a” dan
akhiran “ti”, yang artinya pecah atau
terbelah – suatu benda. “Pa’a ti” dalam
bentuk penulisannya yang sudah umum saat ini yaitu “pati atau patti”, artinya
sesuatu yang dengan sengaja dipecah atau dibelah agar bisa dibagi, tetapi tidak
untuk dipisahkan dalam maksud disingkirkan atau hingga dibuang. Berbeda dengan
kata “pa’a ti iti” yang artinya pecah
dan putus, atau saling terputus dan terpisah.
Istilah atau sebutan Pati dalam kebudayaan masa para leluhur Maluku –
Alifuru, dahulu, berbeda makna dan fungsi dengan gelar Patih seperti yang
disandang Gajahmada. Maha Patih - panglima kerajaan Hindu Majapahit di pulau
Jawa dahulu – lagi pula “Sumpah Palapa”-nya tidak terbukti pernah menundukkan
atau menjejakkan kakinya di Seran – Ceram, pulau terbesar di kepulauan Maluku. Gelar
Patih bisa ditunjuk atau dilimpahkan kepada siapapun menurut kehendak sang Raja
Kerajaan. Di Maluku, dalam tatanan masyarakat adat bangsa Alifuru, sebutan Pati
hanya berlaku untuk intern keluarga Latu atau penguasa utama suatu wilayah
tertentu. Namun, seiring perjalanan waktu dengan oleh pengaruh pihak penjajah
bangsa asing, posisi dan struktur
kekuasaan para Latu maupun Pati sebagian besar terdegradasi dan gelar itu hanya
bisa digunakan sebagai nama keluarga atau fam tanpa jabatan dan fungsi dalam
kekuasaan pada suatu wilayah yang sebelumnya memang ada. Sebabnya
bermacam-macam, tetapi umumnya adalah korban politik kepentingan kekuasaan lebih di atasnya, baik di masa
penjajahan Belanda maupun setelah di masa pemerintahan negara Indonesia.
No comments:
Post a Comment