Dalam sejarah, sejak terbentuknya
negara Republik Indonesia, Maluku adalah salah satu wilayah yang melalui
sebagian para tokoh Maluku telah menyatakan bersatu dengan negara baru yang
baru pula diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Maluku, pun oleh
sebagian tokoh dan masyarakatnya pernah menyatakan ingin berpisah dari negara
Indonesia, ketika itu terjadi di tahun 1950, yang kemudian oleh negara Indonesia
diakhiri gerakan tersebut dengan ditangkapnya dan bahkan hingga dihukum tembak
mati tokoh utama gerakan kemerdekaan dimaksud.
Tetapi
cerita belum tamat, masih ada gaungnya di luar wilayah kekuasaan negara
Indonesia, yang kemudian ketika terjadi “rekayasa” konflik sosial di Maluku
tahun 1999, kembali muncul gerakan sewarna dengan yang sebelumnya, tetapi
tindakan oleh negara kembali membuat tidur aktifitasnya. Apakah kemudian tamat
pergerakan berintrik perjuangan kepentingan rakyat di Maluku? Belum. Malah
dengan membaca kondisi Maluku terkini, dengan raihan peringkat Provinsi Termiskin di Indonesia, makin
melebar sebagai gerakan sosial bersama Orang Maluku - sebagai bagian warga
negara Indonesia, agar negara benar-benar menghadirkan kesejahteraan kepada seluruh
rakyat di Maluku, tetapi lebih bersifat gerakan moral kebangsaan oleh rakyat. Tentu saja berlandaskan konstitusi negara.
Rumah Gaba-gaba berbahan pohon rumbia(sagu), rumah penduduk sebuah Negeri pesisir di Maluku, (Foto ; Dokumentasi Pribadi)
Bukan tanpa alasan,
sebab janji negara – melalui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kemudian diulang
hal yang sama oleh Presiden Joko Widodo, untuk Maluku dijadikan pusat industri
perikanan Indonesia melalui program Lumbung Ikan Nasional (LIN), tidak juga
terealisasi hingga saat ini. Harapan besar perubahan tingkat kehidupan melalui
pemanfaatan dan pengembangan potensi luar biasa perikanan Maluku setelah
komoditi unggulan Maluku – cengkeh dan pala, terpuruk. Undang-Undang Provinsi
Kepulauan yang diharapkan dapat menghadirkan perhatian lebih Pemerintah Pusat
kepada wilayah provinsi yang memiliki perairan luas dari tanah daratan pulau
seperti Maluku pun sudah belasan tahun terbaring dalam derita “mati segan
hidup pun sulit”, hanya sebatas rancangan. Politik kebijakan dalam alokasi
anggaran negara yang hanya didasari besar jumlah penduduk dan luas daratan,
sekalipun sudah disuarakan berbagai pihak yang sesama nasib wilayahnya lebih
luas lautan dengan jumlah penduduk yang kecil, hanya buih di ombak pantai
berkarang. Kebijakan negara yang sangat mempersulit, hingga sengaja mengabaikan
hak-hak Masyarakat (Hukum) Adat atas wilayah ulayat – tanah dan hutan, maupun
perairan, telah melengkapi syarat kesulitan-kesulitan yang melahirkan
kemiskinan pada rakyat pemilik tetapi kehilangan haknya.
Cengkeh, komoditi “romantic” unggulan Kepulauan Rempah-rempah yang makin pupus ditelan jaman(Foto; Dokumentasi Pribadi)
Memandang Maluku dalam
konteks Indonesia hari ini, masih berada dalam daftar Provinsi Termiskin.
Maluku masih berkutat dengan kemiskinan yang akut di wilayah dengan kandungan
kekayaan alam yang melimpah. Sesuatu yang menolak ketidak keinginan untuk
didiamkan, apalagi dibiarkan berlangsung makin lama dalam ketidakpastian
menanti saat kapan hingga lenyapnya predikat provinsi termiskin di Indonesia.
Perdebatan tentang seberapa besar dan lama kontribusi Maluku, sudah harus
selesai saat ini, karena bukan semacam lagu romatis yang biasanya senang
diulang-ulang di saat kapan pun tetapi tidak pernah membosankan. Kemiskinan
Maluku bukan lagu romantis, tetapi bencana sejarah kemanusiaan di negeri
terkaya sumber daya alamnya.
Posisi Maluku masih
sebagai Provinsi yang menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hal patriotis yang masih dirasakan hingga saat ini, dan tidak dalam kerangka
pikir sampai harus dilawan, karena adalah kawan. Dalam kebersamaan
bertali-kawan, syaratnya adalah kebaikan bersama melalui keadilan berbagi, adil
dan merata antara kawan. Maka ketika ada pola pikir yang berkembang menyangkut
suara-suara ketidakpuasan sebagai kawan, dapat dibaca lagi ulang apakah selama
ini dalam berbagi sudahkah adil dan merata. Bukan berarti sebaliknya
ditafsirkan miring hingga dijastis hendak mengarah kepada suatu usaha untuk
membuat jarak yang hendak memisahkan antara Maluku dan negara Indonesia. Kecuali
itu, apalagi hingga dianggap mengandung intrik politis yang bermaksud
mendisintegrasikan Maluku dari negara Indonesia. Itu berlebihan, dan sesat arah
berpikir demikian.
Sebuah gerakan rakyat,
selalu ada alasan dan itu sah sebagai tanda peringatan kepada pemerintah yang
berkuasa untuk diperhatikan dan ditanggapi melalui langkah nyata implementasi
apa itu kemauan gerakan rakyat tersebut. Bukan sebaliknya bersifat apatis, atau
hanya diberikan janji yang hanya menjadi mimpi tak ternyatakan, apalagi
dilabeli anggapan yang malah lebih memperlebar kekecewaan, bahkan membuat luka
yang membekas dan menoreh memori traumatis kepada rakyat bersangkutan hingga
terinkubasi kebencian yang mendendam seumur ingatannya. Apakah
kemudian, sebagai rakyat yang merasa ada yang kurang, terdapat sesuatu yang
pantas harus dipertanyakan dan disuarakan, kemudian ditafsirkan sebagai suatu
gerakan makar melawan negara? Tentu tidak mesti tidak semudah – dengan mudah,
itu penafsirannya, beta sebut pola pikir prematur dan berpola
pintas. Malah tidak memunculkan keindahan kebersamaan dan kehormatan terhadap
hak azasi warga negara yang harusnya dirangkul dengan perlakuan manis dan
menyenangkan, serta mengenyangkan.
Kemiskinan Maluku bukan
suatu kodrat Tuhan, tetapi suatu bencana kemanusiaan zaman modern, sebagai
akibat “rekayasa” negara melalui berbagai regulasi oleh pemerintah pusat
sebagai pemegang kekuasaan negara. Sebagai regulator, atas dasar Konstitusi
Negara, kekuasaan pemerintahan daerah yang Kepala Daerah – Gubernur,
Bupati/Walikota, dipilih langsung oleh rakyat di daerah melalui pemilihan umum
kepala daerah (Pilkada), sekalipun dengan diberikan hak otonomisasi, tetapi
sesungguhnya tidak banyak yang dapat dilakukan. Pemerintah Daerah kehilangan
peluang inisiasi dan kreatifitasnya, sudah dipalang dengan berbagi regulasi
yang menjadi rambu-rambu kebijakan pemerintahan daerah, yang intinya merupakan
peng”amputasi”an di sana-sini kekuasaan di daerah. Kecuali sekadar sebagai
eksekutif dan instruktur yang menjalankan kebijakan yang diperintah dari
pemerintah pusat.
Maluku miskin – peringkat 4(empat) Provinsi Termiskin di Indonesia
menurut data yang dirilis Badan Pusat Statistik hingga tahun 2019. Bukan hal
baru, sudah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Bencana ini bisa terjadi
sebagai akibat kebijakan sistemik kekuasaan pemerintah negara. Politik
kebijakan anggaran pemerintahan pusat dan pengelolaan anggaran pemerintahan di
daerah, secara struktural berdampak kepada pemiskinan masyarakat Maluku. Maka
itu, kemiskinan di Maluku adalah kemiskinan struktural yang sistemik,
bukan kemiskinan absolut.
Pakem kebijakan pembangunan yang tidak sinkron
dengan karakteristik budaya dan sosial masyarakat Maluku, secara struktural
menyebabkan masyarakat Maluku menjadi termiskinkan. Kemiskinan yang relatif
yang tentu merupakan sesuatu yang aneh tapi nyata. Berbeda jauh kemiskinan di
Maluku dengan kemiskinan seperti misalnya di pulau Jawa atau lain tempat di
Indonesia. Masyarakat asli Maluku, hampir seluruhnya memiliki tanah – bahkan
masih berlebihan, kebun dan hasil kebun, hutan adat – kepemilikan bersama,
ruang laut dengan potensi perikanan dan hasil laut. Tentu kesempatan dan
peluang untuk membangun perekonomian sangat terbuka, tetapi terkendala sarana
dan prasarana pendukung, akses legalitas hak, akses pasar dan kemudahan
permodalan, kebijakan pemerintah yang tidak membantu memaksimalkan hasil panen
khususnya komoditi asli Maluku kecuali dibiarkan mengikuti hukum pasar – bebas.
Selain hampir tidak ada semacam “proteksi” terhadap masyarakat asli daerah
dalam ruang-ruang perekonomian dan kesempatan berusaha yang didukung pembinaan
dan pengawasan yang tulus dan sungguh-sungguh serta rutin tanpa batas waktu
dari pemerintah daerah Maluku.
Indonesia telah lepas
dari rezim Orde Baru, yang kata sebagian pengamat dianggap sangat represif
terhadap suara berbeda, maka itu muncullah gerakan baru di tahun 1988 yang
disebut gerakan Reformasi. Reformasi sistem bernegara menuju negara demokrasi
yang permanen, tentu masih dalam proses dengan terus melakukan
penyesuaian-penyesuaian untuk menemukan bentuk yang pas untuk sebuah negara
besar dengan multi etnis dan budaya, agama, yang terpisah-pisah kediamannya di
ribuan pulau, dengan konsentrasi penduduk terbanyak ada di pulau Jawa.
Sementara Maluku yang tidak seberapa besar jumlah penduduknya, malah
tercerai-berai berada di ribuan pulau dengan rentang kendali wilayah perairan –
laut, yang masih saja terkendala oleh kesulitan sarana dan prasarana penghubung
untuk memudahkan akses jangkauan antar pulau. Di jaman rezim reformasi ini,
haruslah terbuka secara demokratis suara-suara masyarakat harus didengarkan
pemerintah, diterima, lalu diselesaikan apa yang diinginkan oleh suara-suara
tersebut.
Sebagai akhir,
Konstitusi Negara yaitu Undang-Undang Dasar 1945, jelas menjamin hak-hak warga
negara untuk bersuara, mengeluarkan pendapat. Tentu ada rambu-rambu berupa tata
cara yang diatur melalui peraturan turunannya. Tetapi tidak ditafsirkan secara
“semau gue”, sehingga ketika terdapat suara-suara “sumbang” dan “beda” dengan
haluan rezim pemegang kekuasaan negara, kemudian dijadikan alasan sebagai
seakan adalah suatu tindakan melawan hukum. Atau sampai menafsirkannya ke arah
sesuatu yang kemudian dilabeli sebagai suatu gerakan masyarakat seakan bagian
dari serial stempel gerakan separitis yang makar terhadap negara. Begitu pula,
jangan sampai oleh adanya sebagian orang Maluku yang merasa “paling Indonesia”,
lalu berposisi sebagai “anjing penjaga”, padahal mereka sedang membela kepentingan
diri sendiri akibat mungkin saja takut kelaparan. Kepentingan rakyat miskin di
Maluku yang disuarakan, ini adalah sesuatu yang bersifat umum dan demi
kepentingan bersama sebagai sesama Orang Maluku. Kepentingan untuk memperoleh
kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan di tanah Maluku yang kaya berlimpah
harta.
Kesejahteraan sebagai
tujuan akhir yang diinginkan, untuk itulah yang sedang berusaha diperjuangkan
dengan terus disuarakan. Karena tujuan bernegara adalah untuk mensejahterakan
rakyatnya. Hal itu berarti bukan harus menerima kenyataan atas suatu
“kesengajaan” yang dipraktekkan negara secara tidak adil terhadap rakyat di
Maluku, kemudian harus menerima nasib seakan kemiskinan itu adalah sesuatu yang
wajar di bumi Maluku yang berlimpah-ruah kekayaan sumber daya alamnya.
Kampung Bendungan, 04
Desember 2018
M. Thaha
Pattiiha
---------------------------------------------------
)* Tulisan ini telah direvisi(17/8/2019)
No comments:
Post a Comment