Wednesday, March 11, 2020
Tuesday, March 10, 2020
TAKARAN POLITIK JANJI KAMPANYE KETIKA BATAL PINDAH IBUKOTA PROVINSI MALUKU KE PULAU SERAM
Oleh : M. Thaha Pattiiha*)
Brosur
kampanye tentang percepatan pemindahan Ibukota Provinsi ke Makariki di pulau
Seram
(Sumber
: Brosur Kampnye Paslon(Diedit;mth_@embun01, 08032020)
Politik itu - juga,
seni. Seni menata kata dan meramu cara. Dimana yang di-”kiblat”-i oleh
politik itu semata-mata hanya - demi, kepentingan, kepentingan bagaimana meraih
keinginan - apapun caranya dan bagaimanapun sulitnya. Suatu keinginan seseorang
atau sekelompok orang berlatar kepentingan yang bisa saja multiimpian. Dalam
praktek politik praktis - yang ujungnya guna meraih kekuasaan, urut-urutannya
bisa dimulai dengan memilih kata untuk meramu kalimat indah, manis, melankolis,
“mengawan-awan”, agar menyentuh nurani, meluluhkan bathin, dengan melalui
sesuatu yang diimimpikan sasaran, tebar asa penuh optimisme, iyakan saja apapun
kehendak publik. Dengan begitu, publik terpesona, merasa keinginannya bakal
terpenuhi oleh sang “penebar janji”. Benar-benar seperti implementasi pesan
taktik dan strategi elektabiliti Syafullah Fatah - pengamat dan konsultan politik;
yaitu “sentuh nuraninya, (lalu) patahkan logikanya.” Teori berpolitik -
praktis, memang butuh unsur seni, karena politik adalah ilmu untuk meraih
kekuasaan secara konstitusional ataupun inkonstitusional. Hubungannya dengan
konteks judul esai ini, terdapat “kata-kata kunci” wacana - isu, politik paling
menarik bagi publik Orang(pulau) Seram yang pernah disosialisasikan - rekam
jejak digitalnya cukup jelas, saat kampanye Pemilihan Kepala Daerah - Pilkada -
Langsung, salah satu pasangan calon(paslon) Gubernur dan
Wakil Gubernur Maluku
tahun 2017, yaitu; “Percepatan pemindahan ibukota Provinsi ke Seram.”
Konsep pilkada
langsung merupakan sistem yang dianggap paling demokratis karena rakyat memilih
secara langsung kepala daerah sehingga legitimasi terhadap proses dan hasil
pemilihan sangat besar. Sehingga masyarakat mampu dan mempunyai keluasaan untuk
mengontrol jalannya kepemimpinan dan pemerintahan, oleh karena itu pilkada
langsung diniatkan sebagai upaya mendemokratisasikan kehidupan berbangsa-bernegara
di tingkat lokal. Pertumbuhan demokrasi di tingkat lokal ini merupakan ikhtiar
untuk mencari pemimpin lokal yang memiliki legitimasi kuat, demokratis dan
representatif (Prihatmoko, 2005: 34). Pilkada langsung
merupakan konstruksi Pasal 18 UUD 1945, menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan
Walikota “dipilih secara demokratis”. Kata “dipilh secara demokratis” ini tidak
bisa ditafsirkan kepala daerah dipilih oleh DPRD sebagaimana diatur dalam UU No
22 Tahun 2014 yang kemudian dicabut dengan Perpu No 1 Tahun 2014. Perpu ini
dikuatkan dengan UU No.1 Tahun 2015 hingga kemudian berubah menjadi UU No 8
Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota secara langsung
oleh rakyat. Sehingga Gubernur dan Wakil Gubernur, Kepala daerah terpilih harus
memaknai hakikat pilkada langsung, tidak dipandang sebagai ajang perebutan
kekuasaan antarkandidat dan antarpartaipolitik(parpol) di belakangnya, yang
berarti diskursus demokrasi lokal hanya melibatkan elite dan parpol, tidak
demikian (Wiwin Suwandi, 2016).
Pilkada Maluku sudah berlangsung sejak tahun 2017 lalu dan paslon terpilih
dilantik pada tahun 2018. Telah 2(dua) tahun mengeban amanat rakyat Maluku dan
menjalani masa jabatan. Gubernur dan Wakil Gubernur, saatnya - seharusnya,
memenuhi dengan merealisasikan janji-janji semasa kampanye. Sebagai
pertanggungan jawab politik kepada masyarakat yang memilihnya(ibid).
Antara lain tentang
pemindahan ibukota provinsi Maluku dari kota Ambon di pulau Ambon ke Makariki
di pulau Seram. Janji kampanye yang diucap dalam kampanye panggung calon
Gubernur Murad Ismail dan calon Wakil Gubernur Barnabas N. Orno
(Murad-Barnabas), dan janji itu ditulis dalam brosur yang disebarkan ke publik
pemilih. Poin dimaksud tentu bukan satu-satunya sebab masih terdapat 15(lima belas)
dari 16(enambelas) poin program-program unggulan paslon Murad-Barnabas.
Setidaknya pilihan isu politik Tim “Thing Tank” paslon
Murad-Barnabas tentang pemindahan ibukota tentu sudah diprakirakan - diukur
secara matematika politik, bakal bisa mendongkrak keyakinan pemilih Orang Seram
untuk menjatuhkan pilihan kepada paslonnya. Dan pilihan isu tersebut setelah
dikampanyekan, ternyata terwacanakan secara baik, dan meluas di kalangan Orang
Seram. Cukup efektif berpengaruh dalam membentuk opini pemilih, khususnya Orang
Seram - baik di pulau Seram maupun yang bermukim di tempat lain di Maluku.
Terdapat keyakinan kuat terhadap latar belakang paslon - lebih khusus kepada
kapasitas calon gubernurnya - Murad Ismail, yang dianggap sangat kredibel akan
memenuhi janjinya ketika setelah terpilih. Meskipun saat itu terdapat calon
Gubernur “pribumi” Orang Seram, tetapi wacana dimaksud cukup kuat mengarahkan
pilihan Orang Seram secara signifikan kepada Murad-Barnabas. Pilihan yang
terbukti kemudian benar terpilih dan dilantik sebagai Gubernur dan Wakil
Gubernur Maluku periode 2018-2023. Pasangan Murad-Barnabas sekarang sedang
menjalani masa jabatannya.
Acara pencanangan pemindahan
Ibukota Provinsi Maluku di Makariki pulau Seram, Sabtu 24 Agustus 2003 (Foto;
Istimewa)
Rencana pemindahan
ibukota Provinsi Maluku sudah dijejaki saat kepemimpinan Gubernur Albert
Ralahalu. Alasan dan pertimbangan yang mendasari rencana tersebut adalah
percepatan pembangunan perkotaan di kota Ambon di waktu mendatang tidak lagi
seimbang dengan daya dukung kelayakan, dengan indikator adanya luas wilayah dan
angka pertumbuhan penduduk. Pertimbangan indikator lain adalah
potensi wilayah di Makariki – pulau Seram, dianggap cukup mendukung untuk
dikembangkan sebagai Ibukota Baru Provinsi Maluku (tabaos.id). Tepatnya, Sabtu, 24 Agustus 2013, dilakukan peletakkan
batu pertama serta penandatanganan prasasti oleh Gubernur Albert Ralahalu dan
Ketua DPRD Maluku, turut menyaksikan Wakil Gubernur Maluku Said
Assegaff, Bupati Maluku Tengah Abua Tuasikal, dan Anggota DPRD Maluku. Ketika
kembali diwacanakan saat masa kampanye pilkada 2017, memunculkan kembali suatu
harapan akan segera direalisasikan karena sudah pasti akan ada perubahan
berarti mengikuti aktifitas berpindahannya ibukota provinsi di pulau Seram.
Bagi Orang
Seram yang telah turut serta berkontribusi secra electoral, terima
atau tidak terima, harapan agar direalisasikan janji politik saat kampanye
pilkada ternyata harus dirasionalisasikan melalui semacam pemahaman melalui
teori “Kelirumologi” - meminjam istilah Jaya Suprana - pendiri Musium Rekor
Indonesia, bahwa itulah kenyataan dari suatu janji politik. Mungkin
ada kekeliruan dengan janji itu, atau Orang Seram yang keliru mengira itu suatu
janji. Senin, 09 Juli 2019, Gubernur terpilih Murad Ismail membantah dengan
mengatakan; Tidak. Tidak ada pemindahan Ibukota”. “Saya sudah ke Jakarta untuk membicarakan masalah tersebut.
Tapi, tidak mudah pindahkan Ibukota. Sebab, kita pindahkan Ibukota, berarti
harus pindahkan juga Polda dan juga markas Pangdam, Kajati dan lainnya.”(tabaos.id, ibid)
Elektabilitas
elektoral bisa mungkin akan terpengaruh kepada pemilih yang pilkada lalu
menentukan pilihannya berdasarkan isu pemindahan ibukota. Begitupun moral
politik paslon, akan dijadikan pertimbangan pemilih secara rasional, dengan
menakar ulang kemana arah pilihannya bilamana yang bersangkutan kembali
mengikuti pilkada dan memunculkan isu politik baru di masa kampanye - tentu
perlu ditindak lanjuti keterkaitannya dengan cara disurvei. Tetapi akan ada
penilaian tentang kejujuran untuk penepatan janji-janji saat masa kampanye.
Kesimpulannya menjadi pembelajaran politik dan ukuran moral untuk menentukan
arah kepercayaan pemilih apakah masih akan memilih yang bersangkutan atau
sebaliknya meninggalkannya. Ukurannya sederhana dan masyarakat pemilih yang sekarang
makin cerdas memahami dunia perpolitikan. Akan dikatakan “janji yang lama -
sebelumnya, saja belum ditepati, mana mungkin akan menepati janji yang baru”.
Kemungkinan lain, isu kegagalan memenuhi janji tersebut boleh jadi akan
diangkat oleh “lawan tanding” paslon di pilkada mendatang, tetapi hanya sebatas
itu. Sebab tidak bakal efektif lagi bila hendak diangkat dalam kampanye.
Ukurannya butuh kapasitas paslon yang mampu meyakinkan ketika membonceng ulang
isu pindah ibukota, agar tidak menjadi boomerang. Sebaliknya bagi
Murad-Barnabas - masih cukup waktu dan kesempatan, berkewajiban menjelaskan
mengapa janji itu batal, selain fator kendala pendanaan, apakah akan diganti hal
lain, atau memang hanya sebatas “janji kampanye” demi meraup suara pemilih
Orang Seram.
Tipekal
pemilih dalam hajatan politik pemilihan umum(Pemilu) yaitu;
pemilih tradisional, pemilih emosional, dan pemilih rasional, tidak
lagi menetap karena dipengaruhi pengetahuan politik masyarakat dari pemilu ke
pemilu telah membuat kian melek politik. Pemilu lokal berupa pilkada langsung,
umumnya orientasi penentuan pilihan menunjukan trend peningkatan pemilih
rasional dari pada pemilih tradisional yang masih cenderung berpola pragmatis
dan primordial. Kecenderungan lain sebagai dampak negatif pilkada langsung
adalah adanya pemilih terdaftar yang pasif, tidak menggunakan - lagi, hak
pilihnya akibat ingkar janji kandidat terpilih dan selain hal lain seperti
perilaku Korupsi, Kolusi, Nepotisme(KKN), selain dari penilaian kepada
kapasitas - kemampuan, para calon baru atau calon incumbent -
petahana, di periode kepemimpinan sebelumnya. Ikut terpengaruh pula
yang memperbesar pemilih pasif, adalah pemilih tradisional yang menganggap
tidak akan mendapat atau berpengaruh apa-apa bila hak pilihnya digunakan atau
tidak digunakan. Kondisi ini – menurunnya penggunaan hak pilih, mungkin hanya
bisa tertolong bilamana pemilih emosional - pendukung utama kandidat, maksimal
menggunakan hak pilihnya.
Tipekal dan trend pemilih demikian
tersebut di atas, dalam hubungannya dengan tema yang dibahas – janji pindah
ibukota, berlaku hanya kepada pemilih Orang Seram dari kalangan “pribumi”
beretnis Alifuru yang bermukim di luar pulau Seram maupun yang di pulau Seram -
dalam hubungan ini masyarakat di kecamatan Teon Nila Serua(TNS) -
serta etnis Alifuru asal pulau-pulau lain - sudah
termasuk di dalamnya. Dan belum tentu berlaku bagi keberadaan penduduk Seram
umumnya yang saat ini makin menunjukan peningkatan signifikan, seperti di Seram
bagian barat yang sudah didominasi oleh penduduk terkonsentrasi - selain
wilayah lain di Seram, asal Sulawesi Tenggara, dan asal wilayah Indonesia
lainnya yang bermukim di daerah transmigrasi. Pemilih disebut terakhir mungkin
yang tidak perduli dengan janji politik dimaksud. Bagi Orang Seram - rencana
pindah ibukota yang batal, sudah pasti jadi catatan_kaki yang
akan kembali ulang dibaca saat pilkada mendatang.
Para politikus terbiasa menebar janji. Janji politik yang akan berakhir
ketika telah mendapat suara pemilih. Secara etika dalam moral perpolitikan
tidak dianggap hal luarbiasa yang butuh klarifikasi langsung dan cepat.
Biasanya suatu janji politik akan dibiarkan tenggelam hingga pupus ditelan
waktu dengan cara didiamkan, atau lenyap terlupakan dengan memunculkan isu baru
yang lain. Sisi moral dalam dunia politik kadang sengaja dibuat menjadi
relatif, pertimbangannya tergantung kepentingan. Mungkin karena, “politik adalah masalah siapa mendapat apa, kapan, dan
bagaimana” (Harrold D. Laswell, 1939, Politics : Who Gets
What, When, How).
Bukan
kebiasaan baru, sudah sering janji-janji politik - terucap dan tertulis,
sebagai cara dan upaya demi meraup dukungan suara pemilih saat pemilu. Seiring
kekuasaan yang kemudian telah digenggam, janji-janji itupun dengan sadar
sengaja dilupakan, atau dengan dibantah - diingkari, secara sengaja. Suatu
preseden buruk bagi demokrasi yang dianggap sebagai cara paling beradap dalam
memilih pemimpin, karena hak rakyat diposisikan terhormat yang langsung
menentukan sendiri wakilnya untuk memimpin mereka. Bila hak suara itu
dikhianati, rakyat sendiri yang harus memutuskan seperti apa kemudian.
Sesungguhnya, “politik bukan
parang yang hanya satu muka, tetapi pedang yang bermuka dua,” kata beta.
Gg Swadaya, 10 Maret 2020
----------------------------
*) Penulis adalah Pengurus Harian Dewan
Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan (DPC. PPP)
Kota Ambon - 4(Empat)
Periode ; 1985 s/d 2005.
Monday, February 24, 2020
IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU
Oleh : M. Thaha Pattiiha
Antara
Alifuru dan Maluku/Ilustrasi(Foto
Dok.Grafis:mth_@embun01, 20022020)
Etnis Alifuru dan nama
Maluku, dua hal dalam sengketa sejarah dan identitas. Masing-masing bermakna
beda dalam satu bidang pigura, tetapi bukan seperti mozaik yang berkomposisi
dalam paduan serasi sehingga hasilkan keindahan. Bagi Alifuru - dalam tulisan ini
menunjuk kepada “etnis” Alifuru, bagian-bagian mozaiknya masih terselip di
dalam baju Maluku. Akan terus diperjuangkan untuk dikembalikan, agar ditata
ulang yang bukan lagi suatu lembaran mozaik, tetapi sebuah lukisan realisme
yang utuh tanpa cela dan garis pemisah. Bila pun ada kalangan yang terganggu
“kenyamanannya” oleh beberapa tulisan yang fokus mengungkap “borok” yang selama
ini dalam banyak sejarah yang ditulis tentang Maluku - Maluku Utara, yang lebih
menonjolkan kesan baik, agung, masyhur, manis, hingga romantis - umumnya
demikian - tidak umum bila mengungkap yang sebaliknya. Wajar saja, tetapi bukan
acuan pertimbangan merubah ritme yang sudah menemukan notasinya. Menyadari jati
diri selaku salah satu anak adat Alifuru, terikat tanggung jawab moral untuk
tidak sengaja mengabaikan masa lalu, karena merupakan pedoman arah guna menata jejak ke masa depan. Di dalam keyakinan menurut mithologi kosmos adat
Alifuru, terdapat implikasi dampak, bilamana mengetahui sejarah dan warisan
tatanan adat telah dirusak tetapi sengaja diabaikan anak-anak adat.
Alifuru;
Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Sejarah dengan konotasi kala
nama Maluku - pengertian nama dalam tulisan ini, adalah sejarah kolonisasi dan
imperialis kepulauan serta perbudakan - bahkan genosaide, terhadap
Alifuru. Hal itu yang terekam dalam memori ingatan melalui sejarah yang belum
lama ditulis - baca: Adnan
M. Amal, 2010, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara
1250-1950. KPG - Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta., - “catatan sejarah yang
jujur”. Sebab selama masa kolonisasi dan imperialisasi berlangsung -
setidaknya lebih dari 400 tahun oleh bangsa Eropa plus Jepang
bersama imperium lokal dari utara - masa sejarah kala Maluku, hak-hak
kepemilikan, hak kemerdekaan hidup dan kehidupan, serta warisan kekayaan budaya
Alifuru sengaja dimarjinalkan, bahkan berusaha dihapus - dimatikan. Sebaliknya
sejarah Alifuru, kalaupun pernah ditulis, terbaca seperti terpaksa - mungkin
karena kesulitan membahasakan atau tidak menemukan cara dan istilah pengganti.
Kebudayaan
yang lahir dari rahim komunitas Alifuru, sekaligus gambaran betapa hebat -
secara intelektual, bijak, dan mulia catatan keunggulan kemampuan daya cipta.
Pencapaian hebat yang sudah lahir jauh waktu sebelum tiba masa kegelapan di era
kala Maluku dulu, juga hingga kini. Sejumlah kekayaan warisan tak benda
Alifuru, seperti Bahasa Tana dan bahasa-bahasa lokal,
nama Matarumah - fam - marga, budaya Pela-Gandong,
falsafah Patasiwa-Patalima, budaya Kapitang, Sistem dan
struktur Pemerintahan Adat, Hukum Adat, budaya rumah adat Baileo,
budaya Batu Pamali, sistem Hak Ulayat - Petuanan - Dati,
budaya Kalwedo - nilai adat yang menjalankan tradisi hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilieta, Hukum Adat Larvul Ngabal, budaya Dua
Lolat - serta Upacara Fangnea Kidabela, budaya Ursiuw dan Urlim
- dengan berkembangnya tradisi Letay - sementara di
masyarakat yang jauh dari pusat keramaian atau perkotaan disatukan dalam
budaya Sitakaka Walike, hingga budaya rumah adat Hibua Lamo -
berkonsep Nanga Tau Mahirete - dalam filosofis Ngone
O'Ria Dodoto. Budaya Sasi, Hawear, dan Matakau.
Kekayaan warisan benda,
berupa hutan-hutan lebat di rimba belantara semua pulau - khususnya pulau-pulau
besar. Hutan adalah jiwa dan kehidupan Alifuru, sehingga sangat dilindungi.
Ribuan tahun kekayaan warisan benda seperti hutan yang juga habitat hewan,
burung-burung “surga”, aneka tumbuh-tumbuhan endemik dan khas, aliran sungai,
kali, dan danau dijaga kelestariannya seperti memelihara hidup dan
kehidupannya. Merusak alam sama saja menyumpahi dan merusak “rumah kediaman”
para leluhur Alifuru, dan hal itu dapat berdampak buruk bagi lingkungan
kehidupan dan perjalanan hidup komuniti di sekitarnya. Belantara hutan dengan
potensi kayu luar biasa yang mengundang para pencari untung leluasa hadir
dengan berbekal “sepotong surat ijin” dari penguasa politik berbaju Maluku, dan
aneksasi paksa kekuasaan negara, lalu merampoknya secara formal.
Kekayaan
kebudayaan warisan takbenda dan warisan benda milik
Alifuru sekarang dieksploitasi sedemikian rupa - tanpa menyebut asal-usul atau
sumber, untuk kepentingan kekuasaan dan pemerintahan, politik, ekonomi, bahkan
agama. Agar tidak terbaca hanya menjiplak - hak cipta dan hak intelektual
Alifuru, sengaja direkayasa sejarahnya agar nampak berbeda lalu dikenakan
sebagai “baju Maluku”. Baju sejarah karena milik orang lain tentu bisa
longgar, sesak, atau malah robek. Seperti itu bila bukan milik, malah terlihat
lucu karena tidak cocok. Dan bila dibuka, akan terlihat baju tersebut label
aslinya beridentitas Alifuru. Sudah sangat lama identitas sang pemilik - nama -
sejarah - kekayaan budaya - hak kepemilikan sumber daya alam, yakni Alifuru,
disembunyikan di dalam baju “palsu” Maluku. Berlangsung selama masa-masa
ekspansi dan aneksasi wilayah Alifuru menjadi wilayah koloni – jajahan, oleh
Maluku - hingga saat ini pun belum berakhir. Kanalisasi hingga
marjinalisasi terhadap eksistensi Alifuru hampir saja menguburkan dan menghapus
identitasnya. Mungkin karena para leluhur sengaja mengambangkan situasi hingga
saatnya dengan momentum yang tepat untuk bangkit. Fenomena itu sekarang
bersinergi yang secara bertahap terus menemukan alur dan terbangun jaringannya.
Kesadaran politik anak adat atas hak-hak komunal Alifuru adalah keniscayaan,
yang sebaliknya tidak elok bagi pihak tertentu. Menguatnya politik identitas
Alifuru sebagai ciri yang melekat dan menunjukan jati diri adalah fenomena
positif, yang bila sekarang dianggap menemukan ruang dan momentum untuk
bersuara, hal demikian karena mulai muncul kesadaran atas perasaan adanya
perbedaan-perbedaan. Rasa yang berbeda menjadi otherness - Connolly,
William, 2002, Identity \ Difference: Democratic Negotiations
of Political Paradox, Minneapolis: University of Minnesota Press:
64, untuk mengamankan kepastian dan menguatkan identitas diri bahwa etnis
Alifuru juga memiliki martabat sebanding dengan etnis yang lain, bahkan
memiliki nilai lebih.
Baca juga ;
Alifuru;
Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial
Selama ini potensi eksistensi dan identitas politik
Alifuru dipolitisasi oleh kekuasaan politik hanya sebagai “kantong suara”,
setelah itu dimarjinalkan dan dibungkamkan, hak-hak adat dan hak azasi
tradisionilnya diabaikan dan malah dikriminalisasi. Sumber daya alam
Lingkungan adatnya masif dieksploitasi yang tidak utama demi kepentingan
komunitas bersangkutan. Komunitas adat Alifuru sudah sejak lama diperlakukan sebagai
budak dan sumber daya alam wilayah adatnya dieksploitasi dengan rakus oleh
kolonialis, dan imperialis. Mau sampai kapan lagi. Saatnya diakhiri, sehingga
wajar bila Alifuru berusaha memperjuangkan hak-hak politiknya yang sebelumnya
sengaja diberangus. “Apa yang membuat politik identitas berbeda secara
signifikan dari bentuk-bentuk awal politik pengenal pra-identitas, adalah
tuntutannya untuk pengakuan berdasarkan pada dasar di mana pengakuan sebelumnya
telah ditolak. Tuntutannya
bukan untuk dimasukkan dalam kesatuan “umat manusia universal” berdasarkan
atribut manusia yang dimiliki bersama; juga bukan untuk menghormati “meskipun
ada perbedaan”. Sebaliknya, apa yang dituntut adalah menghargai diri sendiri
sebagai berbeda.” - Kruks, Sonia, 2001, Retrieving
Experience: Subjectivity and Recognition in Feminist Politics,
Ithaca, NY: Cornell University Press: 85. Bagi banyak pendukung politik identitas, permintaan
akan keaslian ini mencakup seruan kepada masa sebelum penindasan, atau budaya
atau cara hidup yang dirusak oleh kolonialisme, imperialisme, bahkan genoside.
Dalam pembelaannya untuk kembali ke nilai-nilai adat tradisional, Taiaiake
Alfred berpendapat bahwa: Sistem tata kelola masyarakat adat mewujudkan
nilai-nilai politik yang berbeda, sangat berbeda dari nilai-nilai arus utama.
Gagasan Barat tentang dominasi (manusia dan alam) secara nyata tidak ada; di tempat
mereka kita menemukan harmoni, otonomi, dan rasa hormat. Kami memiliki tanggung
jawab untuk memulihkan, memahami, dan melestarikan nilai-nilai ini, tidak hanya
karena mereka mewakili kontribusi unik untuk sejarah gagasan, tetapi karena
pembaruan rasa hormat terhadap nilai-nilai tradisional adalah satu-satunya
solusi abadi untuk masalah politik, ekonomi, dan sosial yang menimpa
orang-orang kita.” - Alfred, Taiaiake, 1999, Peace,
Power, and Righteousness: An Indigenous Manifesto, Oxford: Oxford
University Press: 5.
Terdapat 2(dua) versi yang saling
berbeda latar belakang alasan ketika mengenalkan nama untuk wilayah kepulauan
di antara kepulauan dan pulau Papua di timur dan kepulauan dan pulau Sulawesi
di barat, samudera Pasifik -negara Palau - di utara, dan benua Australia di
selatan. Versi “Maluku”, adalah penamaan baru yang secara sepihak dipaksakan
untuk digunakan serta dikenalkan guna kepentingan tata administrasi kekuasaan
wilayah koloni dan imperial - jajahan. Versi “Alifuru” - atau sebutan sejenis
yang lain serta pengertian bangsa - suku - etnis, sila baca;
“Etnis dan Nama Alifuru” dalam Maluku Dan Alifuru
Dalam Dilema Nama Yang Tertukar, adalah versi paling jujur dan sangat benar, sebab memperkenalkan bukti
sesungguhnya tentang nama identitas manusia pribumi pemukim wilayah kepulauan
dan perairan laut di barat New Guinea atau Papua adalah etnis Alifuru. Karena
itu, bagian perairan terluar wilayah dimaksud dinamai dengan nama yang sama
dengan nama etnis pribuminya, yaitu laut Arafura atau Arafuru. Bila demikian,
betapa telah membodohi diri sendiri - sesuatu yang memalukan, mempertahankan -
“basandar matarumah orang”, dan meneruskan nama - matarumah,
Maluku. Nama dengan berbagai catatan kejahatan dan sejarah kelam etnis
Alifuru masih digunakan, sementara identitas pribuminya terus digelapkan.
Dari tulisan tentang Maluku Dilema Nama
Warisan Kolonial, kemudian disusul tulisan berikutnya
sebagai uraian yang lebih detail dengan alasan dan tambahan sumber ilmiah,
melalui tulisan; Maluku Dan Alifuru
Dalam Dilema Nama Yang Tertukar, muncul kesan - dari sekian komentar via media sosial, ada yang
keberatan dengan beban yang menyertai perubahan nama tersebut. Itu sudah pasti
seperti itu, selain kesulitan mengganti nama tersebut dengan entah nama apa, tidak juga
sekejap mata, dan tentu butuh biaya yang tak terhingga. Hanya seperti itu,
betapa tidak seberapa besar beban dan sekejap pula mampu menghapus trauma masa
lalu yang dialami Alifuru. Dalam hal ini, dikecualikan bagi sebagian Alifuru
yang ikut - bergabung dengan bangsa kolonial dan imperialis, menikmati
kesenangan hasil kolonialisasi dan imperialisasi di atas penderitaan pribumi
Alifuru. Dikatakan akan ada beban “kerepotan” serta biaya, memang ada, kecuali
tidak terdapat atau tidak pernah ada setingkat daerah di Indonesia atau negara
di dunia yang mengalami pergantian nama.
Terdapat
3(tiga) cara melemahkan dan menjajah suatu bangsa pertama; kaburkan sejarahnya, kedua;
hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tidak bisa lagi diteliti dan
dibuktikan kebenarannya, dan ketiga;
putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan jika leluhurnya
itu bodoh dan primitif - Architecs
of Deception - Secret History Freemasonry -tribunrakyat.com (12/12/2012). Konsep kolonialias dan imperialis memang
demikian, dan hal itu memiliki dasar pemikiran sebagai alasan. Seperti itu pula
kenapa ada kolonisasi, Ir. Soekarno menjawab begini: "jang menjebabkan kolonisasi itu bukanlah
keinginan pada kemasjhuran, bukan keinginan melihat dunia asing, bukan
keinginan merdeka, dan buka pula oleh karena negeri rakjat jang mendjalankan
kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banjaknja penduduk, -sebagai jang
diadjarkan oleh Gustav Klemm-, akan tetapi asalnja kolonisasi jalah teristimewa
soal rezeki. Jang
pertama-tama menjebabkan kolonisasi jalah hampir selamanja kekurangan bekal
hidup dalam tanah airnja sendiri", begitulah Dietrich Schafer berkata.
Kekurangan rezeki, itulah jang mendjadi sebab rakjat-rakjat Eropah mentjari
rezeki dinegeri lain! Itulah pula jang menjadi sebab rakjat-rakjat itu
mendjadjah negeri-negeri, dimana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula
jang membikin "ontvoogding"-nja negeri-negeri djadjahan oleh negeri-negeri
jang mendjadjahnja itu, sebagai suatu barang jang sukar dipertjajainja. Orang
tak akan gampang-gampang melepaskan bakul-nasinja, djika pelepasan bakul itu
mendatangkan matinja". Begitulah tragiknja riwajat-riwajat
negeri-negeri djadjahan! Dan keinsjafan akan tragik inilah jang menjadarkan
rakjat-rakjat djadjahan itu. - Ir. Soekarno, Di Bawa Bendera Revolusi, hal. 1-2,
dalam Beta Boetje, 2015, Kenapa
Ada Kolonisasi, fb.
Sejarah dan
kebudayaan Alifuru saatnya dikembalikan untuk didudukkan secara proporsional. Tetapi
harus dijauhkan dari maksud untuk diagung-agungkan atau untuk disombongkan -
sangat dilarang sesuai petuah adat, karena hal itu tidak dikehendaki para Datuk
dan Nenek-moyang. Dan untuk nama “Maluku” samasekali tidak bermakna apapun
dalam literasi tatanan adat komuniti etnis Alifuru. Nama itu miskin - bahkan
papah, dari norma dan nilai hukum adat yang menyertai berupa hak kepemilikan
petuanan atau hak ulayat. Sudah tidak ada relevansinya nama “Maluku” untuk
terus dipakai dan dipertahankan, sudah kehilangan esensi dan makna positifnya,
sementara bersarung baju - saat ini, beridentitas sejarah dan kebudayaan
Alifuru.
“Hirani ntub fo ih ni, it did entub
fo it did”, artinya:
“Milik orang lain tetap jadi miliknya, dan milik kita tetap jadi milik
kita.” - Hukum Hawear Balwirin - bagian ke-7(tujuh) Hukum Adat Larvul Ngabal - Kepulauan Key.
Depok, 22/02/202
Sumber Bacaan Online:
-
plato.stanford.edu
-
acedemia.edu
-
semanticscholar.org
-
openscholarship.wustl.edu
Sunday, February 23, 2020
TUGAS DAN FUNGSI DEWAN ADAT
Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Ilustrasi Dewan Adat (grafis;@mth_embun01/23022020)
Setelah ide*)
tentang Dewan Adat dihaturkan ke publik, khususnya dalam jaringan komunitas
“anak adat”. Sungguh mendapat tanggapan, dan sambutan positif, yang intinya
sangat mendukung ide tersebut. Sesuatu yang diharapkan dari tujuan ide itu
diperkenalkan ke hadapan khalayak - masyarakat, khususnya anak adat.
Maka itu, beta lebih lanjut ingin mencoba
merekayasa mekanisme pembentukkannya dan menjelaskan fungsi Dewan Adat sebagai aspirator, mediator, dan fasilitator Masyarakat
Adat, dan bidang tugas yang menjadi wewenang dan tanggung jawab serta area
kuasa kedudukan formal setelah Dewan Adat sudah dibentuk dan dinyatakan
resmi bertugas.
Dewan Adat sudah umum dikenal dan dibentuk di
banyak tempat di seluruh Indonesia, khususnya pada daerah dengan komunitas
masyarakat yang masih kental adat-istiadat. Kelembagaan Adat sudah sangat
terstruktur dan masif dibentuk di Aceh dan Papua. Dua daerah yang mendapat
perlakuan berbeda dari wilayah Indonesia lainnya selain Jakarta dan Jogjakarta,
yang satu otonomi istimewa dan satu lagi otonomi khusus. Maka, berpedoman pada
wilayah-wilayah yang sudah membentuk Dewan Adat, dijadikan acuan dengan
penyesuaian sesuai kebutuhan dan karakteristik daerah yang komunitas masyarakat
adatnya secara geografis terpisah-pisah pada banyak pulau tetapi dalam
kesatuan gugus kepulauan.
Masyarakat Adat merupakan komuniti penduduk asli
yang secara turun-temurun menempati dan menjalani hidup pada suatu wilayah
serta diatur dan tunduk kepada norma dan nilai baku yang disepakati bersama.
Norma dan nilai baku berlaku sebagai hukum adat atau hukum tidak tertulis,
sifatnya mengikat dan mengatur hak dan kewajiban kehidupan sosial masyarakat
dan lingkungan wilayah komunitasnya. Kesatuan komunitas suatu Masyarakat Adat
tidak saja pada satu wilayah daratan, sebagaimana Maluku, walaupun terpisah
pada begitu banyak pulau, tetapi tetap terhubung oleh jalinan norma dan nila baku
kesatuan adat.
Kedudukan Dewan
Adat sebagai lembaga permusyawaratan perwakilan Masyarakat Adat. Dengan Fungsi
Dewan Adat, adalah sebagai lembaga: (a). Aspirator; menerima, menampung,
dan menindak lanjuti permasalahan-permasalahan Masyarakat Adat. (b). Mediator; memediasi permasalahan
perselisihan adat, baik antar intern Masyarakat Adat, dan/atau
Masyarakat Adat dengan pihak lain. (c). Fasilitator; membantu memfasilitasi kepentingan antar Masyarakat Adat, Masyarakat
Adat dengan pihak lain.
Fungsi tersebut diikuti dengan tanggung jawab yang merupakan Tugas Dewan Adat, yaitu: (a). Menghimpun, meneruskan,
dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan Masyarakat Adat kepada pemerintah,
swasta, dan pihak lain. (b). Melindungi, menyelamatkan, dan melestarikan tatanan
adat, berupa norma-norma, nilai-nilai arif, serta kekayaan warisan budaya
Masyarakat Adat. (c). Melindungi dan memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat atas
kepemilikan Hak Ulayat – Hak Petuanan, dan Sumber Daya Alam. (d). Ikut serta
dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa masalah adat melalui pembentukan
forum musyawarah adat yang diadakan untuk keperluan tersebut, di dalam satu
komunitas Masyarakat Adat, antara sesama komunitas Masyarakat Adat, atau
Masyarakat Adat dengan pihak lain, dan (e). Menjalin hubungan baik dan
bekerjasama dengan Pemerintah, Legislatif, Yudikatif, Kepolisian, pihak Swasta,
dan berbagai pihak, dalam rangka penguatan dan pemberdayaan hak-hak hukum adat dan
budaya Masyarakat Adat untuk tujuan mensejahterakan Masyarakat Adat.
Fungsi dan tugas
Dewan Adat tersebut bersifat Draft.
Silahkan dibedah lagi bila dipandang perlu untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks wilayah
serta keragaman komunitas beserta kepentingan dan permasalahan adatnya. Diperhatikan
dan disesuaikan juga dengan perkembangan politik pemerintahan baik di daerah
maupun nasional Indonesia, khususnya dalam memperlakukan dan memposisikan
keberadaan Masyarakat Adat sebagai komuniti etnis pribumi beserta hak-haknya.
22/02/2020
--------
*) Saran dari hasil diskusi dengan “seseorang”.
Tuesday, February 18, 2020
DEWAN ADAT MALUKU ; Dibutuhkan Guna Menyelamatkan Tatanan Adat Dari Praktek Politik Oligarki Penguasa Lokal Kabupaten Dan Kota Serta Penyamun Adat Negeri
Oleh; M. Thaha Pattiiha
Ilustrasi Dewan Adat Maluku (mth_@embun01/18022020)
Judul tulisan ini memang panjang, sepanjang satu tarikan nafas
perasaan nelangsa dan berkecamuknya pikiran-pikiran ketidakpuasan dan
ketidakterimaan terhadap nasib dan masa depan negeri-negeri adat. Ketika
menyaksikan dari hari ke hari tidak pernah surut oleh peristiwa-peristiwa yang cenderung
menciderai tatanan adat yang terpelihara sejak dulu. Ternyata bukan hanya
Belanda, di zaman sudah merdeka pun praktek “suka-tidak suka” pada pemerintahan
berdasarkan adat Negeri - Desa - Hena - Aman - Ohoi - atau sebutan lain, malah
ulang dipraktekkan dalam kewenangan sebagai penguasa otonomi daerah - kabupaten
dan kota. Demi melanggengkan kekuasaan pihak tertentu adat dibuat seakan lomba
“hela rotan”, yang kuat yang menang. Mereka
adalah “orang baru” yang menang karena peluang politik yang dapat mengangkangi
tatanan adat dan karena didukung kekuatan uang. Akumulasi ketidakpuasan atas
peristiwa-peristiwa penghancuran tatanan adat, telah mengerucut membentuk suatu
pandangan “kasar” yang perlu disuarakan ke publik. Rasa prihatin selaku anak
adat, tentu harus peduli. Berharap akan ada perubahan kesadaran atas
tanggungjawab moral kepada kepentingan jangka panjang pelestarian kearifan
nilai-nilai adat. Adat mengandung nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan,
kelembagaan sosial, dan hukum adat, yang lazim oleh masyarakat pada suatu
daerah. Secara internasional Masyarakat Adat, telah mendapat pengakuan dan
perlindungan melalui
Deklarasi Perserikatan Bangsa‐Bangsa Tentang Hak‐Hak Masyarakat
Adat, yang disahkan pada sidang umum
PBB tanggal 13 September 2007 di New York. Kecuali itu, Rancangan Undang-Undang Masyarakat
Adat yang masih belum juga disahkan DPR-RI.
Belajar dari peristiwa yang menciderai tatanan
Adat
Di kabupaten Maluku Tengah - Malteng, sudah tak
terbilang jumlah negeri adat yang pemerintahannya bermasaalah akibat campur tangan
- kepentingan politik, kekuasaan penguasa di atasnya. Bahkan, sebagian negeri
adat kepala pemerintahannya hanya berstatus “Kepala Desa”, bukan Raja Adat, sebab hanya dilantik Bupati
di Kantor Kecamatan, ada juga yang dilantik malam hari di ruang tertutup, setelah
itu pun tidak ada pengukuhan secara adat di dalam negeri bersangkutan -
pelajari tatanan sejarah semua negeri sebagai negeri adat - pengukuhan adat
sifatnya wajib. Menurut aturan - UU Desa, tentu sah dalam pada level terbawa
struktur pemerintahan negara, tetapi tidak menurut tatanan adat dan aturan yang
mengatur sistem pemerintahan negeri berdasarkan adat.
Di kota Ambon - seperti juga di Malteng -
kabupaten Seram Bagian Barat - SBB, negeri-negeri adat diambangkan status
pemerintahannya melalui penunjukkan Penjabat Sementara - Pjs - memanfaatkan
“ruang bermain-main” Undang-Undang Desa, oleh Walikota - dan Bupati. Masa bertugas
penjabat yang harusnya bertenggang waktu -hanya 6(enam) bulan, diabaikan,
dimelarkan tanpa batas waktu dan berlangsung bertahun-tahun, malah ada yang
lebih dari satu orang Pjs pada negeri yang sama. Terdapat negeri adat yang bermasalah
tentang Mata Rumah Parentah, kemudian diputuskan Saneri Negeri melalui voting,
sesuatu yang tidak pernah ada dan tidak dikenal dalam sejarah adat, tetapi
diciptakan dikhasanah politik sesat dunia modern.
Seperti tersebut di atas, hanya contoh kecil dari
peristiwa yang sudah berlangsung lama. Melalui kewenangan otonomi daerah,
seperti terkonsep, terstruktur, dan masif, adat negeri diacak-acak, pelaku adat
dibenturkan dan Hasilnya efektif. Posisi dan peran adat melemah daya tawarnya di
hadapan penguasa otonomi daerah. kekuasaan politik oligark. Tatanan baku nilai-nilai adat terpinggirkan, diposisikan
dalam kendali untuk boleh hanya sebagai “kaki tangan” kekuasaan. Efek sial
otonomi daerah, yaitu malah melahirkan “Maha Raja” untuk Raja negeri raja-raja.
Maluku:
Dilema Nama Warisan Kolonial
Baca juga ;
Maluku:
Dilema Nama Warisan Kolonial
Dalam struktur adat, kecil kemungkinan untuk
diutak-atik, dirubah pakemnya, tetapi bukan berarti ruang berdemokrasi dan
peluang tertutup bagi siapapun dalam struktur adat. Struktur adat yang sifatnya
baku dan permanen pada sebuah negeri adat, bukan berarti menstratakan kehidupan
sosial masyarakatnya dibedakan secara kelas sosial. Maksudnya lebih kepada
fungsi sesuai tugas yang diemban dan hal itu berdasarkan kemampuan yang
dimiliki - di awal sejarah penetapannya.
Ketidak-mungkinan yang tidak berlaku bagi penguasa
otonomi daerah. Melalui upaya kolusi dengan kekuasaan, memberi peluang -
sama-sama mendapat keuntungan politik, bagi mereka yang menganggap adat sebagai
halangan dan batu sandungan melanggengkan ego sempit dan ambisi terselubung personalnya,
terutama yang termarjinalkan dalam struktur adat. Orang-orang sedemikian yang sering menjadi
“penyamun” untuk mengobrak-abrik kekayaan adat yang sesungguhnya sudah baku, sesuai
silsilah dan sejarahnya. Sengaja dibuat kabur
dengan “dikangkangi”, agar dapat merebut ruang untuk berkuasa di dalam
negerinya.
Mengamati peristiwa yang berlangsung di kabupaten
Seram Bagian Barat, seharusnya diformalkan lebih dulu negeri - hena - yama,
yang merupakan negeri adat, dipisahkan dengan negeri pemekaran baru. Dalam hal
pemekaran suatu negeri, tidak boleh ada “matahari kembar”, sehingga status
negeri baru hanya bersifat pemisahan hak kelola administri umum pemerintahan
setingkat negeri adat. Negeri baru tidak dapat mengambil alih kuasa hak adat
atau hak ulayat negeri induk - kecuali diijinkan atau dilepas oleh negeri
induk. Secara adat, negeri baru berstatus negeri biasa dengan sebutan “Kepala”
- dapat diganti melalui Pemilihan sesuai diatur UU Desa, tidak sebagaimana
“Raja” merupakan sebutan negeri adat dan menjadi hak utuh matarumah parentah
dan tidak dipilih sebagaimana negeri baru hasil pemekaran.
Hal menarik mengantisipasi polemik yang bakal muncul dalam hal
permasalahan pemerintahan tingkat negeri - Ohoi, langkah strategis mendudukan
kebenaran sejarah pemerintahan adat, sekaligus terobosan paling efektif –
menurut keyakinan adat, dilakukan oleh Bupati Maluku Tenggara, M. Thaher
Hanubun. Bupati menggelar
Sumpah Adat Makan Tanah dan Sumpah Kepunahan Tujuh Generasi Keturunan (Daur Viit) bagi Para calon Kepala Ohoi -
Negeri, Definitif. bilamana bukan
sebagai garis keturunan yang berhak. Dengan cara ini para “penyamun” yang bukan
matarumah parentah dibuat berpikir
dan tidak bakal berani merampok yang bukan haknya. Cara demikian beta yakin, tidak bakal berani dilakukan
penguasa otonomi daerah - kabupaten dan kota lain, yang syarat dengan praktek politik
oligarki.
Peran bisu lembaga adat Majelis Latu-Pati membuat
masyarakat buta akan fungsinya, mungkin hanya lembaga pelengkap penderitaan
masyarakat adat, selebihnya berubah fungsi menjadi lembaga politik dan
sub-ordinan birokrasi kekuasaan, selain hanya sekumpulan “priyai”. Lembaga Latu-Pati secara personal terdiri
dari para raja - kepala pemerintahan, negeri adat, harusnya lebih berperan
menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan dan hak-hak masyarakat adat, yang
juga demi kepentingan negeri adat yang dipimpinnya.
Sementara Pemerintah Provinsi seperti “mati rasa”,
dari Gubernur ke Gubernur berikutnya, mungkin menganggap permasalahan adat
bukan hal penting. Masalah pemerintahan adat, samasekali diabaikan - terkesan
tidak peduli, dianggap itu urusan Bupati dan Walikota. Hak-hak tradisionil
petuanan - hak wilayah(tanah dan hutan) - hak ulayat, Masyarakat (Hukum) Adat,
diambangkan statusnya sementara secara masif ijin diterbitkan kepada korporasi
kapitalis untuk menggarap dan tentu menghancurkan hutan wilayah hak adat, tanpa
manfaat berarti kepada masyarakat adat pemiliki hak. Aksi protes secara damai
Masyarakat Adat dihadang Aparat Bersenjata,
dan bila diterima hanya untuk didengarkan tuntutannya. Lalu didiamkan dan sepi
dari tindakan yang diharapkan - yang dituntut.
Butuh Dewan Adat
Mempertimbangkan peristiwa dan hal-hal
permasaalahan dikemukakan di atas, perlu segera dibentuk lembaga legislatif
masyarakat adat, yaitu Dewan Adat. Dewan Adat dibutuhkan untuk mengemban fungsi
sebagai aspirator, mediator, dan fasilitator kepentingan Masyarakat Adat, dengan sesama intern komunitas masyarakat adat, dengan
pemerintah, swasta, dan pihak lain, sesuai kuasa dari Masyarakat Adat.
Dewan Adat harus benar-benar kedudukannya
independen, steril dari pengaruh kepentingan birokrasi pemerintahan, pemodal
swasta, partai politik, agama, dan tidak dijadikan kendaraan politik meraih
kekuasaan politik di pemerintahan. Anggota Dewan Adat merupakan pribadi-pribadi
yang yang diusulkan, diseleksi - sesuai syarat independensi yang dimaksud di
atas, dari usulan anggota jaringan Koalisi Masyarakat Adat, dengan persyaratan
yang diatur ketat. Anggota Dewan Adat setelah terpilih dan ditetapkan,
dikukuhkan melalui “Sumpah Adat”. Dan keanggotaan harus memperhatikan unsur
keterwakilan semua wilayah adat yang seimbang.
Terdapat banyak sekali kesatuan masyarakat - adat,
yang sudah terbentuk baik berupa Organisasi Kemasyarakatan - Ormas, Lembaga
Sosial Masyarakat - LSM, Institusi Independen, Tokoh-tokoh Adat di Seram, Makebo, Gorom, Ambon, Banda, Buru,
Lease, Key, Aru, Tanimbar, Babar hingga Wetar. Personal-personal Pemerhati Adat
dari Akademisi dan Masyarakat umum berlatar Anak Adat, di seluruh Maluku maupun
yang berdomisi di luar Maluku. Dari jaringan tersebut bisa diajak berkoalisi, disebutlah
“Koalisi Masyarakat Adat”, dan melalui perwakilan yang ditunjuk atau dipilih, kemudian
membentuk suatu lembaga formal permanen yang hanya khusus mengurus kepentingan
adat, yaitu Dewan Adat. Dewan Adat, walaupun bersifat independen tetapi karena
kedudukan, fungsi, dan kewenangannya, maka harus diakomodir untuk mendapat pos anggaran
pembiayaan rutin untuk operasional lembaga setiap tahun dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah - APBD.
Baca juga ;
; 20/02/2020
Sumber ; Berbagai
link berita media online, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Desa, Perda Adat Malteng/Ambon/SBB, Deklarasi PBB Tentang Hak‐Hak Masyarakat Adat, - dalam Domentasi Penulis.
Subscribe to:
Posts (Atom)