Oleh : M. Thaha Pattiiha
Antara
Alifuru dan Maluku/Ilustrasi(Foto
Dok.Grafis:mth_@embun01, 20022020)
Etnis Alifuru dan nama
Maluku, dua hal dalam sengketa sejarah dan identitas. Masing-masing bermakna
beda dalam satu bidang pigura, tetapi bukan seperti mozaik yang berkomposisi
dalam paduan serasi sehingga hasilkan keindahan. Bagi Alifuru - dalam tulisan ini
menunjuk kepada “etnis” Alifuru, bagian-bagian mozaiknya masih terselip di
dalam baju Maluku. Akan terus diperjuangkan untuk dikembalikan, agar ditata
ulang yang bukan lagi suatu lembaran mozaik, tetapi sebuah lukisan realisme
yang utuh tanpa cela dan garis pemisah. Bila pun ada kalangan yang terganggu
“kenyamanannya” oleh beberapa tulisan yang fokus mengungkap “borok” yang selama
ini dalam banyak sejarah yang ditulis tentang Maluku - Maluku Utara, yang lebih
menonjolkan kesan baik, agung, masyhur, manis, hingga romantis - umumnya
demikian - tidak umum bila mengungkap yang sebaliknya. Wajar saja, tetapi bukan
acuan pertimbangan merubah ritme yang sudah menemukan notasinya. Menyadari jati
diri selaku salah satu anak adat Alifuru, terikat tanggung jawab moral untuk
tidak sengaja mengabaikan masa lalu, karena merupakan pedoman arah guna menata jejak ke masa depan. Di dalam keyakinan menurut mithologi kosmos adat
Alifuru, terdapat implikasi dampak, bilamana mengetahui sejarah dan warisan
tatanan adat telah dirusak tetapi sengaja diabaikan anak-anak adat.
Alifuru;
Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Sejarah dengan konotasi kala
nama Maluku - pengertian nama dalam tulisan ini, adalah sejarah kolonisasi dan
imperialis kepulauan serta perbudakan - bahkan genosaide, terhadap
Alifuru. Hal itu yang terekam dalam memori ingatan melalui sejarah yang belum
lama ditulis - baca: Adnan
M. Amal, 2010, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara
1250-1950. KPG - Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta., - “catatan sejarah yang
jujur”. Sebab selama masa kolonisasi dan imperialisasi berlangsung -
setidaknya lebih dari 400 tahun oleh bangsa Eropa plus Jepang
bersama imperium lokal dari utara - masa sejarah kala Maluku, hak-hak
kepemilikan, hak kemerdekaan hidup dan kehidupan, serta warisan kekayaan budaya
Alifuru sengaja dimarjinalkan, bahkan berusaha dihapus - dimatikan. Sebaliknya
sejarah Alifuru, kalaupun pernah ditulis, terbaca seperti terpaksa - mungkin
karena kesulitan membahasakan atau tidak menemukan cara dan istilah pengganti.
Kebudayaan
yang lahir dari rahim komunitas Alifuru, sekaligus gambaran betapa hebat -
secara intelektual, bijak, dan mulia catatan keunggulan kemampuan daya cipta.
Pencapaian hebat yang sudah lahir jauh waktu sebelum tiba masa kegelapan di era
kala Maluku dulu, juga hingga kini. Sejumlah kekayaan warisan tak benda
Alifuru, seperti Bahasa Tana dan bahasa-bahasa lokal,
nama Matarumah - fam - marga, budaya Pela-Gandong,
falsafah Patasiwa-Patalima, budaya Kapitang, Sistem dan
struktur Pemerintahan Adat, Hukum Adat, budaya rumah adat Baileo,
budaya Batu Pamali, sistem Hak Ulayat - Petuanan - Dati,
budaya Kalwedo - nilai adat yang menjalankan tradisi hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilieta, Hukum Adat Larvul Ngabal, budaya Dua
Lolat - serta Upacara Fangnea Kidabela, budaya Ursiuw dan Urlim
- dengan berkembangnya tradisi Letay - sementara di
masyarakat yang jauh dari pusat keramaian atau perkotaan disatukan dalam
budaya Sitakaka Walike, hingga budaya rumah adat Hibua Lamo -
berkonsep Nanga Tau Mahirete - dalam filosofis Ngone
O'Ria Dodoto. Budaya Sasi, Hawear, dan Matakau.
Kekayaan warisan benda,
berupa hutan-hutan lebat di rimba belantara semua pulau - khususnya pulau-pulau
besar. Hutan adalah jiwa dan kehidupan Alifuru, sehingga sangat dilindungi.
Ribuan tahun kekayaan warisan benda seperti hutan yang juga habitat hewan,
burung-burung “surga”, aneka tumbuh-tumbuhan endemik dan khas, aliran sungai,
kali, dan danau dijaga kelestariannya seperti memelihara hidup dan
kehidupannya. Merusak alam sama saja menyumpahi dan merusak “rumah kediaman”
para leluhur Alifuru, dan hal itu dapat berdampak buruk bagi lingkungan
kehidupan dan perjalanan hidup komuniti di sekitarnya. Belantara hutan dengan
potensi kayu luar biasa yang mengundang para pencari untung leluasa hadir
dengan berbekal “sepotong surat ijin” dari penguasa politik berbaju Maluku, dan
aneksasi paksa kekuasaan negara, lalu merampoknya secara formal.
Kekayaan
kebudayaan warisan takbenda dan warisan benda milik
Alifuru sekarang dieksploitasi sedemikian rupa - tanpa menyebut asal-usul atau
sumber, untuk kepentingan kekuasaan dan pemerintahan, politik, ekonomi, bahkan
agama. Agar tidak terbaca hanya menjiplak - hak cipta dan hak intelektual
Alifuru, sengaja direkayasa sejarahnya agar nampak berbeda lalu dikenakan
sebagai “baju Maluku”. Baju sejarah karena milik orang lain tentu bisa
longgar, sesak, atau malah robek. Seperti itu bila bukan milik, malah terlihat
lucu karena tidak cocok. Dan bila dibuka, akan terlihat baju tersebut label
aslinya beridentitas Alifuru. Sudah sangat lama identitas sang pemilik - nama -
sejarah - kekayaan budaya - hak kepemilikan sumber daya alam, yakni Alifuru,
disembunyikan di dalam baju “palsu” Maluku. Berlangsung selama masa-masa
ekspansi dan aneksasi wilayah Alifuru menjadi wilayah koloni – jajahan, oleh
Maluku - hingga saat ini pun belum berakhir. Kanalisasi hingga
marjinalisasi terhadap eksistensi Alifuru hampir saja menguburkan dan menghapus
identitasnya. Mungkin karena para leluhur sengaja mengambangkan situasi hingga
saatnya dengan momentum yang tepat untuk bangkit. Fenomena itu sekarang
bersinergi yang secara bertahap terus menemukan alur dan terbangun jaringannya.
Kesadaran politik anak adat atas hak-hak komunal Alifuru adalah keniscayaan,
yang sebaliknya tidak elok bagi pihak tertentu. Menguatnya politik identitas
Alifuru sebagai ciri yang melekat dan menunjukan jati diri adalah fenomena
positif, yang bila sekarang dianggap menemukan ruang dan momentum untuk
bersuara, hal demikian karena mulai muncul kesadaran atas perasaan adanya
perbedaan-perbedaan. Rasa yang berbeda menjadi otherness - Connolly,
William, 2002, Identity \ Difference: Democratic Negotiations
of Political Paradox, Minneapolis: University of Minnesota Press:
64, untuk mengamankan kepastian dan menguatkan identitas diri bahwa etnis
Alifuru juga memiliki martabat sebanding dengan etnis yang lain, bahkan
memiliki nilai lebih.
Baca juga ;
Alifuru;
Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial
Selama ini potensi eksistensi dan identitas politik
Alifuru dipolitisasi oleh kekuasaan politik hanya sebagai “kantong suara”,
setelah itu dimarjinalkan dan dibungkamkan, hak-hak adat dan hak azasi
tradisionilnya diabaikan dan malah dikriminalisasi. Sumber daya alam
Lingkungan adatnya masif dieksploitasi yang tidak utama demi kepentingan
komunitas bersangkutan. Komunitas adat Alifuru sudah sejak lama diperlakukan sebagai
budak dan sumber daya alam wilayah adatnya dieksploitasi dengan rakus oleh
kolonialis, dan imperialis. Mau sampai kapan lagi. Saatnya diakhiri, sehingga
wajar bila Alifuru berusaha memperjuangkan hak-hak politiknya yang sebelumnya
sengaja diberangus. “Apa yang membuat politik identitas berbeda secara
signifikan dari bentuk-bentuk awal politik pengenal pra-identitas, adalah
tuntutannya untuk pengakuan berdasarkan pada dasar di mana pengakuan sebelumnya
telah ditolak. Tuntutannya
bukan untuk dimasukkan dalam kesatuan “umat manusia universal” berdasarkan
atribut manusia yang dimiliki bersama; juga bukan untuk menghormati “meskipun
ada perbedaan”. Sebaliknya, apa yang dituntut adalah menghargai diri sendiri
sebagai berbeda.” - Kruks, Sonia, 2001, Retrieving
Experience: Subjectivity and Recognition in Feminist Politics,
Ithaca, NY: Cornell University Press: 85. Bagi banyak pendukung politik identitas, permintaan
akan keaslian ini mencakup seruan kepada masa sebelum penindasan, atau budaya
atau cara hidup yang dirusak oleh kolonialisme, imperialisme, bahkan genoside.
Dalam pembelaannya untuk kembali ke nilai-nilai adat tradisional, Taiaiake
Alfred berpendapat bahwa: Sistem tata kelola masyarakat adat mewujudkan
nilai-nilai politik yang berbeda, sangat berbeda dari nilai-nilai arus utama.
Gagasan Barat tentang dominasi (manusia dan alam) secara nyata tidak ada; di tempat
mereka kita menemukan harmoni, otonomi, dan rasa hormat. Kami memiliki tanggung
jawab untuk memulihkan, memahami, dan melestarikan nilai-nilai ini, tidak hanya
karena mereka mewakili kontribusi unik untuk sejarah gagasan, tetapi karena
pembaruan rasa hormat terhadap nilai-nilai tradisional adalah satu-satunya
solusi abadi untuk masalah politik, ekonomi, dan sosial yang menimpa
orang-orang kita.” - Alfred, Taiaiake, 1999, Peace,
Power, and Righteousness: An Indigenous Manifesto, Oxford: Oxford
University Press: 5.
Terdapat 2(dua) versi yang saling
berbeda latar belakang alasan ketika mengenalkan nama untuk wilayah kepulauan
di antara kepulauan dan pulau Papua di timur dan kepulauan dan pulau Sulawesi
di barat, samudera Pasifik -negara Palau - di utara, dan benua Australia di
selatan. Versi “Maluku”, adalah penamaan baru yang secara sepihak dipaksakan
untuk digunakan serta dikenalkan guna kepentingan tata administrasi kekuasaan
wilayah koloni dan imperial - jajahan. Versi “Alifuru” - atau sebutan sejenis
yang lain serta pengertian bangsa - suku - etnis, sila baca;
“Etnis dan Nama Alifuru” dalam Maluku Dan Alifuru
Dalam Dilema Nama Yang Tertukar, adalah versi paling jujur dan sangat benar, sebab memperkenalkan bukti
sesungguhnya tentang nama identitas manusia pribumi pemukim wilayah kepulauan
dan perairan laut di barat New Guinea atau Papua adalah etnis Alifuru. Karena
itu, bagian perairan terluar wilayah dimaksud dinamai dengan nama yang sama
dengan nama etnis pribuminya, yaitu laut Arafura atau Arafuru. Bila demikian,
betapa telah membodohi diri sendiri - sesuatu yang memalukan, mempertahankan -
“basandar matarumah orang”, dan meneruskan nama - matarumah,
Maluku. Nama dengan berbagai catatan kejahatan dan sejarah kelam etnis
Alifuru masih digunakan, sementara identitas pribuminya terus digelapkan.
Dari tulisan tentang Maluku Dilema Nama
Warisan Kolonial, kemudian disusul tulisan berikutnya
sebagai uraian yang lebih detail dengan alasan dan tambahan sumber ilmiah,
melalui tulisan; Maluku Dan Alifuru
Dalam Dilema Nama Yang Tertukar, muncul kesan - dari sekian komentar via media sosial, ada yang
keberatan dengan beban yang menyertai perubahan nama tersebut. Itu sudah pasti
seperti itu, selain kesulitan mengganti nama tersebut dengan entah nama apa, tidak juga
sekejap mata, dan tentu butuh biaya yang tak terhingga. Hanya seperti itu,
betapa tidak seberapa besar beban dan sekejap pula mampu menghapus trauma masa
lalu yang dialami Alifuru. Dalam hal ini, dikecualikan bagi sebagian Alifuru
yang ikut - bergabung dengan bangsa kolonial dan imperialis, menikmati
kesenangan hasil kolonialisasi dan imperialisasi di atas penderitaan pribumi
Alifuru. Dikatakan akan ada beban “kerepotan” serta biaya, memang ada, kecuali
tidak terdapat atau tidak pernah ada setingkat daerah di Indonesia atau negara
di dunia yang mengalami pergantian nama.
Terdapat
3(tiga) cara melemahkan dan menjajah suatu bangsa pertama; kaburkan sejarahnya, kedua;
hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tidak bisa lagi diteliti dan
dibuktikan kebenarannya, dan ketiga;
putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan jika leluhurnya
itu bodoh dan primitif - Architecs
of Deception - Secret History Freemasonry -tribunrakyat.com (12/12/2012). Konsep kolonialias dan imperialis memang
demikian, dan hal itu memiliki dasar pemikiran sebagai alasan. Seperti itu pula
kenapa ada kolonisasi, Ir. Soekarno menjawab begini: "jang menjebabkan kolonisasi itu bukanlah
keinginan pada kemasjhuran, bukan keinginan melihat dunia asing, bukan
keinginan merdeka, dan buka pula oleh karena negeri rakjat jang mendjalankan
kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banjaknja penduduk, -sebagai jang
diadjarkan oleh Gustav Klemm-, akan tetapi asalnja kolonisasi jalah teristimewa
soal rezeki. Jang
pertama-tama menjebabkan kolonisasi jalah hampir selamanja kekurangan bekal
hidup dalam tanah airnja sendiri", begitulah Dietrich Schafer berkata.
Kekurangan rezeki, itulah jang mendjadi sebab rakjat-rakjat Eropah mentjari
rezeki dinegeri lain! Itulah pula jang menjadi sebab rakjat-rakjat itu
mendjadjah negeri-negeri, dimana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula
jang membikin "ontvoogding"-nja negeri-negeri djadjahan oleh negeri-negeri
jang mendjadjahnja itu, sebagai suatu barang jang sukar dipertjajainja. Orang
tak akan gampang-gampang melepaskan bakul-nasinja, djika pelepasan bakul itu
mendatangkan matinja". Begitulah tragiknja riwajat-riwajat
negeri-negeri djadjahan! Dan keinsjafan akan tragik inilah jang menjadarkan
rakjat-rakjat djadjahan itu. - Ir. Soekarno, Di Bawa Bendera Revolusi, hal. 1-2,
dalam Beta Boetje, 2015, Kenapa
Ada Kolonisasi, fb.
Sejarah dan
kebudayaan Alifuru saatnya dikembalikan untuk didudukkan secara proporsional. Tetapi
harus dijauhkan dari maksud untuk diagung-agungkan atau untuk disombongkan -
sangat dilarang sesuai petuah adat, karena hal itu tidak dikehendaki para Datuk
dan Nenek-moyang. Dan untuk nama “Maluku” samasekali tidak bermakna apapun
dalam literasi tatanan adat komuniti etnis Alifuru. Nama itu miskin - bahkan
papah, dari norma dan nilai hukum adat yang menyertai berupa hak kepemilikan
petuanan atau hak ulayat. Sudah tidak ada relevansinya nama “Maluku” untuk
terus dipakai dan dipertahankan, sudah kehilangan esensi dan makna positifnya,
sementara bersarung baju - saat ini, beridentitas sejarah dan kebudayaan
Alifuru.
“Hirani ntub fo ih ni, it did entub
fo it did”, artinya:
“Milik orang lain tetap jadi miliknya, dan milik kita tetap jadi milik
kita.” - Hukum Hawear Balwirin - bagian ke-7(tujuh) Hukum Adat Larvul Ngabal - Kepulauan Key.
Depok, 22/02/202
Sumber Bacaan Online:
-
plato.stanford.edu
-
acedemia.edu
-
semanticscholar.org
-
openscholarship.wustl.edu