Pulau Buru, salah satu pulau Kepulauan Bangsa Alifuru - Maluku
Kepulauan Maluku merupakan suatu kesatuan wilayah,
sekaligus satu kesatuan suku-bangsa, yang saling terkait secara menyeluruh.
Tidak terpisahkan menurut kewilayahan dan komunitasnya secara tidak terkait, untuk apapun
alasannya berdasarkan faktor sejarah keberadaan dan kepemilikan. Memisahkan komunitas karena wilayah domisili yang terpisah oleh lautan, menunjukan kedangkalan pemahaman dan pengetahuan tentang Maluku. Akibatnya menimbulkan kerancuan pengetahuan, bahkan dapat saja dibaca negatif bermaksud meracuni dengan upaya memilah dengan cara memisahkan dan mungkin saja untuk memutus
mata-rantai, yang akhirnya melemahkan.
Hal ini setidaknya dibaca terbalik, dibalik maksud mungkin juga tujuan dari dan oleh adanya sebuah penulisan katagori tulisan ilmiah, yang bersumber dari suatu hasil penelitian akademis dan kemudian dipublikasikan.
Hal ini setidaknya dibaca terbalik, dibalik maksud mungkin juga tujuan dari dan oleh adanya sebuah penulisan katagori tulisan ilmiah, yang bersumber dari suatu hasil penelitian akademis dan kemudian dipublikasikan.
Dalam sebuah tulisan ilmiah, sekalipun bersifat
populer, tetap saja harus memenuhi kaidah kesempurnaan tulisan yang tentu
memiliki nilai pertanggungjawaban secara keilmuan atau akademis. Sejatinya, saya tidak bermaksud
menceramahi siapapun, akan tetapi sekadar mengingatkan dan meluruskan untuk
sesuatu yang dianggap keliru atau juga sengaja mengabaikan kesungguhan dan
kejujuran terhadap ungkapan suatu hal, baik itu sejarah, peristiwa, atau
sekadar informasi umum.
Saya tidak sama sekali bermaksud hendak menyatakan
lebih tau dan pintar, tetapi merasa lebih memahami apa yang diungkap dalam isi
dan maksud tulisan tersebut yang bisa berpengaruh menjauhi kebenaran
sesungguhnya, atau memang karena kurang pengetahuan tentang hal yang diungkap.
Bila karena kurang pengetahuan – belum tahu, tentu dapat dimaklumi.
Untuk mengimbangi dan mencoba mendudukkan kebenaran
sesungguhnya, maka tulisan ini dimaksudkan untuk menanggapi secara umum dan
parsial terhadap sebuah tulisan yang merupakan hasil penelitian dan telah
dipublikasikan pada sebuah jurnal ilmiah pada tahun lalu, tentang sejarah
suku-bangsa Alifuru yang mendiami pulau Buru.
Terdapat pertanyaan tetapi bukan mengenai hasil
keseluruhan penelitian, tetapi ketika menyebutkan suatu kelompok masyarakat
pada sebuah wilayah atau teritorial tertentu, secara kesejarahan sudah pasti
memiliki ikatan asal-usul dalam bentuk identitas suku atau bangsa. Sesuatu yang
melekat pasti untuk komunitas masyarakat yang berdiam pada suatu wilayah dalam
jangka waktu yang lama dan telah dapat dipastikan adalah pemukim pertama dan
tentu sebagai pemilik teritorial dimaksud. Tidak terkecuali penduduk asli yang
mendiami pulau Buru, mereka adalah bagian tidak terpisahkan dalam komunitas
kesatuan suku-bangsa Alifuru, suku-bangsa satu-satunya sebagai penduduk asli
pemukim dan pemilik kepulauan Maluku.
Jangan sampai ada kesan menghindar untuk mengakui
atau mungkin memang tidak paham, bahwa penduduk asli pulau Buru adalah juga
suku-bangsa Alifuru. Tidak juga sampai menyebut kata Alifuru dalam pemahaman
mengartikannya terdengar aneh dan lucu untuk ukuran masyarakat intelektual.
Penyebutan Alifuru kepada masyarakat yang bermukim jauh dari pesisir pantai dan
merupakan suku-bangsa asli di pulau Buru, masa
sih sebutan Alifuru artinya “orang balakang” atau masyarakat terbelakang. Alasannya menurut penjelasan
yang mengartikannya, dikarenakan penduduk
yang tinggal di pegunungan atau dataran tinggi di pedalaman Pulau Buru
kehidupannya masih sangat sederhana dan terbelakang.
Sangat disesali, bila pemahaman yang demikian hingga hari ini masih tetap saja “dilestarikan”.
Sangat disesali, bila pemahaman yang demikian hingga hari ini masih tetap saja “dilestarikan”.
Persepsi (sadar
atau sengaja ?) masih lestari
di jaman kemajuan teknologi informasi dan kemudahan mendapatkan pengetahuan
dan keilmuan lebih dari masa sebelumnya. Dengan kemajuan dan kemudahan ini pula
saya mendapatkan tulisan yang mengganggu serta menggugah untuk ditanggapi dan
untuk diingatkan, atas kekeliruan yang di-persepsi-kan.
Ketika membicarakan tentang suku-bangsa Alifuru, khususnya dalam konteks Orang Maluku dengan
teritorialnya yaitu kepulauan Maluku(Provinsi Maluku dan Maluku Utara) sudah
nyata bersuku-bangsa Alifuru. Hal ini seperti mengajarkan anak belajar membaca,
karena harus terus mengulang, tetapi tidak untuk kaum dewasa dan apalagi
terpelajar, harusnya tidak mengulang
lagi sesuatu yang mestinya sudah tidak perlu diulang untuk mengingatkan,
apalagi dengan maksud ditujukan kepada komunitas intelektual.
Suku-bangsa Alifuru memang selama ini mengalami
kondisi tekanan oleh usaha para “siluman”, maupun melalui cara nyata tetapi
lembut dan manis. Telah berlangsung secara terus menerus sudah sejak ratusan
tahun yang lalu, sehingga identitas asal-usul jati-diri sebagai suku-bangsa
Alifuru menjadi terlupakan baik sadar atau tidak maupun karena terpaksa oleh
berbagai alasan dalam perjalanan hidupnya.
Banyak faktor penyebabnya, sekalipun belakangan ini
orang-orang yang merasa keturunan Maluku, sedang kembali mengenali jati diri
dan menemukan titik temu pada lahirnya bahwa ternyata keturunan dari nenek
moyang suku-bangsa Alifuru. Bisa jadi karena sekian lama disadari telah
kehilangan identitas aslinya oleh adanya pengaruh seperti ;
-
Akibat pengaruh
penjajahan bangsa asing selama ratusan tahun dengan misi untuk kepentingannya,
telah dengan sengaja menghalangi, meminimalkan, dan hingga menghilangkan
identitas asa-usul masyarakat Maluku yang bergaris keturunan suku-bangsa Alifuru.
Khususnya yang secara sadar atau terpaksa menjalani kehidupannya bersama
bangsa-bangsa asing yang menjajah bumi Maluku.
- Politik pelemahan
kesatuan masyarakat se-suku-bangsa dan penghilangan hak kepemilikan teritorial
atau kewilayahan suku bangsa Alifuru sebagai masyarakat asli, sepertinya masih
diteruskan oleh pihak lain bukan orang Maluku, dan juga sebagian kelompok
masyarakat Maluku karena kepentingan sempit dan sepihak. Berkontribusi pula adalah
peran signifikan negara melalui Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979
tentang Pemerintahan Desa, yang selama 30 tahun berlaku telah melumpuhkan sebagian besar pranata adat di Maluku.
-
Kepentingan politik
praktis dan kepentingan politik umum pemerintahan daerah, juga berkontribusi
dalam merusak dan berakibat memupus nilai-nilai budaya dan tatanan adat yang
bersandar pada keyakinan mitos untuk kearifan. Terkesan dengan mudahnya
dieksploitasi tanpa hormat lalu dan dengan alasan yang terkesan “konyol” untuk dimanfaatkan
demi kepentingan tertentu dan hanya menguntungkan ego individual serta kelompok,
tetapi telah berjasa mengikis kecintaan dan pelestarian kebanggaan jati diri, hak, juga kehormatan, sebagai suku-bangsa
Alifuru pemilik sah kepulauan Maluku.
-
Kesadaran terhadap
identitas jati diri yang kadang terabaikan, baik diri pribadi maupun kelompoknya
secara umum. Sesuatu yang tidak searah dengan kepribadian dan cara pandang
sejarah peradaban manusia yang menata perjalanan kehidupannya dengan
berdasarkan asal-usul garis keturunan. Demikian juga dengan Orang Maluku yang
saling mengenali diri dan posisinya karena tertib dalam sistem penamaan diri
menggunakan marga. Penggunaan nama
marga dibelakang setiap nama setiap orang, dan berlaku secara turun-temurun, telah
mampu memudahkan pengenalan garis keturunan dan hubungan kekeluargaan diantara
sesama orang Maluku khususnya, dan membedakannya dengan yang bukan satu
suku-bangsa. Demikian itu adalah tatanan adat yang sangat bijak secara umum
berlaku di seanteru komunitas masyarakat kepulauan Maluku dari keturunan
suku-bangsa Alifuru. Di manapun di semua pulau di Maluku, orang Maluku dari
garis keturunan suku-bangsa Alifuru, dengan mudah mengenalinnya karena pasti
memiliki nama marga dan semua marga memiliki makna karena bisa diterjemahkan.
Sebagai “Orang Maluku”; Halmahera, Ternate, Tidore, Sula, Seram, Buru, Lease, Ambon, Kei, Aru, hingga Pulau-pulau Terselatan, dari utara
pulau Morotai hingga paling selatan pulau Selaru, semua berkepentingan untuk
perduli terhadap identitas jati diri dalam kesatuan asal-usul dari nenek moyang genekologis
yang sama ber-suku-bangsa Alifuru, dan hingga kapanpun mesti merasa dan
menyatakan diri adalah komunitas atau bagian dari suku-bangsa Alifuru. Jangan
pernah memilah persekutuan, apalagi memisahkan kesatuan dalam hak dan
kewajiban, dan kebanggaan oleh asal-usul, sebagai suku-bangsa asli pemilik bumi
Kepulauan Maluku.
Akhirnya, karena demi kebaikan bersama maka seandainya
yang merasa bersangkutan sempat membaca tulisan ini, semoga tidak keliru
memahami maksud saya, dan untuk itu pula sengaja tidak mencantumkan secara
jelas siapa dan di mana. Tanggapan ini atas tujuan niat baik dan tulus hendak
mengingatkan, tidak untuk menyalahkan dan menyepelekan kemampuan dan intelektual
yang bersangkutan secara keseluruhan.
Alasan sederhana adalah merasa terganggu dan
“tergelitik” untuk hal yang semestinya tidak lagi memunculkan masalah, hanya
oleh alasan apapun selain kebodohan sesungguhnya. Sejak awal hingga kapanpun,
suku-bangsa Alifuru dan segenap kepemilikannya, adalah jiwa dan semangat yang
menjadi kebanggaan bagi beta(saya) dan semua Orang Maluku.
Beta Alifuru, meseee !
Beta Alifuru, meseee !
Depok,
26 Mei 2016
M. Thaha Pattiiha
No comments:
Post a Comment