G.A.
Siwabessy sebenarnya seorang dokter yang mempelajari radiologi. Ia lalu
diserahi tugas oleh pemerintah untuk mengembangkan teknologi nuklir di
Indonesia.
tirto.id - Era pendudukan Jepang hingga revolusi
adalah masa-masa sulit bagi orang Ambon. Karena banyak yang jadi serdadu KNIL,
mereka kena stigma sebagai antek Belanda. Ketika tentara Jepang mulai menyerang
Jawa pada Maret 1942, orang-orang Ambon juga ikut dicurigai dan diincar.
Keadaan itu turut mengusik kehidupan
dokter muda asal Ambon bernama Siwabessy. Ia sedang berdinas di kota kecil
Cepu, Blora ketika kekacauan akibat serbuan Jepang mulai menjalar. Demi
menyelamatkan diri, Siwabessy dan istrinya mengungsi ke Surabaya.
Ketika perang mulai berkobar pada
1945, suasana lebih kacau lagi. Siwabessy bahkan merasai ditangkap oleh dua
pihak. Ke-Ambon-annya membuat tentara Belanda maupun Laskar Indonesia menaruh
curiga kepadanya.
Suatu kali di pengujung 1947, Dokter
Siwabessy berkunjung ke Malang bersama beberapa koleganya. Saat memasuki daerah
kota, yang dikuasai Belanda, ia ditangkap. Siwabessy dan kawannya lantas dibawa
ke Kepanjen, Malang bagian Selatan, yang dikuasai laskar Republik.
Di perbatasan ia dilepas Belanda.
Tapi begitu memasuki wilayah Republikan ia ditangkap lagi oleh laskar. Mulanya
ia hendak dibunuh, namun berkat kepandaiannya bernegosiasi dengan bahasa Jawa,
Siwabessy lantas digiring ke markas laskar.
“Ya Allah, Pak Siwabessy kok mau
dibunuh,” teriak seorang anggota laskar itu tiba-tiba ketika Siwabessy sampai
di markas.
Siwabessy merasa familiar dengan
wajah dan suara anggota laskar yang ternyata seorang polisi itu. Rupanya ia
adalah seorang polisi kenalannya dulu semasa di Surabaya dan sekarang jadi
komandan laskar tersebut. Sekali lagi selamatlah Siwabessy.
Jalan takdir rupanya tidak
menghendaki Siwabessy mati saat itu. Babak utama kehidupannya justru baru akan
dimulai dan ia masih punya tugas penting di hari depan. Tugas yang nantinya
membuat dia dikenang sebagai Bapak Atom Indonesia.
Baca juga ; : GA Siwabessy Bapak Atom Indonesia
Mula sebagai Dokter
Dokter Siwabessy yang kita bicarakan
tiada lain adalah Gerrit Augustinus Siwabessy putra Pak Enoch Siwabessy. Dia
lahir di Saparua pada 19 Agustus 1914. Pak Enoch yang seorang petani cengkeh
tak sempat melihat Gerrit tumbuh berkembang lantaran wafat lebih dulu saat
Gerrit berumur setahun.
Ibunya, Naatje Manuhutu, lalu menikah
lagi dengan seorang guru bernama Yakob Leuwol. Sejak itu Gerrit pindah ke Ambon
menyertai ayah tirinya itu. Seluruh jenjang pendidikan dasar hingga menengah
dihabiskan di Ambon.
“Beta senantiasa menyertai ‘tuan
guru’ Leuwol yang berturut-turut ditempatkan sebagai guru di Larike, Tawiri,
dan Lateri (semuanya di pulau Ambon),” tulis Gerrit Siwabessy dalam memoar
berjudul Upuleru (1979: 11).
Usai tamat MULO alias sekolah guru
pada 1931 Gerrit Siwabessy merantau ke Surabaya. Berkat nilai-nilai ujian akhir
yang baik ia memperoleh beasiswa dari pemerintah Hindia Belanda untuk berkuliah
di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS). Diakuinya, inilah momen
pertamanya melihat cakrawala yang lebih luas daripada sekadar Ambon atau
Maluku.
Di zaman yang sedang dilingkupi
atmosfer pergerakan nasional, Gerrit Siwabessy ikut jadi aktivis. Ia turut
andil mendirikan Vereniging Ambonsche Studenten (VAS) bersama Johanes Leimena
dan Jo Picauly. Lain itu ia juga menginisiasi sebuah organisasi kebidayaan
Maluku yang dinamai Memadjoekan Cultuur Maloekoe (MCM).
Kegiatannya segudang. Mulai dari
diskusi politik, rapat umum, hingga pentas sandiwara. Sejak aktif di berbagai
organisasi itu ia lalu dijuluki "Upuleru" yang dalam bahasa suku-suku
di Maluku berarti dewa atau pelindung.
“Mungkin ini pun merupakan pernyataan
dan pencarian identitas di kalangan masyarakat Maluku ketika itu. Nama ini
tetap dipakai oleh kawan-kawanku dalam masa perjuangan 45,” kenang Gerrit
Siwabessy (hlm. 15).
Gerrit Siwabessy berhasil
menyelesaikan kulah dokternya sekira Desember 1941, bertepatan dengan mula
berkobarnya Perang Pasifik. Ia lalu menjalani ikatan dinas di pusat pengeboran
minyak Belanda di Cepu. Tak lama ia menikmati masa sebagai dokter gajian,
karena pada Maret 1942 Jepang merangsek ke Jawa.
Gerrit Siwabessy yang kala itu baru
saja menikah dengan Reny Poetiray lantas mengungsi ke Surabaya. Meski sempat
menganggur, Si Upuleru lantas ditolong kawan lamanya di NIAS. Dokter Sutjahyo,
nama si kawan itu, meminta Gerrit Siwabessy membantunya di bagian radiologi
Rumah Sakit Simpang, Surabaya.
Gerrit semula agak enggan. Minatnya
yang utama sebenarnya ada di bidang fisika dan psikiatri. Lagi pula, radiologi
adalah bidang yang sangat baru baginya. Karenanya ia musti mempelajarinya dari
sangat dasar hingga teknik mengoperasikan segala macam pirantinya. Ia tak punya
jalan lain, maka pekerjaan sulit pun jadilah.
“Tidak kuduga ketika itu, bahwa
keputusan yang kuambil secara terpaksa ini akan menentukan jalan hidup
kemudian, baik di masa krisis pada masa pendudukan Jepang maupun dalam masa
revolusi dan masa merdeka,” tulis Si Upuleru dalam memoarnya (hlm. 20).
Belajar Atom ke Inggris
Atas saran Johanes Leimena, yang
menjabat menteri kesehatan di Kabinet Hatta, Gerrit Siwabessy akhirnya memperdalam
lagi pengetahuan radiologinya. Ketika konflik Indonesia-Belanda mereda pada
pertengahan 1949, Leimena memberi surat rekomendasi kepada Siwabessy untuk
studi lanjutan ke Inggris.
Atas beasiswa dari British Council,
Siwabessy lalu mengikuti 12 bulan pendidikan radiologi di Universitas London.
Tak hanya itu, Siwabessy juga berkesempatan untuk mempelajari dasar-dasar
kedokteran nuklir. Saat itu metode radioterapi dengan memanfaatkan teknologi
nuklir memang sudah jamak di Inggris.
“Perkenalan dengan bidang ini di
London kemudian melahirkan kegiatan-kegiatan lain dalam bidang atom di
Indonesia,” kata Siwabessy (hlm. 64).
Sepulang belajar dari Inggris,
Siwabessy kebanjiran pekerjaan. Ia mengajar sekaligus jadi asisten kepala
Bagian Radiologi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Lain itu juga mengepalai
Lembaga Radiologi di Departemen Kesehatan.
Baca juga ; Suku Bangsa Alifuru
Membawa Nuklir ke Indonesia
Perjalanan karier lalu membawanya
lebih dekat dengan bidang nuklir daripada kedokteran. Meski begitu, dia
bukanlah seorang praktisi atau ahli nuklir. Barangkali lebih tepat menyebutnya
sebagai birokrat yang membuka jalan bagi pengembangan teknologi nuklir di
Indonesia.
Kesempatan pertamanya terbuka pada
1954, ketika Amerika Serikat meledakkan bom termonuklir di Kepulauan Marshall
di Samudra Pasifik. Dengan kekuatan ledakan setara lima juta ton dinamit,
kerusakan yang ditimbulkan oleh bom yang dinamai Castle Bravo itu tak
main-main. Pulau yang semula hijau jadi gersang. Residu radioaktif bom itu pun
mencemari laut dan udara hingga bermil-mil luasnya.
Indonesia, yang wilayah timurnya
berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik, termasuk negara yang khawatir akan
dampak dari percobaan bom nuklir tersebut. Karena itu, sebagai langkah
antisipasi, pemerintah Indonesia berinisiatif membentuk tim untuk mengukur
kadar radioaktivitas di wilayah timur yang kemungkinan terpapar. Lembaga
Radiologi yang dipimpin Siwabessy lah yang kemudian diserahi mandat itu.
“Pada 23 November 1954, Presiden
Sukarno mengeluarkan Keppres No 230/1954 tentang pembentukan Panitia Negara
untuk Penjelidikan Radioaktivitet. Siwabessy ditunjuk jadi ketuanya,” tulis
majalah Historia (nomor 16, tahun II, 2013).
Panitia itu lantas menyisir daerah
Sulawesi Utara, Maluku, dan Timor. Hasilnya, di wilayah itu tak terdapat
paparan residu radioaktif yang berbahaya. Lantaran peristiwa itulah timbul
pikiran Siwabessy bahwa Indonesia perlu menyiapkan tenaga-tenaga ahli nuklir
sebagai antisipasi masa depan.
Berdasarkan Keppres, Panitia Negara
Penyelidikan Radioaktivitet sebenarnya punya tugas yang lebih luas. Tugas itu
mencakup penelitian-penelitian untuk mengembangkan potensi nuklir untuk tujuan
damai. Beberapa anak buah Siwabessy di Lembaga Radiologi lantas dikirim ke
London untuk belajar nuklir. Ia juga menyebar timnya untuk menjalankan program
perlindungan radiasi ke rumah sakit-rumah sakit di Indonesia.
“Akan tetapi kepanitiaan tersebut
memiliki keterbatasan, antara lain permasalahan kewenangan dan keuangannya yang
sangat terbatas. Oleh karena itu sesuai dengan hasil yang diperoleh delegasi
Indonesia di dalam konferensi internasional teknologi nuklir atau IAEA, serta
Peraturan Pemerintah No. 65 dibentuklah Dewan Tenaga Atom atau Lembaga Tenaga
Atom pada tanggal 5 Desember 1958,” tulis Teuku Reza Fadeli dalam skripsinya di Program Studi Ilmu Sejarah
UI bertajuk Sukarno dan Politik Nuklir Indonesia 1958-1967 (2014:
32).
Dewan Tenaga Atom jadi semacam
penasihat pemerintah terkait perkembangan teknologi atom global dan dalam
negeri. Sementara Lembaga Tenaga Atom (LTA) bertindak sebagai pelaksana program
nuklir di Indonesia. Karena pengalamannya, Siwabessy lagi-lagi ditunjuk untuk
memimpin LTA ini.
LTA di bawah kendali Siwabessy
bergerak cepat. Beberapa sarjana ia rekrut dan disekolahkan ke negara-negara
yang maju bidang nuklirnya. Kerja sama dengan Amerika dan Uni Soviet pun
dijajaki untuk mengakses teknologi nuklir. Pada Juni 1960 Indonesia dan Amerika
menyepakati program Atom for Peace untuk pengembangan nuklir di Indonesia.
“Amerika merealisasikan kerjasama
penggunaan energi atom untuk kepentingan sipil itu dengan memberikan bantuan
sebesar 350 ribu dolar untuk pembangunan sebuah reaktor riset di Bandung
berikut fasilitas operasionalnya. [...] Berdasarkan perjanjian tersebut, AS
mensuplai uranium yang telah diperkaya untuk bahan bakar reaktor riset,” tulis
majalah Historia.
Seturut penelusuran Teuku Reza
Fadeli, proyek reaktor riset di Bandung itu lalu dimasukkan dalam rencana lima
tahun LTA. Selain untuk riset, reaktor yang pembangunannya dikerjakan bersama
ITB itu juga berguna untuk memproduksi isotop dan eksperimen fisika neutron.
“Reaktor ini selesai pada tahun 1962.
Ketika pada tahun itu RRC meledakkan bom nuklirnya yang pertama, Indonesia telah
siap pula (reaktor menjadi kritis) dengan reaktor pertamanya yang dimaksud
untuk tujuan-tujuan damai,” tulis Siwabessy dalam memoarnya.
Langkah lain yang diinisiasi LTA
adalah menyiapkan RUU Pokok Tenaga Atom. RUU ini ditetapkan jadi undang-undang
pada 1964. Berdasarkan UU Pokok Tenaga Atom inilah LTA lalu direorganisasi
menjadi Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN).
Yang terjadi setelah itu adalah
lompatan karier Siwabessy. Ia ditunjuk sebagai direktur BATAN dan kemudian
statusnya ditingkatkan jadi setara menteri. Setelah reaktor riset di Bandung,
BATAN lalu membangun laboratorium isotop dan kimia nuklir di Pasar Jumat.
Siwabessy juga membentuk tim khusus untuk menyelidiki kemungkinan adanya
deposit uranium di Indonesia.
Karena itu, wajar jika BATAN menobatkan
Siwabessy sebagai Bapak Atom Indonesia pada 2014. Pemberian gelar ini adalah
bentuk penghargaan atas jasa Siwabessy membangun tenologi nuklir di Indonesia.
Tahun itu juga penting karena bertepatan dengan ulang tahun ke-56 BATAN
sekaligus seratus tahun kelahiran Siwabessy.
"Di puncak peringatan ini Batan
ingin memberikan penghormatan tertinggi sebagai Bapak Atom Indonesia, Prof. G.A
Siwabessy, yang merintis teknologi nuklir di Indonesia sehingga Batan menjadi
besar seperti sekarang," ujar Ketua Panitia penyelengaraan HUT Batan
ke-56, Heru Umbaran, sebagaimana dikutip laman Republika.
Wajar juga bila pada 1968 Siwabessy
diganjar Bintang Mahaputra III oleh Presiden Soeharto. Nama Siwabessy yang
wafat pada 11 November 1982, tepat hari ini 37 tahun lalu, juga diabadikan
sebagai nama reaktor serba guna milik BATAN di Tangerang Selatan.
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan
No comments:
Post a Comment