Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Prolog
Participating Interest 10% (Sepuluh Persen), sesuai Pasal 1 Ayat(4) Peraturan Menteri Energi Dan
Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2016 Tentang Ketentuan
Penawaran Participating Interest 10% (Sepuluh Persen) Pada Wilayah Kerja Minyak
Dan Gas Bumi, yang selanjutnya disingkat PI 10% adalah besaran maksimal sepuluh
persen participating interest pada Kontrak Kerja Sama yang wajib ditawarkan
oleh Kontraktor kepada Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Milik Negara.
Saat ini aturan PI 10 persen tersebut sedang akan diterapkan pada proyek
pertambangan gas Lapangan Abadi Blok Masela.
Presiden Republik Indonesia Joko Widodo
telah memutuskan – atas desakan kuat segenap komponen Masyarakat Maluku, proyek
gas Blok Masela dinyatakan Onshore. Proposal
Revisi Rencana Pengembangan – PoD, oleh kontraktor Inpex Masela sudah pula disetujui
pemerintah di pertengahan tahun ini - Juli 2019, dan kilang LNG segera dibangun
di darat. Pilihan lokasi kilang juga sudah ditetapkan di daratan pulau Yamdena,
sekitar ibukota Kabupaten Kepulauan Tanimbar(KKT), Saumlaki.
Sejauh ini, urusan proyek Blok Masela
hanya antara kontraktor Inpex Corporations Jepang serta Royal-Shell Belanda, Pemerintah Pusat –
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Satuan Kerja Khusus
Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas), dan dengan Pemerintah Provinsi Maluku serta Pemerintah
KKT. Maluku dilibatkan – ikut berperan
aktif, karena Blok Masela berada di dalam wilayah teritori administratif
Pemerintah Daerah Provinsi Maluku.
Hingga pun dalam hal hak PI 10 persen, bagi Maluku sudah “final” – sudah selesai, adalah merupakan
hak utuh Maluku yang tidak dapat ditawar jumlahnya, apalagi hak PI yang hanya 10 persen
sampai mesti dibagi dengan Provinsi lain. Akan tetapi mampukah Maluku
mempertahankan haknya, agar tidak terbagikan? Inilah persoalan krusial yang
perlu mendapat perhatian dan terus diperjuangkan segenap komponen Orang Maluku
hari-hari ini.
NTT Masih Saja Ingin Mendapat Hak
Polemik hak Participating Interest(PI) 10 persen bagi daerah penghasil,
sebagaimana ditentukan dalam peraturan pertambangan Minyak dan gas bumi
(Migas), dalam beberapa waktu terakhir ini dimunculkan lagi. Provinsi Nusa
Tenggara Timur(NTT) ingin mendapat bagian hak PI 10 persen bagi daerah
penghasil dari proyek pertambangan gas Abadi Field Blok Masela di laut Arafuru
perairan Provinsi Maluku. Kembali di wacanakan – lebih kepada “gugatan”,
disuarakan – kembali, dari Provinsi NTT melalui Gubernurnya, yang terus memaksa
provinsinya harus mendapat bagian 5 persen atau setengah dari PI 10 persen yang
adalah hak Maluku sebagai daerah penghasil.
Pihak Provinsi NTT
terus berulah, masih saja “ngotot” – memaksa, mendapatkan bagian hak langsung
dari proyek pertambangan gas lapangan Abadi Blok Masela. Bahkan dengan yakin
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskod, dalam pernyataannya kepada media masa,
mengklaim bahwa hal itu sudah diputuskan oleh Presiden Joko Widodo.
Viktor menyebut,
pembagian fee 10 persen dari blok migas Masela merupakan kewenangan pemerintah
pusat. Hal itu disampaikan Viktor menyusul adanya sikap dari Pemerintah
Provinsi Maluku yang menolak fee
dibagikan juga untuk NTT. "Kalau itu pernyataan (penolakan fee 10 persen
untuk NTT) dari presiden, baru gubernur NTT nyambung," ujar Viktor kepada
Kompas.com, di Loppo Plaza Kupang, Kamis (14/11/2019)
malam. "Kewenangan itu pada pemerintah pusat. Kalau presiden jawab baru
kita melihat," kata Viktor singkat.
Sebelumnya, Viktor
Bungtilu Laiskodat menyebut, pihaknya akan mendapat jatah 5 persen dari
keuntungan pengelolaan blok minyak dan gas (migas) Masela. "Presiden sudah
putuskan agar NTT mendapat jatah 5 persen dan Maluku, 5 persen dari keuntungan
blok Masela. Itu berarti NTT dapat jatah 2,5 miliar dollar Amerika Serikat,"
ungkap Viktor kepada Kompas.com di Kupang, Kamis (24/10/2019).
Untuk
yang kesekian kali wacana tersebut disuarakan pihak NTT. Sebelumnya oleh
Gubernur NTT Frans Lebu Raya, yang sekarang sudah
digantikan Viktor Bungtilu Laiskodat.
Frans Lebu Raya mengatakan, “hak partisipasi biasanya diberikan sebesar 10
persen, dan saya minta kalau bisa dibagi 5-5 persen dengan Provinsi Maluku" - kabartimur.co.id. Alasannya Blok Masela
berada di luar wilayah teritori dari Provinsi Maluku dan Provinsi Nusa Tenggara
Timur. Meski lebih dekat dengan Maluku (sekitar 300 kilometer) tetapi secara
teritori, di luar karena kewenangan provinsi itu 12 mil” - kilasmaluku.fajar.co.id/2017/09/04.
Pihak NTT menggunakan
berbagai dalih, melalui peluang pada kewenangan provinsi – Maluku, yang hak pengelolaan
wilayah laut “hanya” 12 mil laut dari garis pantai, sedangkan selebihnya
wewenang pemerintah pusat, menurut UU No.2 Tahun 2015
tentang Pemerintah Daerah. Menganggap Blok Masela berada pada wilayah
“abu-abu”. Alasannya NTT merupakan wilayah berdampak langsung – alasan ini
mungkin mereka buta atau pura-pura bodoh - karena batas langsung mestinya(bila
iya mereka juga perlu dibagi) negara Timor Leste yang di bagian barat atau
Australia yang ada di batas selatan. Diwacanakan juga dengan mengemukakan perspektif
pada alasan pemangku kepentingan selaku masyarakat adat – berbangsa Alifuru dan
ber-ras Melanesia? Pertanyaan untuk alasan-alasan di atas, bagaimana dengan Lapangan
gas Greafer Sunrise – milik Australia, dan Bayu Undan – Australia dan Timor
Leste, yang jaraknya sekitar 300 km dari pulau Timor?
Peluang lain yang coba
dimanfaatkan NTT, adalah Pasal 12 Ayat (2) Peraturan Menteri Energi Dan Sumber
Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2016 Tentang Ketentuan Penawaran
Participating Interest 10% (Sepuluh Persen) Pada Wilayah Kerja Minyak Dan Gas
Bumi, dinyatakan ; “Skema kerjasama
dengan Kontraktor sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilakukan dengan cara
pembiayaan terlebih dahulu oleh Kontraktor terhadap besaran kewajiban Badan
Usaha Milik Daerah atau Perusahaan Perseroan Daerah.”
Jawaban “Abu-abu” Presiden Joko Widodo
Pernyataan Gubernur NTT bahwa Presiden Joko
Widodo sudah setuju, terklarifikasi melalui jawaban presiden atas pernyataan
sekaligus pertanyaan Bupati KKT Petrus
Fatlolon langsung kepada Presiden, saat pertemuan terbatas bersama Presiden dan Gubernur Maluku
di Ambon, Senin (28/10/2019). “Saya menyampaikan ke Bapak Presiden terkait
ada informasi yang beredar satu minggu terakhir bahwa ada daerah lain
yang meminta porsi PI 10 persen. Saya menyampaikan ke Bapak Presiden
bahwa saat ini kami di Maluku sedih, karena ada informasi PI itu akan dibagikan
dengan provinsi lain,” ujar Petrus di Maluku Tengah, Selasa (29/10/2019).
Petrus
mengungkapkan, setelah menyampaikan langsung keluhan tersebut kepada Presiden
Jokowi, ternyata ada pesan dari Presiden bahwa informasi pembagian
participating interest itu tidak benar. Menurut Petrus, dalam pertemuan
terbatas itu, Presiden Jokowi tidak menyebut bahwa pemerintah pusat telah
menyetujui PI 10 persen Blok Masela akan dibagi dua dengan Provinsi NTT. “Bapak presiden senyum sambil menyampaikan
‘Pak Bupati belum sampai ke saya, tapi saya akan perhatikan aspirasi dari
Maluku’. Artinya, bila ada informasi PI sudah dibagi, saya pikir belum ya
karena tadi malam itu sudah rapat dengan Bapak Presiden,” kata Petrus,
sebagaimana diberitakan Kompas.com - 29/10/2019.
Jawaban Presiden Joko Widodo kepada Bupati KKT bermakna
ganda – diplomatis, “abu-abu”, tetapi jelas terjawab sudah. Bahwa Maluku hingga
hari ini belum dinyatakan sebagai penerima hak PI 10 persen proyek migas Onshore
Kilang LNG Lapangan Abadi Blok Masela, yang masih dalam persiapan akan di
bangun di pulau Yamdena, Maluku.
Pemerintah Pusat Plin-plan
Kisruh persoalan hak PI 10 persen Blok Masela mengemuka sudah sejak lima tahun
lalu, mulai ramai di akhir tahun 2014. Sebabnya, hampir semua pernyataan yang
disampaikan pemerintah pusat melalui pejabat Kementerian ESDM, dan SKK Migas, sama
saja tentang hak PI 10 persen Blok Masela. Tidak ada yang menyatakan secara tegas
dan pasti merupakan hak Maluku, kecuali beralasan masih sedang akan dibahas
sebab regulasi mengatur hak kelola wilayah bagi provinsi dibatasi paling jauh
hanya 12 mil laut. Adapun Blok Masela jauh di lepas pantai, setidaknya 41 mil
laut dari batas pantai pulau provinsi Maluku terdekat yaitu Selaru.
Pernah ada pernyataan - tribunnews.com,
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjamin pemerintah daerah
Maluku mendapat Participating Interest (PI) dari pengelolaan Blok Masela. Hal tersebut menjadi komitmen pemerintah pusat mendorong otonomi daerah.
"PI kan sudah komitmen kepada pemerintah daerah Maluku, sudah
diberikan," ujar Direktur Jenderal Migas Kementerian ESDM IGN Wiratmaja di
Jakarta, Selasa (29/3/2016). “Participating Interest (PI) sudah menjadi komitmen pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah - Maluku. Sudah semestinya daerah dapat (hak
pengelolaan). Jadi ini kan di 12 mil, harusnya memang ranah pemerintah pusat.
Tapi pemerintah pusat memberikan dikresi kepada pemerintah daerah,” tutur
Wiratmaja, Senin (28/3) -POD disetujui Maluku dapatkan PI Blok Masela
Tetapi kemudian terbantahkan pernyataan di atas oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan - kabartimur.co.id, saat tampil sebagai pembicara pada Kongres HMI XXX di Universitas Pattimura (Unipatti) Ambon tanggal 14 Februari 2018, menyatakan, hak PI 10 persen Blok Masela bakal dikelola Pemprov Maluku dengan Pemprov Nusa Tenggara Timur.
Tetapi kemudian terbantahkan pernyataan di atas oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan - kabartimur.co.id, saat tampil sebagai pembicara pada Kongres HMI XXX di Universitas Pattimura (Unipatti) Ambon tanggal 14 Februari 2018, menyatakan, hak PI 10 persen Blok Masela bakal dikelola Pemprov Maluku dengan Pemprov Nusa Tenggara Timur.
Begitu lama dan berlarut-larut
persoalan kepastian pihak mana penerima hak PI 10 persen. Pemerintah Pusat
menunjukkan kesan “plin-plan” selain “tampak ragu-ragu” memutuskan untuk
menetapkan Maluku sebagai Provinsi yang paling berhak memiliki PI – akan
dikonversi sebagai saham, 10 persen pada Blok Masela.
Sekian waktu dengan
memperhatikan urgensi duduk persoalan, seharusnya Pemerintah Pusat sudah
memastikan dengan suatu keputusan yang mempertimbangkan unsur keadilan sosial
bagi rakyat Maluku. Karena tentu Maluku samasekali tidak ingin kehilangan hak
penuhnya atas PI 10 persen di Blok Masela setelah sekian lama kekayaan sumber daya alamnya – di
darat, di perut bumi, dan isi lautnya dikuras Pemerintah Pusat - atas dalil formal konstitusi Pasal 33
Undang-Undang Dasar 1945, tanpa ada manfaat berarti yang terbagi(dikembalikan)
kepada rakyat Maluku.
Ada Apa Di Balik Semua Ini?
Majalah Tempo - terbitan 18-24 November 209, dengan cover “Dermaga Tomy Menuju
Masela”. Bukan sesuatu hal yang mengejutkan – menurut penulis, kecuali kekawatiran mungkin saja akan menggelembungkan
biaya proyek kilang LNG Blok Masela. Itu pun tidak perlu dibahas, tetapi
penulis diingatkan tentang Viktor Bungtilu Laiskod - Gubernur NTT, pernah menduduki jabatan
Komisaris PT. Samudera Indo Sejahtera – dulu ; PTMaritim Timur Jaya, anak perusahaan
Arta Graha Group untuk perikanan yang menawarkan dermaganya untuk lokasi basis logistik
proyek Blok Masela. Viktor sangat dekat dengan
Tomy Winata – Pemilik Artha Graha Group, selain itu Viktor juga kader utama Partai
Nasdem dan Ketua Fraksi Nasdem DPR RI 2014-2019. Surya Paloh sang Ketua
Umum juga “pemain” Migas melalui anak perusahaan Media Group - PT Surya Energi
Raya(SER). Juga pemilik bersama gedung mewah bernilai Rp 8 triliun, berlantai 59 - PT China
Sonangol Media Investment (CSMI), perusahaan kerja sama antara PT China
Sonangol Land - penyuplai minyak Nigeria kepada PT. Pertamina atas "jasa baik" Surya Paloh, dan Media Group milik Surya Paloh. Viktor juga salah satu kandidat Menteri Kabinet Kerja Pemerintahan Presiden Joko Widodo - Ma'aruf Amin.
Mempertimbangkan potensi latar
belakang, kekuatan dan kedekatan
jaringan NTT – khususnya Gubernur Viktor, pada pusat kekuasaan dan (mungkin) peran serta faktor pendukung lain – invisible hands, yang memungkinkan mudah
melakukan lobby politik pada tingkat pusat pengambil keputusan pemegang
kekuasaan.
Baca juga ; Seteru Konstitusi vs Neolib Di Blok Masela
Posisi Maluku bagaikan “layang-layang” – baca ; Blok Masela Maluku hanya layanglayang, setelah semua alasan –
termasuk Onshore Base Kilang
LNG Inpex Masela di pulau Yamdena pun tidak, yang harusnya memperkuat Maluku untuk
memiliki utuh hak PI 10 persen atas proyek gas lapangan Abadi Blok Masela, bisa
jadi akan terpatahkan. Alasan pamungkas super efektif terakhir melemahkan
posisi Maluku, yaitu ; “dengan mempertimbangkan kepentingan nasional”, maka
kekuatan Maluku akan remuk pertahanannya, terperdaya dalam kepasrahan terserah
keputusan Pemerintah Pusat. Artinya Maluku hanya bisa “gigit jari”, karena PI 10 persen di Blok Masela bakal
terbagi dua. Dibagi “rata dan adil”, 5 persen untuk Maluku
dan 5 persen untuk NTT – demi kepentingan
nasional.
Sebabnya beralasan jelas, urusan ini menyangkut bisnis besar dan pasti.
Akan menghasilkan uang yang karena jumlahnya yang fantastis, hanya pantas
dinilai dalam hitungan menggunakan mata uang US Dollar, dan berlangsung dalam
jangka waktu yang sangat lama. Total nilai investasi dari PI 10 persen dari
total biaya proyek Blok Masela US$ 20 Milyar - perkiraan maksimal, yaitu US$ 2
Milyar. Dikonversi ke nilai mata uang Rupiah, 14000/US$ 1, maka nilainya dalam
Rupiah sebesar 28 Triliun - IDR.
Epilog
Persoalan ini bukan lagi urusan etika
dan formalitas tatanan hukum dan peraturan perundang-undangan negara, tetapi
peran sentral dan menentukan sudah beralih posisi. Apakah dengan cara santun
atau karena diambil “paksa”, nilai moral dalam bisnis ekonomi pasar – gelap,
lebih menentukan, dari etika empati tentang keadilan sosial – sila ke lima
Pancasila, dalam berbangsa dan benegara yang sudah seperti gaung slogan
kata-kata omong kosong yang menipu untuk membodohi.
Peduli apa dan oleh siapa
pada realitas konteks Maluku sebagai Provinsi Termiskin di Indonesia yang
menempati wilayah kaya sumber daya alam. Sudah dikondisikan secara sengaja dan
terencana harus tanpa daya dan posisi tawar. Ruang yang sengaja dibuka dan
koridor yang tersedia di rana kekuasaan, berfungsi seperti khusus memerdekakan
kekuatan kapital agar mudah berkembang maksimal dalam falsafah liberalisme
ekonomi yaitu bisnis to bisnis, demi meraup untung sebesar-besarnya dari hasil
bumi wilayah Maluku, khususnya di ladang gas Abadi Blok Masela.
Ketika merebak lagi
persoalan perebutan PI 10 persen sekarang, bukan hal yang harus membuat kaget -
setidaknya untuk beta pribadi, sebab prihal Blok-Masela sudah
cukup dicerahkan dengan prediksi hal sedemikian melalui tulisan beta sebelumnya
; Blok-Masela “ABADI FIELD BLOK MASELA ; JALAN
TERJAL MEREBUT HAK
MALUKU” dan
usaha antisipasi yang direspon "Orang-orang Maluku"
yang jauh dari harapan(minim tanda tangan) yaitu ; PETISI
- www.change.org/p/presiden-republik-indonesia-maluku-menolak-membagi-pi-blok-masela-dengan-ntt. Semoga saja tidak lebih mengkawatirkan, apalagi hingga merugikan Maluku.
Kampung Bulak – Depok, 21/11/2019
-----------
Sumber; regional.kompas.com Tribunnews.com kilasmaluku.fajar.co.id tirto.id republika.co.id detik.com tribun_maluku.com
tajuktimur.com
lintasntt.com antara.com
No comments:
Post a Comment