Alifuru Supamaraina: ALIFURU DALAM SEJARAH

Wednesday, November 25, 2015

ALIFURU DALAM SEJARAH

ALIFURU DALAM SEJARAH
Alifuru dalam sejarah

          Sejarah merupakan peristiwa masa sebelum saat sejarah itu ditulis dan adalah kumpulan catatan perjalanan masa tentang sesuatu, sesorang, suatu kaum atau suku-bangsa. Intinya masa lalu yang diingat, diketahui kemudian diceritakan kembali melalui tutur-cerita lisan atau pun tulisan. Ketika bercerita atau menulis, sesorang cenderung terbawa emosi larut bertutur bisa secara jujur, tapi mungkin juga berbohong atau asal dan mungkin membias karena sudah didramatisir, sebagaimana juga dengan sejarah tentang suku-bangsa Alifuru.

Pemaparan tentang sejarah suatu kejadian di kurun waktu sebelumnya terkadang mengalami distorsi atau pengaruh kepentingan baik oleh pengungkap, sumber, juga peruntukan kepentingan siapa dan untuk apa. Apalagi bila data dokumentasi acuannya tersembunyi atau tidak tersedia,  menghasilkan pengungkapan sejarah yang multi tafsir dan menimbulkan keraguan. Sangat mungkin dipertanyakan kejujuran apalagi kebenarannya.

Secara teori, sejarah ditafsirkan sebagai gambaran lengkap dan detail mengenai peristiwa disuatu waktu dan ruang keberadaan manusia atau tentang sesuatu selain manusia. Begitupun dalam sistem pendataan sejarah dikenal dua jenis data. “Pertama, data tentang rekaman peristiwa di dalam suatu masa, yang memuat tindakan para aktor yang adalah elite dalam sistem sosial di masa lampau. Data ini berbentuk laporan-laporan atau arsip, dokumentasi, dan bangunan (yang lebih banyak menjadi fokus arkeologi). Kedua, hasil penafsiran suatu peristiwa sejarah, yang disusun oleh orang-orang lain di masa kemudian, sebagai suatu bentuk tela’ah kritis terhadap jenis data pertama. Data jenis kedua ini pun terbagi menjadi dua, yaitu penafsiran ‘komunitas penulis sejarah’ yang cenderung bertendensi politis, dan penafsiran kritikus yang melihat adanya sisi-sisi tertentu yang terabaikan, atau adanya ketimpangan didalam rangkaian sejarah itu, dsb – dipertanyakan mengapa tindakan orang-orang lokal tidak terekam sebagai event yang penting dalam sejarah. Bahwa manusia adalah produk dari sejarah itu sendiri, dan memiliki eksistensi historis, artinya memiliki relasi setara antara dirinya dengan orang lain di tengah lingkungan keberadaannya itu (zitz im leben). Idealnya bahwa penceritaan sejarah harus memandang setiap pelaku sejarah sebagai orang-orang yang sejajar, memiliki peran yang sama-sama penting dalam bingkai sejarah” ( Elifas Tomix  Maspaitella,  Jejak Cina di Maluku. Blog, diposkan Julia Soplanit dan edit oleh Penulis)

Suku-bangsa Alifuru diakui keberadaannya sebagai penduduk asli kepulauan Maluku dengan pemukiman awal berpusat di pulau Seram, pulau terbesar di antara hampir seribu buah pulau  dalam gugus kepulauan Maluku. Menurut beberapa  Antropolog, a.l.;  A.H. Keano,  pulau Seram dari dahulu telah didiami oleh suatu suku bangsa yaitu bangsa “Aliforos”.

Bangsa ini berasal dari campuran antara Kaukus Mongol dan bangsa Papua.  Oleh  Antropolog F.J.P. Sache dan dr O.D. Tauern mereka berpendapat bahwa suku Alifuros Alune (ada juga Wemale ; Bloger) yang mendiami bagian barat pulau Seram, berasal dari bagian utara yaitu kemungkinan berasal dari Sulawesi bagian utara atau Halmahera, sebab di pulau Halmahera juga terdapat suku Aliforos.

Pencapaian hasil penelitian para Antropolog tersebut patut di hargai, tapi dipertanyakan untuk bagian tengah dan timur pulau Seram, karena hanya berpusat di bagian barat. Sehingga terkesan terbaca miring bila melihat titik-titik penyebaran komunitas suku-bangsa Alifuru khususnya di pulau Seram, yang disebut dengan Nusa Ina. Belum lagi bila acuan berdasarkan sejarah-tutur atau pengumpulan data dan informasi hanya secara lisan dari masyarakat suku-bangsa Alifuru yang menjadi objek penelitian yang berpusat di wilayah barat pulau. Dapat diterima agar kita dapat meyakini kebenaran sejarah yang di tulis. bila ada bukti nyata melalui penemuan data lapangan berupa situs atau tanda di alam misalnya perkakas/alat perlengkapan untuk berkebun, berburu, menangkap ikan, maupun tulisan atau mungkin gambar di dinding batu. 

Bahwa kemudian hasil penelitian tersebut mewakili  sejarah awal atau  mula asal-muasal suku-bangsa Alifuru  dari tempat bernama Nunusaku dengan tiga batang air, Eti - Tala - Sapalewa, yang mencakup hanya seperempat dari luas pulau Seram ? Atau karena adanya data dokumenter dari bangsa Belanda yang waktu itu bisanya hanya dapat menundukkan dan menguasai suku-bangsa Alifuru di Seram bagian  barat dan berhasil mengacak-acak sistem tata nilai dan tata pemerintahan dan mencukur habis para Kapitang penguasa petuanan (wilayah kekuasaan/kepemilikan) lalu diganti dengan para penguasa boneka Belanda, misal di Eti, juga Kaibobo – yang terakhir ini hilang dari catatan Belanda, pasti.  

Sangat dipertanyakan penelitian para Antropolog hanya cenderung berpusat di wilayah bagian barat pulau Seram, tidak dilakukan penelitian secara keseluruhan pulau Seram – bagian tengah sampai timur dan kepulauan Seram Laut, bahkan lebih luas ke seluruh kepulauan di Maluku sampai di bagian Tenggara jauh, bahkan mungkin termasuk kepulauan Nusa Tenggara bagian timur. Sebagai anak suku-bangsa Alifuru kami berterimakasih kepada mereka para Antropolog, akan tetapi menyayangkan bahwa sejarah Alifuru yang ditulis tidak mewakili secara utuh Sejarah suku-bangsa Alifuru, yang adalah penduduk asli gugusan kepulauan yang sekarang menjadi bagian wilayah negara Indonesia yaitu Provinsi Maluku – Maluku Utara.

Selain itu mentelusur sejarah awal suku-bangsa Alifuru melalui sumber penulisan yang dilakukan bangsa asing seperti China. China mungkin dianggap salah satu bangsa yang cukup tua dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tulisan maupun teknologi armada pelayaran samudera. Bisa saja bangsa China yang paling awal berada di kepulauan Alifuru - Maluku. Terdapat bukti kebendaan berupa alat perlengkapan makan-minum  berbahan keramik seperti piring, mangkuk, kendi dan tempayan air, made in para Dinasti Kekaisaran bangsa China awal abad Masehi bahkan sebelum Masehi, banyak ditemukan di pulau Seram dikalangan keluarga Alifuru dan juga pecahan-pecahan yang sudah menjadi beling pun dapat jumpai tersebar di kawasan dusun atau hutan, pesisir pantai dan  pedalaman pulau Seram. Dalam hajatan upacara adat suku, perkawinan, pada pelantikan  Raja secara adat Alifuruperalatan seperti piring atau pina, keramik antiq buatan bangsa China tersebut menjadi alat wajib digunakan atau disediakan, paling tidak sebagai tatakan mensuguhkan Sirih Pinang. Hal kebiasaan yang merata di semua orang suku-bangsa Alifuru sejak dahulu dan hingga sekarang pun masih seperti itu, sayangnya sekarang ini piring keramik antiqnya sudah banyak yang lenyap. 

Tentang bangsa China ditemukan keterangan bahwa pada abad ke-14 atau tahun 1421 Masehi, saat  Kaisar Zhu Di berkuasa,  Zhu Di telah memerintahkan armada laut China untuk melakukan ekspedisi untuk menguasai kembali alur laut pelayaran di Asia Tengah dari bangsa Arab sekaligus mengulang alur pelayaran dagang yang pernah dilakukan dan didominasi sebelumnya pada abad ke-9 di saat masa Dinasti Tang. (Menzies, Gavin, 1421 Saat China Menemukan Dunia, [terj. Tufel Najib Msyadad], Jakarta: Pusat Alvabet, September 2006). Disini tidak ada keterangan lengkap yang mengisahkan tentang keberadaan dan kehidupan sosial, kecuali kegiatan ekonomi dari para penghuni kepulauan Maluku, yang rempah-rempahnya menjadi bagian dari muatan komoditi dagang armada tersebutPada sumber lain yaitu  Peta Rotz  yang mengungkap alur pelayaran armada China menuju ke Pulau Rempah-rempah, peta yang juga digunakan pelaut Spanyol Magellan berlayar akhirnya menemukan Maluku, yaitu peta yang digambar oleh kartografer di atas armada kapal Zhou Man, hanya  untuk menentukan posisi kepulauan rempah-rempah dalam alur pelayaran dari China ke benua bangsa Aborigin di selatan dan kembali ke China.   

Demikian juga sebagaimana yang dikutip oleh Menzies, dalam salah satu dokumen dari Ma Huan, hanya menceciterakan tentang cara bertransaksi yang dilakukan secara barter dengan masyarakat Alifuru setempat. Atau sama dengan Des Alwi yang menyebut bahwa hasil penelitian Universitas Brown, Amerika Serikat dengan Yayasan Warisan dan Budaya Banda Naira dan Universitas Pattimura pada 1996-1998, bahwa: kira - kira 900 sampai 1.000 tahun yang lalu kapal-kapal China sudah berdagang di Banda karena ditemukan pecahan piring-piring zaman Dinasti Ming dan juga pecahan kendi-kendi, tempayan dari tanah liat yang dibuat oleh orang Banda pada zaman Pra Islam abad ke-9. Begitu pula jauh waktu sebelumnya di masa kekuasaan dinasti Tan (618 – 907 M) telah dikenal rempah-rempah sebagai pengharum mulut, tapi tidak ada penjelasan jenis rempah-rempah apa. Bahkan masa-masa sebelum dan awal abad sesudah Masehi banyak data informasi dan cerita tentang rempah-rempah, yang diindikasikan antara lain adalah cengkih.

Era tulisan yang mencantumkan keberadaan kepulauan Maluku– bukan nama kepulauan Alifuru,  dengan bermacam sebutan terhadap “nama Maluku”, sekadar mengungkap nama wilayah dalam posisi geografis  yang memiliki potensi kekayaan sumber daya alam rempah-rempah cengkih dan pala. Bermula saat bangsa Arab, juga India-Gujarat, dengan jalan dagang yang hadir melalui jalur sutra-jalur perniagaan  darat tertua di daratan benua Asia yang juga melalui China, bangsa Arab sampai di kepulauan Alifuru, kemudian menyusul bangsa Eropa yang kemudian menjadi bangsa Penjajahtidak saja di Maluku tetapi seluruh kepulauan di Nusantara.

Antara bangsa Arab dan Eropa selain misi perniagaan juga hadir dengan misi menyebarkan keyakinan terhadap Ketuhanan, bangsa Arab dengan agama Islam dan Eropa dengan agama Kristen Khatolik dan Protestan. Kehadiran kedua bangsa ini hanya berbeda beberapa abad.

Bangsa Arab diperkirakan ada pada abad ke -9, sebagian sejarawan mengatakan pada abad ke-13, sedangkan bangsa Eropa datang pada awal abad ke-16. Sejak itulah kepentingan ekonomi dan misi agama      di bumi Alifuru menjadi terdokumentasikan dalam tulisan, baik berbahasa arab, berbahasa melayu berabjad arab – arab gundul, dan berbahasa Portogis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Sedangkan keberadaan masyarakat bangsa pribumi Alifuru – tidak jelas menyebutkan istilah Alifuru, hanya semacam catatan pinggir yang diselip untuk dikatakan hampir tidak ada sema-sekali, yang ada hanya berupa catatan tentang para Raja-raja yang menjadi teman misi atau catatan para musuh yang menentang.

Sejarah Alifuru memang sulit dibuktikan keberadaannya secara benar melalui data dokumenter berbasis tulisan, bila dibaca seperti yang terungkap melalui beberapa kepustakaan yang diungkap  kembali belakangan ini di media cetak atau online. Hampir semua informasi yang diungkap dan ditulis dapat disimpulkan semua bermula disaat kedatangan bangsa-bangsa asing, China, Arab dan Eropa. Selain itu yang hampir tidak ada adalah sumber dari keberadaan Kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, masa sebelum kedatangan bangsa-bangsa asing.

Beberapa catatan dan tulisan di media masa – selain dari para Antropolog, yang mengungkap sejarah suku-bangsa Alifuru, hampir semuanya sulit untuk dikatakan telah dapat mengungkap secara detail dan benar, apalagi dibilang jujur. Selain tidak didukung bukti dan data yang  memang sangat sulit ditemukan, juga cenderung bias dan memuat kepentingan penulis juga penutur sumber sejarah. Apalagi sumber data seperti situs, prasasti, alat atau perabotan, apalagi dokumen tertulis tidak ditemui atau tidak diungkap samasekali dalam mengungkap jejak keberadaan awal suku-bangsa Alifuru. Kecuali tanda atau tempat di alam seperti batu, gunung, bukit dan lembah,  kali, area – dusun, dan hutan yang menjadi titik mula berkisah tutur secara lisan oleh siapapun sumber sejarahnya, belum lagi diperparah dan menjadi rancu oleh siapa saja sekarang ini yang merasa  atau mengaku anak keturunan suku-bangsa Alifuru bisa bercerita dan bertutur, menurut versi atau sudut pandang dan kepentingan masing-masing.  

Berpedoman pada ciri-ciri bentuk fisik dan adat kebiasaan kehidupan sosial yang terlihat secara kasat mata, antara lain memiliki kulit gelaprambut ikalkerangka tulang besar dan kuat serta profil tubuh yang lebih atletisMaka suku-bangsa Alifuru terlihat sangat berbeda dengan suku-bangsa lain di Indonesia, kecuali seperti suku Timor di kepulaun Nusa Tenggara bagian Timur. Adapun terlihat kesamaan  dengan suku-bangsa di kepulauan Samudera Pasifik  seperti orang Fiji, Tonga, Tahiti, Hawai dan sekitarnya. Mungkin saja ada keterkaitan, sehingga dalam mengungkap tentang sejarah Alifuru di kepulauan Maluku mendapatkan data tambahan dari lain tempat sebagai pembenaran faktual era sejarah kehidupan suku-bangsa Alifuru yang lebih dapat dipertanggungjawabkan.   

Masyarakat Alifuru hingga kini masih kental pemahaman adat kebiasaan,  khususnya bahasa yang hingga hari ini masih berkomunikasi dengan bahasa anak suku Alifuru di masing-masing wilayahnya, khususnya di pulau Seram. Dengan mentelusur melalui perbendaharaan bahasa-bahasa, dapat saja memahami dan menafsirkan sejarah tutur yang masih terpelihara. Dimana pada suku-bangsa Alifuru, khususnya di pulau Seram – yang dikatakan sebagai awal mula dan sumber manusia Alifuru di Maluku, masih terpelihara  dan memiliki kekayaan bahasa yang sangat beragam tetapi terdapat sebagian kesamaan kosakata dan yang membedakan adalah aksen atau nada, tekanan ucap dan imbuhan pada akhiran atau awalan kata.
 Namun apabila menggunakan alur penelusuran melalui bahasa, maka bukan bahasa komunikasi sehari-hari yang dijadikan rujukan penelitian tetapi yang disebut Bahasa Tana(h) = Kapatah = Talili - istilah Alifuru Tunlutih, yaitu bahasa tutur yang bukan bahasa komunikasi dan tidak dapat dipercakapkan, hanya  diucapkan sepihak atau satu arah oleh satu orang. Bahasa ini “sebagian” masih hidup dan terpelihara dengan baik di mata-rumah/rumah tau-uma-tau/marga tertentu khususnya keluarga keturunan Raja, Kapitan dan Saneri Negeri.

Bahwa bahasa tana(h) dalam penggunaannya memakai istilah-istilah dalam setiap kosa kata yang tidak umum digunakan dalam percakapan sehari-hari. Akan tetapi dipakai untuk menandai dan mengungkapkan satu peristiwa atau menandai sesuatu, baik tempat, orang, benda atau era di masa lalu.  Kekayaan informasi yang termuat dalam perbendaharaan tutur bahasa tana suku-bangsa Alifuru, dapat dikatakan merupakan pencapaian luar biasa kemajuan pengetahuan melalui penciptaan bahasa tana (bahasa lisan) menggantikan bahasa tulis, sebagaimana bangsa lain.

Hal tersebut di atas, menunjukan bahwa titik fokus penulusuran sejarah suku-bangsa Alifuru intinya bersumber dari sejarah tutur atau bukti dalam bahasa lisan – bahasa tana, merupakan rana tersedia  adanya, selain terus mencari lagi sumber baru dan di lain tempat di luar Maluku. Agar anak-cucu Alifuru hari ini dan akan datang dapat terpenuhi pengetahuan secara baik sejarah tentang asal-usul suku-bangsanya dan lebih jauh tentu untuk mengenali jati diri, mengetahui identitas pribadi, keluarga dan posisi suku-bangsa Alifuru dalam dokumentasi perjalanan sejarah Indonesia maupun sejarah dunia.

Sejarah suku-bangsa Alifuru saat masih seperti dongeng menjelang tidur, cenderung tergerus zaman dan bisa saja terlupakan. Hal kemudian dapat memunculkan versi sepihak dan pembenaran terhadap pengaburan sejarah yang disengaja oleh para pihak yang sejatinya bukan berasal dari garis vertikal darah keturunan suku-bangsa Alifuru. 
Demikian. 

‘Aupuluu, naa'a sosopam, naa'a kokokum
Ayo bersama peduli Alifuru.
                                                                                                                                                                            
Depok, 30 April 2013

                 M. Thaha Pattiiha /
(Lele’e  Iha-Tehuayo )

Catatan ; Tulisan ini semata ungkapan pemikiran  pribadi penulis, dilengkapi berbagai sumber tulisan dan kepustakaan sebagai referensi yang tentunya masih ada kekurangan. Akan tetapi dengan kebersamaan, berpikir jernih, mengungkap bijak tanggapan dan wawasan dalam ruang diskusi yang beretika, cerdas, positif, bermanfaat, bermaksud saling menata pengetahuan, menjadikan segalanya damai dan  indah. ( Tulisan ini kembali sengaja beta muat ulang, tanpa perubahan dari sebelumnya )    

No comments:

Post a Comment