Alifuru Supamaraina: January 2020

Friday, January 17, 2020

Hak Jawab

Silahkan gunakan "Hak Jawab", sebab setiap artikel yang ditulis dan dipublikasikan begitupun informasi lainnya melalui situs personal; alifurusupamaraina.blogspot.com serta dibagikan melalui jejaring sosial, memiliki dasar pemikiran, alasan, sumber data /keterangan /informasi, termasuk referensi peraturan dan tatanan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Konsentrasi isi blog khusus untuk segala sesuatu tentang Alifuru ;  etnisrassejarahkebudayaan, maupun hak-hak azasi / hukumadat_ulayat ekonomi - kepemilikan kekayaan sumber_daya_alam, dan sosial.

Sekalipun Blog Personal, tetap mematuhi kaidah, etika, dan aturan yang berlaku umum.
Apabila terdapat hal yang menyinggung dan/atau karena bias interpretasi, bisa saja disebabkan faktor keterbatasan personal dan bukan sesuatu yang disengaja.

Karena itu silahkan gunakan cara yang lebih beradap melalui pemanfaatan akal_sehat untuk melakukan klarifikasi, bukan emosi - dalam arti luas.

Salam hormat beta!

Wednesday, January 15, 2020

“MALUKU” ; DILEMA NAMA WARISAN KOLONIAL

“MALUKU” ; DILEMA NAMA WARISAN KOLONIAL
Ilustrasi Peta Kepulauan Maluku; “MALUKU” ; DILEMA NAMA WARISAN KOLONIALSumber; Google maps/diedit)

               Sejarah kadang ditulis untuk memuji diri sendiri, dan sebaliknya berusaha sedapat mungkin meniadakan orang lain dari dalam ceritanya. Diri sendiri, dapat berarti pribadi seseorang, segolongan – kelompok, suku, atau bangsa, dari dalam lingkungan sendiri dengan ungkapan-ungkapan yang cenderung memuji, mengungkap keberhasilan dan berusaha mengecilkan hingga sebisa mungkin menghapus kebobrokan, kekalahan, kegagalan, dan kejahatan sendiri.
 
Dan karena – hal yang sudah berlaku umum, sejarah tidak diungkap untuk membesarkan dan apalagi mengagungkan orang lain yang adalah seteru - musuhnya. Ada juga sejarah seterunya kalau pun ditulis, maka yang diungkap adalah kebalikannya. Apalagi, sejarah adalah mengungkap kembali suatu hal atau peristiwa yang sudah dilewati masa – yang terjadi atau bisa saja tidak pernah ada. Ketika diceritakan, motivasi awal akan serta ikut mempengaruhi hingga membentuk maksud dan tujuan penceritaan dan juga mengandung emosi kejiwaan penceritanya. Ketika ada yang berbeda – pembelokan, atau hilang – tidak tersebut, memang itu tujuan akhirnya sehingga terbentuk pengetahuan semata sebagaimana maksud sejarah itu ditulis.
 
Sudut pandang cara membaca sebuah sejarah, ketika digunakan untuk membaca sejarah tentang nama Maluku, terungkap sesuatu yang mengganggu. Karena sejak wilayah ini dinyatakan bergabung dengan negara Indonesia, nama “Maluku” digunakan sebagai nama gugus kepulauan mulai dari Morotai di utara hingga Selaru di ujung paling selatan, dan berbatas dengan wilayah kepulauan Sulawesi dan Nusa Tenggara di barat serta Papua di sebelah timur. Nama yang dalam administrasi ketatanegaraan Indonesia pascareformasi 1998 berubah – mekar jadi 2(dua) provinsi. Di bagian Pulau Seram dan Buru, hingga Selaru di selatan tetap gunakan nama provinsi Maluku, dan kepulauan Sula  hingga Morotai, bernama provinsi Maluku Utara.
 
**
Dalam tulisan-tulisan beta sebelumnya, “Maluku” dipahami sebagai nama yang sudah sangat mewakili, yang menunjuk wilayah gugus kepulauan seperti tersebut di atas. Nama yang ternyata belakangan melalui sejarah yang ditulis malah mengalami degradasi pemaknaan dan cakupannya dipersempit. Muncul rasa penasaran dan ketidaknyamanan hingga mengganggu pemikiran, apakah nama itu masih mau hendak digunakan?
 
Terbesit tanya itu hadir setelah membaca buku(edisi revisi); “Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950,” karangan M. Adnan Amal, Gora Pustaka Indonesia, 2007. Sebuah buku sejarah yang setidaknya cukup didukung referensi yang lengkap, dan menghimpun begitu panjang alur perjalanan sejarah - 700 tahun, serta tentu saja dengan proses pengumpulan data dan informasi, diskusi, hingga penyusunan – penulisan, yang tidak mudah serta tidak dalam waktu yang singkat. Untuk itu, apresiasi sangat patut dan wajar disampaikan kepada penulisnya.
 
***
Dikutip dari yang disampaikan penulisnya ; “Pada edisi ini perlu diberikan beberapa catatan klarifikasi. Dalam bab 1 sampai bab 11, penulis menggunakan nama Maluku untuk menggantikan Maluku Utara. Pergantian ini bukanlah tanpa alasan.“ (Selanjutnya disampaikan alasan berdasarkan sejarah nama dimaksud) ….. “Apabila di sana sini nama tersebut masih ditulis dengan Maluku Utara, ……., maka yang dimaksudkan adalah Maluku seperti dalam pengertian historis yang disebutkan di atas, yang juga sesuai dengan perkembangan sejarah ketatapemerintahan di kawasan ini sejak awal abad ke-19.”(Catatan Penulis  Untuk  Edisi  Revisi, hal.vi).
 
Diksi narasi yang ditulis memang tidak secara terbuka mengemuka maksud bahkan inti niat yang mungkin ingin dituju, tetapi tafsir bahasa mengindikasikan bahwa nama Maluku tidak seharusnya digunakan – lagi, pada tempat atau wilayah lain, selain yang dimaksudkan adalah hanya untuk rangkaian pulau – Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan kepulauan Bacan. Yang bersangkutan mengklarifikasi penggunaan nama pada edisi terbitan 2(dua) jilid sebelumnya, nama “Maluku Utara” – seharusnya, diganti dengan “Maluku” dalam edisi revisi dan penggabungan jilid I & II. Penulisnya seperti tersadar, telah melakukan kesalahan atau kekeliruan, sehingga perlu diklarifikasi.

Menjadi kontradiksi, ketika nama itu coba di”aneksasi” untuk dikembalikan dengan beralasan pada sejarah nama tersebut. Dan bukan tidak ada yang tidak tau – tentang latar belakang sejarahnya, ketika diterima dan digunakan untuk menamai wilayah ini – Maluku saat ini. Untuk yang selama ini mengenali atau mengenalkan identitas diri dan asal-usul nama wilayahnya sebagai Maluku – di luar yang dimaksud penulis buku dimaksud, mungkin juga sengaja melupakan bahwa nama itu beraura kolonialisme. Sebab bukan tidak memiliki nama sebagai identitas sendiri, karena Seram, Buru, dan seterusnya hingga di ujung selatan, adalah wilayah pemukim ber-etnis Alifuru dan ber-ras Melanesia, sama dengan penduduk asli pulau Halmahera di bagian utara.
 
Akan menyesatkan, apabila makna nama tersebut dengan sengaja kembali dipersempit ruang lingkup wilayah cakupannya. Efeknya bakal bisa akan berimplikasi kepada sikap antipasti dan reaksi untuk mendudukkan ulang apakah masih atau sudah tidak perlu menggunakan nama dimaksud. Apalagi dikilas balik ke masa lalu – merujuk alasan sejarah yang diulas (hal. 3-6) ; Asal-usul Nama "Maluku," simpulan nama dimaksud sesungguhnya adalah nama warisan kolonial kerajaan-kerajaan lokal di bagian utara, yang lalu dipakai secara formal oleh kolonial bangsa-bangsa Eropa, kemudian jadi warisan bagi negara Indonesia – yang juga merupakan wilayah warisan kolonial Belanda, diadopsi untuk nama provinsi.
 
****

Sedikit beralih dari persoalan “sengketa” nama Maluku – yang bagi William Shakespeare tentu bermakna paradoks, ketika Juliet berkata kepada Romeo ; “apa arti sebuah nama” - harum mawar tetaplah harum mawar, kalaupun mawar berganti dengan nama lain." Dalam hubungan ini sejarah nama ternyata jadi tidak seharum rempah-rempah, sebab ada bagian yang hilang tetapi bakal ketemu juga akhirnya dengan nama lain yang bebas sengketa. Tetapi agar pandangan lebih detail yang dimaksud dengan “Kepulauan Rempah-rempah”, maka nama(istilah) ini pun perlu diurai. Istilah yang maknanya menerangkan gugusan pulau – kepulauan, dengan lebih dari satu jenis rempah-rempah. Bukan hanya cengkeh yang awalnya ada di utara, tetapi juga pala yang bukan berada di utara tetapi ada di Banda – tengah selatan.
 
Tetapi sejarah Kepulauan Rempah-rempah yang ditulis, peran rempah-rempah pala yang hanya ada di Banda dan yang sudah begitu ramai dengan aktifitas perdagangan serta sibuknya lalulintas pelayaran niaga setidaknya 100 tahun sebelum Portogis hadir di Banda, tidak termasuk dari yang ditulis.
 
Bisa jadi karena Banda letaknya jauh di selatan – tengah, bahkan masih melewati kepulauan Seram Laut, pulau Seram, dan Buru. dari letak wilayah Maluku yang dianeksasi sesuai maksud penulisnya. Menjadi narasi yang kontraversial dengan apa yang dikatakannya – dalam keterangan tambahan ; - “tidak mengetahui bahwa Banda adalah sebagian dari Maluku” (hal. 5). Mungkin yang dimaksud, Banda sebagai salah satu koloni – taklukan Ternate?  Satu dari pesan sejarawan Adrian B. Lapian dalam bagian pengantar - yang sepertinya masih berharap dikemudian hari akan memperoleh suatu kisah yang komprehensif(vii), dari kerajaan Ternate(hal.6).
 
*****
Mempertimbangkan kembali sejarah, klarifikasi dan latar belakang penulis yang “bukan orang biasa-biasa saja”, serta tafsir – prakiraan bukan cuaca, maksud sang penulis, bukanlah sesuatu hal yang biasa-biasa saja yang boleh diabaikan. Adabnya, implikasi kehormatan atas penggunaan nama oleh yang “bukan pemilik”, itu tidak pantas dan tentu memalukan. Kecuali bermaksud ingin tetap dipertahankan – walau memalukan, sebagai apresiasi terhadap salah satu warisan kolonial dengan cara memelihara nama dimaksud. Selain merasa pantas saja dengan nama itu tetap disematkan sebagai suatu epos romantis, agar bisa terus bernostalgia dengan “masa-masa indah” bersama kaum kolonial.
 
Mīlle viae dūcunt hominēs per saecula Rōmam,” Alain de Lille ; Liber Parabolarum, 591 (1175), yang berarti "adalah seribu jalan membimbing orang selamanya ke Roma, ya “banyak jalan ke Roma”, bilamana tidak direlakan nama Maluku untuk tetap digunakan, maka tempuhlah jalan yang arahnya jelas dan pasti, yaitu kembali ke “asal” keaslian, ini juga berdasarkan sejarah dan lebih tua usia dari usia Maluku. Ke mana lagi, kalau bukan Alifuru. Sampai di sini, cukup diselesaikan dengan TITIK!

Alifuru Seram, 16/01/2020
M. Thaha Pattiiha

-----------

Ralat ; Bagian pertama paragraf ketiga kalimat ke-dua, sebelumnya tertulis ; 

Maluku adalah nama yang dipakai pertama kali oleh bangsa kolonial Eropa dan seterusnya untuk menyebut”. 

Friday, January 10, 2020

PARADOKS INTEGRASI BERNEGARA, PROLOG SUMBANG SEBAGAI ORANG MALUKU

Oleh ; M. Thaha Pattiiha
Paradoks Integrasi Bernegara, Prolog Sumbang Sebagai Orang Maluku
Ilustrasi ; Paradoks Integrasi Bernegara, Prolog Sumbang Sebagai Orang Maluku (mth_@embun01/10012020)

 
               Negara Indonesia tahun ini – 17 Agustus 2020, akan memasuki usia proklamasi kemerdekaannya yang ke – 75 tahun, sekaligus adalah usia terbentuknya negara Indonesia. Seumur itu bagi usia manusia normal sudah pada level sangat tua, sudah melewati dan melakukan banyak hal termasuk sudah akan mewariskan sesuatu – hal positif dan berguna, kepada anak-cucunya. Tetapi tulisan ini tidak membahas perbandingan antara usia negara dan usia manusia, yang tentu relatif ukurannya. Kecuali, suatu prolog aspirasi dari sudut pandang sebagai Orang Maluku terhadap perlakuan yang masih belum cukup memenuhi – “balas budi”, kewajibannya setara kapasitas kontribusi Maluku kepada negara Indonesia. Beberapa hal dari tulisan ini, ada yang sudah sering dinarasikan pada tulisan sebelumnya. Sengaja diungkap ulang, karena terbaca belum ada tanda-tanda menuju perubahan berarti, apalagi bila di flashback - sorot balik, selama - 75 tahun, masa integrasi sejak tanggal 19 Agustus 1945 sebagai salah satu provinsi awal negara Indonesia. 
*

          Komitmen untuk berintegrasi dalam suatu kesatuan bernegara, adalah agar bersama meraih kesejahteraan, dalam porsi yang juga sama. Bersama menjalani kesulitan dan menanggung kesusahan, bersama pula mendapatkan kebaikan dan menikmati kesenangannya. Kehidupan bernegara, sama halnya – contoh sederhana, kehidupan berumah tangga. Atas dasar ingin hidup bersama, maka bersama pula menjalani kehidupan susah dan senang. Keseimbangan itu harus terjaga, agar tidak ada pihak yang susah sendiri atau senang sendiri, tidak ada pihak yang hianat, sebab akan menimbulkan pertengkaran. Solusi pertengkaran bisa mudah, bisa juga sulit diselesaikan, kadang bisa berakibat masing-masing atau satu pihak memilih jalan berpisah. Itulah kehidupan, semua ingin hidup nyaman dan bahagia, tidak terkecuali dalam bernegara.


Negara Indonesia dibentuk oleh ratusan suku dan bangsa, yang sebelumnya telah memiliki latar belakang sejarah, budaya, dan sosial masing-masing yang saling berbeda. Bukan sesuatu yang mudah dan serta merta dapat secara nasional berintegrasi dalam sebuah negara tanpa syarat dan alasan menurut kepentinganya masing-masing. Integrasi nasional (national integration), hanya dapat terjadi, bila prosesnya berlangsung dengan sadar dan rela, disertai hasrat secara politis maupun antropoligis ingin bersatu dalam sebuah negara, seperti negara Indonesia yang asal usul warga negaranya sangat beragam.


Usaha integrasi nasional sebagai suatu kesatuan bernegara tidak dapat dilakukan dengan cara paksa – kekerasan dan atau jargon dengan makna yang membingungkan, melalui kebijakan politik, apalagi tindakan represif bersenjata, karena akan meninggalkan luka – dendam, hingga sampai memunculkan sikap perlawanan kepada negara. Itu merupakan pola integrasi koersif, sebab mengandalkan pola pendekatan politik kekuasaan. Pola integrasi koersif bagi Indonesia harusnya bukan pilihan – kecuali mau dipaksakan, karena beberapa konvensi internasional tentang hak azasi manusia yang sudah pula diratifikasi Indonesia, menegaskan jaminan pada kebebasan untuk memilih kehidupan tersendiri apabila dirasa hak-hak azasinya disepelekan atau tidak mendapat perlakuan yang adil.


Jargon pola integrasi bernegara dengan mengusung slogan, misalnya ; “jangan tanya apa yang sudah diberikan negara kepada anda, tetapi tanyalah apa yang sudah anda berikan kepada negara.” Kadang dibumbui pesan politis bahwa yang demikian menunjukkan sikap nyata cinta tanah air - patriotism. Bukan masalah, apabila negara sudah sempurna memenuhi kewajibannya dengan berlaku adil kepada setiap warga negara, terpenuhi hak-haknya untuk hidup sejahtera.


Harus ada keseimbangan yang rasional dan mendidik, bukan terselubung melalui kebijakan politik kekuasaan patut dipertanyakan, sehingga jargon seperti tersebut di atas bila dibalik dari yang tersirat adalah ; “biar miskin, tetap semangat”, “biar lapar, tetap maju tak gentar”.  Orang lagi susah, lagi lapar “dipaksa” tetap bersemangat? Tentu dalam konteks kejiwaan keyakinan agama berbeda dengan kehidupan bernegara. Secara agamis, seseorang bisa bersabar dan tabah pada apapun masalah atau kesulitan yang diyakini sebagai bentuk cobaan yang bersumber dari Tuhannya. Sebaliknya tidak akan mudah dan begitu saja menerima dan dianggap tidak rasional dalam konteks bernegara. Di kala rakyat menyaksikan adanya kondisi paradox di kehidupan sosial kesehariannya. Betapa jauh perbedaan antara sebagian kecil warga negara yang sangat kaya dan memamerkan kemewahan hidupnya, sementara begitu banyak warga negara yang sekadar untuk makan saja begitu sulit, belum lagi tuntutan kebutuhan akan tempat tinggal, kesempatan kerja, kesehatan, pendidikan, dan apalagi rekreasi.


Patriotisme tidak butuh upaya paksa, karena itu panggilan nurani secara sadar dan lahir dari dalam diri seorang warga negara oleh rasa cinta yang tulus. Bisa saja diajarkan, dikampanyekan, tetapi tidak dengan doktrin yang bersifat instruksional apalagi komando – diperintah. Patriotisme lahir dari perlakuan negara yang benar-benar bijak dan adil memenuhi hasrat dan hajat setiap warga negara tanpa kecuali. Kebijakan yang melahirkan kesadaran penuh setiap warga negara untuk mencintai negaranya, yang dengan sendirinya secara kejiwaan terpanggil ikut serta bahkan rela berkorban – apa saja termasuk nyawa, demi membela dan mempertahankan negaranya dari gangguan dan ancaman, baik dari dalam maupun dari luar.


Cara paksa integrasi bernegara tanpa ada imbal baliknya hanya akan menyuburkan pola pikir perlawanan yang berbentuk separistisme, selain makin memperkuat sikap primordial yang bersifat etnosentrisme. Fakta yang terjadi apabila pola paksa integrasi diterapkan tanpa keseimbangan dalam pemenuhan hak-hak kelayakan yang paling azasi dari suatu kelompok suku maupun bangsa oleh negara. Fakta lain, apabila jurang pemisah dibiarkan melebar akibat ketimpangan perlakuan kepada hanya suatu suku-bangsa tertentu, yang dimaknai sebagai sikap tidak adil oleh negara.


**

          Separatisme di Indonesia, kecuali Aceh dan Papua yang cukup lama penyelesaiannya oleh negara Indonesia, sedangkan di Maluku sudah dimatikan sebelum sempat berkembang dan tidak berumur panjang. Gerakan separatis di ketiga wilayah kaya SDA ini pun sudah sempat memproklamasikan “negara” bentukannya.  Masing-masing memiliki alasan pada latar belakang sejarah dan kebangsaan – ras, yang dianggap berbeda dengan umumnya suku-bangsa Indonesia lainnya. Selain merasa sangat percaya diri bisa lebih baik kehidupannya karena memiliki kekayaan SDA – Timor Timur contohnya - sekarang menjadi negara merdeka bernama Timor Leste.

 
Namun “bibit separatisme” masih bisa akan hidup kembali seiring perlakuan negara yang sebaliknya malah menumbuhkan hingga makin menyuburkan bibit tersebut, yang dapat menjadi ancaman bagi usaha memfinalkan sistem integrasi nasional NKRI. Namun demikian, separatis bagi suatu negara sudah pasti dianggap “haram” hukumnya, sebaliknya tidak bagi pelaku separatisme, karena menganggap hukumnya “halal”.

 

Tiga wilayah yang ditandai sebagai zona merah gerakan separatisme di Indonesia, dalam hal tindakan oleh aparat keamanan negara, agaknya berbeda antara yang dilakukan kepada Aceh dan Papua, dengan tindakan kepada Maluku. Di Maluku, seseorang yang hanya menyimpan bendera separatisnya, bisa menjadi terpidana makar, sementara pengibaran bendera pada dua wilayah lainnya bahkan pernah hingga di depan pusat pemerintahan negara, dibiarkan.

 
Adanya gerakan separatis dikatagorikan sebagai musuh – pemberontak, karena dapat merusak kesatuan dan keutuhan wilayah kekuasaan suatu negara. Sesungguhnya separatisme tidak mungkin muncul, hingga berkembang luas, ketika hak-hak selaku warga negara untuk kehidupan layak telah terpenuhi oleh negara. Dengan demikian tidak lagi terkendala integrasi nasional, alami berproses tanpa perlu upaya paksa oleh negara. 

***

          Kapasitas Maluku dalam kontribusinya kepada negara Indonesia sebanding dengan Aceh.  Sama-sama sudah berawal sebelum nama Indonesia disematkan kepada gugus kepulauan yang membentang antara benua Asia dan benua Australia, sampai menjelang proklamasi kemerdekaan hingga terbentuk negara bernama Indonesia. Bila Aceh punya Teuku Umar dan lain-lain, plus perempuan perkasa Cut Nyak Dien, Maluku punya Sultan Nuku dan Kapitang Pattimura dan banyak lagi, plus perempuan kabaresi Christina Martha Tiahahu. Makin sempurna, karena Maluku adalah satu dari provinsi-provinsi awal pendukung proklamasi kemerdekaan dan awal berdirinya negara Indonesia. Belum lagi, potensi kekayaan SDA wilayah Maluku, telah banyak menyumbang untuk menopang perekonomian dan penguatan pembiayaan pembangunan negara Indonesia.

 
Maluku diposisikan seakan tidak memiliki kapasitas bernilai apa-apa, sehingga sangat berbeda perlakuan negara tidak sebagaimana kepada Aceh, apalagi Papua yang baru beintegrasi dengan negara Indonesia setelah melalui Pepera – Penentuan Pendapat Rakyat, tahun 1969. Aceh dan Papua begitu dimanjakan dengan kebijakan yang bagi Maluku begitu berbeda jauh – sejarak bumi dan langit. Maluku dimarjinalkan – “dianak-tirikan”, seperti sadar dan sengaja. Dalam hal pembagian porsi anggaran negara bagian Maluku, disamaratakan dengan wilayah lain yang dihitung besarannya berdasarkan jumlah penduduk dan luas wilayah daratan. Seperti itu sudah pasti berakibat buruk bagi Maluku, kucuran dana pembangunan jadinya sangat minim. Makin sempurna perlakuan negara, karena sengaja dan sadar mengabaikan nilai-nilai positif dan plus Maluku kepada negara, juga menutup mata, hati, dan pikiran, terhadap masalah yang menjadi kendala percepatan pembangunan Maluku. 
Belum tentu juga dipastikan dana porsi Maluku saat ini sampai kapan mampu mengakhiri nasib tertanggung selama puluhan tahun sebagai Provinsi Termiskin di Indonesia.

 
Maluku mengalami kemiskinan akibat kebijakan negara yang tidak meluaskan peluang untuk Maluku mampu membangun dirinya dengan mengandalkan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Anggaran daerah lebih banyak hanya diperuntukkan bagi belanja pegawai, pimpinan daerah – pejabat politik eksekutif dan legislatif. Terkuras di tingkat “elit daerah” – rakyat Maluku yang digaji negara, tetapi tanpa produktifitas kenerja berarti untuk terbukanya peluang-peluang bagi rakyat membangun kemandirian dan mampu keluar dari perangkap kehidupan miskinnya. Anggaran untuk belanja pembangunan, diperkirakan tidak lebih dari dua puluh persen dalam angka yang tidak seberapa dibanding jumlah yang dibutuhkan. Akibatnya, benar-benar teori Malthus - Thomas Robert Malthus; “Laju pertumbuhan penduduk itu seperti deret ukur, dan laju pertumbuhan pangan – pembangunan dan pengentasan kemiskinan, seperti deret hitung" - “The Progress of Wealth” - Principles of Political Economy (1820), terbukti - dalam konteks ini, terimplementasi di Maluku. Kemiskinan Maluku pun yang merupakan kemiskinan struktural – bukan absolut, tetap berlangsung yang sepertinya akan abadi, karena tidak pasti diperkiran kapan terentaskan.

Miris menyaksikan sebagian rakyat Maluku mengalami kemiskinan akibat kebijakan politik negara yang seperti mengabaikan “jasa” Maluku kepada negara Indonesia. Tentu ada juga kebaikan negara, khususnya ribuan Orang Maluku yang diberi kesempatan dan peluang di ibukota negara Indonesia – Jakarta, untuk bekerja sebagai preman penagih hutang, body guard, penjaga property, dan pekerjaan andal otot lainnya. Profesi yang terpaksa dijalani, karena di negeri asalnya di Maluku bukan tidak memiliki apa-apa, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa, karena tidak tersedia apa-apa, untuk bisa melakukan apa-apa menjadi sesuatu apapun yang berarti untuk memenuhi apapun kebutuhan hidupnya.

 
Kesulitan yang mendera Maluku begitu kompleknya, akses antar wilayah dan pulau, mahalnya biaya-biaya - apalagi biaya transportasi, pendapatan harga jual hasil bumi yang sangat rendah – komoditi ekonomis, hasil perkebunan, pertanian, perikanan dan hasil laut, selalu saja mendapatkan harga yang tidak pantas hingga tidak dapat terjual. Harga berlaku komoditi ditentukan pembeli, tanpa ada perhatian negara – pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Mungkin karena Indonesia sudah benar-benar menganut ekonomi pasar bebas – liberalism – capitalism, rakyat yang menerima dampak buruknya. 

****

          Sebagai komunitas minoritas secara demografi dibanding dengan komunitas suku dan bangsa yang lain di Indonesia, Maluku merasa sudah dan masih sering menjadi “korban politik kebijakan” pemerintahan negara Indonesia. Maluku yang wilayahnya kaya sumber daya alam, dengan jumlah penduduk yang minim, sangat tidak dapat diterima akal sehat – suatu kondisi paradoks kehidupan bernegara, ketika menyaksikan fakta SDA masif dikuras – dieksploitasi, oleh negara tetapi rakyat Maluku masih saja ada yang miskin, sengsara hidupnya. Dan orang yang “sengaja” dimiskinkan, suaranya memang sumbang.
 
Kampung Bulak, 11/01/2020

Wednesday, January 1, 2020

Happy New Year 2020

Hunimua Beach (Hunimua Strait), Liang, Ambon Island

Hunimua Beach (Hunimua Strait), Liang, Ambon Island 
(Photo; M. Thaha Pattiiha)