Alifuru Supamaraina: February 2020

Monday, February 24, 2020

IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU

Oleh : M. Thaha Pattiiha

  IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU
Antara Alifuru dan Maluku/Ilustrasi(Foto Dok.Grafis:mth_@embun01, 20022020)
Etnis Alifuru dan nama Maluku, dua hal dalam sengketa sejarah dan identitas. Masing-masing bermakna beda dalam satu bidang pigura, tetapi bukan seperti mozaik yang berkomposisi dalam paduan serasi sehingga hasilkan keindahan. Bagi Alifuru - dalam tulisan ini menunjuk kepada “etnis” Alifuru, bagian-bagian mozaiknya masih terselip di dalam baju Maluku. Akan terus diperjuangkan untuk dikembalikan, agar ditata ulang yang bukan lagi suatu lembaran mozaik, tetapi sebuah lukisan realisme yang utuh tanpa cela dan garis pemisah. Bila pun ada kalangan yang terganggu “kenyamanannya” oleh beberapa tulisan yang fokus mengungkap “borok” yang selama ini dalam banyak sejarah yang ditulis tentang Maluku - Maluku Utara, yang lebih menonjolkan kesan baik, agung, masyhur, manis, hingga romantis - umumnya demikian - tidak umum bila mengungkap yang sebaliknya. Wajar saja, tetapi bukan acuan pertimbangan merubah ritme yang sudah menemukan notasinya. Menyadari jati diri selaku salah satu anak adat Alifuru, terikat tanggung jawab moral untuk tidak sengaja mengabaikan masa lalu, karena merupakan pedoman arah guna menata jejak ke masa depan. Di dalam keyakinan menurut mithologi kosmos adat Alifuru, terdapat implikasi dampak, bilamana mengetahui sejarah dan warisan tatanan adat telah dirusak tetapi sengaja diabaikan anak-anak adat.

Sejarah dengan konotasi kala nama Maluku - pengertian nama dalam tulisan ini, adalah sejarah kolonisasi dan imperialis kepulauan serta perbudakan - bahkan genosaide, terhadap Alifuru. Hal itu yang terekam dalam memori ingatan melalui sejarah yang belum lama ditulis - bacaAdnan M. Amal, 2010, Kepulauan Rempah-rempah: Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250-1950. KPG - Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta., - “catatan sejarah yang jujur”.  Sebab selama masa kolonisasi dan imperialisasi berlangsung - setidaknya lebih dari 400 tahun oleh bangsa Eropa plus Jepang bersama imperium lokal dari utara - masa sejarah kala Maluku, hak-hak kepemilikan, hak kemerdekaan hidup dan kehidupan, serta warisan kekayaan budaya Alifuru sengaja dimarjinalkan, bahkan berusaha dihapus - dimatikan. Sebaliknya sejarah Alifuru, kalaupun pernah ditulis, terbaca seperti terpaksa - mungkin karena kesulitan membahasakan atau tidak menemukan cara dan istilah pengganti.

Kebudayaan yang lahir dari rahim komunitas Alifuru, sekaligus gambaran betapa hebat - secara intelektual, bijak, dan mulia catatan keunggulan kemampuan daya cipta. Pencapaian hebat yang sudah lahir jauh waktu sebelum tiba masa kegelapan di era kala Maluku dulu, juga hingga kini. Sejumlah kekayaan warisan tak benda Alifuru, seperti Bahasa Tana dan bahasa-bahasa lokal, nama Matarumah - fam - marga, budaya Pela-Gandong, falsafah Patasiwa-Patalima, budaya Kapitang, Sistem dan struktur Pemerintahan Adat, Hukum Adat, budaya rumah adat Baileo, budaya Batu Pamali, sistem Hak Ulayat - Petuanan - Dati, budaya Kalwedo - nilai adat yang menjalankan tradisi hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilietaHukum Adat Larvul Ngabal, budaya Dua Lolat  - serta Upacara Fangnea Kidabelabudaya Ursiuw dan Urlim  - dengan berkembangnya tradisi Letay - sementara di masyarakat yang jauh dari pusat keramaian atau perkotaan disatukan dalam budaya Sitakaka Walike, hingga budaya rumah adat Hibua Lamo  - berkonsep Nanga Tau Mahirete - dalam filosofis Ngone O'Ria DodotoBudaya SasiHawear, dan Matakau.

Kekayaan warisan benda, berupa hutan-hutan lebat di rimba belantara semua pulau - khususnya pulau-pulau besar. Hutan adalah jiwa dan kehidupan Alifuru, sehingga sangat dilindungi. Ribuan tahun kekayaan warisan benda seperti hutan yang juga habitat hewan, burung-burung “surga”, aneka tumbuh-tumbuhan endemik dan khas, aliran sungai, kali, dan  danau dijaga kelestariannya seperti memelihara hidup dan kehidupannya. Merusak alam sama saja menyumpahi dan merusak “rumah kediaman” para leluhur Alifuru, dan hal itu dapat berdampak buruk bagi lingkungan kehidupan dan perjalanan hidup komuniti di sekitarnya. Belantara hutan dengan potensi kayu luar biasa yang mengundang para pencari untung leluasa hadir dengan berbekal “sepotong surat ijin” dari penguasa politik berbaju Maluku, dan aneksasi paksa kekuasaan negara, lalu merampoknya secara formal.

Kekayaan kebudayaan warisan takbenda dan warisan benda milik Alifuru sekarang dieksploitasi sedemikian rupa - tanpa menyebut asal-usul atau sumber, untuk kepentingan kekuasaan dan pemerintahan, politik, ekonomi, bahkan agama. Agar tidak terbaca hanya menjiplak - hak cipta dan hak intelektual Alifuru, sengaja direkayasa sejarahnya agar nampak berbeda lalu dikenakan sebagai “baju Maluku”. Baju sejarah karena milik orang lain tentu bisa longgar, sesak, atau malah robek. Seperti itu bila bukan milik, malah terlihat lucu karena tidak cocok. Dan bila dibuka, akan terlihat baju tersebut label aslinya beridentitas Alifuru. Sudah sangat lama identitas sang pemilik - nama - sejarah - kekayaan budaya - hak kepemilikan sumber daya alam, yakni Alifuru, disembunyikan di dalam baju “palsu” Maluku. Berlangsung selama masa-masa ekspansi dan aneksasi wilayah Alifuru menjadi wilayah koloni – jajahan, oleh Maluku - hingga saat ini pun belum berakhir. Kanalisasi hingga marjinalisasi terhadap eksistensi Alifuru hampir saja menguburkan dan menghapus identitasnya. Mungkin karena para leluhur sengaja mengambangkan situasi hingga saatnya dengan momentum yang tepat untuk bangkit. Fenomena itu sekarang bersinergi yang secara bertahap terus menemukan alur dan terbangun jaringannya. Kesadaran politik anak adat atas hak-hak komunal Alifuru adalah keniscayaan, yang sebaliknya tidak elok bagi pihak tertentu. Menguatnya politik identitas Alifuru sebagai ciri yang melekat dan menunjukan jati diri adalah fenomena positif, yang bila sekarang dianggap menemukan ruang dan momentum untuk bersuara, hal demikian karena mulai muncul kesadaran atas perasaan adanya perbedaan-perbedaan. Rasa yang berbeda menjadi otherness - Connolly, William, 2002, Identity \ Difference: Democratic Negotiations of Political Paradox, Minneapolis: University of Minnesota Press: 64, untuk mengamankan kepastian dan menguatkan identitas diri bahwa etnis Alifuru juga memiliki martabat sebanding dengan etnis yang lain, bahkan memiliki nilai lebih.
Baca juga ; 
Alifuru; Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial
Selama ini potensi eksistensi dan identitas politik Alifuru dipolitisasi oleh kekuasaan politik hanya sebagai “kantong suara”, setelah itu dimarjinalkan dan dibungkamkan, hak-hak adat dan hak azasi tradisionilnya diabaikan dan malah  dikriminalisasi. Sumber daya alam Lingkungan adatnya masif dieksploitasi yang tidak utama demi kepentingan komunitas bersangkutan. Komunitas adat Alifuru sudah sejak lama diperlakukan sebagai budak dan sumber daya alam wilayah adatnya dieksploitasi dengan rakus oleh kolonialis, dan imperialis. Mau sampai kapan lagi. Saatnya diakhiri, sehingga wajar bila Alifuru berusaha memperjuangkan hak-hak politiknya yang sebelumnya sengaja diberangus. “Apa yang membuat politik identitas berbeda secara signifikan dari bentuk-bentuk awal politik pengenal pra-identitas, adalah tuntutannya untuk pengakuan berdasarkan pada dasar di mana pengakuan sebelumnya telah ditolak.  Tuntutannya bukan untuk dimasukkan dalam kesatuan “umat manusia universal” berdasarkan atribut manusia yang dimiliki bersama; juga bukan untuk menghormati “meskipun ada perbedaan”. Sebaliknya, apa yang dituntut adalah menghargai diri sendiri sebagai berbeda.” - Kruks, Sonia, 2001, Retrieving Experience: Subjectivity and Recognition in Feminist Politics, Ithaca, NY: Cornell University Press: 85. Bagi banyak pendukung politik identitas, permintaan akan keaslian ini mencakup seruan kepada masa sebelum penindasan, atau budaya atau cara hidup yang dirusak oleh kolonialisme, imperialisme, bahkan genoside. Dalam pembelaannya untuk kembali ke nilai-nilai adat tradisional, Taiaiake Alfred berpendapat bahwa: Sistem tata kelola masyarakat adat mewujudkan nilai-nilai politik yang berbeda, sangat berbeda dari nilai-nilai arus utama. Gagasan Barat tentang dominasi (manusia dan alam) secara nyata tidak ada; di tempat mereka kita menemukan harmoni, otonomi, dan rasa hormat. Kami memiliki tanggung jawab untuk memulihkan, memahami, dan melestarikan nilai-nilai ini, tidak hanya karena mereka mewakili kontribusi unik untuk sejarah gagasan, tetapi karena pembaruan rasa hormat terhadap nilai-nilai tradisional adalah satu-satunya solusi abadi untuk masalah politik, ekonomi, dan sosial yang menimpa orang-orang kita.” - Alfred, Taiaiake, 1999, Peace, Power, and Righteousness: An Indigenous Manifesto, Oxford: Oxford University Press: 5.


Terdapat 2(dua) versi yang saling berbeda latar belakang alasan ketika mengenalkan nama untuk wilayah kepulauan di antara kepulauan dan pulau Papua di timur dan kepulauan dan pulau Sulawesi di barat, samudera Pasifik -negara Palau - di utara, dan benua Australia di selatan. Versi “Maluku”, adalah penamaan baru yang secara sepihak dipaksakan untuk digunakan serta dikenalkan guna kepentingan tata administrasi kekuasaan wilayah koloni dan imperial - jajahan. Versi “Alifuru” - atau sebutan sejenis yang lain serta pengertian bangsa - suku - etnis, sila baca; “Etnis dan Nama Alifuru” dalam Maluku Dan Alifuru Dalam Dilema Nama Yang Tertukar, adalah versi paling jujur dan sangat benar, sebab memperkenalkan bukti sesungguhnya tentang nama identitas manusia pribumi pemukim wilayah kepulauan dan perairan laut di barat New Guinea atau Papua adalah etnis Alifuru. Karena itu, bagian perairan terluar wilayah dimaksud dinamai dengan nama yang sama dengan nama etnis pribuminya, yaitu laut Arafura atau Arafuru. Bila demikian, betapa telah membodohi diri sendiri - sesuatu yang memalukan, mempertahankan - “basandar matarumah orang”, dan meneruskan nama - matarumah, Maluku.  Nama dengan berbagai catatan kejahatan dan sejarah kelam etnis Alifuru masih digunakan, sementara identitas pribuminya terus digelapkan.

Dari tulisan tentang Maluku Dilema Nama Warisan Kolonial, kemudian disusul tulisan berikutnya sebagai uraian yang lebih detail dengan alasan dan tambahan sumber ilmiah, melalui tulisan; Maluku Dan Alifuru Dalam Dilema Nama Yang Tertukar, muncul kesan - dari sekian komentar via media sosial, ada yang keberatan dengan beban yang menyertai perubahan nama tersebut. Itu sudah pasti seperti itu, selain kesulitan mengganti nama tersebut dengan entah nama apa, tidak juga sekejap mata, dan tentu butuh biaya yang tak terhingga. Hanya seperti itu, betapa tidak seberapa besar beban dan sekejap pula mampu menghapus trauma masa lalu yang dialami Alifuru. Dalam hal ini, dikecualikan bagi sebagian Alifuru yang ikut - bergabung dengan bangsa kolonial dan imperialis, menikmati kesenangan hasil kolonialisasi dan imperialisasi di atas penderitaan pribumi Alifuru. Dikatakan akan ada beban “kerepotan” serta biaya, memang ada, kecuali tidak terdapat atau tidak pernah ada setingkat daerah di Indonesia atau negara di dunia yang mengalami pergantian nama.
IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU
Terdapat 3(tiga) cara melemahkan dan menjajah suatu bangsa pertama; kaburkan sejarahnya, kedua; hancurkan bukti-bukti sejarahnya sehingga tidak bisa lagi diteliti dan dibuktikan kebenarannya, dan ketiga; putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya dengan mengatakan jika leluhurnya itu bodoh dan primitif - Architecs of Deception - Secret History Freemasonry -tribunrakyat.com (12/12/2012).  Konsep kolonialias dan imperialis memang demikian, dan hal itu memiliki dasar pemikiran sebagai alasan. Seperti itu pula kenapa ada kolonisasi, Ir. Soekarno menjawab begini: "jang menjebabkan kolonisasi itu bukanlah keinginan pada kemasjhuran, bukan keinginan melihat dunia asing, bukan keinginan merdeka, dan buka pula oleh karena negeri rakjat jang mendjalankan kolonisasi itu ada terlampau sesak oleh banjaknja penduduk, -sebagai jang diadjarkan oleh Gustav Klemm-, akan tetapi asalnja kolonisasi jalah teristimewa soal rezeki. Jang pertama-tama menjebabkan kolonisasi jalah hampir selamanja kekurangan bekal hidup dalam tanah airnja sendiri", begitulah Dietrich Schafer berkata. Kekurangan rezeki, itulah jang mendjadi sebab rakjat-rakjat Eropah mentjari rezeki dinegeri lain! Itulah pula jang menjadi sebab rakjat-rakjat itu mendjadjah negeri-negeri, dimana mereka bisa mendapat rezeki itu. Itulah pula jang membikin "ontvoogding"-nja negeri-negeri djadjahan oleh negeri-negeri jang mendjadjahnja itu, sebagai suatu barang jang sukar dipertjajainja. Orang tak akan gampang-gampang melepaskan bakul-nasinja, djika pelepasan bakul itu mendatangkan matinja". Begitulah tragiknja riwajat-riwajat negeri-negeri djadjahan! Dan keinsjafan akan tragik inilah jang menjadarkan rakjat-rakjat djadjahan itu. - Ir. Soekarno, Di Bawa Bendera Revolusi, hal. 1-2, dalam Beta Boetje, 2015, Kenapa Ada Kolonisasi, fb.
IDENTITAS ALIFURU DALAM BAJU POLITIK MALUKU
Sejarah dan kebudayaan Alifuru saatnya dikembalikan untuk didudukkan secara proporsional. Tetapi harus dijauhkan dari maksud untuk diagung-agungkan atau untuk disombongkan - sangat dilarang sesuai petuah adat, karena hal itu tidak dikehendaki para Datuk dan Nenek-moyang. Dan untuk nama “Maluku” samasekali tidak bermakna apapun dalam literasi tatanan adat komuniti etnis Alifuru. Nama itu miskin - bahkan papah, dari norma dan nilai hukum adat yang menyertai berupa hak kepemilikan petuanan atau hak ulayat. Sudah tidak ada relevansinya nama “Maluku” untuk terus dipakai dan dipertahankan, sudah kehilangan esensi dan makna positifnya, sementara bersarung baju - saat ini, beridentitas sejarah dan kebudayaan Alifuru.

Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did”, artinya:Milik orang lain tetap jadi miliknya, dan milik kita tetap jadi milik kita.” - Hukum Hawear Balwirin - bagian ke-7(tujuh) Hukum Adat Larvul Ngabal - Kepulauan Key.

Depok, 22/02/202

Sumber Bacaan  Online:
-          plato.stanford.edu
-          acedemia.edu
-          semanticscholar.org
-          openscholarship.wustl.edu

Sunday, February 23, 2020

TUGAS DAN FUNGSI DEWAN ADAT

Oleh ; M. Thaha Pattiiha
TUGAS DAN FUNGSI DEWAN ADAT
Ilustrasi Dewan Adat (grafis;@mth_embun01/23022020)
Setelah ide*) tentang Dewan Adat dihaturkan ke publik, khususnya dalam jaringan komunitas “anak adat”. Sungguh mendapat tanggapan, dan sambutan positif, yang intinya sangat mendukung ide tersebut. Sesuatu yang diharapkan dari tujuan ide itu diperkenalkan ke hadapan khalayak - masyarakat, khususnya anak adat.
Maka itu, beta lebih lanjut ingin mencoba merekayasa mekanisme pembentukkannya dan menjelaskan fungsi Dewan Adat sebagai aspirator, mediator, dan fasilitator Masyarakat Adat, dan bidang tugas yang menjadi wewenang dan tanggung jawab serta area kuasa kedudukan formal setelah Dewan Adat sudah dibentuk dan dinyatakan resmi bertugas.
Dewan Adat sudah umum dikenal dan dibentuk di banyak tempat di seluruh Indonesia, khususnya pada daerah dengan komunitas masyarakat yang masih kental adat-istiadat. Kelembagaan Adat sudah sangat terstruktur dan masif dibentuk di Aceh dan Papua. Dua daerah yang mendapat perlakuan berbeda dari wilayah Indonesia lainnya selain Jakarta dan Jogjakarta, yang satu otonomi istimewa dan satu lagi otonomi khusus. Maka, berpedoman pada wilayah-wilayah yang sudah membentuk Dewan Adat, dijadikan acuan dengan penyesuaian sesuai kebutuhan dan karakteristik daerah yang komunitas masyarakat adatnya  secara geografis  terpisah-pisah pada banyak pulau tetapi dalam kesatuan gugus kepulauan.
Masyarakat Adat merupakan komuniti penduduk asli yang secara turun-temurun menempati dan menjalani hidup pada suatu wilayah serta diatur dan tunduk kepada norma dan nilai baku yang disepakati bersama. Norma dan nilai baku berlaku sebagai hukum adat atau hukum tidak tertulis, sifatnya mengikat dan mengatur hak dan kewajiban kehidupan sosial masyarakat dan lingkungan wilayah komunitasnya. Kesatuan komunitas suatu Masyarakat Adat tidak saja pada satu wilayah daratan, sebagaimana Maluku, walaupun terpisah pada begitu banyak pulau, tetapi tetap terhubung oleh jalinan norma dan nila baku kesatuan adat.
Kedudukan Dewan Adat sebagai lembaga permusyawaratan perwakilan Masyarakat Adat. Dengan Fungsi Dewan Adat, adalah sebagai lembaga: (a). Aspirator; menerima, menampung, dan menindak lanjuti permasalahan-permasalahan Masyarakat Adat. (b). Mediator; memediasi permasalahan perselisihan adat, baik antar intern Masyarakat Adat, dan/atau Masyarakat Adat dengan pihak lain. (c). Fasilitator; membantu memfasilitasi kepentingan antar Masyarakat Adat, Masyarakat Adat dengan pihak lain.
Fungsi tersebut diikuti dengan tanggung jawab yang merupakan Tugas Dewan Adat, yaitu: (a). Menghimpun, meneruskan, dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan Masyarakat Adat kepada pemerintah, swasta, dan pihak lain. (b). Melindungi, menyelamatkan, dan melestarikan tatanan adat, berupa norma-norma, nilai-nilai arif, serta kekayaan warisan budaya Masyarakat Adat. (c). Melindungi dan memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat atas kepemilikan Hak Ulayat – Hak Petuanan, dan Sumber Daya Alam. (d). Ikut serta dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa masalah adat melalui pembentukan forum musyawarah adat yang diadakan untuk keperluan tersebut, di dalam satu komunitas Masyarakat Adat, antara sesama komunitas Masyarakat Adat, atau Masyarakat Adat dengan pihak lain, dan (e). Menjalin hubungan baik dan bekerjasama dengan Pemerintah, Legislatif, Yudikatif, Kepolisian, pihak Swasta, dan berbagai pihak, dalam rangka penguatan dan pemberdayaan hak-hak hukum adat dan budaya Masyarakat Adat untuk tujuan mensejahterakan Masyarakat Adat.
Fungsi dan tugas Dewan Adat tersebut bersifat Draft. Silahkan dibedah lagi bila dipandang perlu untuk disesuaikan dengan kebutuhan dan konteks wilayah serta keragaman komunitas beserta kepentingan dan permasalahan adatnya. Diperhatikan dan disesuaikan juga dengan perkembangan politik pemerintahan baik di daerah maupun nasional Indonesia, khususnya dalam memperlakukan dan memposisikan keberadaan Masyarakat Adat sebagai komuniti etnis pribumi beserta hak-haknya.
22/02/2020

--------
*) Saran dari hasil diskusi dengan “seseorang”.

Tuesday, February 18, 2020

DEWAN ADAT MALUKU ; Dibutuhkan Guna Menyelamatkan Tatanan Adat Dari Praktek Politik Oligarki Penguasa Lokal Kabupaten Dan Kota Serta Penyamun Adat Negeri

Oleh; M. Thaha Pattiiha
DEWAN ADAT MALUKU ; Dibutuhkan Guna Menyelamatkan Tatanan Adat Dari Praktek Politik Oligarki Penguasa Lokal Kabupaten Dan Kota Serta Penyamun Adat Negeri
Ilustrasi Dewan Adat Maluku (mth_@embun01/18022020) 

Judul tulisan ini memang panjang, sepanjang satu tarikan nafas perasaan nelangsa dan berkecamuknya pikiran-pikiran ketidakpuasan dan ketidakterimaan terhadap nasib dan masa depan negeri-negeri adat. Ketika menyaksikan dari hari ke hari tidak pernah surut oleh peristiwa-peristiwa yang cenderung menciderai tatanan adat yang terpelihara sejak dulu. Ternyata bukan hanya Belanda, di zaman sudah merdeka pun praktek “suka-tidak suka” pada pemerintahan berdasarkan adat Negeri - Desa - Hena - Aman - Ohoi - atau sebutan lain, malah ulang dipraktekkan dalam kewenangan sebagai penguasa otonomi daerah - kabupaten dan kota. Demi melanggengkan kekuasaan pihak tertentu adat dibuat seakan lomba “hela rotan”, yang kuat yang menang. Mereka adalah “orang baru” yang menang karena peluang politik yang dapat mengangkangi tatanan adat dan karena didukung kekuatan uang. Akumulasi ketidakpuasan atas peristiwa-peristiwa penghancuran tatanan adat, telah mengerucut membentuk suatu pandangan “kasar” yang perlu disuarakan ke publik. Rasa prihatin selaku anak adat, tentu harus peduli. Berharap akan ada perubahan kesadaran atas tanggungjawab moral kepada kepentingan jangka panjang pelestarian kearifan nilai-nilai adat. Adat mengandung nilai-nilai budaya, norma, kebiasaan, kelembagaan sosial, dan hukum adat, yang lazim oleh masyarakat pada suatu daerah. Secara internasional Masyarakat Adat, telah mendapat pengakuan dan perlindungan melalui Deklarasi Perserikatan Bangsa‐Bangsa Tentang HakHak Masyarakat Adat, yang disahkan pada sidang umum PBB tanggal 13 September 2007 di New York. Kecuali itu, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat yang masih belum juga disahkan DPR-RI.


Belajar dari peristiwa yang menciderai tatanan Adat

Di kabupaten Maluku Tengah - Malteng, sudah tak terbilang jumlah negeri adat yang pemerintahannya bermasaalah akibat campur tangan - kepentingan politik, kekuasaan penguasa di atasnya. Bahkan, sebagian negeri adat kepala pemerintahannya hanya berstatus “Kepala Desa”, bukan Raja Adat, sebab hanya dilantik Bupati di Kantor Kecamatan, ada juga yang dilantik malam hari di ruang tertutup, setelah itu pun tidak ada pengukuhan secara adat di dalam negeri bersangkutan - pelajari tatanan sejarah semua negeri sebagai negeri adat - pengukuhan adat sifatnya wajib. Menurut aturan - UU Desa, tentu sah dalam pada level terbawa struktur pemerintahan negara, tetapi tidak menurut tatanan adat dan aturan yang mengatur sistem pemerintahan negeri berdasarkan adat.

Di kota Ambon - seperti juga di Malteng - kabupaten Seram Bagian Barat - SBB, negeri-negeri adat diambangkan status pemerintahannya melalui penunjukkan Penjabat Sementara - Pjs - memanfaatkan “ruang bermain-main” Undang-Undang Desa, oleh Walikota - dan Bupati. Masa bertugas penjabat yang harusnya bertenggang waktu -hanya 6(enam) bulan, diabaikan, dimelarkan tanpa batas waktu dan berlangsung bertahun-tahun, malah ada yang lebih dari satu orang Pjs pada negeri yang sama. Terdapat negeri adat yang bermasalah tentang Mata Rumah Parentah, kemudian diputuskan Saneri Negeri melalui voting, sesuatu yang tidak pernah ada dan tidak dikenal dalam sejarah adat, tetapi diciptakan dikhasanah politik sesat dunia modern. 

Seperti tersebut di atas, hanya contoh kecil dari peristiwa yang sudah berlangsung lama. Melalui kewenangan otonomi daerah, seperti terkonsep, terstruktur, dan masif, adat negeri diacak-acak, pelaku adat dibenturkan dan Hasilnya efektif. Posisi dan peran adat melemah daya tawarnya di hadapan penguasa otonomi daerah.  kekuasaan politik oligark. Tatanan baku nilai-nilai adat terpinggirkan, diposisikan dalam kendali untuk boleh hanya sebagai “kaki tangan” kekuasaan. Efek sial otonomi daerah, yaitu malah melahirkan “Maha Raja” untuk Raja negeri raja-raja.
Baca juga ;
Maluku: Dilema Nama Warisan Kolonial

Dalam struktur adat, kecil kemungkinan untuk diutak-atik, dirubah pakemnya, tetapi bukan berarti ruang berdemokrasi dan peluang tertutup bagi siapapun dalam struktur adat. Struktur adat yang sifatnya baku dan permanen pada sebuah negeri adat, bukan berarti menstratakan kehidupan sosial masyarakatnya dibedakan secara kelas sosial. Maksudnya lebih kepada fungsi sesuai tugas yang diemban dan hal itu berdasarkan kemampuan yang dimiliki - di awal sejarah penetapannya.

Ketidak-mungkinan yang tidak berlaku bagi penguasa otonomi daerah. Melalui upaya kolusi dengan kekuasaan, memberi peluang - sama-sama mendapat keuntungan politik, bagi mereka yang menganggap adat sebagai halangan dan batu sandungan melanggengkan ego sempit dan ambisi terselubung personalnya, terutama yang termarjinalkan dalam struktur adat.  Orang-orang sedemikian yang sering menjadi “penyamun” untuk mengobrak-abrik kekayaan adat yang sesungguhnya sudah baku, sesuai silsilah dan sejarahnya.  Sengaja dibuat kabur dengan “dikangkangi”, agar dapat merebut ruang untuk berkuasa di dalam negerinya.

Mengamati peristiwa yang berlangsung di kabupaten Seram Bagian Barat, seharusnya diformalkan lebih dulu negeri - hena - yama, yang merupakan negeri adat, dipisahkan dengan negeri pemekaran baru. Dalam hal pemekaran suatu negeri, tidak boleh ada “matahari kembar”, sehingga status negeri baru hanya bersifat pemisahan hak kelola administri umum pemerintahan setingkat negeri adat. Negeri baru tidak dapat mengambil alih kuasa hak adat atau hak ulayat negeri induk - kecuali diijinkan atau dilepas oleh negeri induk. Secara adat, negeri baru berstatus negeri biasa dengan sebutan “Kepala” - dapat diganti melalui Pemilihan sesuai diatur UU Desa, tidak sebagaimana “Raja” merupakan sebutan negeri adat dan menjadi hak utuh matarumah parentah dan tidak dipilih sebagaimana negeri baru hasil pemekaran.

Hal menarik mengantisipasi polemik yang bakal muncul dalam hal permasalahan pemerintahan tingkat negeri - Ohoi, langkah strategis mendudukan kebenaran sejarah pemerintahan adat, sekaligus terobosan paling efektif – menurut keyakinan adat, dilakukan oleh Bupati Maluku Tenggara, M. Thaher Hanubun. Bupati menggelar Sumpah Adat Makan Tanah dan Sumpah Kepunahan Tujuh Generasi Keturunan (Daur Viit) bagi Para calon Kepala Ohoi - Negeri, Definitif.  bilamana bukan sebagai garis keturunan yang berhak. Dengan cara ini para “penyamun” yang bukan matarumah parentah dibuat berpikir dan tidak bakal berani merampok yang bukan haknya. Cara demikian beta yakin, tidak bakal berani dilakukan penguasa otonomi daerah - kabupaten dan kota lain, yang syarat dengan praktek politik oligarki.

Peran bisu lembaga adat Majelis Latu-Pati membuat masyarakat buta akan fungsinya, mungkin hanya lembaga pelengkap penderitaan masyarakat adat, selebihnya berubah fungsi menjadi lembaga politik dan sub-ordinan birokrasi kekuasaan, selain hanya sekumpulan “priyai”.  Lembaga Latu-Pati secara personal terdiri dari para raja - kepala pemerintahan, negeri adat, harusnya lebih berperan menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan dan hak-hak masyarakat adat, yang juga demi kepentingan negeri adat yang dipimpinnya.

Sementara Pemerintah Provinsi seperti “mati rasa”, dari Gubernur ke Gubernur berikutnya, mungkin menganggap permasalahan adat bukan hal penting. Masalah pemerintahan adat, samasekali diabaikan - terkesan tidak peduli, dianggap itu urusan Bupati dan Walikota. Hak-hak tradisionil petuanan - hak wilayah(tanah dan hutan) - hak ulayat, Masyarakat (Hukum) Adat, diambangkan statusnya sementara secara masif ijin diterbitkan kepada korporasi kapitalis untuk menggarap dan tentu menghancurkan hutan wilayah hak adat, tanpa manfaat berarti kepada masyarakat adat pemiliki hak. Aksi protes secara damai Masyarakat Adat dihadang Aparat Bersenjata, dan bila diterima hanya untuk didengarkan tuntutannya. Lalu didiamkan dan sepi dari tindakan yang diharapkan - yang dituntut. 

Butuh Dewan Adat

Mempertimbangkan peristiwa dan hal-hal permasaalahan dikemukakan di atas, perlu segera dibentuk lembaga legislatif masyarakat adat, yaitu Dewan Adat. Dewan Adat dibutuhkan untuk mengemban fungsi sebagai aspirator, mediator, dan fasilitator kepentingan Masyarakat Adat, dengan  sesama intern komunitas masyarakat adat, dengan pemerintah, swasta, dan pihak lain, sesuai kuasa dari Masyarakat Adat.

Dewan Adat harus benar-benar kedudukannya independen, steril dari pengaruh kepentingan birokrasi pemerintahan, pemodal swasta, partai politik, agama, dan tidak dijadikan kendaraan politik meraih kekuasaan politik di pemerintahan. Anggota Dewan Adat merupakan pribadi-pribadi yang yang diusulkan, diseleksi - sesuai syarat independensi yang dimaksud di atas, dari usulan anggota jaringan Koalisi Masyarakat Adat, dengan persyaratan yang diatur ketat. Anggota Dewan Adat setelah terpilih dan ditetapkan, dikukuhkan melalui “Sumpah Adat”. Dan keanggotaan harus memperhatikan unsur keterwakilan semua wilayah adat yang seimbang.

Terdapat banyak sekali kesatuan masyarakat - adat, yang sudah terbentuk baik berupa Organisasi Kemasyarakatan - Ormas, Lembaga Sosial Masyarakat - LSM, Institusi Independen, Tokoh-tokoh  Adat di Seram, Makebo, Gorom, Ambon, Banda, Buru, Lease, Key, Aru, Tanimbar, Babar hingga Wetar. Personal-personal Pemerhati Adat dari Akademisi dan Masyarakat umum berlatar Anak Adat, di seluruh Maluku maupun yang berdomisi di luar Maluku. Dari jaringan tersebut bisa diajak berkoalisi, disebutlah “Koalisi Masyarakat Adat”, dan melalui perwakilan yang ditunjuk atau dipilih, kemudian membentuk suatu lembaga formal permanen yang hanya khusus mengurus kepentingan adat, yaitu Dewan Adat. Dewan Adat, walaupun bersifat independen tetapi karena kedudukan, fungsi, dan kewenangannya, maka harus diakomodir untuk mendapat pos anggaran pembiayaan rutin untuk operasional lembaga setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah - APBD.
Baca juga ;

Beta cenderung menokohkan Dr. Abraham H. Tulalessy, Akademisi dan tokoh Pemerhati Adat - paling vokal, lengkap dengan Yayasan Satu Darah yang beliau pimpin, sangat representative sebagai Inisiator sekaligus “motor” penggerak memulai upaya dan merealisasikan pembentukan lembaga Dewan Adat. Secara pribadi, beta berharap pada kapasitas serta keluasan dan keluwesan Dr. Abraham, yang mampu membentuk lembaga Dewan Adat. Beliau cukup banyak mengenal – setidaknya mengetahui, untuk turut dilibatkan, siapa saja tokoh personal maupun dalam lingkup kelembagaan masyarakat adat, serta intitusi-institusi independen yang konsen pada masalah adat, guna dilibatkan mengisi struktur Dewan Adat. Tentu butuh lebih banyak Pemerhati Adat yang lain, dan keterlibatan berbagai komponen serta kepedulian semua anak adat. Bersama bersinergi untuk mengawal dan mendudukan secara terhormat harkat dan martabat adat pada tempatnya.

; 20/02/2020

Sumber ; Berbagai link berita media online, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, Perda Adat Malteng/Ambon/SBB, Deklarasi PBB Tentang HakHak Masyarakat Adat, - dalam Domentasi Penulis.

Friday, February 14, 2020

MENYEBERANGI BAHAYA BANJIR DI BATABUAL, PULAU BURU


Pulau Wetar Dan Lirang, Ironi Kelimpahan Kekayaan Alam Dan Perhatian Setengah Hati Pemerintah.

Oleh ; Raendra R H. Manaha, S.Th.

(Acuan pasal 33 undang-Undang Dasar Tahun 1945)
Bunyi pasal 33 UUD 1945 sebagai berikut : ayat (1) berbunyi; Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan, ayat (2); Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, ayat (3) menyebutkan ; Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, ayat (4), Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional dan ayat (5); Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945, secara jelas menyiratkan bahwa penguasaan perekonomian terkait hasil kekayaan alam harus berpatok kepada kepentingan bersama dan untuk kemakmuran rakyat yang berasaskan kepada keadilan.
Keadaan yang berbanding terbalik karena ternyata kondisi yang terjadi di empat (4) kecamatan yang ada di pulau Wetar dan Lirang lalu mengalami ketimpangan pelayanan publik, ketimpangan perhatian pemerintah, ketimpangan ekonomi, ketimpangan akses transportasi, Ketimpangan akses komunikasi, ketimpangan kesehatan, ketimpangan pendidikan dan kesenjangan dalam pergaulan sosial masyarakat pulau Wetar dan masyarakat provinsi Maluku yang merupakan rumah administratif bersama masyarakat pulau Wetar dan masyarakat Maluku umumnya.
Pulau Wetar masih menyisakan keterisolasian dan ketertinggalan yang sepertinya disengajakan oleh pemerintah provinsi Maluku pula pemerintah pusat.
Potensi kekayaan alam pulau Wetar bila di bandingkan dengan jumlah masyarakat pulau Wetar di empat (4) kecamatan yang ada maka akan sangat dimungkinkan kesejahteraan lalu menjadi hal yang bisa di peroleh. Kondisi ini lalu terkesan ironi bila fakta yang terjadi adalah masyarakat kecamatan Wetar Barat yang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang prima dari pemerintah, masyarakat lalu harus menantang bahaya ke wilayah negara tetangga Timor Leste yang mana demi mendapatkan pelayan kesehatan yang baik.
Pemerintah sepertinya tidur dengan kondisi yang ada di pulau Wetar, keterisolasian menjadi hal yang di maklumkan karena tidak mendapatkan perhatian tersebut. Ketertinggalan dan keterisolasian ini dapat di lihat dari berbagai ketimpangan yang saat ini sedang di alami oleh masyarakat pulau Wetar:
1. Ketimpangan pendidikan misalnya, dapat di lihat dari kondisi sekolah-sekolah yang mengalami kerusakan, kurangnya tenaga pengajar yang di sediakan, alat peraga pendidikan yang minim yang berdampak pada minat sekolah dan angka kelulusan.
2. Ketimpangan pelayan kesehatan, bukan rahasia lagi bila sampai saat ini masih sangat terasa kurangnya pelayanan kesehatan di empat (4) kecamatan di pulau Wetar dan Lirang. Kurangnya kualitas pelayanan dapat di lihat dari kurangnya infrastruktur penunjang, prasarana dan tenaga kesehatan yang berujung pada tindakan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan di negara tetangga RDTL.
3. Ketimpangan akses trasportasi, akses penghubung (jalan) dari desa ke desa bahkan akses dari desa ke kecamatan saja sulit, masyarakat di hadapkan dengan menempuh jalur laut sementara ketersediaan pelabuhan kapal saja belum terpenuhi, kendala akses lautpun diperhadapkan dengan kelangkaan ketersediaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang masih menjadi barang langka, padahal seruan BBM satu harga menjadi andalan pemerintah yang sering didengungkan dalam pidato-pidatonya bapak presiden.
4. Ketimpangan ekonomi, dari daftar rilisan BPS sendiri dapat kita lihat rasio laju petumbuhan ekonomi masyarakat pulau Wetar yang masih sangat di bawah rata-rata, hal ini berbanding terbalik dengan potensi SDA yang melimpah.

* Potensi pertanian, perkebunan dan hutan: Potensi pertanian dengan luas wilayah yang cukup besar dan menjanjikan dengan potensi sumber air yang melimpah di hampir semua desa yang ada di pulau Wetar sendiri, juga hasil hutan semisal rotan dan kayu. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya akses pasar agar masyarakat dapat menjual hasilnya, sehingga potensi hasil hutan yang dan perkebunan masih menjadi makanan untuk para tengkulak yang ada.

* Potensi kelautan:
Potensi kekayaan laut yang tidak dimaksimalkan dengan baik, padahal kekayaan laut di pulau Wetar sangat menjanjikan bila diberdayakan sampai pada serapan pasarnya.
* Potensi Pariwisata dan bahari:

Pengelolaan potesnsi sangat tidak dilakukan, padahal potensi pariwisata dan bahari yang di miliki oleh masyarakat dan wilayah di pulau Wetar dan Lirang bila di lihat dan di kelola dengan baik maka sangat memberikan pemasukan bagi pendapatan ekonomi rakyat 4 kecamatan tersebut.

* Potensi pengelolaan SDA perut bumi: Pengelolaan SDA perut bumi semisal pertambangan yang saat ini di kelola oleh PT. Batu Tua Raya belum menunjukan peningkatan pendapatan rakyat. Pengelolaan perut bumi oleh PT. BTR sendiri yang terkesan tertutup kepada publik diperparah dengan kenyataan bahwa diduga perekrutan pekerja yang tidak mengutamakan anak daerah dengan alasan kualifikasi pekerja, juga fakta bahwa kantor perwakilan PT. BTR yang hanya ada di Moa ibu kota kabupaten dan tidak bermukim di kota Ambon sebagai ibu kota provinsi Maluku yang mana dalam domain pengawasan oleh lembaga terkait dinas yang mengawasinya ada di provinsi Maluku, yang membuat aneh adalah keberadaan kantor perwakilannya malah ada di kota Kupang yang adalah ibu kota provinsi Nusa Tenggara Timur. Sampai dengan saat ini terkait pengelolaan di maksud publik lalu mempertanyakan ada atau tidaknya ada tidaknya peraturan di daerah yang mengatur tentang pengelolaan di maksud, bila ada mengapa pengawasan terkait pengelolaan SDA di pulau Wetar sepertinya kurang mendapat perhatian yang bisa dibuktikan dengan sampai saat ini sepertinya perhatian pemerintah provinsi dan DPRD masih sangat kurang.

5. Ketimpangan akses komunikasi, sampai saat ini akses komunikasi di 4 kecamatan di dua pulau ini masih sangat kurang bahkan minim.
Pengelolaan SDA harusnya berdampak pada peningkatan ekonomi di daerah tersebut, namun sampai saat ini masih menjadi hal langka bila kita melihat dengan kondisi yang di alami masyarakat di pulau Wetar dan Lirang.
Selain pengelolaan SDA yang di harapkan mampu mengembangkan sendi-sendi ekonomi rakyat, penganggaran oleh daerah kabupaten untuk 4 kecamatan dari 2 pulau ini dirasakan kurang, hal ini karena APBD dari kabupaten MBD sendiri memang masih jauh dari kata cukup sebab harus membiayai pembangunan ibu kota yang terus berjalan belum lagi dengan pembangunan di 17 (tujuh belas) kecamatan yang ada. Kabupaten MBD dipaksakan dengan APBD yang kurang lalu harus menghidupi rakyat dan wilayahnya di 17 kecamatan ini terasa sangat mustahil, maka tidaklah mengherankan bila kepulauan Terselatan dan kepulauan Babar Raya lalu menyerukan pemekaran wilayah untuk kedua wilayah tersebut.
Pulau Wetar dan Lirang juga masuk dalam daerah dari Zona perbatasan yang merupakan beranda terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mungkin sejak Indonesia merdeka namun keterisolasian masih menjadi momok yang membatasi kemajuan daerah di pulau Wetar dan Lirang.
Melihat luas wilayah, potensi SDA, geo strategisnya pulau Wetar dan Lirang sebagai daerah perbatasan serta kondisi keterisolasian akibat rentang kendali dari kabupaten inang MBD maka sudah seharusnya rakyat dan wilayah ini mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah dan turunannya, agar kedepan wilayah ini cukup kuat untuk mengawal beranda terdepan indonesia di bagian selatan Maluku.
Masyarakat 4 (empat) kecamatan di pulau Wetar dan Lirang harusnya sudah bisa berpikir jauh terkait hal ini. rakyat wilayah ini lewat paguyuban daerah, paguyuban kepemudaan, LSM-nya harus bisa bersuara lebih lantang dari pemerintah agar bisa di dengar dengan baik.
Lewat rilis ini saya menggugah rakyat di wilayah ini untuk memakai potensi dan mengelola kekurangan dari keterisolasian yang di alami untuk menundukkan ego pemerintahan ini demi mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Pasal 33, memberikan gambaran tentang sebuah amanah dari UUD 1945 bagi rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, oleh karenanya bila pulau Wetar dan Lirang yang adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Republik ini, maka perhatian yang baik pula harus di tunjukkan pemerintah untuk memuliakan masyarakat dan wilayah ini.
Kalwedo.

Tuesday, February 11, 2020

ALIFURU ; Istilah, Pengertian, dan Filosofi

Oleh; M. Thaha Pattiiha

Melalui bahasa sebagai alat berkomunikasi, sejarah dan kebudayaan etnis Alifuru disampaikan untuk diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya dengan cara ditulis dalam catatan-catatan bahasa lisan kemudian didokumentasikan melalui kemampuan daya ingat. Etnis Alifuru tidak menciptakan aksara sendiri sebagai bahasa tulis, kecuali lambang-lambang sebagai penanda sekaligus alat komunikasi visual melalui benda atau goresan pada obyek tertentu sebagai pengingat atau alat penyampai pesan. Adapun model atau bentuk-bentuk aksara yang belakangan ini ramai dipublikasikan, bukan sesungguhnya merupakan “Aksara Alifuru”, tetapi dipastikan adalah kreasi - baru, imajinatif berdasarkan lambang-lambang tradisional etnis Alifuru di masa lalu. Tidak terdapat artefak - situs kuno - bukti kebendaan dari masa lalu, tidak ada sebentuk tulisan atau catatan kuno dengan aksara yang membuktikan pernah tercipta aksara etnis Alifuru, sebagaimana etnis lain. Etnis Alifuru hanya mengenal bahasa lisan - sebagaimana salahsatunya adalah sastra epos Kapata, yang mengandalkan kemampuan daya ingat sebagai cara mendokumentasi sejarah dan budaya Alifuru. Melalui bahasan lisan, para Datuk - Nenekmoyang etnis Alifuru menulis pesan kearifan dan membukukan berbagai kekayaan budaya sebagai pustaka yang menjadi warisan tak ternilai kepada generasi Alifuru hari ini. 
ALIFURU ;  Istilah, Pengertian, dan Filosofi
 Penulis menghadiri Pameran Arsitektur Vernakuler Alifuru
di Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia, Kota Depok,  Jawa Barat (21/11/2018)


Istilah Alifuru

Beragam istilah atau sebutan selain kata “Alifuru” yang sekarang dipergunakan. Beberapa sebutan di masa lalu sempat direkam dan dicatat oleh Ilmuan, Penjelajah laut dan samudra, seperti; "Alfores", "Harafora", "Haraforas", "Alfours", “Arafuru”, atau “Arafura- lihat ; MALUKU DAN ALIFURU DALAM DILEMA NAMA YANG TERTUKAR - tentang Etnis dan Nama Alifuru. Sebutan-sebutan tersebut berasal dari orang-orang etnis Alifuru yang mereka temui, yang hingga saat ini sebutan dimaksud mengerucut menjadi “Alifuru”. Demikian juga dengan Antropolog AH. Keane, FJP. Sachese dan OD. Tauren, mereka menyebut suku bangsa Alfuros”.

Makna Alifuru atau beragam sebutan sebelumnya - oleh para Ilmuan dan Penjelajah, tidak lain selain merujuk dan menunjuk kepada nama identitas pribumi pemukim wilayah kepulauan yang disebut Maluku dan Maluku Utara, tanpa menyebut dan membedakan pulau maupun gugusan pulau kecuali menunjuk arah posisi berada di barat New Guinea. Kecuali cara penulisan dari ucapan yang didengar yang terkesan berbeda karena bunyi yang dieja, termasuk pengaruh bahasa asal negara penulisnya.

Kata sebutan “Alifuru” sendiri memang sudah bergeser ucapan dan serta penulisannya dari keaslian sumber awal berucap, hanya saja bukan berarti berubah konteks maksud dan pengertiannya. Karena untuk bisa mengartikannya, mesti memahami latar belakang bahasa yang digunakan. Sama halnya ketika hendak mengartikan berbagai epos dalam karya-karya monumental yang disebut Kapata. Kapata merupakan sastra lisan warisan para Datuk -Nenekmoyang etnis Alifuru yang dalam bahasa-bahasa lokal komunitas sub-Alifuru disebut Nahu, Lan, Lani, Kahua, dan lain-lain. Epos dalam sebagian Kapata, sama halnya “Tom-Tad” pada komunitas masyarakat Alifuru kepulauan Key, yakni hikayat lisan - oral story, yang ditutur berdasarkan atau menyertai warisan benda-benda pusaka yang dimiliki.

Sebab itu, kata Alifuru tidak samasekali berasal dari Bahasa Arab, yang dikatakan ; Alif - huruf  pertama aksara Arab - ditafsirkan yang pertama atau manusia awal - awal atau pertama di kepulauan ini bolehlah, dan uru yang nyatanya bahasa tana - apa padanannya dalam bahasa Arab? Sesuatu yang bukan sekadar keliru, tetapi sudah sesat pikir dan tafsir dalam kebiasaan sering “meng-agama-kan” tatanan adat - seperti istilah Alifuru, yang tidak ditemukan simpulnya kecuali makin terbelit lilitan.

Sebutan Alifuru adalah nama yang bukan sama sekali berasal dari sebutan bangsa asing dari Eropa atau dari manapun, tetapi merupakan sebutan dalam bahasa asli etnis bangsa Alifuru sendiri. Alifuru merupakan nama induk etnis atau suku-bangsa dari ratusan suku dan sub-suku yang tersebar di kepulauan yang disebut “Maluku” – “adopsi nama”, dan Maluku “Asli” di bagian utara.

Mengherankan, ketika masih saja ada yang tidak mengakui identitasnya merupakan bagian dari komuniti etnis Alifuru, hanya karena beda pulau bermukim. Dianggapnya Alifuru hanya di pulau Seram - baca ; “SUKU BANGSA ALIFURU BUKAN HANYA DI PULAU SERAM”, tanpa upaya lebih dalam atau lebih jauh mempelajari asal-usulnya secara komprehensif, kecuali menyalin cerita lisan dari sumber yang hanya berpijak pada “oral story” dan cerita mithos yang tidak ada ujung pangkalnya, malah menyesatkan dan mengaburkan kebenaran sesungguhnya.

Konotasi negatif terhadap etnis Alifuru oleh orang-orang “beradab” selama ratusan tahun bersama dalam masa kerakusan kolonialisasi bangsa asing Eropa dan kerajaan lokal, saat menundukkan pribumi guna merampok kekayaan hasil bumi etnis Alifuru, ternyata masih terpelihara hingga zaman modern saat ini. Etnis Alifuru diidentikkan dengan istilah primitif, bodoh, kotor, terkebelakang, serta istilah lain sejenis. Ketika itu disebut orang dari luar kepulauan – bukan pribumi, itu peduli setan. Menjadi hal aneh dan membodohi diri bila disematkan oleh pribumi, bukankah sama saja menghina nenek-moyang diri sendiri. Kecuali siapapun itu - pribumi, tidak terlahir dari garis keturunan nenekmoyang di masa lalu, maksudnya tidak memiliki nenekmoyang.

Pengertian Alifuru

Istilah “Alifuru” atau sebutan sejenis, berasal dari Bahasa Tana yang merupakan  Bahasa Ibu - mather longgue, Alifuru. Terdapat sebagian kata-kata dalam bahasa tana yang ketika diucapkan yang me makai huruf “r”, kadang berubah ucap jadi huruf “l”, tetapi tidak sebaliknya.  Misal, “Risa” - menerjang(sambil mengurung), jadi “Lisa”, tetapi misal kata “Lawa” - lari, tidak bisa dirubah jadi “Rawa”.  Atau kata “Lata” - menahan - tertahan, tidak bisa jadi “Rata”, karena tidak miliki arti dalam bahasa tana kecuali menurut bahasa Indonesia.

Selain itu, antara fonem “r”  dan “l” dalam pengucapan terdengar seakan menyatu, diucap “arl”, lebih mengarah - ketebalan bunyi, ke fonem “r” dari “l”.  Sebagaimana kata “Alifuru”, bila diucap - dieja, sesuai kosa kata dan aksen asli bahasa tana adalah ; “(H)Aurl-v-uru”. Kadang di ujung ucapan disambung dengan fonem “a” - walau tidak selalu, sebagai penekanan kata - sebelumnya, menjadi “(H)Aurlvurua”. Fonem “H” dan “A” diucap bersama dengan penekanan pada fonem “A”, sehingga fonem “H” hampir tidak jelas terdengar.

Demikian juga dengan fonem “F”, harusnya “V” - sama seperti bahasa lokal kepulauan Key yang juga dominan dengan fonem F,  dalam cara ucap bahasa tana.  Adanya huruf “i” - harusnya tidak ada, pada tulisan Alifuru, karena pengaruh bunyi ucapan, sebagaimana fonem “a” di akhir. Kosa kata dasar “Alifuru” atau seperti sebutan-sebutan di atas, direkam dari gaya pengucapan asli hanya terdiri dari; “Au “ dan “uru”, “rf “ hanya pengaruh bunyi tengah ucapan dan “a” pengaruh bunyi akhir - kadang pun tidak digunakan. Diartikan, “au” adalah aku - saya - beta, dan uru menunjuk kepada orang - manusia. Sehingga, Kata asli Alifuru harusnya dibaca atau diucap (H)Au(rf)uru atau Aurfuru, yang kemudian menjadi - selain yang sudah disebut sebelumnya, Arfur - Alfur - Alfuren - Arfuru - Arafuru atau  Arafura, hingga menjadi Alifuru, yang artinya saya orang atau saya manusia.

Pengertian, saya - adalah, orang atau saya manusia, ditafsir balik kepada penyebutan yang direkam oleh “orang asing” tentang istilah nama Alifuru. Merupakan ucapan – balasan dari Orang Alifuru, menjawab pertanyaan orang asing. Jawaban yang menerangkan peng-aku-an diri seseorang  - yang ditanya, bahwa dia – juga, manusia. Nama yang diterangkan oleh pemberi informasi – Ilmuan dan Penjelajah, adalah pengakuan dari pribumi kepulauan di barat daya New Guinea, yang berarti sebutan tersebut bukan dinamai atau berasal dari istilah yang diciptakan orang asing.
Pola hidup orang Alifuru selalu menutup diri atau menghindar untuk menampakkan diri dari orang luar. Dilakukan demi keamanan dan keselamatan mereka, sehingga ketika sedang berburu atau jauh dari pemukimannya, mereka akan merubah penampilannya dengan melaburi seluruh tubuh, kecuali mata, dengan tanah bercampur arang bekas pembakaran. Cara lain berkamuflase, dengan menutupi tubuh menggunakan dedaunan dan rerumputan. Maksudnya agar mudah bersembunyi, dan agar tidak mudah dikenali atau terlihat - contoh seperti gambar di bawah ini. Dengan tampilan demikian, bagi orang luar ketika pertama kali berjumpa, bisa jadi berprasangka macam-macam, dikira hantu, setan, dan sejenisnya, atau dikira sebangsa binatang.

Alifuru memiliki padanan kata lain yaitu Upao atau Ufao, atau sebutan lain dari istilah Alifuru. Secara etimologi kata “upao” berarti wajah manusia yang berkonotasi menunjuk kepada sosok Alifuru – saya orang – saya manusia. 
ALIFURU ;  Istilah, Pengertian, dan Filosofi
Ilustrasi tampilan kamuflase Alifuru (Desain; mth_@embun1/01022020)

Hati-hati menafsir, atau mengartikan Bahasa Tana, sebab memiliki kaidah pola tafsir yang bila keliru ataupun sampai salah memahami makna dan maksudnya, maka tidak bakal menemu kandungan pesan dari nilai filosofinya. Butuh pengetahuan bahasa tana – beta pun masih terus belajar,  dengan pemahaman yang tidak “dangkal”. Sebab bisa jadi malah menyesatkan orang lain, selain diri sendiri. Apalagi antara bahasa tana dan bahasa lokal di banyak tempat sudah mengalami perbedaan oleh perubahan aksentuasi, penambahan perbendaharaan kosakata, maupun karena akulturasi bahasa dari wilayah di luar lingkungan komuniti Alifuru.


Filosofi Alifuru

Konsep kebudayaan Alifuru tentang kesatuan dalam perbedaan - Indonesia mengenal Bhineka Tunggal Ika, yaitu falsafah Patasiwa-Patalima atau Siwalima. Konsepsi kemasyarakatan etnis Alifuru paling demokratis dan bijak, karena efektif berfungsi menghimpun dan menyatukan berbagai perbedaan dan serta perubahan kehidupan sosial dan perilaku dengan munculnya kepentingan kelompok maupun perseorangan. Sebutan berdasarkan bahasa lokal - terdapat 113 bahasa lokal - baca; Bahasa Tana Aksara Alifuru Dan Nasib Bahasa Lokal Di Maluku, Patasiwa-Patalima selain dikenal di pulau Seram - Ceram, dan kepulauan Lease, dikenal secara lokal berdasarkan bahasa setempat. Patasiwa-Patalima di Maluku Utara, Ursiw-Urlima di kepulauan Aru, Lorsiw-Lorlim di Maluku Tenggara, Ulisiwa-Ulilima di pulau Ambon.

Rumah adat Baileu - baca; Baileu Dalam Kebudayaan Maluku, budaya Pela-Gandong  - Pela Gandong Warisan Budaya Tak Benda,  Sastra Epos Kapata - baca; Alifuru Hanya Bisa Diketahui Sejarahnya, budaya Sasi dan Matakau - baca; Sasi dan Matakau, dan masih begitu banyak “warisan luar biasa” kebudayaan produk etnis Alifuru. Semua mengandung pesan filosofi yang mengajarkan rasa cinta dan moral kebaikan, kebijakan, dan kebajikan, jauh waktu sebelum masa-masa kelam setelah kehadiran agama dan orang asing yang kemudian menenggelamkan keberadaan etnis Allifuru.

Kebudayaan Alifuru ditandai dan direkam dalam bentuk lambang-lambang, dengan penekanan pada rasa dan jiwa kemanusiaan dalam hubungannya dengan alam lingkungan kehidupan. Manusia - orang, Alifuru dikultuskan - diposisikan, sebagai penguasa utama di bawa kekuasaan langit - Tuhan, atas segenap isi alam dengan dibebani tanggung jawab melaksanakan perlindungan dan pemeliharaan agar kehidupan tetap terjaga, lestari, dan berkelanjutan demi generasi ke generasi. Persahabatan dijalin tidak sebatas antar sesama manusia, tetapi manusia dengan pepohonan - tumbuhtumbunan, dengan tanah, batu, air, angin, hujan, laut, hewan darat, hewan air, hewan bersayap, ikan, bulan, dan matahari. Alam hutan, bukit, gunung, tebing, dan sungai, adalah ruang berinteraksi yang sangat dihormati dan dilindung, sebagai rumah kehidupan. Alifuru adalah hutan, dan hutan adalah Alifuru.

Seorang tua Alifuru akan menanam suatu pohon tidak semata untuk dirinya, tetapi lebih utama tujuan pikirannya pohon tersebut untuk anakcucunya, bahkan untuk siapapun di kemudian hari. Alam bumi Alifuru terpelihara karena dijaga dengan rasa cinta sepenuh jiwa dan raga, untuk – selalu diingatkan para orang tua Alifuru, bukan sekadar demi kebutuhan saat ini tetapi untuk kehidupan anakcucu yang akan datang - masa depan. Sehingga begitu sangat dilarang, alam dirusak dengan cara eksploitasi yang berlebihan.     

Petuah para Datuk - Nenekmoyang etnis Alifuru yang ditulis secara lisan sejak ribuan tahun lalu dalam salah satu kalimat Kapata, dikatakan; “Sei hali sou, sou male’ei” artinya; Siapa balik bahasa, bahasa putar dia”. Maknanya, tidak sebatas hanya untuk pengartian dan penafsiran istilah “Alifuru”, tetapi nasehat bijak kepada siapapun dalam hal apapun, inti makna pesan filosofinya adalah ke-jujur-an, jujur memenuhi amanah atau janji. Etnis Alifuru telah ada sejak zaman batu awal - pada pulau-pulau yang bahkan sudah muncul di masa jurazik akhir. Karena itu, suatu pesan bijak mengingatkan, apabila “katatidak lagi bermakna, lebih baik diam saja.”

Alifuru mese !
Kampung Bulak, 12/02/2020