Alifuru Supamaraina: MALUKU, PETA DUNIA DAN NEGARA INDONESIA

Tuesday, June 7, 2016

MALUKU, PETA DUNIA DAN NEGARA INDONESIA

MALUKU, PETA DUNIA DAN NEGARA INDONESIA, ”The Islands of Spices” (Kepulauan Rempah-rempah) MALUKU



















          Sejarah dunia tidak dapat dilepas-pisahkan dari perjalanan bangsa-bangsa penguasa dunia dengan berbagai kisah kehidupan dan kebudayaan masyarakatnya, bermula dengan imperium kerajaan-kerajaan besar di benua Asia, Afrika dan Eropa sejak masa sebelum masehi, hingga abad pertengahan dan hingga mencapai awal abad ke-20 yang ditandai sebagai abad dunia modern.

Kisah kejayaan dan kehancuran kerajaan bangsa-bangsa di dunia, tidak terlepas dari perseteruan saling menundukkan, menguasai, memperebutkan, dan memperluas kekuasaan atas wilayah-wilayah yang memiliki sumber daya, baik kekayaan alam maupun sumber daya lainnya, guna memperkuat kepentingan dan kelangsungan hidup kerajaan serta  rakyatnya, atau selain semata hanya memenuhi keinginan dan nafsu sang raja atau penguasa kerajaan. Hal penting yang menjadi alasan, kenapa kemudian bangsa-bangsa di benua biru Eropa yang geografinya sangat terbatas persediaan sumber daya alamnya, begitu bernafsu mengeksplorasi dan mengeksploitasi wilayah lain di muka bumi melalui ekspansi secara besar-besaran untuk kemudian menguasai dengan berbagai cara termasuk cara kekerasan.

Cengkeh dan pala adalah komoditi pangan jenis rempah-rempah, boleh jadi telah dikenal dan dikonsumsi sejak lama oleh bangsa-bangsa Eropa, tetapi mereka harus membayar mahal untuk mendapatkannya. Sehingga usaha luar biasa dilakukan untuk mengarung samudera, bertaruh nyawa dan kemampuan navigasi demi mencari sampai dapat menemukan di mana adanya wilayah yang menghasilkan komoditas dimaksud.


ØPeta Dunia dikenal karena Maluku

          The Islands of Spices’ (Pulau Rempah-rempah), negeri rempah-rempah cengkeh dan pala, di dunia hanya ada di Maluku. Karena Maluku, bangsa Eropa berlomba ilmu pengetahuan tentang geografi untuk membaca posisi bumi, dan keahlian memodernkan armada kapal layarnya untuk bisa mengarungi laut dan mentaklukan samudera. Hingga bertemulah mereka dengan benua milik bangsa Indian – Amerika sekarang, yang seharusnya bukan itu tujuan awal yang direncanakan armada pimpinan Christoper Colombus dari Spanyol. Armada Portogis pimpinan Vasco Da Gama yang kemudian paling awal berhasil menemukan anak benua Asia - India, yang merupakan tujuan awal Chritoper Columbus seharusnya. 

Jauh waktu sebelumnya pada awal abad ke-13 Marco Polo, pelaut avounturir asal Italia Marco Polo telah sampai di Nusantara tetapi hanya berakhir di daratan Tiongkok. Bahkan hingga akhirnya bangsa-bangsa Eropa menemui benua Aborigin - Australia untuk kemudian dicopy paste dari benua biru Eropa di barat menjadi benua biru Eropa di timur, juga tidak dalam keinginan apalagi rencana.

Sebabnya adalah ribuan tahun bangsa Eropa “tertipu” bangsa lain – China dan lalu Arab, atas mahalnya harga komoditas rempah-rempah cengkeh dan pala (selain rempah-rempah seperti lada hitam, kayu manis, dan lain-lain). Nyatanya dua jenis rempah-rempah ini, terutama cengkeh, ukuran sekantong atau segenggam cengkeh sama nilainya dengan emas ukuran yang sama pada saat itu di daratan benua bangsa Eropa.

Peta dunia kemudian harus berubah “gara-gara” cengkeh dan pala. Maluku menjadi incaran bangsa-bangsa Eropa, tetapi dengan begitu bumi dipastikan ternyata bentuknya bulat – sempurna, itu mungkin saja karena Maluku. Inilah Maluku di pentas dunia, secara global lautan dan samudera serta daratan bumi di menjadi saling tersambung, oleh sebab usaha menemukan keberadaan rempah-rempah cengkeh dan pala yang di dunia hanya ada di kepulauan Maluku.

Mendahului bangsa-bangsa Eropa, China adalah yang pertama dan terlama mengeksploitasi rempah-rempah di Maluku, kemudian diikuti bangsa Gujarat – India, lalu  bangsa Arab yang memperkenalkan dengan harga selangit kepada bangsa-bangsa di benua Eropa.

Terdapat beberapa catatan sejarah yang menginformasikan dan menerangkan, akan adanya penggunaan rempah-rempah jauh sebelum era peradaban modern, baik di zaman kekaisaran, maupun kerajaan-kerajaan besar dunia di masa-masa sebelum masehi. Apakah rempah-rempah tersebut, dimaksudkan adalah cengkeh dan pala, masih harus dibuktikan kebenarannya.

Setidaknya, cengkeh dan pala telah lama dimanfaatkan oleh bangsa lain adalah bangsa China, sebagai yang paling awal di Maluku dan membarter komoditas tersebut dengan barang-barang keramik berupa alat makan dan minum. Praktek transaksi model kuno untuk keinginan saling memiliki sesuatu antara satu atau lebih dengan orang yang lain, sudah terjadi pada Suku-bangsa Alifuru – penduduk asli wilayah kepulauan yang sekarang bernama Maluku (dan Maluku Utara).

Bangsa Arab – selain India, mengenal cengkeh dan pala berawal dari bangsa China dalam mata rantai perdagangan benua Asia Raya melalui apa yang disebut Jalur Sutra. Jalur yang membentang dari China di Asia timur,  melewati anak benua – India, dan Asia Tengah hingga Persia dan Arab di bagian Asia Barat atau Timur Tengah.  

Kebutuhan bangsa-bangsa Eropa terhadap rempah-rempah, mengakibatkan permintaan terus meningkat, akan tetapi karena pasokan yang terbatas membuat harga menjadi sangat mahal. Hal ini menjadi pemicu bangsa–bangsa Eropa mencari jalan sendiri menuju wilayah dimana rempah-rempah tersebut berada, hingga bertemulah mereka dengan The Island of Spices’ (Pulau Rempah-rempah) Maluku. Wilayah pertemuan yang menyatukan samudera Hindia dan samudera, serta kepulauan tempat bertemunya belahan bumi utara dan selatan, yang dilalui oleh garis khayal “Wallace’s line”, dibuat oleh seorang Peneliti Inggris bernama Alfred R. Wallace pada abad ke-19( Malay Archipelago 1869), untuk memisahkan jenis flora dan fauna Asia dari flora dan fauna Australia yang unik juga eksotis dan tidak ditemukan di belahan lain bumi.

Kepulauan Maluku dengan kekayaan alamnya, yang menjadikan sejarah perjalanan ummat manusia di muka bumi terhubung antar benua dan merubah peta perpolitikkan shahwat kekuasaan meluas hingga ke ujung bumi, selain kemudian menyimpulkan bahwa bumi ternyata bentuknya bulat. Keinginan menguasai bangsa lain dan merampok sumber daya kekayaan alamnya, merebak dimana-nama oleh bangsa kulit putih Eropa.

Catatan sejarah peradaban ummat manusia berubah disebabkan oleh kekayaan alam kepulauan Maluku yaitu rempah-rempah bunga cengkeh dan buah pala, dua dari banyaknya ragam komoditi sumber daya alam yang tersedia di bumi Maluku.

Negara Portogis yang paling awal membuat jejar pelayaran dan menginspirasi bangsa Eropa untuk menantang gelobang, menembus samudera, agar bisa menemukan wilayah entah di mana yang di sebut “kepulauan rempah-rempah”, selain anak benua India unuk jenis rempah-rempah yang lain.

Bangsa Portogis yang sudah sejak awal abad XV melalui Henry sang Navigator telah menjelajahi bagian utara benua Afrika. Bermodalkan pengalaman itu pada tahun 1488, armada ekspedisi pimpinan Bartolomeu Dias mencoba berlayar mengelilingi benua Afrika dan berhasil melintasi untuk pertama kalinya Tanjung Harapan. Kemudian pada tahun 1497, atas perintah Raja  Portogis Manuel I, Vaco da Gama sebagai navigator memimpin armada empat buah kapal berlayar melewati Tanjung Harapan – Benua Afrika, untuk menuju pantai timur benua Afrika dan selanjutnya melalui Samudera Hindia menuju Kalkuta, wilayah selatan Hindustan, anak benua – India, dan tiba tahun 1498. Selanjutnya pada tahun 1511, ekspedisi Portugis pimpinan Alfonso d’Albuquerque berhasil mencapai sekaligus menaklukkan Malaka.

Dari sana, mereka menuju Maluku dan diterima oleh raja Ternate saat itu dan diperkenankan berdagang dan bahkan diijinkan membangun benteng pertamanya di Ternate.

Sedangkan Chritoper Columbus  berlayar ke arah barat dan hanya menemukan San Salvador, dia gagal menemukan anak benua India yang menjadi tujuannya semula. Baru kemudian armada Spanyol pimpinan Ferdinand Magelhaens pada tahun 1519, sampai di Tidore Maluku, tetapi melalui jalur Samudera Atlantik dan melewati ujung Amerika Selatan dan samudera Pasifik hingga tahun 1521 mereka tiba di Philipina tetapi Magelhaens terbunuh saat bertemu dengan perang antar suku di Cebu. Lalu posisinya diganti oleh Del Cano.  Dalam perjalanan kembali ke Spanyol, mereka singgah di Tidore lalu menjalin kerja sama dengan Tidore. Kerja sama itu tidak hanya dalam hal perdagangan, tetapi juga dengan mendirikan benteng Spanyol. Sementara itu, Portugis yang membuka kantor dagangnya di Ternate merasa terancam dengan hadirnya Spanyol di Tidore, hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa Tidore dan Ternate telah lama bermusuhan. Atas alasan ini, Portugis kemudian merebut Benteng Spanyol di Tidore. Portugis dan Spanyol akhirnya mengadakan perjanjian yang disebut Perjanjian Saragosa dengan perantara oleh Paus di Roma. Dengan isi perjanjian yaitu ;  Daerah kekuasaan dan pelayaran Portugis adalah dari Brazilia ke Timur sampai Halmahera (Maluku), dan Spanyol berkuasa atas Mexico ke Barat terus sampai Phillpin. Sehingga akhirnya Maluku dikuasai Portugis sedangkan Philipin dikuasai Sepanyol.

Portogis menjadi bangsa Eropa pertama yang berhasil tiba di Maluku, baru kemudian berturut-turut Spanyol, Inggris, lalu Belanda, yang kemudian hari merubah wajah perjalanan sejarah kepulauan Maluku dan kepulauan di Nusantara  berbentuk sebuah negara bernama Indonesia.

Catatan sejarah panjang perjalanan para penakluk laut dan samudera yang semula demi kepentingan ekonomi, yaitu mencari untuk menemukan kepulauan rempah-rempah. Pada akhirnya berhasil menemukan, membuka dan membentangkan jalur perhubungan antar satu benua dengan benua lain sekaligus memperoleh ilmu dan pengetahuan tentang muka bumi.

Kepulauan itu bernama Maluku, telah dikenal dunia sejak ribuan tahun yang lalu. Ini menjadi modal sejarah masa lalu, untuk dibangkitkan kembali, sebagai jembatan masa depan yang dapat diandalkan untuk menjalin hubungan persahabatan guna kepentingan ekonomi daerah dan kesejahteraan sosial Maluku. Kenapa diabaikan dan tidak dimanfaatkan ?


ØMaluku dan Negara Indonesia

          Maluku lahir dalam satu kesatuan kepulauan yang terbentang dari pulau Morotai di utara hingga pulau Wetar di selatan, dengan penduduk pemukim awal adalah suku-bangsa Alifuru. Tidak ada catatan sejarah awal berarti dari keberadaan hubungannya dengan adanya kerajaan-kerajaan besar yang terbentuk di wilayah barat Nusantara, seperti Singosari, Majapahit, Pasundan atau Sriwijaya pada masa sebelum kehadiran bangsa-bangsa Eropa.

Maluku dengan suku-bangsa Alifuru-nya, seperti wilayah bebas nilai dan tidak terjangkau atau terkuasai oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Hingga kehadiran bangsa Eropa pada awal abad ke-16 Masehi, baru kemudian ramai terjadi penghubungan wilayah dalam kaitan dengan lalulintas invasi penguasaan wilayah jajahan selain Maluku dan pengangkutan rempah dari Maluku menuju Eropa. Bahkan hingga keberadaan kerajaan-kerajaan yang terbangun di Maluku, seperti kerajaan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo, Moro dan Lolodan di bagian utara dan kerajaan kecil lain di bagian tengah dan selatan, sangat sedikit adanya informasi tentang sejarah Maluku awal. Hingga adanya bangsa Eropa, sejarah tentang Maluku barulah ditulis, sekalipun itu hanya sepihak dalam kepentingan sejarah politik penjajah atas tanah jajahannya.

Orang Maluku baru mengetahui ada Sumpah Palapa oleh Gajah Mada - Pati kerajaan Majapahit,  yang sumpahnya bermaksud menyatukan seluruh kepulauan di Nusantara, setelah Indonesia terbentuk sebagai sebuah negara dan merdeka dari bangsa-bangsa kolonial Eropa dan Jepang. Namun demikian, kehadiran dan keberadaan bangsa Eropa di Maluku yang kemudian bersikap menguasai dan semena-mena terhadap suku-bangsa Alifuru atau penduduk Maluku, telah menimbulkan perlawanan berarti dan patut ditulis menjadi catatan sejarah heroisme mempertahankan dan mengusir pergi bangsa pendatang.

Secara sporadis dan lokal Orang Maluku berperang dengan penjajah sejak awal mula kehadiran bangsa Portogis, Spanyol, Inggris dan Belanda. Peperangan  pernah terjadi antara Kerajaan Ternate dan Portogis oleh Sultan Hairun, lalu dilanjutkan putranya Sultan Babullah antara tahun 1563 – 1575.  Juga oleh kerajaan Tidore dan Jailolo, di utara dan Kerajaan Iha – Saparua, sebagai salahsatu perwakilan kerajaan Ternate di Maluku bagian Selatan juga tidak luput dari peperangan yang juga dengan Portogis. Kerajaan Hitu juga berperang dengan Portogis, bahkan juga perang  dengan Belanda yang dikomandoi Kapitan Ulupaha, dimana hampir bersamaan waktunya dengan pecahnya perang penyerangan benteng Durstede di pulau Saparua pimpinan Kapitan Pattimura. Perang di ujung barat pulau Seram – Huamual, dengan Belanda, adalah peperangan beruntun yang terjadi hingga penghujung tahun 1817, juga menjadi bagian dari perang Hongi di bagian tengah-selatan kepulauan Maluku.  

Peperangan-peperangan tersebut, dan tentu masih banyak lagi, adalah bukti yang menunjukan perlawanan orang Maluku mempertahankan atau merebut kembali kekuasaan atas tanah airnya. Kemenangan dan kekalahan silih berganti, menjadi bagian tidak terpisahkan dari sejarah heroik masa lalu Orang Maluku.

Wilayah kepulauan Maluku berada pada gugus kepulauan Nusantara bagian paling timur bersama pulau dan kepulauan Papua, sedangkan kearah barat hingga pulau Sumatera. Gugus kepulauan inilah pada akhirnya jatuh dalam cengkeraman kekuasaan dan eksploitasi luar biasa bangsa-bangsa Eropa umumnya, dan khususnya bangsa Belanda yang terlama menguasai kepulauan Nusantara selama 350 tahun hingga tahun 1942 dengan masuknya penjajah bangsa Jepang yang berakhir di tahun 1945, dengan diproklamirkan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka berbentuk Negara Republik berbasis kesatuan gugus kepulauan Nusantara pada tanggal 17 Agustus 1945.

Maluku telah berperan penting menjadikan wilayah kepulauan Nusantara saling terhubung  dalam satu kesatuan yang kemudian membentuk sebuah negara yang hari ini bernama Indonesia. Sejarah terbentuknya negara Republik Indonesia, Maluku adalah bagian penting dari salah satu pondasi sekaligus menjadi pilar utama terbentuknya negara merdeka bernama Republik Indonesia,  dan Maluku dikukuhkan sebagai salah satu provinsi bagian dari negara ini, hanya dua hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan atas nama bangsa Indonesia oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Menteng Jakarta.


ØIndonesia adalah Maluku

          Kita telah sepakat menjadikan Indonesia sebagai negara yang juga milik Orang Maluku. Tetapi amat sangat rugi bila kenyataannya negara Indonesia seperti menafikan dan mengabaikan keberadaan Maluku, provinsi tua seumur negara Indonesia.

70 Tahun sudah Indonesia sebagai negara merdeka dan telah berkembang maju dengan pencapaian-pencapaian berbagai prestasi pembangunan, setidaknya sudah ada perubahan yang terlihat. Hanya saja porsi keadilan dalam pemerataan terkesan, Maluku diabaikan. Bukti perbandingannya secara kasat mata dan pikiran, begitu pesat perkembangan pembangunan dan kemajuan terlihat terbentang lebih terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia. Kesan pengabaian menjadi terbetik oleh pertanyaan atas kenyataan bahwa Maluku bukan wilayah tandus sumber daya alam. Eksploitasi berpayung otoritas pemerintah pusat atas sumber daya alam Maluku, telah lama berlangsung dan tentu tidak terkira nilainya bagi kas negara Indonesia. Itu satu hal, yang lain adalah kontribusi Maluku sebelumnya sebagaimana yang disampaikan di atas. 

Bahwa Indonesia hari ini, sebelumnya hanya adalah kepulauan di antara dua benua dengan penguasa oleh kerajaan-kerajaan kecil dan sifatnya lokal masing-masing pulau, kemudian menjadi terbuka kepulauannya dan dikenal dunia secara luas oleh adanya eksploitasi bangsa lain dari Eropa karena mencari wilayah kepulauan Maluku. Baru selanjutnya sejarah berubah oleh penderitaan oleh ketertindasan bersama menjadi semangat pengukuhan jati diri atas kepemilikan,  lalu terbangun melalui perlawanan lokal di wilayah pulau dan kepulauan, terhubung menjadi satu kesatuan pendapat dan bersepakat menjadikannya sebuah negara bersama.

Strip early spice trade
   Strip early spice trade

Mau apalagi harus yang mesti dilakukan, untuk mendapatkan perhatian lebih pihak berwenang negara, agar secara sungguh-sungguh dan benar-benar memperhatikan Maluku, melalui porsi pembangunan dan kebijakan politik yang lebih proporsional dan rasional menurut pandangan Orang Maluku, bukan se-pihak atau sedapat apa adanya oleh pemerintah pusat sebagai penanggung jawab dan penentu pelaksanaan pembangunan negara.

Ketika mengetahui Maluku adalah  provinsi paling miskin di Indonesia pada urutan ke-4 dalam data statistik tahun 2014, beta tidak marah karena kecewa, malah tertawa terbahak-bahak karena mendapatkan kenyataan bahwa laut, daratan dan alam Maluku masih segar-bugar dengan ketersediaan sumber dayanya, walau itupun sudah lama dikuras. Suatu lelucon oleh angka dari data statistik yang sangat melawan akal sehat dan menimbulkan pertanyaan besar, mengapa demikian.  

Kemiskinan di Maluku adalah kemiskinan struktural, oleh adanya unsur pembiaran dengan sengaja. Masyarakat memiliki barang tetapi tidak bisa menjadikannya bernilai uang. Setidaknya komoditi yang dulu lebih mahal dari emas ; cengkeh dan pala, hampir menjadi barang “sampah” saat ini, oleh ketiadaan proteksi dan inovasi kebijakan secara kreatif pihak berwenang, pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Belum lagi komoditi hasil usaha lain dari pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan maupun usaha kelautan, hasil panen atau tangkapan yang sudah tidak seberapa disebabkan masih bersifat tradisional baik cara maupun sarana, kemudian hanya bisa dijual murah dengan harga ditentukan tengkulak, selebihnya dibagikan gratis. Akses pasar sangat terbatas oleh kendala sarana, prasarana transportasi, biaya ongkos yang mahal oleh jauhnya jarak tempuh, serta kendala alam.

Kemiskinan adalah bencana sosial dan politik bagi daerah Maluku dan negara Indonesia, karena bukanlah suatu musibah kemanusiaan, tetapi akibat ketidakseimbangan dan keadilan dalam pemerataan membagi kebutuhan kue pembangunan. Butuh perhatian yang lebih dan sangat serius menyikapi kondisi predikat miskin. Sudah seharusnya tidak dibiarkan kondisi sedemikian terus seperti itu berlama-lama, sebab akan memunculkan peluang tumbuhnya benih kecemburuan sosial secara local, antara wilayah, dan mungkin saja berkembang hingga menghadirkan isu dan pertanyaan yang lebih meluas terhadap perlu atau tidak perlukah kehadiran negara – Indonesia, di Maluku.

Route of Cavendish's circumnavigation of the globe
Route of Cavendish's circumnavigation of the globe
http://www.transpacificproject.com/index.php/european-exploration-and-colonization/

Maluku belum lepas tuntas dari impian sebagian orang akan kemandirian terpisah dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Jargon “mena muria” dengan lambang kebanggaan berwarna “benang raja-pelangi”, masih mengakar di sebagian jiwa dan pikiran orang Maluku. Dianggap Separatis dalam jastifikasi negara, sebaliknya pejuang dalam impian sang pemimpi, yang tidak bakal lenyap bahkan lebih tersulut bilamana kehadiran negara dirasa sepi dan percuma.

Peristiwa tarian cakalele berbendera pelangi di lapangan Merdeka kota Ambon pada peringatan Hari Keluarga Nasional bulan Juni 2002, terjadi dihadapan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan pejabat negara lainnya. Bukti impian itu masih ada, tetapi bukan berarti tidak bisa dihapus. Bisa, menghapusnya dengan kesejahteraan. Orang sejahtera pasti kenyang, orang susah selalu lapar, akhirnya kalap.

Negara dalam memandang dan memperlakukan Maluku harus lebih “khusus”, sekalipun tidak harus sama sebagaimana Papua, Aceh atau Yokjakarta, tetapi memiliki nilai lebih – plus, dari daerah lain. Berupa ruang akses yang lebih leluasa untuk politik anggaran dan regulasi kebijakan pembangunan sebagai wilayah provinsi berbasis kepulauan yang memiliki spesifikasi rentang kendali wilayah laut terluas di Indonesia. Sedemikian juga Pemerintahan di Maluku pun jangan seperti perahu yang kehilangan layar, bahkan kehilangan kemudi di tengah laut Banda. Menyerahkan nasib hanya kepada arus kemana terbawa, harus bersikap tanggap dan kreatif membangun sinergi kekuatan dengan seluruh komponen Orang Maluku di daerah maupun di luar daerah Maluku untuk lebih berdaya dalam posisi tawar dengan pemerintah pusat. Bukan lagi asyik dengan diri sendiri seakan paling bisa dan merasa sudah maksimal berbuat, pada kenyataannya data statistik tingkat kehidupan masyarakat masih terseok-seok dan begitu berat menapak menuju puncak kesejahteraan.

Porsi pemerataan pembangunan mesti dibuat seadil-adilnya oleh Pemerintah Pusat, dan pemerintah daerah Maluku harus mereformasi mental aparatnya dan tata kelola pemerintahan daerah, guna mempercepat kepastian kesejahteraan masyarakatnya, dan jangan malu melibatkan segenap potensi Sumber Daya Manusia (SDM) Orang Maluku, sebagai kekuatan agar lebih berdaya, guna menjadikan masyarakat Maluku di hari esok lebih baik dari hari ini.

Depok, 08 Juni 2016
M. Thaha Pattiiha )*
-----------------------------------
               )* ‘Orang Maluku’,  berdomisili di Kota Depok
                Catatan ;
-   Referensi sejarah dan informasi dari berbagai sumber.
-   Tulisan ini diperuntukan sebagai masukan dalam Mubes Mama (Musyawarah Besar Masyarakat Maluku) yang berlangsung 27 Oktober 2015 lalu.
                 tetapi karena setelah diamati Mubes tersebut(Penulis hadir di kota Ambon), sepertinya hanya “basa-basi politik”, sehingga urung dipublikasikan saat itu

No comments:

Post a Comment