Alifuru Supamaraina: “MALUKU” ; DILEMA NAMA WARISAN KOLONIAL

Wednesday, January 15, 2020

“MALUKU” ; DILEMA NAMA WARISAN KOLONIAL

“MALUKU” ; DILEMA NAMA WARISAN KOLONIAL
Ilustrasi Peta Kepulauan Maluku; “MALUKU” ; DILEMA NAMA WARISAN KOLONIALSumber; Google maps/diedit)

               Sejarah kadang ditulis untuk memuji diri sendiri, dan sebaliknya berusaha sedapat mungkin meniadakan orang lain dari dalam ceritanya. Diri sendiri, dapat berarti pribadi seseorang, segolongan – kelompok, suku, atau bangsa, dari dalam lingkungan sendiri dengan ungkapan-ungkapan yang cenderung memuji, mengungkap keberhasilan dan berusaha mengecilkan hingga sebisa mungkin menghapus kebobrokan, kekalahan, kegagalan, dan kejahatan sendiri.
 
Dan karena – hal yang sudah berlaku umum, sejarah tidak diungkap untuk membesarkan dan apalagi mengagungkan orang lain yang adalah seteru - musuhnya. Ada juga sejarah seterunya kalau pun ditulis, maka yang diungkap adalah kebalikannya. Apalagi, sejarah adalah mengungkap kembali suatu hal atau peristiwa yang sudah dilewati masa – yang terjadi atau bisa saja tidak pernah ada. Ketika diceritakan, motivasi awal akan serta ikut mempengaruhi hingga membentuk maksud dan tujuan penceritaan dan juga mengandung emosi kejiwaan penceritanya. Ketika ada yang berbeda – pembelokan, atau hilang – tidak tersebut, memang itu tujuan akhirnya sehingga terbentuk pengetahuan semata sebagaimana maksud sejarah itu ditulis.
 
Sudut pandang cara membaca sebuah sejarah, ketika digunakan untuk membaca sejarah tentang nama Maluku, terungkap sesuatu yang mengganggu. Karena sejak wilayah ini dinyatakan bergabung dengan negara Indonesia, nama “Maluku” digunakan sebagai nama gugus kepulauan mulai dari Morotai di utara hingga Selaru di ujung paling selatan, dan berbatas dengan wilayah kepulauan Sulawesi dan Nusa Tenggara di barat serta Papua di sebelah timur. Nama yang dalam administrasi ketatanegaraan Indonesia pascareformasi 1998 berubah – mekar jadi 2(dua) provinsi. Di bagian Pulau Seram dan Buru, hingga Selaru di selatan tetap gunakan nama provinsi Maluku, dan kepulauan Sula  hingga Morotai, bernama provinsi Maluku Utara.
 
**
Dalam tulisan-tulisan beta sebelumnya, “Maluku” dipahami sebagai nama yang sudah sangat mewakili, yang menunjuk wilayah gugus kepulauan seperti tersebut di atas. Nama yang ternyata belakangan melalui sejarah yang ditulis malah mengalami degradasi pemaknaan dan cakupannya dipersempit. Muncul rasa penasaran dan ketidaknyamanan hingga mengganggu pemikiran, apakah nama itu masih mau hendak digunakan?
 
Terbesit tanya itu hadir setelah membaca buku(edisi revisi); “Kepulauan Rempah-Rempah, Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950,” karangan M. Adnan Amal, Gora Pustaka Indonesia, 2007. Sebuah buku sejarah yang setidaknya cukup didukung referensi yang lengkap, dan menghimpun begitu panjang alur perjalanan sejarah - 700 tahun, serta tentu saja dengan proses pengumpulan data dan informasi, diskusi, hingga penyusunan – penulisan, yang tidak mudah serta tidak dalam waktu yang singkat. Untuk itu, apresiasi sangat patut dan wajar disampaikan kepada penulisnya.
 
***
Dikutip dari yang disampaikan penulisnya ; “Pada edisi ini perlu diberikan beberapa catatan klarifikasi. Dalam bab 1 sampai bab 11, penulis menggunakan nama Maluku untuk menggantikan Maluku Utara. Pergantian ini bukanlah tanpa alasan.“ (Selanjutnya disampaikan alasan berdasarkan sejarah nama dimaksud) ….. “Apabila di sana sini nama tersebut masih ditulis dengan Maluku Utara, ……., maka yang dimaksudkan adalah Maluku seperti dalam pengertian historis yang disebutkan di atas, yang juga sesuai dengan perkembangan sejarah ketatapemerintahan di kawasan ini sejak awal abad ke-19.”(Catatan Penulis  Untuk  Edisi  Revisi, hal.vi).
 
Diksi narasi yang ditulis memang tidak secara terbuka mengemuka maksud bahkan inti niat yang mungkin ingin dituju, tetapi tafsir bahasa mengindikasikan bahwa nama Maluku tidak seharusnya digunakan – lagi, pada tempat atau wilayah lain, selain yang dimaksudkan adalah hanya untuk rangkaian pulau – Ternate, Tidore, Moti, Makian, dan kepulauan Bacan. Yang bersangkutan mengklarifikasi penggunaan nama pada edisi terbitan 2(dua) jilid sebelumnya, nama “Maluku Utara” – seharusnya, diganti dengan “Maluku” dalam edisi revisi dan penggabungan jilid I & II. Penulisnya seperti tersadar, telah melakukan kesalahan atau kekeliruan, sehingga perlu diklarifikasi.

Menjadi kontradiksi, ketika nama itu coba di”aneksasi” untuk dikembalikan dengan beralasan pada sejarah nama tersebut. Dan bukan tidak ada yang tidak tau – tentang latar belakang sejarahnya, ketika diterima dan digunakan untuk menamai wilayah ini – Maluku saat ini. Untuk yang selama ini mengenali atau mengenalkan identitas diri dan asal-usul nama wilayahnya sebagai Maluku – di luar yang dimaksud penulis buku dimaksud, mungkin juga sengaja melupakan bahwa nama itu beraura kolonialisme. Sebab bukan tidak memiliki nama sebagai identitas sendiri, karena Seram, Buru, dan seterusnya hingga di ujung selatan, adalah wilayah pemukim ber-etnis Alifuru dan ber-ras Melanesia, sama dengan penduduk asli pulau Halmahera di bagian utara.
 
Akan menyesatkan, apabila makna nama tersebut dengan sengaja kembali dipersempit ruang lingkup wilayah cakupannya. Efeknya bakal bisa akan berimplikasi kepada sikap antipasti dan reaksi untuk mendudukkan ulang apakah masih atau sudah tidak perlu menggunakan nama dimaksud. Apalagi dikilas balik ke masa lalu – merujuk alasan sejarah yang diulas (hal. 3-6) ; Asal-usul Nama "Maluku," simpulan nama dimaksud sesungguhnya adalah nama warisan kolonial kerajaan-kerajaan lokal di bagian utara, yang lalu dipakai secara formal oleh kolonial bangsa-bangsa Eropa, kemudian jadi warisan bagi negara Indonesia – yang juga merupakan wilayah warisan kolonial Belanda, diadopsi untuk nama provinsi.
 
****

Sedikit beralih dari persoalan “sengketa” nama Maluku – yang bagi William Shakespeare tentu bermakna paradoks, ketika Juliet berkata kepada Romeo ; “apa arti sebuah nama” - harum mawar tetaplah harum mawar, kalaupun mawar berganti dengan nama lain." Dalam hubungan ini sejarah nama ternyata jadi tidak seharum rempah-rempah, sebab ada bagian yang hilang tetapi bakal ketemu juga akhirnya dengan nama lain yang bebas sengketa. Tetapi agar pandangan lebih detail yang dimaksud dengan “Kepulauan Rempah-rempah”, maka nama(istilah) ini pun perlu diurai. Istilah yang maknanya menerangkan gugusan pulau – kepulauan, dengan lebih dari satu jenis rempah-rempah. Bukan hanya cengkeh yang awalnya ada di utara, tetapi juga pala yang bukan berada di utara tetapi ada di Banda – tengah selatan.
 
Tetapi sejarah Kepulauan Rempah-rempah yang ditulis, peran rempah-rempah pala yang hanya ada di Banda dan yang sudah begitu ramai dengan aktifitas perdagangan serta sibuknya lalulintas pelayaran niaga setidaknya 100 tahun sebelum Portogis hadir di Banda, tidak termasuk dari yang ditulis.
 
Bisa jadi karena Banda letaknya jauh di selatan – tengah, bahkan masih melewati kepulauan Seram Laut, pulau Seram, dan Buru. dari letak wilayah Maluku yang dianeksasi sesuai maksud penulisnya. Menjadi narasi yang kontraversial dengan apa yang dikatakannya – dalam keterangan tambahan ; - “tidak mengetahui bahwa Banda adalah sebagian dari Maluku” (hal. 5). Mungkin yang dimaksud, Banda sebagai salah satu koloni – taklukan Ternate?  Satu dari pesan sejarawan Adrian B. Lapian dalam bagian pengantar - yang sepertinya masih berharap dikemudian hari akan memperoleh suatu kisah yang komprehensif(vii), dari kerajaan Ternate(hal.6).
 
*****
Mempertimbangkan kembali sejarah, klarifikasi dan latar belakang penulis yang “bukan orang biasa-biasa saja”, serta tafsir – prakiraan bukan cuaca, maksud sang penulis, bukanlah sesuatu hal yang biasa-biasa saja yang boleh diabaikan. Adabnya, implikasi kehormatan atas penggunaan nama oleh yang “bukan pemilik”, itu tidak pantas dan tentu memalukan. Kecuali bermaksud ingin tetap dipertahankan – walau memalukan, sebagai apresiasi terhadap salah satu warisan kolonial dengan cara memelihara nama dimaksud. Selain merasa pantas saja dengan nama itu tetap disematkan sebagai suatu epos romantis, agar bisa terus bernostalgia dengan “masa-masa indah” bersama kaum kolonial.
 
Mīlle viae dūcunt hominēs per saecula Rōmam,” Alain de Lille ; Liber Parabolarum, 591 (1175), yang berarti "adalah seribu jalan membimbing orang selamanya ke Roma, ya “banyak jalan ke Roma”, bilamana tidak direlakan nama Maluku untuk tetap digunakan, maka tempuhlah jalan yang arahnya jelas dan pasti, yaitu kembali ke “asal” keaslian, ini juga berdasarkan sejarah dan lebih tua usia dari usia Maluku. Ke mana lagi, kalau bukan Alifuru. Sampai di sini, cukup diselesaikan dengan TITIK!

Alifuru Seram, 16/01/2020
M. Thaha Pattiiha

-----------

Ralat ; Bagian pertama paragraf ketiga kalimat ke-dua, sebelumnya tertulis ; 

Maluku adalah nama yang dipakai pertama kali oleh bangsa kolonial Eropa dan seterusnya untuk menyebut”. 

No comments:

Post a Comment