Alifuru Supamaraina: TUKEL, ITU ORANG MALUKU

Sunday, August 5, 2018

TUKEL, ITU ORANG MALUKU

TUKEL, ITU ORANG MALUKU
 Ilustrasi(Sunset in Ambon bay) pic.doc

Tukel, sebagai istilah untuk menyebut suatu kebiasaan yang seringkali dilakukan dalam hal berbicara apa saja dengan semangat tinggi tetapi sekadar mengungkap hal-hal yang belum tentu benar, cenderng tidak memiliki tujuan yang bermanfaat atau positif. Tentu apa yang dibicarakan tidak dapat dibuktikan kenyataan atau realisasinya. Sama saja sifatnya dengan istilah yang sudah umum yaitu omong kosong.
Istilah khas di kalangan masyarakat Maluku, untuk menyebut orang yang sering berbicara, bercerita, atau menebar omongan kosong sedemikian, disebut "tukang #kewel", disingkat #Tukel. Sebutan Tukel digunakan untuk mengatakan atau menanggapi orang lain yang banyak bicara, terbiasa bercerita panjang lebar tentang sesuatu, bahkan seakan tau banyak hal, tetapi pada kenyataan di akhirnya, tidak pernah terbukti kebenarannya, atau bukan sesungguhnya.
Sudah lama menjadi istilah umum di kalangan sesama Orang-Maluku. Kadang sebagai candaan menyebut seseorang pada sesama teman, tetapi juga gelar yang cenderung bersifat negatif untuk menghakimi seseorang yang sering kali mengatakan sesuatu yang hanya omong kosong, karena hanya sebatas itu tanpa bisa dibuktikan atau direalisasikan. Bahkan boleh juga disematkan istilah itu kepada yang orang menganggap diri merasa paling mengetahui segala sesuatu, yang ketika dipertanyakan lebih rinci atas apa yang dibicarakan, yang bersangkutan akan menghindar dan berbelit jawabannya atau asal bisa menjawab.
“Suka ba puji orang pung hal(barang), atau suka makang puji deng orang pung barang”. Kalimat yang sering terucap dikalangan masyarakat katong Orang-Maluku. Menggambarkan suatu bentuk kebiasaan yang harusnya dipandang buruk, dan tidak boleh lagi sampai menjadi “budaya”. Harus ditiadakan karena merupakan kebiasaan yang berpangkal pada menganggap segala sesuatu sekalipun itu bukan milik sendiri tetapi disebut seakan menjadi miliknya juga.
Karakteristik kehidupan yang terbentuk dari keberadaan lingkungan yang ditempati, seperti di kepulauan Maluku, dengan ketersediaan sumber daya alam di darat maupun di laut, telah membentuk sifat penghuninya. Lebih banyak waktu luang dari kehidupannya yang meminimalkan usaha saling berburu dan bersaing. Berlebihan dari yang dibutuhkan, berpengaruh dalam membentuk sifat keseharian, termasuk banyaknya waktu luang. Pola kehidupan yang terbentuk dari ketersediaan sumber daya alam yang melimpah, telah menata pola hidup merasa segala sesuatu dianggap muda. Mudah mendapatkan sesuatu, karena tersedia lebih dari yang dibutuhkan.
Terdapat sisi humanis yang positif dari “budaya” tukel, yang boleh jadi telah menjadi bagian dari pembentukan karakter Orang Maluku, karena terbiasa banyak bicara, telah menjadikan budaya bicara terus terang dan spontan. Mengatakan sesuatu secara langsung, apakah itu menyampaikan rasa marah, pendapat terhadap ketidak setujuan, yang menjelaskan Orang Maluku tidak suka mendiamkan isi pikiran dan pendapatnya, apalagi menyimpan di hatinya sebagai rasa dendam.
“Abis situ, abis”. Maksudnya sehabis bicara – terus terang, maka masalah dianggap selesai. Sosio-kultural Orang-Maluku bukan berarti memang sama persis seperti itu, tetapi setidaknya itu gambaran umum yang dianggap suatu kebiasaan selama ini. Bahwa, tidak pandai menyimpan hal buruk berlama-lama di hati dan pikirannya. Merasa lebih baik, dan itu ciri khasnya, bila sesuatu itu tidak dipendam apalagi hingga membentuk dendam. Tidak suka, ya tidak suka, mau atau tidak, diperpendek atau diperpanjang, jelas disampaikan, tidak disimpan yang mungkin saja menyerupai awal bibit pembentukan jaringan kanker dendam kesumat, yang suatu waktu tiba-tiba menyerang diam-diam dari arah belakang tanpa diketahui. Lebih baik sesuatu itu disampaikan, karena dengan begitu dapat diketahui baik buruknya, kurang lebihnya, untung ruginya, atau benar tidaknya.
Kadang suatu kebiasaan bila terus menerus dilakukan akan menjadi terbiasa, tidak lagi menimbulkan sensitifitas untuk memilah baik buruknya, bisa juga menjadi kebiasaan yang dianggap lumrah. Tidak ada positifnya, negatif pun juga belum tentu. Seperti meraba di dalam gelap, sulit menemukan yang dicari, hanya bisa menerka untuk menentukan mana yang seharusnya. Tentu sisi moral menjadi tatanan untuk memangkas alasan dan dampak ketidak-manufaatan karena asal bicara atau banyak bicara, sebaliknya dengan terbiasa diam, pun tidak berarti lebih baik. Maka tukel karena orang dan apanya, tetapi itu pas waktu dan tempatnya saat ketika sedang menikmati segelas kopi, sambil bersiul mendengarkan lagu “bulan pake payung”.

No comments:

Post a Comment