Alifuru Supamaraina: Pela, Klasifikasi dan Filosofi

Wednesday, November 6, 2019

Pela, Klasifikasi dan Filosofi

Oleh ;  M. Thaha Pattiiha

(Bagian ketiga dari tulisan ; “PELA GANDONG ; Warisan Budaya Takbenda Bangsa Alifuru”)
Sei hiti lisa A'aen lopu-siapa yang membuat masalah bakal terluka sendiri
Pela Gandong/Kapata (Sei hiti lisa A'aen lopu-siapa yang membuat masalah bakal terluka sendiri)/Ilustrasi ; @embun01
Budaya Gandong tidak ada klasifikasi. Gandong ya itulah saudara sekandung seibu sebapak, satu orang tua. Terlahir dari rahim ibu yang sama, kecuali Pela. Klasifikasi budaya ikatan Pela, terdapat perbedaan berdasarkan kadar maupun nilai kualitas peristiwa penyebab awalnya. Ikatan Pela oleh peristiwa biasa, dan karena peristiwa luar biasa. Maka itu, harusnya hanya dua tipe klasifikasi jenis hubungan Pela, yakni Pela Darah - disebut juga Pela Keras atau Pela Batu Karang, dan Pela Tampa – tempat, sirih.
Pertama ; Pela Darah, menerangkan penyebabnya terjalin karena terjadi peristiwa yang dapat atau hingga menumpahkan darah, yang apabila sampai terjadi, akibatnya buruk karena akan atau benar-benar terjadi kematian.
Banyak peristiwa yang menjadi alasan terjalinnya hubungan persaudaraan berjenis Pela Darah yang bukan Pela biasa. Peperangan antara dua pihak, baik adu kekuatan dan kekebalan antara dua orang Kapitan, atau antara kelompok(pasukan), dan salah satu pihak kalah dan menyerah, lalu saling berdamai. Memberikan bantuan kepada salah satu pihak dalam peperangan, menyelamatkan nyawa pihak lain yang tertimpa kecelakaan, musibah, atau bencana – di darat ataupun di laut, yang dapat berakibat kematian.
Bagi pihak yang kalah atau menyerah dalam peristiwa saling berperang, pengikut yang takluk karena kematian – tertebas, Kapitannya setelah adu perang ketangkasan dan kekebalan dengan Kapitan lain, begitupun pihak yang dibantu atau ditolong. Dari pihak ini yang biasanya berinisiatif menawarkan diri menjalin hubungan Pela. Pihak yang ditawari pun tidak akan menolak – sifat bijak dan karakter positif Orang Maluku aslinya mudah berempati untuk tidak angkuh dengan menolak menerima tawaran niat baik pihak lain bahkan walau sedang bermusuhan, untuk saling tidak sekadar berdamai atau berterima kasih menghargai kebaikan yang diterima, tetapi sampai menjalin persaudaraan berupa ikatan Pela.

Maha pentingnya anggapan terhadap sifat dari peristiwa yang dialami dan telah dilalui, menjadi dasar alasan atau latar belakang pertimbangan pemikiran putusan untuk harus dilakukan ikatan Pela. Sebab awalnya jelas, yaitu berkenaan dengan penyelamatan nyawa yang berarti memperoleh keselamatan dalam kehidupan, maka disakralkan untuk dihargai sebanding sebagaimana bernilainya darah bagi kelangsungan hidup. Untuk itu dibutuhkan darah sebagai media terjemah unsur penyatuan. Sepantasnya untuk jiwa disatukan tidak sebatas “janji kata-kata”, butuh cara lebih dari itu yang tidak dapat saling meniadakan serta sulit dilupakan – sifat jelek manusia sering lupa atau sengaja melupakan, melalui cara saling bertransfusi darah antara para pihak. Dengan begitu, masing-masing jiwa terbawa hidup hingga kematian bersama jiwa yang lain, dan akan terus mengalir sejauh garis keturunan manusia – sesama saudara Pela, menjalani kehidupan dunia. Saudara Pela sedarah di dalam otot dan daging, saudarah setubuh. Sebab alasan itulah sesama saudara Pela Darah dilarang saling kawin – menikah, karena makna pesannya sama dengan mengawini saudara sekandung atau sedarah.
Pela Darah biasanya dikukuhkan dengan sama-sama antara pemimpin kelompok – Kapitang, Upu Latu, atau yang dituakan dalam struktur adat, meneteskan darah segar dari jari tangan yang sengaja dilukai, disatukan dalam sebuah wadah – biasanya batok atau tempurung kelapa, dicampur air saja atau dicampur minuman tuak lokal Maluku ; sopi atau sageru, lalu diminum bersama oleh kedua pemimpinnya mewakili anggota kelompok. Dilanjutkan dengan prosesi sama-sama berikrar, mengucapkan sumpah saling mengikat diri dalam hubungan persaudaraan selama-lamanya, disertai hal-hal kewajiban yang harus dipenuhi, dan larangan-larangan yang tidak boleh tidak dipatuhi bagi kedua pihak. Untuk kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan dan larangan yang dilanggar, secara spiritual – menurut keyakinan adat leluhur, bakal mendapatkan akibat yang dapat merugikan diri sendiri atau keseluruhan warganya.


Baca juga ;

Kedua, Pela Tampa Sirih. Jenis Pela ini memiliki posisi hirarki dalam kadar peristiwa penyebab awal sedikit lebih di bawa Pela Darah, tetapi kadar nilai ikatan Pela setingkat Pela Darah, yaitu persaudaraan. Latar belakang alasan dilakukannya ikatan Pela Tampa(tempat) Sirih bukan karena peristiwa luar biasa. Tetapi untuk lebih mempererat atau meningkatkan hubungan persahabatan yang sebelumnya sudah terjalin, oleh sebab perkawinan, karena pertemanan ketika sama-sama menjalani suatu peristiwa, atau karena satu pihak membantu kebutuhan pihak lain dalam kehidupan normal yang bukan peristiwa penyelamatan nyawa. Jenis Pela ini tidak semasif Pela Darah, dan boleh saling kawin atau menikah.
Ikatan Pela dilakukan – pada awalnya, bisa dua atau lebih secara kelompok terbatas orang, bisa saja terbatas satu orang tetapi adalah seorang pemimpin, misalnya oleh satu orang Kapitan dengan Kapitan lain, sudah bisa mewakili wilayah pemukiman atau kampung(negeri)-nya. Bila awalnya hanya sekelompok orang dengan jumlah seadanya, ketika kelompok berkembang menjadi sebuah wilayah pemukiman berupa satu negeri atau lebih, ikatan dan sumpah itu tetap berlaku.   
Ketika Pela terjalin – pada syarat bawaan aslinya, khususnya Pela Darah, harus dipenuhi dengan tanggung jawab sebagai sesama saudara Pela. Selain persyaratan sebagaimana tersebut dalam “Sumpah Pela”, maka sebagai saudara – karena setingkat Gandong, maka harus pula diberi semacam hak waris. Bisa berupa wilayah(sebidang) tanah, atau berupa benda berharga lainnya.
Hubungan persaudaraan Pela Gandong dapat terjalin antara Negeri – setingkat Desa, antara pulau. Sebagian saling memiliki hubungan Pela saja, hubungan Gandong saja, maupun kedua-duanya ; Pela Gandong. Terhubung antara negeri pada komunitas sesama satu agama, dan atau berbeda agama, Islam - Kristen. Dan tidak ada alasan dalam hubungan Pela maupun Gandong, yang menimbulkan perbedaan karena faktor latar belakang berbeda agama, sebab disadari bersama bahwa Pela Gandong lebih dulu ada sebelum agama hadir. Ketika secara politis Pela Gandong diberdayakan sebagai solusi menyelesaikan peristiwa konflik atas nama beda agama, patutlah untuk berterima kasih kepada Nenek Moyang Orang Maluku, karena telah mewariskan kepada generasi penerusnya suatu budaya yang sangat arif, bijak, dan cerdas - tidak "terkalahkan" oleh perubahan masa dan perilaku manusia.  
                                                                                                                                 Kampung Bulak, 07/11/2019
(Bersambung ke bagian terakhir ; Pela Gandong Sebagai Warisan Budaya Takbenda)

No comments:

Post a Comment