Alifuru Supamaraina: Kehendak Anak Maluku, Catatan Terlupakan Dari Mubes Mama 2015

Friday, November 30, 2018

Kehendak Anak Maluku, Catatan Terlupakan Dari Mubes Mama 2015

Oleh ;   M. Thaha Pattiiha
Musyawarah Besar Masyarakat Maluku (Mubes MAMA)

Maluku, "Mutiara" Indonesia (Foto Ilustrasi ; Dokumentasi Pribadi)

          Disengaja atau tidak, tetapi mungkin hanya sedikit orang Maluku yang sempat masih ingat, bahwa di kota Ambon pernah ada hajatan besar yang dikatakan menjadi momen luarbiasa segenap anak Maluku. Mereka berkumpul dan bersepakat untuk menuangkan isi hati dan pikirannya tentang apa dan bagaimana Maluku ke depan. Tiga tahun berlalu, Musyawarah Besar Masyarakat Maluku (Mubes MAMA) dengan tema yang “heboh”, yakni "Masa Depan Maluku Yang Bermartabat Dan Berkeadilan", yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi Maluku tanggal 25 - 26 November 2015 di Kota Ambon. Perlakuan yang tidak adil dan proporsional dalam banyak hal yang menyebabkan keresahan dan ketidakpuasan terhadap kondisi Maluku. Hal tersebut dapat dibaca dari agenda diselenggarakannya musyawarah dimaksud, serta sebagai alasan – menurut Pemda, sehingga perlu menghimpun segenap masyarakat Maluku dalam suatu forum bersama. Tujuannya untuk bersepakat menakar dan memohon kepada Pemerintah Pusat(Pempus), agar bisa berubah perlakuan Pempus kepada Provinsi Maluku. Apakah kemudian hasil Mubes Mama terbukti secara pantas telah dianggap atau sudah ditanggapi secara positif dan nyata oleh Pemerintah Pusat?


Ole-ole dari Mubes Mama 2015

          Sebagaimana penjelasan dari Sekretaris Panitia Mubes Mama, Cak Saimima (Tribune-Maluku.com), yang menyatakan penyelenggaraan Mubes Mama guna mengkonsolidasikan wawasan keMalukuan dalam realitas kebhinekaan negara kesatuan republik Indonesia dan memperjuangkan keadilan dalam pemerintahan, pembangunan dan pelayanan sosial. Untuk itu perlu dilayangkan protes keras kepada pemerintah Pusat atas pengabaian terhadap pembangunan Maluku selama ini. Selain itu, Mubes Mama ditujukan untuk mengakomodasi desakan kepada Pempus untuk memberikan kewenangan Otonomi Kepulauan dan pengakuan pemerintah pusat terhadap Provinsi Kepulauan, realisasi Lumbung Ikan Nasional (LIN), serta hak PI 10 persen Blok Migas Marsela.

Pembukaan acara musyawarah sekaligus mendengarkan pidato motivasi dari Wakil Presiden Republik Indonesia M. Jusuf Kalla. Materi untuk sesi ceramah menampilkan nara sumber  Menteri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Panjaitan. Kutipan dari M. Jusuf Kalla ; "Mubes MAMA ini harus menjadi alat perjuangan sekaligus cita-cita bersama seluruh anak Maluku untuk mengembalikan lagi keharuman dan kejayaan masa lalu daerah ini, di masa akan datang” (www.antaranews.com). Mengingatkan tentang masa lalu, untuk dikembalikan di masa “akan datang”. Ya, akan datang, tentang ruang waktu untuk sesuatu yang tentu tidak segera besok atau lusa, setahun atau dua tahun. Pidato hebat yang tidak sekadar hitamputih memahaminnya, karena sebagai wakil pemegang kuasa pemerintahan pemerintah pusat, itu cukup politis.

Diberitakan, komponen masyarakat Maluku yang menjadi peserta musyawarah seakan-akan telah terwakili secara utuh dan paripurna. Perwakilan yang menjadi peserta berasal dari 11(sebelas) kabupaten/kota di Provinsi Maluku dan perwakilan masyarakat Maluku dari atau yang berdomisili di luar Provinsi Maluku, di 34 Provinsi dalam negeri negara Indonesia maupun yang di luar negeri. Tentu sangat tanggung untuk dikatakan tidak sempurna. Kriteria perwakilan pun sepertinya samar syarat-syaratnya, sehingga siapa mewakili siapa, apa, mengapa dan bagaimana bisa mewakili, menjadi rana buram yang kemudian hilang penjelasannya oleh pergantian waktu. Apalagi kegiatan dimaksud diinisiasi oleh Gubernur Maluku Said Assagaff - Pemda Provinsi Maluku, dan tentu telah menggunakan dan menghabiskan anggaran belanja yang tidak sedikit yang berasal dari dana kas daerah, jelas itu uang milik bersama seluruh rakyat Maluku yang harusnya terukur manfaat dan dipastikan mendapat hasil nyata.

Niat baik Mubes Mama “mungkin” simpulnya untuk membangun sinergitas antara segenap komponen masyarakat Maluku bersama Pemda Provinsi Maluku, dalam satu pandangan dan sikap bersama berupa visi dan misi serta penegaskan keinginan dan kepentingan Maluku. Setidaknya untuk hasil musyawarah, ada keinginan yang kuat dari peserta untuk mengakomodir suara-suara ketidakpuasan umumnya masyarakat Maluku terhadap perlakuan tidak adil oleh Pempus terhadap Maluku. “Ole-ole” – buah tangan, dari Mubes Mama adalah 7(Tujuh) Kehendak Anak Negeri Maluku (www.antaranews.com), yakni ;

1. Bertekad terus membangun, mempertahankan dan mengembangkan semangat soliditas    pro hidup antarsesama warga, terutama sesama anak negeri Maluku. 
2. Kami bertekad berjuang dengan serius dan terus mendesak pemerintah RI agar memberikan perlakuan yang adil kepada daerah dan anak Negeri Maluku melalui kebijakan pembangunan nasional yang sesuai dengan kondisi objektif provinsi Maluku yakni sebagai wilayah berakarkter kepulauan dan kelautan.
3.   Bertekad berjuang dan mendesak pemerintah RI untuk secara adil dan bijaksana mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterlibatan anak Negeri Maluku dalam penyelenggaraan kepemimpinan negara pada semua bidang di tingkat pusat. 
4.   Mendesak pemerintah RI, DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk sesegara mungkin membentuk undang-undang otonomi khusus provinsi kepulauan paling lambat 2017, agar rakyat di semua provinsi kepulauan mendapatkan keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan.
5.   Kami menghendaki pemerintah pusat agar pengelolaan semua blok migas di Maluku dapat menikmati secara langsung hasil pembangunannya.
6.   Bertekad menolak berbagai upaya provokatif yang dilakukan oleh siapa pun dan dalam bentuk apa pun demi memelihara keutuhan hidup bersama orang basudara (bersaudara) sebagai anak Negeri Maluku secara berkelanjutan dalam bingkai Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI).
7. Bersepakat untuk membentuk dan menjadikan Majelis Anak Negeri Maluku sebagai wadah perjuangan bersama mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua anak Negeri Maluku.

Dikatakan sekadar ole-ole, sebab tujuh poin hasil musyawarah yang menjadi tekad, desakan, dan kesepakatan merupakan kehendak Anak Negeri Maluku, ternyata tidak sesempurna yang diharapkan. Diinisiasi Gubernur dan dilaksanakan sendiri oleh Pemda Maluku, dan hanya menghasilkan sesuatu yang seperti membuang garam di Laut Maluku. Gubernur dan perangkat Pemda ternyata tidak lebih posisi dan perannya sebagaimana umumnya masyarakat Maluku yang tidak memiliki apa-apa, kecuali hanya bisa “membeo” kepada Pempus, tanpa pernah mau belajar memahami sejarah karakteristis Maluku untuk bisa dijadikan “alat tawar” dan “power” menentukan sikap sendiri – sesuai keinginan dan kepentingan rakyat Maluku, kepada Pempus.  Sayang sekali, karena Gubernur Maluku, begitupun DPRD Provinsi ternyata tidak berdaya atau malas berpikir, atau mungkin saja menganggap dirinya sama saja dengan LSM(Lembaga Sosial Masyarakat) yang serba terbatasi.  Padahal mereka (Gubernur dan DPRD) dipilih langsung oleh rakyat Maluku, memiliki legitimasi untuk bersuara atas nama rakyat, belum lagi memiliki dukungan perangkat pemerintahan daerah serta tentu saja anggaran.

Penyelenggaraan Mubes bukan tanpa mendapat kecaman sebelumnya. Kecaman datang dari beberapa pegiat masalah ke-Maluku-an. Kecaman datang dari Masyarakat Adat Bangsa Alifuru (www.tribun-maluku.com), yang meragukan kesungguhan, dan mencurigai sesuatu dibalik alasan diselenggarakannya musyawarah tersebut. Alasannya karena dianggap tidak merepresentasikan masyarakat Maluku, serta lebih cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan politik kekuasaan dan dijadikan instrumen politik kapitalis yang menguntungkan pribadi dan sekelompok orang. Setidaknya hal itu terbukti dengan tidak dimasukkan perihal upaya massif peminggiran masyarakat hukum adat dengan cara pengambilalihan tanah dan hutan adat – Hak Ulayat, Sukubangsa Alifuru di seluruh kepulauan Maluku. Tidak ada pembahasan dan rekomendasi terhadap persoalan faktor hambatan administrasi negara dengan berbagai regulasi yang mengkerdilkan dan cenderung menghilangkan hak-hak masyarakat adat. Tidak ada desakan tenggang waktu kapan realisasi Lumbung Ikan Nasional (LIN), yang sudah pernah dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon pada 9 Juni 2012 dan dipidatokan ulang oleh Presiden Joko Widodo, begitupun tidak ada penguatan terhadap hak PIParticipating Interest, 10 persen Blok Migas Masela, yang ternyata juga diinginkan oleh Provinsi Nusa Tenggara Timur. Tidak ada keinginan untuk mempermasalahkan(misalnya Peninjauan Hukum ke Mahkamah Konstitusi) atas berbagai regulasi Pempus yang menjadi pembatas wewenang daerah Maluku, terutama di laut yang hanya 12ml(duabelas millaut), mestinya ada pengecualian khusus kepada daerah Maluku sebagai wilayah perairan terbesar di Indonesia.  Tetapi tidak lupa menyelipkan kepentingan politik sepihak – perorangan, dengan cara “mengemis – meminta belas kasihan” untuk jabatan Menteri di Kabinet Pemerintahan Negara. Selain dengan sengaja bermaksud mengabaikan dan memarjinalkan peran lembaga-lembaga ke-Maluku-an yang sudah ada dengan membentuk lembaga baru dengan “merek dagang” Majelis Anak Negeri Maluku.


Adakah ole-ole yang kadaluarsa?

          Demokrasi pascareformasi telah mengubah situasi politik yang dipuja-puji lebih demokratis, dengan Gubernur dan Bupati/Walikota – Pimpinan Pemerintahan Daerah, ditentukan dengan dipilih langsung oleh rakyat daerah bersangkutan. Otonomi Daerah “setengah hati” menjadi lips service Pempus memanjakan Gubernur dan Bupati/Walikota yang menjadi Kepala/Pimpinan Pemerintahan Daerah. Peran tersebut satu paket dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Provinsi dan Kabupaten/Kota, yang dalam prakteknya lebih berperan mewakilkan diri sendiri dan mewadahi kepentingan oraganisasi partai politik naungannya. Peran Dewan Perwakilan Daerah(DPD) – Senator, pun yang seharusnya berperan maksimal bersuara penuh terhadap kepentingan daerah yang diwakilinya, posisinya hanya “mengekor” kepada DPR-RI. DPD sangat terbatas legislasi dan kewenangannya, apalagi sampai memiliki Hak Veto dalam posisi sebagai Senator. Posisi DPD dan DPR, harusnya dibuat bersifat Bikameral – dua kamar, walau tidak sampai menganut sistem negara Federasi seperti Amerika Serikat. Tetapi itu hal lain dan mungkin nanti, sebab harus lebih dulu kembali mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945.

Sistem dan mekanisme yang serba terbatas serta seperti masih sentralistik seperti tersebut di atas, mungkin saja yang mengakibatkan “wakil” masyarakat Maluku (DPD dan DPR) di Parlemen dan wewenang pemerintah daerah(Gubernur dan Bupati/Walikota) dalam hal otonomi daerah menjadi seakan tidak mampu berbuat banyak untuk memperjuangkan kepentingan Maluku kepada Pempus. Sehingga untuk itu, mereka butuh penguatan sebagaimana melalui pelaksanaan Mubes Mama. Boleh saja, kecuali bukan bermaksud untuk menutupi kelemahan diri sendiri dalam mengatur dan ketidakmampuan memimpin pemerintahan daerah Maluku, apalagi hingga melemparkan tanggungjawab kurang dan salah seluruhnya kepada Pempus. Tentu itu bentuk kebohongan dan pembodohan dengan mekanisme intelektual yang sangat hina, dan menciderai kepercayaan rakyat.

Tiga tahun telah berlalu 7(Tujuh) Kehendak Anak Negeri Maluku disuarakan, saatnya diingatkan untuk dievaluasi guna mengukur tenggang waktu dan menilai hasilnya. Satu persatu dari tujuh kehendak dimaksud dipilah, masing-masing disayat, dibelah, lalu dianalisa. Sudah adakah perubahan signifikan sebagimana yang diharapkan, atau sama saja, “masih seperti yang dulu” atau makin parah? Pada kenyataannya, Maluku hari ini masih berkutat dengan ketidakmampuan pengurangan pengangguran, akibat minimnya peluang dan lambatnya penciptaan lapangan kerja, serta terus saja tertatih dipusaran provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia.

Pada poin salah satu kehendaknya yaitu ; mendesak pemerintah RI, DPR dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk sesegara mungkin membentuk undang-undang otonomi khusus provinsi kepulauan paling lambat 2017(dibol oleh penulis), agar rakyat di semua provinsi kepulauan mendapatkan keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan. Apa kabar Undang-undang Otonomi Khusus Provinsi Kepulauan? Sudahkah ada perubahan kebijakan dalam pembangunan nasional yang sesuai dengan kondisi hidrologi dan karakter objektif provinsi Maluku sebagai wilayah kepulauan? Seperti misalnya dalam hal perubahan besaran anggaran pembangunan yang bersumber dari APBN untuk dana perimbangan daerah bagi Maluku oleh Pempus dan tidak hanya mengakomodir luas daratan. Bila ada kehendak yang sudah “jatuh tempo” tetapi masih diabaikan, sikap apa yang harus dilakukan oleh Maluku? Menyelenggarakan lagi Mubes Mama, babak ke-2?
                                                                                                                                                                                                    
Depok, 30 November 2018 

No comments:

Post a Comment